Hari ini adalah hari keberangkatan kami dari Korea Selatan menuju Indonesia. Sesuai permintaan Bu Trisha waktu itu, dia ikut pergi bersama denganku dan para staf lain hari ini.
Setelah menempuh perjalanan selama sekitar 7 jam. Kami akhirnya tiba di Indonesia dengan selamat. Aku dan para kawan sekerjaku mulai berpisah di bandara, untuk pulang ke rumah kami masing-masing. Bu Trisha akan tinggal di rumahku untuk sementara. Aku sudah mencoba untuk menghubungi Barra sejak tadi. Namun, sepertinya dia masih berada di luar negeri, sibuk dengan konser tunggalnya itu.
“Ibu tidak apa, bukan? Jika harus tinggal di rumahku untuk sementara. Barra sepertinya masih sibuk dengan konsernya. Hmm... Atau Ibu mau tinggal di hotel saja?” Tanyaku kepada Bu Trisha.
“Ahh tidak! Jika boleh, aku lebih memilih untuk tinggal di rumahmu
Kami akhirnya masuk ke rumah Barra. Namun, tiba-tiba langkah Bu Trisha yang berada di depanku terhenti, setelah dia melihat foto Ibu Barra yang tergantung di dinding rumah Barra. Kemudian dia jatuh terduduk di lantai. Aku dan Barra yang melihat hal itu langsung spontan memegan tangan Bu Trisha, berusaha membantunya bisa berdiri kembali. Kaki Bu Trisha begitu lemas. Dia tak mampu berdiri tanpa bantuan kami. Wajahnya seketika berubah menjadi pucat. Tatapan matanya mulai kosong dan air mata mulai keluar dari sana. Dia hanya menangis tanpa berkata apapun kepada kami. Air matanya terus berjatuhan dengan deras. Aku dan Barra sesekali saling bertatapan, bertanya apa yang harus kami lakukan sekarang. “Apa mungkin Bu Trisha menangis, karena dia sudah yakin bahwa Ibu Barra memang benar-benar adalah Kakaknya??” Pikirku yang menduga-duga.
Bu Trisha mulai tinggal dengan Barra hari ini. Dia bertekad untuk mendampingi keponakan satu-satunya itu di sisa hidupnya. Bu Trisha juga sudah mulai mengurus segala hal untuk rencana kepindahannya ke Indonesia. Ini sebenarnya cukup sulit untuk Bu Trisha. Terlalu banyak hal dan kenangan yang dia habiskan di negeri ginseng itu bersama mendiang orang tuanya. Negara itu sudah seperti kampung halaman baginya. Semua sahabat dan orang-orang yang berjasa dan menemaninya selama ini, terpaksa harus dia tinggalkan. Bu Trisha sudah benar-benar membulatkan tekadnya untuk menemani keponakannya yang selama ini sebatang kara itu. Bu Trisha merasa bahwa Barra ikut menjadi tanggung jawabnya. Walaupun, mereka bahkan tidak pernah mengenali satu sama lain sebelumnya. Namun, pertemuan mereka untuk pertama kalinya itu langsung mampu membuat ikatan batin yang kuat antara mereka. Barra masih merasa bahwa pertemuannya denga
21.09 “Ibu! Aku pamit pergi, ya! Aku harus kembali ke asrama sekarang.” Ucap Dino yang mulai beranjak ke arah pintu rumah sambil memakai kedua sepatunya dengan terburu-buru. “Lah kok!? Kamu bilang, kamu baru mau kembali ke asrama besok, bukan?? Hei! Astaga... Dasar anak itu. Dia datang dan pergi sesuka hatinya saja.” Ujar Ibu kepada Dino yang sudah berlari keluar rumah tanpa sempat menjawab satu pun pertanyaan dari Ibu. “Ada apa dengannya, Bu? Mengapa dia terburu-buru seperti itu?” Tanyaku yang baru pulang kerja dan berpapasan dengan Dino yang keluar dari rumah dengan agak berlari. “Entahlah! Ibu juga tidak tahu. Dia begitu terburu-buru hingga tidak mampu menjawab pertanyaan Ibunya ini terlebih dahulu. Ya, mungkin pelatihnya membutuhkannya sekarang atau ada sesuatu yang anak itu lupakan.”
“Ishh anak ini! Aku sudah bilang padamu untuk tidak berdiri sendiri, bukan??” Ujar Naomi nada agak marah kepada Alessa yang ketahuan sedang berusaha berdiri dari tempat tidurnya. “Kamu ini... Untuk apa aku berada di sini, kalau tidak membantu kamu apa-apa.” Lanjut Naomi. “Ya, aku sudah bilang sejak kemarin, bukan? Kakak pulang saja, aku bisa sendiri di sini.” Balas Alessa yang menolak untuk dibantu. “Sstt diam! Kamu mau ke kamar mandi, bukan?” Ujar Naomi yang berusaha untuk menuntun dan membantu Alessa berjalan. “Iya, aku hanya mau ke kamar mandi saja kok.” Jawab Alessa. “Hanya? Kamu itu tidak boleh terlalu banyak menggerakkan bahumu, Alessa. Kamu tahu itu, bukan?? Apa kamu tidak mau cepat-cepat sembuh dan berlatih kemba
19.30 “Eh? Kak Naomi sudah datang ternyata.” Ucap Dino yang terkejut melihat sosok Kak Naomi yang sedang membereskan barang-barang di lemari. “Iya, aku sebenarnya sudah datang sekitar... 20 menit yang lalu. Namun, kata Perawat di depan, kalian sedang pergi keluar untuk mencari udara segar. Hmm... Kamu pasti bosan ya, Alessa?? Maaf, ya... Kakakmu yang satu ini tidak peka.” Ucap Naomi yang tersadar bahwa sebenarnya anak itu bosan dan ingin keluar dari kamarnya. “Ahh tidak kok, Kak. Ini hanya... kebetulan saja, Dino menawarkanku untuk berjalan keluar sebentar.” Ucap Alessa yang berusaha membuat alasan agar Naomi tidak merasa bersalah. “Oh begitu...” Ujar Naomi yang tahu bahwa Alessa sedang berusaha membuatnya tenang. “Kak Naomi?” Panggil Dino.
Dino akhirnya sudah memutuskan untuk mengambil kesempatan berlatih di luar negeri, di Amerika Serikat. Menurutnya, ini kesempatan yang tidak bisa dia abaikan begitu saja. Dia merasa sangat perlu untuk mengambil kesempatan ini untuk meningkatkan kemampuan dan mendapatkan pengalaman berlatih dan berkompetisi di negeri orang. Dino berharap kesempatan ini bisa membantunya untuk meraih impiannya, meningkatkan prestasinya di dunia renang yang dia geluti ini. Aku, Ayah dan Ibu mengantarkan Dino ke Bandara pagi ini. Kami harus mulai bersiap untuk berpisah jauh dengan anak ini. Dino sudah selesai melakukan check-in dan bersiap masuk ke boarding gate untuk menunggu waktu keberangkatannya tiba. Di saat tinggal beberapa langkah lagi Dino menuju r
“Jadi, sebenarnya, begini..” Ujar Alessa yang akhirnya bersedia untuk menceritakan kejadian malam itu, yang begitu membuat Naomi begitu penasaran. Alessa bercerita bahwa malam itu, di saat Dino dan Alessa sedang bercengkrama sambil menikmati angin malam di rumah sakit, Alessa bertanya pada Dino. Alessa bertanya, mengapa dia berada di sini saat ini padahal Alessa tahu betul bahwa dia sebenarnya tidak sedang libur. Alessa tahu bahwa Dino sebenarnya harus berlatih hari ini. Alessa juga mengikuti olimpiade ini sebelumnya, jadi dia tahu betapa padatnya jadwal mereka untuk terus berlatih. Tidak mungkin ada libur di waktu-waktu yang sudah mendekati hari lomba, seperti ini. Alessa tahu bahwa Dino berbohong kepadanya dan Kak Naomi. Karena itu, dia menjadi penasaran mengapa Dino tetap mau berada di sini, mengorbankan waktu latihannya dan bahkan mengorbankan dirinya yang kemungkinan besar akan mendapatkan omel
Barra mengadakan pesta barbecue di rumahnya hari ini, untuk merayakan keberhasilan film yang diperankannya kali ini. Barra mengundang beberapa pemeran dalam film itu, para teman Artisnya, serta aku, Ryan, dan Naomi juga turut diundang untuk hadir. 16.20 “Eh? Erin?” Ujar Barra kepadaku yang sudah tiba di rumahnya. “Ahh aku terlalu cepat, ya?” Tanyaku yang melihat wajah Barra tampak heran dengan kedatanganku. “Em. Apa kamu tidak tahu, kalau acaranya jam 6 nanti?” Ujar Barra kepadaku. ”Ohh tahu... Aku tahu acaranya itu jam 6. Tapi, kebetulan aku baru selesai melakukan pekerjaanku di kantor tadi, jadi aku malas jika harus pulang dahulu ke rumah lalu datan
Hidup yang terasa biasa-biasa saja tidak mengartikan bahwa hidupmu tidak spesial atau kehadiranmu tidak penting. Di dunia ini, kita semua punya alasan dan tujuan masing-masing. Tuhan tidak menciptakan kita tanpa suatu alasan. Tuhan pasti punya maksud. Kita adalah pemeran utama di kehidupan kita masing-masing. Kita punya cerita ketika sendiri, dengan genre yang berbeda, dengan alur yang berbeda, dan juga dengan akhir yang berbeda. Kita punya waktu klimaks masing-masing. Jangan pernah menganggap dirimu sebagai seorang figuran, sebagai penghias dalam kehidupan orang lain. “Kamu juga punya peran yang penting.” “Tiap kamu adalah unik.” Jangan pernah menganggap dirimu tidak berguna. Dirimu biasa-biasa saja. “Kamu itu berharga.” “Dirimu tidak tergantikan.” Kita berhak memiliki happy ending dari kehidupan kita, masing-masing. Keadaan bisa berubah kapan saja. Semuanya pasti berakhi
07.20 “Heh! Ada apa denganmu? Mengapa kamu terus menatapku, seperti itu!?” Tanyaku, yang heran dengan sikap Dino yang terus menatapku dengan ekspresi datarnya sedari sarapan tadi. “Aku mau minta uang.” Jawab Dino, dengan tetap menunjukkan ekspresi datarnya. “Hah? Apa katamu!? Uang? Apa alasannya? Mengapa aku harus memberimu uang? Enak saja…” Ujarku. “Cepat berikan! Atau Kakak akan menyesal.” Ucap Dino, yang tiba-tiba mengancamku. “Menyesal? Apa yang harus aku sesali?” Tanyaku, yang tidak menanggapi perkataan Dino dengan serius. “Kalau Kakak tidak memberiku uang, aku akan memberitahukan kepada Ibu tentang apa yang aku saksikan kemarin malam.” Ucap Dino, dengan wajahnya yang tetap berekspresi
“Barra, apa kamu sebenarnya berlibur dengan Rio, Naomi, Alessa, Dino dan Erin waktu itu?” Tanya Kak Rio, sambil terus berusaha fokus untuk menyetir. “Oh! Bagaimana Kakak bisa tahu?” Ujar Barra. “Ya, kamu tidak tahu saja… Para ibu tu tidak bisa kalian bohongi. Setelah kalian berenam pergi, mereka semua berkumpul di rumahku dan mulai membicarakan kemiripan alasan kalian, yang sama-sama minta izin untuk pergi liburan bersama dengan teman lama ataupun rekan kerja kalian masing-masing. Ya, sesuai dugaan, kita semua tahu bahwa kalian sebenarnya pergi bersama. Masa, kalian pergi dalam waktu yang bersamaan secara kebetulan. Tentu tidak wajar, bukan?” Jelas Kak Rio. “Haha iya juga… Ya, kami semua sepertinya memang tidak pandai berbohong. Aku bahkan tidak terpikirkan akan hal itu, saat izin dengan Ibu.” Ujar Barra.
“Yah hujannya semakin deras.” Ujar Alessa. Kami baru saja selesai menikmati makan siang di salah satu tempat makan, yang terletak di sekitaran minimarket. Namun, di saat kami sudah ingin menyebrang jalan, hujan tiba-tiba saja turun dengan cukup deras. Ryan dan Barra sedang pergi ke minimarket untuk membeli beberapa payung saat ini. Kami berempat menunggu mereka di sebuah halte dekat situ. “Eh ini!” Ucap Ryan kepada Dino, sambil memberikan payung yang ia beli. Mereka membeli tiga buah payung. Dino pergi bersama dengan Alessa. Aku pun segera mendekat ke arah Naomi, berniat ingin sepayung dengannya. Namun, kekasihnya yang menyebalkan itu segera menyenggol tanganku dan memayungi Naomi, lalu segera pergi bersama dengannya. “Ish! Wah, ada apa dengan anak itu!? Mengap
Barra yang pada saat itu sudah berada di kamar, karena telah selesai dengan makan malamnya. Seketika, langsung terbangun dan keluar dari kamar, berkat teriakan yang dibuat oleh Erin. “Apa yang terjadi!?” Tanya Barra, yang heran dengan apa yang dia lihat sekarang. “Ada yang lupa untuk menutup kran air dan membiarkan lubang airnya tertutup.” Jelas Erin dengan singkat, dan mulai menguras air di lantai. “Hei! Kamu jangan hanya berdiam diri di sana! Cepat bantu aku membereskan ini semua!” Ujar Erin dengan nada tingginya, karena melihat Barra yang hanya celingak-celinguk melihat kondisi rumah. “Oh! Iya. Iya. Apa yang bisa aku bantu?” Tanya Barra, yang segera datang menghampiri Erin. “Itu. Tolong, angkat barang-barang itu ke at
Semuanya berjalan sesuai dengan rencana Ryan dan Naomi. Mereka berenam akhirnya berhasil pergi berlibur tanpa dampingan para Ibu itu. Mereka pergi ke sebuah kota yang memang terkenal sebagai tempat wisata. Di kota itu, ada daerah yang masih memiliki suasana sebuah desa, yang masih asri dan tidak begitu ramai. Salah satu alasan Ryan memilih tempat itu, tentunya untuk kenyamanan Barra, Sang Idola. Ryan tidak mau membuat Barra merasa tidak nyaman, apalagi melihat kondisinya sekarang. 14.50 “Woah! Sudah lama sekali, aku tidak datang ke tempat seperti ini. Udaranya terasa masih begitu segar. Suasananya begitu nyaman dan tenang.” Ujar Naomi, Sang Anak Kota. “Em benar, Kak. Suasana di sini benar-benar membuat hati merasa tenang. Seketika, aku merasa bebanku seperti hilang.” Ucap Alessa, mendukung perkataan Naomi barusan.
“Bu, aku pamit pulang sekarang, ya. Aku mau bersiap untuk berangkat kerja.” Ujar Erin kepada Ibu. “Iya, hati-hati… Eh iya! Ingat-ingat semua pesan yang Ibu bilang padamu tadi, ya. Minyak goreng, jangan lupa sampai lupa dibeli.” Ujar Ibu. “Iya, siap Bu!” Jawab Erin, sambil bergegas melangkah ke arah pintu. “Eh Rin! Biar Kakak antar. Aku juga sekalian ingin pamit untuk pulang sekarang. Bi, benar-benar tidak apa, bukan?” Ujar Kak Rio, yang baru saja keluar dari kamar Barra. “Iya, tidak apa-apa, Rio. Lagipula, jika kamu di sini, apa yang mau kamu lakukan? Lebih baik, kamu tetap bekerja saja. Barra biar Bibi yang urus.” Jelas Ibu. “Iya, Bi. Aku percayakan Barra kepada Bibi, ya. Terima kasih banyak. Kalau begitu, Erin pamit pe
Barra dan Erin, keduanya sudah tiba di restoran, tempat Bi Trisha mengundang kami semua. Meja yang kami pesan terletak di bagian rooftop restoran itu. Sehingga, kami melihat keberadaan mereka dari gedung sebelah, yang merupakan sebuah penginapan. Kami menyewa ruangan itu, hanya untuk membuktikan dugaan kami akan hubungan Barra dan Erin. Beberapa menit pun berlalu, Erin dan Barra masih tampak canggung dan tidak berbicara satu sama lain, sehabis sapaan mereka di awal mereka datang. “Lihat, bukan?? Aku sudah bilang hubungan mereka sempat merenggang karena rumor kencan itu. Lihat! Sikap mereka tidak tampak seperti biasanya, bukan?” Ujar Ryan, yang mulai senang karena bisa membuktikan perkataannya. “Hmm iya… sepertinya aku mulai yak
Kondisi kesehatan Barra sudah benar-benar pulih, setelah peristiwa kecelakaan itu. Dia mulai kembali disibukkan dengan berbagai aktivitasnya di dunia hiburan. Namun, Kak Rio mulai menyadari bahwa sikap Barra tampak aneh akhir-akhir ini. Fisik Barra memang telah kembali sehat, tapi Kak Rio ragu dengan kesehatan mentalnya. “Bar, ada apa sebenarnya denganmu? Mengapa kamu sering terlihat melamun dan tidak fokus akhir-akhir ini? Apa ada masalah? Apa ada hal yang mau kamu ceritakan kepadaku?” Tanya Kak Rio, dengan ekspresi penuh kekhawatiran. “Hah? Ah tidak. Aku tidak apa-apa.” Jawab Barra. “Tidak apa-apa, bagaimana!? Di acara musik kemarin, di saat waktunya kamu mulai bernyanyi, kamu malah hanya terdiam membeku di panggung. Lalu, saat syuting tadi, di saat kamu seharusnya berpelukan dengan lawan mainmu, kamu malah men