Akarta Selatan
03:21 AM
Deruan Lamborgeenie Veneyes Roadster berwarna hitam yang dikendarai JJ melintasi jembatan layang Semanggis malam itu ditemani cahaya bulan yang telah meredup karena posisinya sudah hampir tergantikan matahari terbit.
Berpacu dengan kecepatan tinggi sambil menyetel musik berjudul 'somewhere I belong' dengan volume yang begitu keras—memicu adrenalin serta menenangkan jiwa dan pikiran John.
Itulah yang sering dilakukan John, terkadang dikendarainya sendiri tanpa arah. Di lain waktu berpacu dengan beberapa temannya dalam jarak tertentu dengan atau tanpa taruhan.
Lambo miliknya ini tidak pernah ia pertaruhkan karena mesin di dalamnya terhitung jauh lebih mahal berkali lipat dibanding harga Lambo itu sendiri. Teknisi yang menangani mobil tersebut didatangkan langsung dari negara dimana Lambo itu kali pertama diresmikan.
Alasan sebenarnya John tidak pernah mempertaruhkan mobil sport tersebut merupakan pemberian papanya kali pertama dalam hidupnya setelah berhasil memenangkan medali emas untuk kejuaraan olimpiade science semasa ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas.
Medali tersebut masih menggantung di bagian kaca spion dalam. Ia sempat merenung sejenak mengapa dulu ia begitu rajin sekolah dan memiliki cita-cita ingin menjadi dokter.
John pada waktu kecil ingin membantu anak lainnya agar tidak kehilangan ibu mereka apabila sakit. Ia tidak ingin apa yang dirasakannya, dirasakan orang lain.
Lamunan John terhenti ketika ponsel miliknya bergetar.
"Kau dimana? Keadaan papa semakin parah."
Pesan kakaknya tersebut muncul di layar LCD 10 inci yang terhubung dengan ponsel John dan terletak di bagian tengah dasbor.
John menghela nafas, tiba-tiba terbersit dalam pikirannya untuk segera meminta harta warisan yang merupakan hak miliknya sebelum semuanya direngut oleh kakaknya. Papanya dalam keadaan sekarat, toh tidak ada lagi yang dapat dilakukan oleh siapa pun juga.
John lebih takut jika ayahnya memutuskan untuk mempercayakan seluruh hartanya kepada Matthias daripada ia kehilangan sosok sang ayah.
***
45 menit kemudian.
John tiba di depan pintu gerbang rumahnya. Deruan suara Lambo miliknya senyap saat ia turun dari mobilnya dengan pintu mobil yang terbuka ke atas bagaikan sayap elang diikuti desisan pegas.
Salah satu asisten rumah tangga menghampirinya sambil tertunduk.
"Rupanya papa masih hidup." Tanya John sembari berjalan masuk tanpa menoleh sedikit pun karena fokusnya mengarah pada lampu kamar di lantai tiga yang masih menyala, "gue mau nemuin dia. Sekarang."
Asisten tersebut mencoba untuk berbicara secara sangat sopan namun sungkan sambil berjalan mengikuti John. "Tuan Muda, maaf. Bukankah ada baiknya jika Tuan menjenguknya siang nanti?"
John berhenti. Berbalik. "Lu masih mau kerja di sini?"
Asisten itu pun bergidik. "Ma, maaf Tuan Muda."
John melanjutkan perjalanannya, membuka pintu kembar rumahnya. Suara deritan halus terdengar cukup jelas. Ia disambut dengan lampu ruangan yang hanya sebagian menyala. Dapat kita dibayangkan betapa dinginnya rumah yang begitu besar tersebut.
Menaiki anak tangga kembar satu per satu, John masih sempat mengecek ponsel miliknya.
2 missed calls dari Matthias.
Dilanjutkan oleh lorong dan anak tangga lain, akhirnya John tiba di depan pintu kamar pak Jos yang dijaga oleh beberapa bodyguard lengkap dengan jas, namun tidak mengenakan kacamata hitam seperti stereotip pada umumnya di film.
Sempat tersirat dalam benak John kalau ayahnya tidak lain seorang mafia atau sejenisnya. Pintu dibukakan dan John melihat Matthias tengah duduk di samping ayah mereka, memegang sebuah berkas dengan pakaian masih tetap rapih dan formal layaknya ia berada di kantor.
Alat penyambung hidup pak Jos masih terinstalasi dengan baik, monitor kerap mengontrol tiap detak jantungnya; tanda bahwa beliau masih hidup—hanya saja tidak sadarkan diri.
"You gotta be kidding me," John memulai, "jam segini, udah mau ngantor?"
"Sedikit pun, J..." Matthias membalas tanpa menoleh pada adiknya, "sedikit saja, kau tidak bisa lihat situasi?"
"Situasi apaan? Papa sekarat dan—" kata-kata John terpotong oleh Matthias.
"Diam, berengsek!!" Bentak Matthias.
John terhenyak, tidak biasanya Matthias lepas kendali dan berkata kasar seperti itu. Sosok kakak yang selalu tampil dengan karisma luar biasa, tutur kata yang terjaga dengan baik dan sopan, nampak 180° berbeda. Seperti orang lain.
"Kau tidak tahu? Sebelum papa koma sore tadi, beliau sudah menandatangani harta warisan yang selalu kau minta itu!" Matthias melanjutkan dan melempar berkas yang ia pegang ke arah John, "dan kau—bajing*n, kau pasti saat itu sedang main, kan?!"
John melihat berkas atau dokumen tersebut yang telah dipungutnya, belum beranjak untuk berdiri dan menjawab pertanyaan Matthias, wajah John nampak berubah. Ya, sama sekali tidak ada kesan sedih, melainkan seperti memenangkan lotre.
"Puas, Jo?! PUAS?!" Matthias semakin geram melihat John yang tidak merespon apapun. Kecuali gestur yang menunjukkan bahwa ia nampak senang mengamati angka-angka serta tulisan yang tertera pada dokumen tersebut semua atas namanya.
"Matt," John memulai, melipat dokumen tersebut sambil melirik kakaknya yang sedang terbakar emosi. "Kenapa sewot banget sih? Toh lu juga dapet kan. Get over it, bro."
Matt yang sudah sangat emosi, mendekati John, menarik kerah baju adiknya dengan tangan kanannya dan tangan kiri yang hendak melayangkan tinjunya yang tertahan.
"Apa?" John menantang dengan tatapan sinis, "jangan pura-pura baik lah. Dari dulu gue muak liat gaya lu yang selalu sok baik di hadapan semua orang, bro."
Matthias melepaskan cengkeramannya. John membetulkan posisi pakaiannya sementara melanjutkan, "sebagian besar harta papa, gimana juga lu yang akan dapat, ya kan? Lu anak pertama, gue cuma si bungsu yang durhaka."
"Yeah, adik yang sama sekali ga ada gunanya," Matthias membelakanginya, menatap ayah mereka yang terbaring. "Semua tanggung jawab perusahaan, membersihkan nama baik yang sempat tercoreng, tampil di hadapan publik mewakili papa: bukankah itu semua yang kulakukan?"
"Yap! You are the fuc*ing HERO, Matt," sindir John. "I am not belong here anymore, am I?"
"Terserah, Jo. Kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan, bukan?" Jawab Matthias atas pertanyaan John mengenai dirinya yang sudah tidak perlu berada disana.
Lebih tepatnya, John hendak undur diri dan meninggalkan rumahnya, meninggalkan Matthias, meninggalkan ayahnya, segala kenangan dan hal yang telah membuatnya bosan di Akarta, kota tempat ia dilahirkan, dibesarkan dan diabaikan.
"Ok kalau begitu—" John menyeringai, memperhatikan kembali lembaran dokumen yang ia pegang. "So long, suckers!"
Membuka pintu kamar ayahnya, tanpa ragu John melangkah keluar dan membulatkan tekad untuk pergi. Gone for good, pikirnya.
JJ telah menerima warisan berupa dana di kartu VVIP miliknya yang hanya bisa dimiliki seseorang dengan kekayaan minimal 10 juta USD. Beberapa aset, properti atas namanya, surat berharga, tanah dan kekayaan lainnya.
Akarta Selatan - Kediaman Kohlberg 05:10 AM Pagi yang begitu menyenangkan bagi John. Akhirnya ia dapat memulai hidup baru dan mandiri, lepas dari ocehan Matthias. Terbebas dari jeratan rutinitas di kota metropolitan dengan segala kebisingan seperti pembangunan flyover, apartemen, dan segala yang ia lintasi dengan Lambo hitam miliknya. Bermodalkan laptop, ponsel, kamera, earphone bluetooth, serta berbagai gawai pendukung v-log maupun aksesoris lainnya, John berencana untuk meninggalkan rumah dan kehidupan mewah yang ia miliki dalam keluarga Kohlberg. Hal pertama yang JJ lakukan ialah merekam video yang akan ia jadikan konten untuk pemirsa setia kanal YouToo miliknya yang sudah beberapa hari ia anggurkan tanpa mengunggah apapun. VLOG CABUT SELAMANYA DARI KOHL RESIDENCE Itulah judul yang JJ ketik dalam aplikasi catatan pada ponse
Jalan Anugerah Raya, Sewarang. Javva Tengah 07:00 AM Beberapa buah menggelinding ke tepi jalan, sebagian hancur di tempat, dan sayuran berserakan tercecer di jalan. Roda bagian depan sepeda masih berputar sementara bagian belakang yang dikendarai Grace rusak parah. Grace yang mendarat sempurna di bahu jalan mengalami cedera ringan di bagian lengan kanan, menahan bobot tubuhnya yang terlebih dahulu menyentuh aspal karena terpelanting beberapa meter dari kap mobil—yang syukurnya sempat ia rem mendadak—saat John membuka matanya di detik terakhir sebelum menabrak Grace. Apabila dalam kecepatan penuh, mungkin nyawa Grace sudah terancam. Grace terduduk, ia memeriksa lengannya yang berdarah. Gesekan aspal bercampur sedikit tanah telah membuat lengan putih Grace nampak memprihatikan. Kakinya juga mengalami cedera namun hanya lecet yang mungkin akan meninggalkan luka setelah se
Masih terngiang di benak Grace, sosok horor yang merendahkan dirinya: John. Ia duduk di bangku panjang setelah luka di lengannya diobati, dibalut perban yang diisi pengobatan tradisional di klinik kecil dekat kantor kecamatan. Sewaktu ditanya apa yang menyebabkan ia terluka seperti itu oleh perawat klinik, Grace hanya menjawab terjerembap jatuh akibat krikil. Namun pandangan tidak percaya dilayangkan padanya ketika sang perawat melihat sepeda Grace luluh lantak. "Masa iya karena kerikil?" Tanya Minah, perawat yang bekerja di sana. "Mungkin di dorong jin kali. Sampai hancur begitu sepedanya." "Ah Kak Minah," Grace tersenyum menahan perih. "Pagi-pagi sudah cerita horor aja." "Ye, bukan gitu." Minah menimpali. "Kamu badannya tidak berat sama sekali, masa kalau sekedar jatuh, sampai rusak parah sepedanya? Gak masuk akal." "Orang itu yang jauh tidak masuk akal, Kak," Grace tanpa sadar bergumam demikian. Membuat Minah mempertanyakan perkata
"Lima ribu semangkok, bos." Kata mamang jualan bakso di tepi jalan, berada tidak jauh dari kompleks vila pada John yang menanyakan harga dagangannya."Dua ya," John mengambil lembar ratusan ribu. Menyerahkan pada mamang penjual sambil melihat ponselnya. "Ambil aja kembaliannya.""Hah? Yang bener, bos?" Mamang terkaget sambil mengambil lembaran tersebut dan terbelalak. Walau kompleks vila tersebut tergolong elit, namun yang biasa makan hanya penduduk sekitar. Tamu sesekali pernah tapi mereka selalu bayar pas, bahkan minta kembalian terus. "Waduh, terima kasih banyak ya bos! Terima kasih bos, waduhhh mantap ini!!"John hanya mengangguk tidak peduli, masih sambil berdiri dan mengamati layar ponselnya. Ia memutar ulang video rekamannya. Memperhatikan secara seksama kemudian berhenti untuk berpikir sejenak, mungkin memang dirinya tidak populer di kalangan orang kampung.Setelah bakso-nya siap, mamang tukang bakso dengan begitu hormat meletakkan dua mangkok bak
Bukit Anugerah — Pondok Kasih Karunia 07:30 PM Setelah Sheila menurunkan Grace, meletakkan helm yang dipinjam Grace di gantungan dekat kakinya lalu ia segera menginjak gas sembari meledek Grace dengan panggilan 'selamat malam, Maria sayang' sebelum sempat Grace mengucapkan terima kasih. Keusilan Sheila memang sudah dari dulu Grace alami, namun kata-kata yang sempat dilontarkannya membuat Grace merasa tidak nyaman. "Aku sih mau jadi pacar orang itu." Grace masih bergidik membayangkan wajah John serta tindakannya yang semena-mena atas dirinya. Luka di lengan atau kaki tidaklah terlalu ia persoalkan, toh ia juga salah; dengan ceroboh mengendarai sepedanya di tengah jalan. Namun video akan dirinya merupakan 'kerusakan yang lain', yang mungkin tidak menyakiti fisiknya—akan tetapi menimbulkan sensasi mual sehingga ingin rasanya Grace menampar pria t
"Oh kamu tinggal di gubuk ini ternyata." Terdengar suara pria yang terasa begitu dekat dengannya, Grace yang terlelap di tempat tidur dengan posisi meringkuk membuka matanya perlahan. Masih dalam keadaan setengah sadar dan matanya berusaha fokus, namun Grace berkata dalam hatinya; sepertinya suara itu tidak asing. "J—JOHN?!" Mata Grace terbelalak, jantungnya terasa mau copot. Sosok pria di hadapannya itu ternyata John dan pagi itu matahari belum sepenuhnya terbit karena tertutup awan tebal, sehingga suasana cukup gelap dan dingin menyelimuti kamar Grace. Grace tidak dapat berkata apa-apa saat sosok John berdiri dengan ponsel di tangannya dan mengarah padanya seperti yang terjadi sebelumnya. Mungkinkah ia sedang merekam dirinya kembali? Tapi sejak kapan? Bagaimana bisa ia masuk? Kenapa dia bisa tahu alamat rumahnya? Tunggu, ini seperti pembobolan rumah! "Gue dengar dari teman-teman lu, lu tinggal sendiri?" Tata
"Be—berita darimana, Bapa?" Grace terbata-bata. "Ba ... Bapa lihat di sosial media ya?" Terdengar tawa kecil Bapa Chris. "Bukan saya, tapi teman Bapa yang sangat aktif di sosial media. Dia bilang kamu muncul di halaman utamanya, dari sosmed cowok terkenal itu." Terdiam, dengan perasaan berkecamuk, Grace merasa ini semua tidak adil. Kemalangan datang bertubi-tubi dikarenakan seseorang tidak bermoral itu merekam video akan dirinya. Bahkan Bapa Chris mungkin telah mengetahui bahwa dirinya mengumpat karena tersebar luas di berbagai kalangan. "Maaf, Bapa—" Grace duduk di bangku panjang, angin semilir meniup rambutnya. "Aku sudah berkata kasar karena kesal." "Grace sayang," Bapa Chris menimpali. "Tidak perlu minder kalau kamu sudah cukup umur untuk mulai menyukai seseorang...." "Eh? Bukan itu poinnya, Bapa. Aku sama sekali—" Grace berusaha menyanggah, tapi nampaknya Bapa Chris terlalu senang sehingga tidak mendengarkan. "Bapa dukung
Grace wajib memasang senyuman terindah ketika anak-anak yang akan diajarnya mulai berdatangan kurang lebih lima menit sebelum kelas pelayanan-nya dimulai. Ia mengenakan tangan panjang putih dan celana bahan untuk menutupi luka pada lengannya yang masih dibalut dan juga cedera ringan pada kakinya. Dari kejauhan, anak-anak tersebut ada yang datang dengan bersepeda, jalan kaki, ada juga yang diantar oleh kakaknya. Usianya bervariasi dari yang paling kecil delapan tahun dan ada yang dua belas tahun. Salah satu dari anak-anak tersebut segera berlari menghampiri Grace untuk dibelai rambutnya, namanya Kiara. Gadis kecil berusia kira-kira delapan tahun itu memang masih manja dengan rambutnya yang kecokelatan sepanjang bahu, keriting gantung, dan memiliki mata yang besar. Pipi Kiara yang tembem kemerahan sering dicubit lembut Grace karena terlalu menggemaskan. Namun pagi itu Grace nampak kurang semangat, Kiara yang selalu berhasil menceriakan Grace tertergun
Setelah memberikan jam tangan emas miliknya, John kecil melihat gadis tersebut seakan menerima sesuatu yang sama sekali baru kali pertama dilihatnya. Dengan penuh antusias Lisa memeriksa setiap detail dari jam tangan kecil tersebut."Namamu siapa?" Lisa bertanya sambil tetap terfokus memperhatikan detik jam yang berjalan tanpa terhenti, tidak seperti detik pada jam tangan biasa. "Kamu orang kaya ya?""Aku John," dengan nada datar, John menjawabnya. "Aku bukan orang kaya, kenapa kamu bertanya begitu? Karena jam tangan emas itu?""Bukan," Lisa menatapnya. "Kamu sekolah di sana."Lisa menunjuk ke arah gedung berwarna sedikit kemerahan karena pantulan cahaya matahari siang. Udara saat itu lumayan sejuk, langit berawan, namun kedua anak kecil tersebut masih berada di balik semak rimbun dan pohon besar yang meneduhi mereka."Oh, tapi siapa pun juga bisa sekolah di sana, tidak harus orang kaya," John tersenyum, akan tetapi ia lupa sejenak dengan siapa ia
"Kehidupan ini bagai papan catur, jika tidak memiliki strategi tentu akan kalah. Siapa tidak berkawan tentu takkan pernah menemukan jalan keluar."Kalimat bijak di atas tertulis pada buku yang pernah dibaca oleh John ketika ia duduk di bangku sekolah dasar, namun ia tidak merasakan memiliki seorang pun teman karena ia sangat dijaga ketat oleh bodyguard ketika berada di sekolah.Teman-teman seusianya tidak ada yang berani mendekati karena melihat beberapa pria berjas hitam, berbadan besar, dengan tatapan mata tajam selalu mengawasi dan mengikuti kemana pun John pergi.Bel berdering, menandakan sudah waktunya untuk masuk kembali ke kelas. Saat itu John dan ketiga pengawalnya sedang berada di taman, John duduk di ukiran batu yang menjadi tempat duduknya dan kotak makanan berada di meja batu berbentuk bundar."Tuan Muda," salah satu pengawal berkata pada John kecil yang sedang memandangi buku tebal yang berada di tangannya. "Apakah Tuan tida
Grace merasa tertekan dengan kondisinya, baik fisik maupun mental. Terlebih setelah mengetahui bahwa dirinya berada di rumah sakit yang didirikan keluarga John, ia makin merasa berhutang. "GRACE!!!" Dari arah pintu, suara teriakan yang tidak asing bagi Grace bergema. Sheila, teman kuliahnya segera berlari menuju samping ranjang Grace, ia sempat meletakkan keranjang kecil buah di meja samping Grace dan menatapnya dengan penuh rasa iba. "Ya ampun, kamu kenapa bisa sampai begini, Grace?" Sheila, dengan rambut digerai dan dandanan yang nampak sedikit menonjol, menunjukkan wajah khawatir melihat keadaan Grace yang dibungkus rapi bagaikan mumi. "Yah, kecelakaan yang bodoh, Sheila," Grace menjawab sambil berusaha tetap tersenyum. "Aku lewat jalan pintas di bukit, eh malah jatuh ke jurang. Untungnya hanya beberapa meter." Sheila mengangguk dengan penuh antusias sementara Grace melirik ke arah buah-buahan yang masih rapi dibungkus plastik. "Ga
"Oke, ga ada masalah," John memberitahukan bahwa status Grace di kampus baik-baik saja karena mengalami kecelakaan. Ujian dapat ditunda dan akan dilaksanakan ujian ulang khusus dirinya di lain waktu setelah Grace pulih. "Kamu, bagaimana sih kamu bisa buat kampus itu 'ok' kalau aku kena musibah?" Grace bingung. "Karena biasanya mereka tidak mau dengar alasan apa pun." "Ga usah dipikirin," John menjawab dengan singkat. Kemudian ia keluar dari kamar tersebut, ingin mencari udara segar sembari melangkah pergi dan melihat ponselnya. "Gimana ga mikirin, biaya di sini mahal pastinya," Grace berbicara dalam hati, merenung, dan berpikir bahwa tabungannya akan habis mengganti semua biaya yang dibutuhkan. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa semua biaya telah ditanggung John untuk perawatan medis, terapi, bahkan segala operasi yang dibutuhkan Grace. Universitas tempat Grace mengambil mata kuliah farmasi tersebut bahkan dibeli oleh John sebab ia i
Tirai jendela kamar ditarik, sinar matahari memukul wajah Grace dengan kehangatannya. Pagi itu ia merasakan beberapa hal yang cukup mengganjal. Pertama, siapa gerangan sosok wanita berpakaian putih yang membuka jendela tersebut?Lalu, dimana dirinya sekarang? Sesaat setelah membuka mata, ia bahkan tidak dapat merasakan kakinya. Tangan kirinya diangkat dan ia samar-samar melihat semacam selang yang menempel di punggung tangannya.Grace mengalami rasa perih di bagian tangan, kaki, dan tiba-tiba menjalar ke sekujur tubuhnya. Hal terakhir yang ia ingat ialah dirinya terjatuh ke jurang akibat mobil berwarna hijau yang menabrak bagian depan sepedanya di tikungan.Selain kehilangan kesempatan untuk ujian, Grace juga kehilangan kesadarannya hingga beberapa hari. Kenyataan tersebut membuat dirinya ingin menangis, marah, dan menyalahkan dirinya. Ia tidak terima dengan kondisinya sekarang yang terbaring tak berdaya."Wah, akhirnya Nona sadarkan diri juga!" Wanita be
Seluk-beluk pegunungan, perbukitan, dan juga aneka jalan kecil telah diketahui Grace sejak ia kecil. Bahkan semuanya itu sudah ia hafal di luar kepala, sehingga tidak diragukan lagi walau dalam keadaan gelapnya malam sekalipun, ia yakin dirinya tidak akan tersesat. Jika ia melakukan perjalanan mendaki dengan sepedanya dan melintasi beberapa area perbukitan dan pepohonan, maka Grace akan tiba sepuluh menit lebih cepat dari jalan raya dengan jalan pintas yang ia lalui selama beberapa waktu. Grace bersenandung, ia merasakan kedamaian semenjak dirinya tidak terlibat dengan John, ia juga merasa lega bahwa videonya tidak lagi menjadi bahan perbincangan teman-teman kampusnya karena sudah di hapus oleh John atas permohonannya. Matahari belum sepenuhnya tenggelam, maka Grace berusaha mengayuh sepedanya dengan penuh antusias agar dapat menempuh setidaknya separuh perjalanan. Ia sempat melihat adanya bulan yang masih samar-samar terlihat menggantung di langit karena cua
Desa Grace Hill memang terkenal oleh suasananya yang sejuk dan damai, namun semenjak proyek konstruksi JJWORLD dilaksanakan, banyak mobil angkutan besar yang hilir-mudik dari kota dan memadati jalan raya menuju lokasi vila yang berada di puncak gunung. Selain mengganggu suasana sekitar dengan asap kendaraannya, iring-iringan mobil konstruksi tersebut cukup meresahkan warga yang terbiasa dengan suasana jalanan yang terbilang sepi, bebas plusi, serta banyak anak-anak yang berjalan kaki. Itulah salah satu faktor yang tidak dipikirkan oleh John sebelumnya, ia hanya memusatkan perhatiannya pada aspek pembangunan, jika berurusan dengan surat izin, John dengan mudahnya mengatasi hal tersebut melalui sumber keuangan miliknya. Seluruh proses dapat berjalan dengan lancar, tanpa masalah birokrasi oleh pemerintah setempat karena adanya kucuran dana 'tambahan' yang dikeluarkan oleh John dan harganya tidaklah main-main. Dengan kata lain, John seolah 'membeli' wilayah dan o
Beberapa hari setelah 'perpisahan singkat' dirinya dengan Grace, John kembali melanjutkan misi serta goal yang ia telah simpan dalam ponselnya.John telah mengambil langkah awal bekerja sama dengan Kim, walau pada dasarnya ia terganggu dengan cara Kim beserta timnya memanfaatkan fasilitas penginapan yang John berikan gratis pada mereka untuk kepentingan pribadi.Langkah selanjutnya ia memberitahukan setiap anggota tim permainan daring JJGAMING untuk datang dan melakukan vlog bersamanya, kali ini John yang memanfaatkan peluang. Ia mengetahui kapasitas Kim beserta tim sinematografi untuk memberikan arahan secara cuma-cuma ketika mereka melakukan syuting.John memang tidak bodoh hanya saja ia perlu melihat situasi dan kondisi hati Kim yang terkenal cukuppicky dalam memilih mitra bisnis, bisa saja ia membatalkan secara sepihak apabila kondisi hatinya terganggu.Di lain waktu, John telah menghubungi kontraktor, beserta arsitek dan interior desai
Setelah menyelesaikan semangkuk bakso hangat, Grace merasa cukup kuat untuk berjalan. Segera setelah itu ia bangkit berdiri dan berpamitan dengan sopan pada John. Sebelum melangkahkan kakinya keluar dari bangku, John menangkap lengan Grace."Gue anter," John menahan Grace."Ga usah, aku bisa jalan sendiri pulang, sekalian olahraga," Grace segera menampik permintaan John untuk mengantarnya ke rumah. "Terima kasih."John masih tidak melepaskan genggamannya, ia menatap Grace tanpa berkedip. "Lu buang sepeda itu, I'm okay. It's your choice anyway. Tapi gue ga nyaman kalau liat lu harus ngorbanin diri gitu.""Ngorbanin diri? Maksudnya?""Lu pikir jarak dari sini ke gereja itu berapa meter?""Ya ga tau lah, ga pernah ngitungin.""That's why, think." John melepaskan genggamannya dan menunjuk ke arah pelipisnya."Sok banget sih," Grace mulai merasa sebal dan merasa direndahkan. "Kalau mau debat, aku ga ada waktu layan