Jalan Anugerah Raya, Sewarang. Javva Tengah
07:00 AM
Beberapa buah menggelinding ke tepi jalan, sebagian hancur di tempat, dan sayuran berserakan tercecer di jalan. Roda bagian depan sepeda masih berputar sementara bagian belakang yang dikendarai Grace rusak parah.
Grace yang mendarat sempurna di bahu jalan mengalami cedera ringan di bagian lengan kanan, menahan bobot tubuhnya yang terlebih dahulu menyentuh aspal karena terpelanting beberapa meter dari kap mobil—yang syukurnya sempat ia rem mendadak—saat John membuka matanya di detik terakhir sebelum menabrak Grace.
Apabila dalam kecepatan penuh, mungkin nyawa Grace sudah terancam.
Grace terduduk, ia memeriksa lengannya yang berdarah. Gesekan aspal bercampur sedikit tanah telah membuat lengan putih Grace nampak memprihatikan. Kakinya juga mengalami cedera namun hanya lecet yang mungkin akan meninggalkan luka setelah se
Masih terngiang di benak Grace, sosok horor yang merendahkan dirinya: John. Ia duduk di bangku panjang setelah luka di lengannya diobati, dibalut perban yang diisi pengobatan tradisional di klinik kecil dekat kantor kecamatan. Sewaktu ditanya apa yang menyebabkan ia terluka seperti itu oleh perawat klinik, Grace hanya menjawab terjerembap jatuh akibat krikil. Namun pandangan tidak percaya dilayangkan padanya ketika sang perawat melihat sepeda Grace luluh lantak. "Masa iya karena kerikil?" Tanya Minah, perawat yang bekerja di sana. "Mungkin di dorong jin kali. Sampai hancur begitu sepedanya." "Ah Kak Minah," Grace tersenyum menahan perih. "Pagi-pagi sudah cerita horor aja." "Ye, bukan gitu." Minah menimpali. "Kamu badannya tidak berat sama sekali, masa kalau sekedar jatuh, sampai rusak parah sepedanya? Gak masuk akal." "Orang itu yang jauh tidak masuk akal, Kak," Grace tanpa sadar bergumam demikian. Membuat Minah mempertanyakan perkata
"Lima ribu semangkok, bos." Kata mamang jualan bakso di tepi jalan, berada tidak jauh dari kompleks vila pada John yang menanyakan harga dagangannya."Dua ya," John mengambil lembar ratusan ribu. Menyerahkan pada mamang penjual sambil melihat ponselnya. "Ambil aja kembaliannya.""Hah? Yang bener, bos?" Mamang terkaget sambil mengambil lembaran tersebut dan terbelalak. Walau kompleks vila tersebut tergolong elit, namun yang biasa makan hanya penduduk sekitar. Tamu sesekali pernah tapi mereka selalu bayar pas, bahkan minta kembalian terus. "Waduh, terima kasih banyak ya bos! Terima kasih bos, waduhhh mantap ini!!"John hanya mengangguk tidak peduli, masih sambil berdiri dan mengamati layar ponselnya. Ia memutar ulang video rekamannya. Memperhatikan secara seksama kemudian berhenti untuk berpikir sejenak, mungkin memang dirinya tidak populer di kalangan orang kampung.Setelah bakso-nya siap, mamang tukang bakso dengan begitu hormat meletakkan dua mangkok bak
Bukit Anugerah — Pondok Kasih Karunia 07:30 PM Setelah Sheila menurunkan Grace, meletakkan helm yang dipinjam Grace di gantungan dekat kakinya lalu ia segera menginjak gas sembari meledek Grace dengan panggilan 'selamat malam, Maria sayang' sebelum sempat Grace mengucapkan terima kasih. Keusilan Sheila memang sudah dari dulu Grace alami, namun kata-kata yang sempat dilontarkannya membuat Grace merasa tidak nyaman. "Aku sih mau jadi pacar orang itu." Grace masih bergidik membayangkan wajah John serta tindakannya yang semena-mena atas dirinya. Luka di lengan atau kaki tidaklah terlalu ia persoalkan, toh ia juga salah; dengan ceroboh mengendarai sepedanya di tengah jalan. Namun video akan dirinya merupakan 'kerusakan yang lain', yang mungkin tidak menyakiti fisiknya—akan tetapi menimbulkan sensasi mual sehingga ingin rasanya Grace menampar pria t
"Oh kamu tinggal di gubuk ini ternyata." Terdengar suara pria yang terasa begitu dekat dengannya, Grace yang terlelap di tempat tidur dengan posisi meringkuk membuka matanya perlahan. Masih dalam keadaan setengah sadar dan matanya berusaha fokus, namun Grace berkata dalam hatinya; sepertinya suara itu tidak asing. "J—JOHN?!" Mata Grace terbelalak, jantungnya terasa mau copot. Sosok pria di hadapannya itu ternyata John dan pagi itu matahari belum sepenuhnya terbit karena tertutup awan tebal, sehingga suasana cukup gelap dan dingin menyelimuti kamar Grace. Grace tidak dapat berkata apa-apa saat sosok John berdiri dengan ponsel di tangannya dan mengarah padanya seperti yang terjadi sebelumnya. Mungkinkah ia sedang merekam dirinya kembali? Tapi sejak kapan? Bagaimana bisa ia masuk? Kenapa dia bisa tahu alamat rumahnya? Tunggu, ini seperti pembobolan rumah! "Gue dengar dari teman-teman lu, lu tinggal sendiri?" Tata
"Be—berita darimana, Bapa?" Grace terbata-bata. "Ba ... Bapa lihat di sosial media ya?" Terdengar tawa kecil Bapa Chris. "Bukan saya, tapi teman Bapa yang sangat aktif di sosial media. Dia bilang kamu muncul di halaman utamanya, dari sosmed cowok terkenal itu." Terdiam, dengan perasaan berkecamuk, Grace merasa ini semua tidak adil. Kemalangan datang bertubi-tubi dikarenakan seseorang tidak bermoral itu merekam video akan dirinya. Bahkan Bapa Chris mungkin telah mengetahui bahwa dirinya mengumpat karena tersebar luas di berbagai kalangan. "Maaf, Bapa—" Grace duduk di bangku panjang, angin semilir meniup rambutnya. "Aku sudah berkata kasar karena kesal." "Grace sayang," Bapa Chris menimpali. "Tidak perlu minder kalau kamu sudah cukup umur untuk mulai menyukai seseorang...." "Eh? Bukan itu poinnya, Bapa. Aku sama sekali—" Grace berusaha menyanggah, tapi nampaknya Bapa Chris terlalu senang sehingga tidak mendengarkan. "Bapa dukung
Grace wajib memasang senyuman terindah ketika anak-anak yang akan diajarnya mulai berdatangan kurang lebih lima menit sebelum kelas pelayanan-nya dimulai. Ia mengenakan tangan panjang putih dan celana bahan untuk menutupi luka pada lengannya yang masih dibalut dan juga cedera ringan pada kakinya. Dari kejauhan, anak-anak tersebut ada yang datang dengan bersepeda, jalan kaki, ada juga yang diantar oleh kakaknya. Usianya bervariasi dari yang paling kecil delapan tahun dan ada yang dua belas tahun. Salah satu dari anak-anak tersebut segera berlari menghampiri Grace untuk dibelai rambutnya, namanya Kiara. Gadis kecil berusia kira-kira delapan tahun itu memang masih manja dengan rambutnya yang kecokelatan sepanjang bahu, keriting gantung, dan memiliki mata yang besar. Pipi Kiara yang tembem kemerahan sering dicubit lembut Grace karena terlalu menggemaskan. Namun pagi itu Grace nampak kurang semangat, Kiara yang selalu berhasil menceriakan Grace tertergun
"Babi ya," gumam Grace ketika ia memberikan pakan ternak pada beberapa ekor babi yang sedang mendengus di area kandang babi miliknya. "Tapi babi-babi ini masih ada gunanya." Terdapat lima ekor babi dewasa yang cukup besar dan gemuk, juga delapan ekor anak babi yang lari kesana-kemari, terguling karena licinnya lumpur. Grace dan Bapa John mendirikan kandang babi tersebut karena titipan seorang saudara. Saudara di sini merujuk pada panggilan Bapa kepada teman pelayanannya, seorang pria paruh baya yang tinggal di kota kecil Indrimayu, beberapa kilo meter jaraknya dari desa Bukit Anugerah. Namanya saudara Markus Ferdinand, seringkali dipanggil dengan sebutan Marko. Awalnya. peternakan milik Bapa Chris dan Grace hanyalah diperuntukkan hewan ternak berukuran kecil. Namun karena dukungan koneksi dari saudara Marko, sehingga satu per satu hewan ternak seperti babi, sapi, juga kambing dapat diperoleh dengan harga miring namun kualitas yang cukup baik. Kelinci,
"J—John?!" Grace syok bukan main, ia tidak menyangka doanya tidak dikabulkan. Sementara John sendiri tidak tahu harus berterima kasih kepada siapa—Tuhan yang mana—untuk pertemuan kali keduanya dengan Maria seperti apa yang diingininya. "Yep, kita ketemu lagi," dengan penuh semangat, John melayangkan pandangan di balik kacamata hitam miliknya ke kiri dan kanan dan bertanya, "Maria, kata anak-anak yang barusan gue tanya ... di sini ada yang namanya Grace?" Grace masih terdiam mematung, berusaha mengatur pernafasan karena dadanya tiba-tiba berdegup kencang. Perasaan seolah ingin meninju dan berkata kasar, akan tetapi ia menahan diri karena itu perilaku yang tidak baik dan kemungkinan akan direkam lagi oleh John. Alih-alih menjawab pertanyaan John, Grace masih berusaha menyembunyikan identitasnya, nama aslinya sendiri. "Tolong," Grace membuka mulutnya setelah ia berhasil mengerahkan pikirannya untuk berpikir jernih. "Tolong hapus
Setelah memberikan jam tangan emas miliknya, John kecil melihat gadis tersebut seakan menerima sesuatu yang sama sekali baru kali pertama dilihatnya. Dengan penuh antusias Lisa memeriksa setiap detail dari jam tangan kecil tersebut."Namamu siapa?" Lisa bertanya sambil tetap terfokus memperhatikan detik jam yang berjalan tanpa terhenti, tidak seperti detik pada jam tangan biasa. "Kamu orang kaya ya?""Aku John," dengan nada datar, John menjawabnya. "Aku bukan orang kaya, kenapa kamu bertanya begitu? Karena jam tangan emas itu?""Bukan," Lisa menatapnya. "Kamu sekolah di sana."Lisa menunjuk ke arah gedung berwarna sedikit kemerahan karena pantulan cahaya matahari siang. Udara saat itu lumayan sejuk, langit berawan, namun kedua anak kecil tersebut masih berada di balik semak rimbun dan pohon besar yang meneduhi mereka."Oh, tapi siapa pun juga bisa sekolah di sana, tidak harus orang kaya," John tersenyum, akan tetapi ia lupa sejenak dengan siapa ia
"Kehidupan ini bagai papan catur, jika tidak memiliki strategi tentu akan kalah. Siapa tidak berkawan tentu takkan pernah menemukan jalan keluar."Kalimat bijak di atas tertulis pada buku yang pernah dibaca oleh John ketika ia duduk di bangku sekolah dasar, namun ia tidak merasakan memiliki seorang pun teman karena ia sangat dijaga ketat oleh bodyguard ketika berada di sekolah.Teman-teman seusianya tidak ada yang berani mendekati karena melihat beberapa pria berjas hitam, berbadan besar, dengan tatapan mata tajam selalu mengawasi dan mengikuti kemana pun John pergi.Bel berdering, menandakan sudah waktunya untuk masuk kembali ke kelas. Saat itu John dan ketiga pengawalnya sedang berada di taman, John duduk di ukiran batu yang menjadi tempat duduknya dan kotak makanan berada di meja batu berbentuk bundar."Tuan Muda," salah satu pengawal berkata pada John kecil yang sedang memandangi buku tebal yang berada di tangannya. "Apakah Tuan tida
Grace merasa tertekan dengan kondisinya, baik fisik maupun mental. Terlebih setelah mengetahui bahwa dirinya berada di rumah sakit yang didirikan keluarga John, ia makin merasa berhutang. "GRACE!!!" Dari arah pintu, suara teriakan yang tidak asing bagi Grace bergema. Sheila, teman kuliahnya segera berlari menuju samping ranjang Grace, ia sempat meletakkan keranjang kecil buah di meja samping Grace dan menatapnya dengan penuh rasa iba. "Ya ampun, kamu kenapa bisa sampai begini, Grace?" Sheila, dengan rambut digerai dan dandanan yang nampak sedikit menonjol, menunjukkan wajah khawatir melihat keadaan Grace yang dibungkus rapi bagaikan mumi. "Yah, kecelakaan yang bodoh, Sheila," Grace menjawab sambil berusaha tetap tersenyum. "Aku lewat jalan pintas di bukit, eh malah jatuh ke jurang. Untungnya hanya beberapa meter." Sheila mengangguk dengan penuh antusias sementara Grace melirik ke arah buah-buahan yang masih rapi dibungkus plastik. "Ga
"Oke, ga ada masalah," John memberitahukan bahwa status Grace di kampus baik-baik saja karena mengalami kecelakaan. Ujian dapat ditunda dan akan dilaksanakan ujian ulang khusus dirinya di lain waktu setelah Grace pulih. "Kamu, bagaimana sih kamu bisa buat kampus itu 'ok' kalau aku kena musibah?" Grace bingung. "Karena biasanya mereka tidak mau dengar alasan apa pun." "Ga usah dipikirin," John menjawab dengan singkat. Kemudian ia keluar dari kamar tersebut, ingin mencari udara segar sembari melangkah pergi dan melihat ponselnya. "Gimana ga mikirin, biaya di sini mahal pastinya," Grace berbicara dalam hati, merenung, dan berpikir bahwa tabungannya akan habis mengganti semua biaya yang dibutuhkan. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa semua biaya telah ditanggung John untuk perawatan medis, terapi, bahkan segala operasi yang dibutuhkan Grace. Universitas tempat Grace mengambil mata kuliah farmasi tersebut bahkan dibeli oleh John sebab ia i
Tirai jendela kamar ditarik, sinar matahari memukul wajah Grace dengan kehangatannya. Pagi itu ia merasakan beberapa hal yang cukup mengganjal. Pertama, siapa gerangan sosok wanita berpakaian putih yang membuka jendela tersebut?Lalu, dimana dirinya sekarang? Sesaat setelah membuka mata, ia bahkan tidak dapat merasakan kakinya. Tangan kirinya diangkat dan ia samar-samar melihat semacam selang yang menempel di punggung tangannya.Grace mengalami rasa perih di bagian tangan, kaki, dan tiba-tiba menjalar ke sekujur tubuhnya. Hal terakhir yang ia ingat ialah dirinya terjatuh ke jurang akibat mobil berwarna hijau yang menabrak bagian depan sepedanya di tikungan.Selain kehilangan kesempatan untuk ujian, Grace juga kehilangan kesadarannya hingga beberapa hari. Kenyataan tersebut membuat dirinya ingin menangis, marah, dan menyalahkan dirinya. Ia tidak terima dengan kondisinya sekarang yang terbaring tak berdaya."Wah, akhirnya Nona sadarkan diri juga!" Wanita be
Seluk-beluk pegunungan, perbukitan, dan juga aneka jalan kecil telah diketahui Grace sejak ia kecil. Bahkan semuanya itu sudah ia hafal di luar kepala, sehingga tidak diragukan lagi walau dalam keadaan gelapnya malam sekalipun, ia yakin dirinya tidak akan tersesat. Jika ia melakukan perjalanan mendaki dengan sepedanya dan melintasi beberapa area perbukitan dan pepohonan, maka Grace akan tiba sepuluh menit lebih cepat dari jalan raya dengan jalan pintas yang ia lalui selama beberapa waktu. Grace bersenandung, ia merasakan kedamaian semenjak dirinya tidak terlibat dengan John, ia juga merasa lega bahwa videonya tidak lagi menjadi bahan perbincangan teman-teman kampusnya karena sudah di hapus oleh John atas permohonannya. Matahari belum sepenuhnya tenggelam, maka Grace berusaha mengayuh sepedanya dengan penuh antusias agar dapat menempuh setidaknya separuh perjalanan. Ia sempat melihat adanya bulan yang masih samar-samar terlihat menggantung di langit karena cua
Desa Grace Hill memang terkenal oleh suasananya yang sejuk dan damai, namun semenjak proyek konstruksi JJWORLD dilaksanakan, banyak mobil angkutan besar yang hilir-mudik dari kota dan memadati jalan raya menuju lokasi vila yang berada di puncak gunung. Selain mengganggu suasana sekitar dengan asap kendaraannya, iring-iringan mobil konstruksi tersebut cukup meresahkan warga yang terbiasa dengan suasana jalanan yang terbilang sepi, bebas plusi, serta banyak anak-anak yang berjalan kaki. Itulah salah satu faktor yang tidak dipikirkan oleh John sebelumnya, ia hanya memusatkan perhatiannya pada aspek pembangunan, jika berurusan dengan surat izin, John dengan mudahnya mengatasi hal tersebut melalui sumber keuangan miliknya. Seluruh proses dapat berjalan dengan lancar, tanpa masalah birokrasi oleh pemerintah setempat karena adanya kucuran dana 'tambahan' yang dikeluarkan oleh John dan harganya tidaklah main-main. Dengan kata lain, John seolah 'membeli' wilayah dan o
Beberapa hari setelah 'perpisahan singkat' dirinya dengan Grace, John kembali melanjutkan misi serta goal yang ia telah simpan dalam ponselnya.John telah mengambil langkah awal bekerja sama dengan Kim, walau pada dasarnya ia terganggu dengan cara Kim beserta timnya memanfaatkan fasilitas penginapan yang John berikan gratis pada mereka untuk kepentingan pribadi.Langkah selanjutnya ia memberitahukan setiap anggota tim permainan daring JJGAMING untuk datang dan melakukan vlog bersamanya, kali ini John yang memanfaatkan peluang. Ia mengetahui kapasitas Kim beserta tim sinematografi untuk memberikan arahan secara cuma-cuma ketika mereka melakukan syuting.John memang tidak bodoh hanya saja ia perlu melihat situasi dan kondisi hati Kim yang terkenal cukuppicky dalam memilih mitra bisnis, bisa saja ia membatalkan secara sepihak apabila kondisi hatinya terganggu.Di lain waktu, John telah menghubungi kontraktor, beserta arsitek dan interior desai
Setelah menyelesaikan semangkuk bakso hangat, Grace merasa cukup kuat untuk berjalan. Segera setelah itu ia bangkit berdiri dan berpamitan dengan sopan pada John. Sebelum melangkahkan kakinya keluar dari bangku, John menangkap lengan Grace."Gue anter," John menahan Grace."Ga usah, aku bisa jalan sendiri pulang, sekalian olahraga," Grace segera menampik permintaan John untuk mengantarnya ke rumah. "Terima kasih."John masih tidak melepaskan genggamannya, ia menatap Grace tanpa berkedip. "Lu buang sepeda itu, I'm okay. It's your choice anyway. Tapi gue ga nyaman kalau liat lu harus ngorbanin diri gitu.""Ngorbanin diri? Maksudnya?""Lu pikir jarak dari sini ke gereja itu berapa meter?""Ya ga tau lah, ga pernah ngitungin.""That's why, think." John melepaskan genggamannya dan menunjuk ke arah pelipisnya."Sok banget sih," Grace mulai merasa sebal dan merasa direndahkan. "Kalau mau debat, aku ga ada waktu layan