Ternyata masih punya rasa takut juga dia."Iya, aku ga bakalan bilang kok, nanti juga ketahuan sendiri." Aku mendelik sinis ke arah Mas Hanif, jijik sekali melihat wajahnya ini.Kukira ia sudah berubah setelah Kirana hamil, nyatanya masih sama saja buaya, jadi ga sabar lihat Kirana melabrak Mbak Seli lagi.Usai makan, aku pun pulang ke rumah. Ririn girang sekali walau dibelikan ponsel seharga dua jutaan, kukira akan protes.Ia mengucap banyak terima kasih padaku juga Mas Lutfi. Begitu pula dengan emak, ia merasa tak enak karena Ririn sudah banyak merepotkan kami."Ga masalah kok, Mak, adik Risti ya berarti adikku juga," ucap Mas Lutfi saat Emak mengucap banyak terima kasih"Aa baik banget, terima kasih ya." Ririn memeluk suamiku, kurangi ajar memang dia itu, untung suamiku cepat menghindar.Sudah satu minggu emak dan Ririn nginap di rumah, setelah punya ponsel baru Ririn lebih betah ngurung diri di kamar, apalagi di rumah ini ada WiFi yang terpasang.Hari ini tepat sepuluh hari akhirn
Kuceritakan masalah Ririn si pembohong itu pada Mas Lutfi, tapi anehnya pria itu terlihat biasa saja, tak cemas atau pun kesal sepertiku."Ada-ada saja adikmu itu." Mas Lutfi malah bicara begitu, kukira ia akan marah lalu kami pulang kampung untuk menghajarnya."Kok Mas ga marah?" tanyaku dengan pandangan aneh, awas saja kalau dia suka Ririn!"Mau gimana lagi." Mas Lutfi mengembuskan napasnya."Mas suka 'kan sama adik tiriku? makanya ga marah dengan kelakuan liciknya itu," selidikku."Astaghfirullah, engga gitu, Yang." Mas Lutfi melirikku."Lah terus?""Gini, Yang, anggap aja itu sebagai pembersihan dosa kita, lagian cuma dua juta ikhlaskan aja ya, kamu mau ga dosa-dosanya dihapus sama Allah.""Kita sekarang lagi dizalimi sama si Ririn, doa kita bakal terkabul langsung menembus langit, dari pada marah-marah, mending kita berdoa supaya duit kita tambah banyak dan berkah."Mas Lutfi ceramah lagi, suruh sabar katanya. Tapi aku takkan diam saja, akan kuberi pelajaran si Ririn itu.Gegas a
"Jangan, Mak. Aku bilang sudah ga usah diganti, uangku ini masih banyak!" ucapku sedikit tegas.Kalau ga digituin Emak pasti ngeyel mau ganti uang Ririn kemarin."Tapi, Ris ....""Udah, Mak, jangan. Kalau Emak nekat transfer uang yang kukasih ya sudah aku bakal marah sama Emak."Di seberang sana terdengar hening beberapa saat."Kalau gitu, maafin Ririn ya, Nak. Emak sudah tegur dan marahi dia, insya Allah kejadian kaya gini ga akan terjadi lagi."Telpon dimatikan."Apa kata Emak?" tanya Mas Lutfi.Kuceritakan saja semua yang dikatakan emak padanya barusan."Sudah ya mulai sekarang belajar sabar, pasti ada hikmah dibalik musibah ini," ujar Mas Lutfi lalu tak berkata lagi.Satu Minggu setelah kejadian itu, tiba-tiba ada seseorang yang menelpon Mas Lutfi, dia adalah lelaki yang sempat meminjam uang kami satu tahun lalu.Mas Lutfi bicara dengan orang itu, sedangkan aku duduk menyimak di dekatnya."Kabar baik, Yang," ujar Mas Lutfi saat sudah mengakhiri telponnya."Apaan, Mas?" tanyaku pen
"Berapa, Mas?" Aku menatap tak percaya."Dua puluh juta," jawabnya dengan mata membulat.Padahal, seingatku dahulu Mas Lutfi hanya memberikan sepuluh juta kenapa sekarang bertambah?"Emang ga jadi riba, Mas?"Setahuku, kalau meminjamkan uang sepuluh juta dan mengembalikannya sebesar dua puluh juta maka, yang bunganya itu dinamakan riba, dan riba itu haram dalam Islam "Riba apanya sih? Mas 'kan ga pernah minjamkan uang, dan ibu juga ini ngasih buat anak kita, bukan mengembalikan pinjaman," katanya seraya menatap layar ponsel.Aku lega, syukurlah kalau memang akadnya begitu, dulu kami memang memberikan modal sepuluh juta secara cuma-cuma untuk ibu dan bapak, tak niat meminjamkan sama sekali."Mas bilang juga apa, sabar." Mas Lutfi mengelus dada sambil menyeringai.Aku memalingkan wajah menyembunyikan senyum, iya dah kali ini aku yang kalah dia yang menang."Mau pakai apa duit pemberian ini?" tanyaku, ternyata punya uang banyak bingung juga, apalagi tak punya.Mas Lutfi mikir sebentar.
Mulut wanita itu memang minta dilakban, emangnya dia ngasih sepuluh juta saja pamernya minta ampun.Mas Lutfi pun menyerahkan amplop coklat besar berisi uang dua puluh lima juta itu. Kirana mematikan kameranya dan masih setia duduk di tempat."Ini, Pak, sedekah dari saya dan istri. Semoga bermanfaat untuk anak-anak yatim di sini," ujar suamiku.Mas Hanif dan Kirana menganga melihat amplop kami lebih besar dan tebal dari pemberiannya."Maa Syaa Allah. Terima kasih, Pak, banyak sekali ini. Kira-kira berapa ya nominalnya?" tanya Pak Ustaz."Dua puluh lima juta, Pak Ustaz," jawab Mas LutfiKulihat Kirana dan Mas Hanif saling lirik."Maa Syaa Allah banyak sekali. Saya terima amanah dari bapak dan ibu dan insya Allah akan saya gunakan untuk keperluan panti dan diberikan pada anak-anak." Pak Ustaz tersenyum gembira."Terima kasih ya Pak Lutfi, Pak Hanif. Semoga sedekah kalian dan istri dibalas pahala oleh Allah, dan rezekinya tambah berkah.""Aamiin." Serentak kami mengucapkan.Setelah seles
Aku memandang wajah Mas Lutfi yang berubah pucat, ia seperti kebingungan antara harus tersenyum atau apa."Ini pasti Teh Risti ya?" Wanita itu tersenyum ke arahku."Iya, siapa ya?" Aku balik bertanya.Perempuan itu mengulurkan tangan padaku."Aku Sabrina, Teh, Mamanya Rafka."Tanganku langsung dingin setelah bersalaman dengannya begitu tahu dia Sabrina, wanita yang berperawakan sedang tapi bodynya aduhai itu tersenyum menatapku.Tingginya memang tak melampauiku. Namun, body Sabrina jauh lebih mont*k dan sexy dariku, kulitnya kuning Langsat, hidungnya tegak tapi tak terlalu mancung dan mata agak sipit."Oh, iya iya." Aku pun berusaha tersenyum walau males."Ini rumah kalian?" tanyanya sambil menunjuk rumah kami."Iya.""Wah kebetulan ya kita tetanggaan berarti."Aku melirik Mas Lutfi, wajah suamiku itu semakin pucat, dia kenapa? apa jangan-jangan baper ketemu mantan?"Kok bisa kamu punya rumah di sini? sengaja mau tetanggaan sama kami?" tanyaku agak sinis.Awas saja kalau ia ternyata s
"Kami tetanggaan, sudah ya kita mau belanja. Yuk, Sayang." Aku merangkul tangan Mas Lutfi sambil tersenyum."Ayok, Sab kita duluan ya mau beli baju buat anakku." Mas Lutfi mengelus perutku."Iya iya."Ah puas sekali rasanya bisa romantisan di hadapan mantan kecentilan, kulihat wajah Sabrina berubah murung entah kenapa, apa mungkin menyimpan cemburu? wah ini bahaya.Kami masuk ke toko pakaian khusus bayi dan anak, bajunya bagus-bagus dan sangat berkualitas, aku jadi semangat memilih-milihnya.Saat sedang memilih perlengkapan bayi, aku melihat Mas Lutfi sedang memilih pakaian anak laki-laki. Dia pasti teringat Rafka, secara dari lahir dia tak pernah bertemu langsung dengannya, hanya dari Poto saja.Kasihan juga sebenarnya, aku tahu ia ingin bertemu tapi tak enak padaku yang sering cemburu."Beli aja, Mas, buat Rafka," ucapku.Ia terkejut langsung balik badan."Ah engga, Yang, takut salah ukuran," jawabannya canggung."Kira-kira aja, Mas, kita beli untuk anak ukuran lima tahun, terus kit
(POV KIRANA)"Kirana, kamu ga usah merisaukan suamiku, yang perlu dirisaukan itu suami kamu, coba sekali-kali kamu ikuti Mas Hanif saat pulang kerja, kenapa ia suka pulang malem, kamu pasti tahu jawabannya."Perkataan Mbak Risti barusan terang saja membuat mata ini membulat, kok ia bisa tahu Mas Hanif suka pulang malam? apa jangan-jangan?Selama arisan kutahan gondok di dada ini dengan diam, kalau aku bicara bisa-bisa Mbak Risti membeberkan kelakuan suamiku di depan ibu-ibu.Saat pulang nanti barulah aku bertanya apa maksud ucapannya barusan. Akan tetapi, sial sekali karena suami Mbak Risti menjemputnya memakai mobil, sepertinya mereka hendak pergi."Suami aku udah jemput, duluan ya ibu-ibu," ucap Mbak Risti."Mbak mau ke mana?" tanya Bu Sisca mewakili tanyaku dalam hati."Mau makan bakso, Bu, dari pagi aku pengen banget makan itu, makanya tadi ga makan apa-apa," jawabnya, kukira Mbak Risti tak makan karena tak suka arisan di rumahku."Udah ya, assalamualaikum." Wanita yang sedang h
Menjelang sore kami pulang kembali ke Jakarta hingga matahari tenggelam barulah kami bisa menginjakan kaki di rumah bercampur lelah."Mbak Ris, Ibu pulang ya. Itu di luar kayanya ada tamu," ucap asistenku, ia terbiasa pulang sore dan berangkat pagi."Oh suruh masuk aja.""Biar Emak yang bawain barang-barang ke dalam sekalian mau istirahat." Emak mengangkat paper bag dan beberapa kantong kresek, oleh-oleh dari Teh Naya dan sebagiannya kubeli di perjalanan tadi.Yang datang ternyata Sabrina bersama Rafka, aku menghela napas jangan sampai ia membuat tubuhku semakin lelah.Wanita itu tersenyum. "Assalamualaikum.""Wa'alaikumus'salam," jawabku dan Mas Lutfi serentak.Ia duduk di sofa bersebrangan denganku dan Mas Lutfi."Kayaknya kalian lagi pada capek ya, sebelumnya mohon maaf aku udah ganggu waktu istirahat kalian," ucap Sabrina.Wajah cantik dan segar itu menatap kami satu persatu, bodohnya aku selalu saja tersimpan cemburu ketika ia memandang suamiku."Ga apa-apa, santai aja. Rafka kan
"Oh, jadi kamu istri keduanya ya?" tanyaku sambil maju satu langkah.Kulihat Bapak tampak khawatir memandang kami bertiga."Maksudnya?" tanya wanita itu terkejut."Dia ini ibu saya, istri pertamanya lelaki ini, fix selama ini Emak dibohongi sama Bapak, ada untungnya juga ya kita kemari." Aku menyeringai sinis.Wanita yang terlihat lebih muda dari emak itu nampak terkejut, sejurus kemudian matanya mulai berkaca-kaca, lalu menatap bapak penuh kecewa"Jadi ... jadi Akang punya istri selain aku?" tanya wanita itu dengan mata berkaca-kaca.Bibir bapak bergetar, tubuhnya terlihat sangat kurus dengan wajah yang semakin menua."Halimah, Akang bisa jelaskan," ucap Bapak sambil berusaha meraih tangannya."Akang udah bohong! Selama sepuluh tahun Akang bohongi aku! Keterlaluan!" Wanita itu berteriak.Sontak saja pasien yang lain saling melirik, karena ini kamar nomor dua, jadinya satu ruangan ditempati oleh beberapa orang."Maaf, Halimah, Maaf," ucap bapak dengan suara bergetar.Aku maju lagi sat
"Mbak, sekarang aku benar-benar merasa di posisimu dulu, ditinggalkan dan dicampakkan. Hanya bedanya aku bersama anakku, ada tanggung jawab besar yang harus kupikul." Lagi-lagi Kirana terisak."Aku udah ngerasain karmanya akibat ngerebut suami orang, kamu benar, Mbak, kalau akhirnya Mas Hanif suatu saat akan direbut juga sama orang lain, sekali lagi aku minta maaf," ujar Kirana dengan suara bergetar."Kirana, aku udah maafin kamu." Tenggorokanku tercekat mendengar suara tangisannya."Terima kasih, terima kasih, Mbak. Aku berharap masa depanku nanti akan bahagia bersama anakku, aku harap karma ini hanya berlaku untukku tidak untuk keturunanku." Kirana bicara lagi."Syukurlah kalau kamu udah menyadari semuanya, aku seneng, Kirana."Hening, aku merasa terharu dengan semua yang terjadi, tak dapat dipungkiri ada rasa puas yang menjalar dalam hati, rasanya semua sakitku di masa lalu telah terbayar lunas."Tapi, kamu tinggal di mana sekarang?" tanyaku, agak khawatir juga karena setahuku oran
"Aku ga ada urusan ya, Rin, dia itu bapak kamu, ya urus lah." Aku berucap sinis.Gantian, karena biasanya dia yang akan bicara ketus seperti itu padaku."Nyebelin! Cepat bilangin ke Emak tentang keadaan bapak, suruh dia pulang urusin suaminya, aku capek tahu nyuciin baju bapak yang bau pesing." Ririn membentak.Aku menahan tawa, akhirnya kena karma juga tuh anak sombong, baru beberapa hari ngurusin bapaknya saja sudah lelah, bagaiman emak yang berpuluh-puluh tahun mengurusnya, tak pernah dihargai lagi."Gugatan ke pengadilan sebentar lagi akan diajukan, Ririn anak manja, jadi bapakmu itu bukan lagi suami emakku, tapi mantan!" tegasku dengan suara pelan."Oh ya, emangnya bapakmu sudah ga kuat jalan ke kamar mandi ya? sampai pipis aja harus di celana?" Aku menahan tawa"Kamu tuh ya bener-bener ngeselin, masa iya nyuruh Emak sendiri bercerai, anak durhaka!" Ririn murka."Bodo amat, dari pada menikah tapi dibuat susah dan ngebatin, ya mending suruh cerai, di rumahku Emak kujadikan ratu, b
Mas Lutfi mangut-mangut sambil terus menenangkan Maryam yang masih merengek."Ya sudah kalau gitu siap-siap, kita akan berangkat sekarang. Ris, motor udah dikasih?" Mas Lutfi melirikku.Aku mengangguk. "Udah Mas.""Oh ya, Mak, ga usah bawa baju banyak-banyak, bawa keperluan Emak yang penting aja, soal pakaian kita bisa beli di Jakarta."Emak mengangguk lalu memintaku untuk ditemani berkemas di kamarnya, ketakutan jelas masih tercipta di wajah tuanya."Temani Emak, Maryam biar sama aku." Kata Mas Lutfi seraya keluar bersama Teh Naya, dari kejauhan kudengar mereka mengobrol.Di dalam kamar Emak melipat baju-baju dan memasukkan beberapa buah perhiasan yang selalu ia sembunyikan dari Ririn dan bapak."Terima kasih ya, Ris, tapi beneran ga apa-apa 'kan kalau Emak tinggal sama kamu?" tanya Emak sambil menatapku.Aku mengangguk serius. "Ga apa-apa, Mak, Mas Lutfi juga menerima dengan senang hati, jangan mikir macem-macem ya." Aku tersenyum yakin."Oh, jadi kamu beneran mau pergi, Heti? mau t
"Nih, Pak, mereka berdua yang udah hasut Emak buat minta cerai sama Bapak, anak macam apa kalian nyuruh orang tua cerai." Ririn si anak songong itu menunjuk wajah kami.Seketika suasana jadi tegang, Mas Lutfi dan Kang Ruswan berhamburan datang mengerumuni kami di dapur."Ada apa ini, Ris?" tanya Mas Lutfi."Heti! Apa bener anak-anak kamu mau kita pisah?" tanya bapak sambil melotot.Heti adalah nama emakku sedangkan nama bapak tiriku yang nyebelin itu Rusdi.Tangan emak dingin dan bergetar, wajahnya menunduk dalam. Lalu kugenggam erat tangan keriput itu dan kuelus punggungnya untuk menenangkan."Jawab, Heti!" tegas bapak dengan mimik wajah menyeramkan.Lelaki tua itu membanting kopiah yang ada di kepalanya ke lantai hingga tubuh emak terguncang ketakutan."Iya," jawabku dengan wajah menantang."Saya ga nanya kamu!" Bapak menunjuk wajahku."Cukup ya selama ini Emakku disiksa batinnya sama kamu! Sekarang tolong ceraikan dia dan tinggalkan rumah ini," cetus kakakku memasang tampang bengi
"Setiap orang punya takdir, Ris, dan mungkin ini udah takdir Emak. Dengan melihat kalian sama suami kalian hidup bahagia aja Emak udah bahagia," jawab Emak sambil menyeka air mata."Kata siapa aku bahagia?!" Kupandangi wajah Emak dengan kubangan air mata."Aku ga bahagia kalau lihat ibu sendiri disakiti setiap harinya, harus kerja keras kerja di sawah milik orang, sementara aku setiap hari hidup enak dan nyaman, Emak pikir aku bahagia?!" Kupukul dada dengan linangan air mata.Akhirnya tangis kami bertiga pecah kami sama-sama menangis di ruangan sempit dan banyak perabotan lusuh ini.Kami saling merangkul dan menguatkan satu sama lain, dari sini aku menilai jika emakku ini memang sudah rapuh, hati dan dan juga jiwanya."Emak harus kaya gimana, Risti? Emak juga udah ga tahan, tapi kalau minta cerai Emak takut disantet." Emak sesenggukan hingga tubuh kurusnya tergoncang.Aku menyentuh pundak Emak yang hanya tinggal tulang, menatap yakin kalau semua akan baik-baik saja."Ga usah takut kit
"Alaah, si Ririn sama bapaknya sebelas dua belas, bisanya bikin Emak repot, kamu harus tahu ya penghasil warung itu semua dimakan oleh bapak dan si Ririn, sedangkan emak, buat beli kebutuhannya tetap harus kerja di kebun dan di sawah."Tanganku mengepal erat mendengar hal itu, dasar tua Bangka licik, kukira warung itu akan membuat emakku sejahtera, nyatanya ia tetap saja kesusahan."Teteh ga bohong 'kan?" ucapku dengan nada jengkel."Engga, Risti, ngapain bohong. Rumahku ini berdekatan, pastinya aku tahu apapun yang terjadi sama Emak," jawab Teh Risti masih berbisik pula."Kita harus buat emak sama lelaki tua itu pisah, Teh, aku ga rela Emak disakiti." Aku emosi bukan main."Sudah sering Teteh bilang gitu tapi Emaknya aja yang belum siap, katanya takut nyusahin anak kalau jadi janda, lah punya suami aja susah." Teh Naya geleng-geleng kepala."Modal warung itu 'kan dapet pinjem dari suami kamu, coba sekarang tagih, aku yakin lelaki tua itu ga bakal mau balikin, pasti ada aja alasannya
bab 40.B hd"Enak aja dipikir aku ini bangke tikus." Aku mendelik kesal lalu meninggalkannya.Malam hari aku dan Mas Lutfi diskusi, rencananya motor yang selalu aku gunakan ingin disedekahkan, tapi pada siapa? aku ingin orang itu orang yang tepat."Gimana kalau dari keluarga kamu aja, misal Teh Naya, motornya itu udah sering mogok 'kan?" ujar Mas Lutfi.Betul juga, kalau di keluarganya semua pada mapan, punya usaha dan ada pula yang bekerja di sebuah perusahaan besar seperti Laila."Betul juga ide kamu, Mas, kira-kira kapan kita ke kampung ya, kamu atur jadwal deh.""Emm, sekarang-sekarang juga ga masalah sih kalau aku, tapi fisik kamu kuat ga? ke kampung itu perjalanan lama dan jalannya jelek, emang kuat? 'kan abis lahiran," ujar Mas Lutfi lagi."Kuat lah, 'kan naik mobil bagus." Aku menarik turunkan sebelah alis."Masa? berarti itu juga bakal kuat dong ga takut lagi." Mas Lutfi menggodaku.Pasti ujung-ujungnya ke sana."Itu apaan?!" Aku melotot."Itu ntar malem," jawabnya sambil mes