Kami akhirnya masuk ke rumah Barra. Namun, tiba-tiba langkah Bu Trisha yang berada di depanku terhenti, setelah dia melihat foto Ibu Barra yang tergantung di dinding rumah Barra. Kemudian dia jatuh terduduk di lantai. Aku dan Barra yang melihat hal itu langsung spontan memegan tangan Bu Trisha, berusaha membantunya bisa berdiri kembali.
Kaki Bu Trisha begitu lemas. Dia tak mampu berdiri tanpa bantuan kami. Wajahnya seketika berubah menjadi pucat. Tatapan matanya mulai kosong dan air mata mulai keluar dari sana. Dia hanya menangis tanpa berkata apapun kepada kami. Air matanya terus berjatuhan dengan deras. Aku dan Barra sesekali saling bertatapan, bertanya apa yang harus kami lakukan sekarang.
“Apa mungkin Bu Trisha menangis, karena dia sudah yakin bahwa Ibu Barra memang benar-benar adalah Kakaknya??” Pikirku yang menduga-duga.
Bu Trisha mulai tinggal dengan Barra hari ini. Dia bertekad untuk mendampingi keponakan satu-satunya itu di sisa hidupnya. Bu Trisha juga sudah mulai mengurus segala hal untuk rencana kepindahannya ke Indonesia. Ini sebenarnya cukup sulit untuk Bu Trisha. Terlalu banyak hal dan kenangan yang dia habiskan di negeri ginseng itu bersama mendiang orang tuanya. Negara itu sudah seperti kampung halaman baginya. Semua sahabat dan orang-orang yang berjasa dan menemaninya selama ini, terpaksa harus dia tinggalkan. Bu Trisha sudah benar-benar membulatkan tekadnya untuk menemani keponakannya yang selama ini sebatang kara itu. Bu Trisha merasa bahwa Barra ikut menjadi tanggung jawabnya. Walaupun, mereka bahkan tidak pernah mengenali satu sama lain sebelumnya. Namun, pertemuan mereka untuk pertama kalinya itu langsung mampu membuat ikatan batin yang kuat antara mereka. Barra masih merasa bahwa pertemuannya denga
21.09 “Ibu! Aku pamit pergi, ya! Aku harus kembali ke asrama sekarang.” Ucap Dino yang mulai beranjak ke arah pintu rumah sambil memakai kedua sepatunya dengan terburu-buru. “Lah kok!? Kamu bilang, kamu baru mau kembali ke asrama besok, bukan?? Hei! Astaga... Dasar anak itu. Dia datang dan pergi sesuka hatinya saja.” Ujar Ibu kepada Dino yang sudah berlari keluar rumah tanpa sempat menjawab satu pun pertanyaan dari Ibu. “Ada apa dengannya, Bu? Mengapa dia terburu-buru seperti itu?” Tanyaku yang baru pulang kerja dan berpapasan dengan Dino yang keluar dari rumah dengan agak berlari. “Entahlah! Ibu juga tidak tahu. Dia begitu terburu-buru hingga tidak mampu menjawab pertanyaan Ibunya ini terlebih dahulu. Ya, mungkin pelatihnya membutuhkannya sekarang atau ada sesuatu yang anak itu lupakan.”
“Ishh anak ini! Aku sudah bilang padamu untuk tidak berdiri sendiri, bukan??” Ujar Naomi nada agak marah kepada Alessa yang ketahuan sedang berusaha berdiri dari tempat tidurnya. “Kamu ini... Untuk apa aku berada di sini, kalau tidak membantu kamu apa-apa.” Lanjut Naomi. “Ya, aku sudah bilang sejak kemarin, bukan? Kakak pulang saja, aku bisa sendiri di sini.” Balas Alessa yang menolak untuk dibantu. “Sstt diam! Kamu mau ke kamar mandi, bukan?” Ujar Naomi yang berusaha untuk menuntun dan membantu Alessa berjalan. “Iya, aku hanya mau ke kamar mandi saja kok.” Jawab Alessa. “Hanya? Kamu itu tidak boleh terlalu banyak menggerakkan bahumu, Alessa. Kamu tahu itu, bukan?? Apa kamu tidak mau cepat-cepat sembuh dan berlatih kemba
19.30 “Eh? Kak Naomi sudah datang ternyata.” Ucap Dino yang terkejut melihat sosok Kak Naomi yang sedang membereskan barang-barang di lemari. “Iya, aku sebenarnya sudah datang sekitar... 20 menit yang lalu. Namun, kata Perawat di depan, kalian sedang pergi keluar untuk mencari udara segar. Hmm... Kamu pasti bosan ya, Alessa?? Maaf, ya... Kakakmu yang satu ini tidak peka.” Ucap Naomi yang tersadar bahwa sebenarnya anak itu bosan dan ingin keluar dari kamarnya. “Ahh tidak kok, Kak. Ini hanya... kebetulan saja, Dino menawarkanku untuk berjalan keluar sebentar.” Ucap Alessa yang berusaha membuat alasan agar Naomi tidak merasa bersalah. “Oh begitu...” Ujar Naomi yang tahu bahwa Alessa sedang berusaha membuatnya tenang. “Kak Naomi?” Panggil Dino.
Dino akhirnya sudah memutuskan untuk mengambil kesempatan berlatih di luar negeri, di Amerika Serikat. Menurutnya, ini kesempatan yang tidak bisa dia abaikan begitu saja. Dia merasa sangat perlu untuk mengambil kesempatan ini untuk meningkatkan kemampuan dan mendapatkan pengalaman berlatih dan berkompetisi di negeri orang. Dino berharap kesempatan ini bisa membantunya untuk meraih impiannya, meningkatkan prestasinya di dunia renang yang dia geluti ini. Aku, Ayah dan Ibu mengantarkan Dino ke Bandara pagi ini. Kami harus mulai bersiap untuk berpisah jauh dengan anak ini. Dino sudah selesai melakukan check-in dan bersiap masuk ke boarding gate untuk menunggu waktu keberangkatannya tiba. Di saat tinggal beberapa langkah lagi Dino menuju r
“Jadi, sebenarnya, begini..” Ujar Alessa yang akhirnya bersedia untuk menceritakan kejadian malam itu, yang begitu membuat Naomi begitu penasaran. Alessa bercerita bahwa malam itu, di saat Dino dan Alessa sedang bercengkrama sambil menikmati angin malam di rumah sakit, Alessa bertanya pada Dino. Alessa bertanya, mengapa dia berada di sini saat ini padahal Alessa tahu betul bahwa dia sebenarnya tidak sedang libur. Alessa tahu bahwa Dino sebenarnya harus berlatih hari ini. Alessa juga mengikuti olimpiade ini sebelumnya, jadi dia tahu betapa padatnya jadwal mereka untuk terus berlatih. Tidak mungkin ada libur di waktu-waktu yang sudah mendekati hari lomba, seperti ini. Alessa tahu bahwa Dino berbohong kepadanya dan Kak Naomi. Karena itu, dia menjadi penasaran mengapa Dino tetap mau berada di sini, mengorbankan waktu latihannya dan bahkan mengorbankan dirinya yang kemungkinan besar akan mendapatkan omel
Barra mengadakan pesta barbecue di rumahnya hari ini, untuk merayakan keberhasilan film yang diperankannya kali ini. Barra mengundang beberapa pemeran dalam film itu, para teman Artisnya, serta aku, Ryan, dan Naomi juga turut diundang untuk hadir. 16.20 “Eh? Erin?” Ujar Barra kepadaku yang sudah tiba di rumahnya. “Ahh aku terlalu cepat, ya?” Tanyaku yang melihat wajah Barra tampak heran dengan kedatanganku. “Em. Apa kamu tidak tahu, kalau acaranya jam 6 nanti?” Ujar Barra kepadaku. ”Ohh tahu... Aku tahu acaranya itu jam 6. Tapi, kebetulan aku baru selesai melakukan pekerjaanku di kantor tadi, jadi aku malas jika harus pulang dahulu ke rumah lalu datan
Teng nong~ Teng nong~ “Emm... Barra!” Panggilku yang akhirnya bisa melepaskan bibirku darinya, dengan berusaha mendorong tubuhnya. Barra yang akhirnya melepas pelukannya dariku, wajahnya langsung menatapku dengan ekspresi terkejut dan bingung. Dia tampak terkejut dengan suatu hal yang dia perbuat sendiri. Dia sepertinya belum sadar sepenuhnya. Pria itu hanya terus menatapku, dia sepertinya belum dapat mendengar suara bel yang terus berbunyi sejak tadi. “Hei! Apa kamu tidak dengar suara bel itu? Itu ada orang di luar. Ada tamu yang datang.” Ucapku, berusaha menyadarkan Barra yang jiwanya belum benar-benar terkumpul sepenuhnya. “Ahhh... Ah iya!” Ujarnya agak terbata-bata, lalu segera beranjak untuk membukakan pintu bagi tamu yang sudah menunggunya sejak tadi.