Tak terasa, hari kelulusanku akhirnya tiba. Hari ini, aku resmi lulus dari tingkat sekolah menengah atas. Aku pun mulai bersiap untuk masuk ke jenjang perguruan tinggi, seperti yang aku dan orang tuaku cita-citakan.
Perguruan tinggi yang aku dambakan mulai membuka sesi pendaftaran. Aku pun langsung bersiap dan mengikuti tes yang diadakan. Akhirnya, sesuai dengan apa yang aku harapkan, aku berhasil lulus untuk masuk ke perguruan tinggi tersebut, sesuai dengan jurusan yang aku pilih. Namun, kegembiraan yang aku rasakan seketika pudar ketika melihat beberapa biaya yang harus dibayarkan. Bisnis Laundry orang tuaku sebenarnya mulai mengalami penurunan sejak bulan lalu, dikarenakan kejadian dimana beberapa baju pelanggan menjadi rusak dan robek karena mesin cuci yang tampak sudah tua itu. Karena kejadian itu, Ayah dan Ibu harus mengganti rugi kepada beberapa pelanggan. Lalu, karena kejadian itu, pelanggan mereka pun mulai menjadi berkurang.
Saat ini, aku merasa me
Mulai hari ini, aku akan mulai menginap di rumah Barra. Ya, aku harus tinggal bersama Artis itu mulai sekarang. Aku tahu bahwa hal ini pasti akan sangat canggung bagi kami berdua. Tapi, apa boleh buat?? Pokoknya, aku harus bekerja dengan baik, supaya aku bisa meringankan beban yang aku dan keluargaku sedang rasakan ini. Ya, aku harus memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin. “Kamu jangan berbuat yang aneh-aneh ya, Rin. Perlihatkan sikap terbaikmu di depan Barra. Jangan berani-berani kamu merepotkannya. Kamu harus selalu menemani dan membantu Barra, mengerti??” Ucap Ibu yang terus memberikan nasehat kepadaku. “Bu? Anak Ibu itu sebenarnya aku atau Barra? Seharusnya, Ibu berkata kepadaku untuk hati-hati dan menjaga diri, bukan?? Karena harus tinggal bersama seorang pria yang sebenarnya masih asing bagiku. Apa Ibu sama sekali tidak mengkhawatirkanku??” Ujarku yang lama-kelamaan menjadi kesal dengan ucapan Ibu. “Eh! Bukan seperti itu. Ibu berkata seperti ini, ka
01.15 “Astaga! Tulangku seperti remuk semua. Padahal... yang aku lakukan hanya melihat dan menunggumu saja, dan kamu yang bekerja serta tampil untuk melakukan segalanya. Tapi, mengapa aku terlihat jauh lebih lelah daripada dirimu?? Woahh! Bisa-bisanya kamu terlihat baik-baik saja setelah melakukan semua pekerjaan ini.” Ujarku yang tubuhnya terkulai lemas di atas sofa. “Ya, itu mungkin karena kamu belum terbiasa saja dengan semua ini. Sebenarnya semua pekerjaan, apapun itu, pasti melelahkan. Hanya terbiasa atau tidaknya kita melakukan pekerjaan tersebut, itulah yang membuat berbeda. Namun, jangan terlalu memaksakan dirimu, Rin! Aku tahu, pasti sangat berat untuk membagi waktu antara pekerjaanmu sebagai Manajerku dan kuliahmu.” Jawab Barra. “Em. Aku pasti bisa melakukan ini semua. Ya, aku hanya perlu terbiasa saja dengan semua ini.” Ujarku dengan penuh rasa semangat. “Ya, semoga kamu bisa cepat terbiasa dengan semua ini, ya...” Ujar Bar
“Astaga! Mereka berdua masih melakukan hal yang sama, seperti tadi!?” Ujar Barra yang kaget dengan apa yang dilihatnya saat berjalan turun dari lantai atas. “Hwuh~ Sampai saat ini, aku juga masih tidak paham dengan pikiran mereka berdua.” Celetuk Naomi dengan wajah pasrah. Aku dan Ryan masih juga berselisih pendapat di saat Naomi dan Barra sudah turun dari rooftop. Aku masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa Ryan dan Naomi ternyata berpacaran sekarang. Sebenarnya, aku bukannya tidak suka atau tidak menyetujui hubungan mereka. Tentu saja, aku ikut senang mendengar bahwa sahabatku, Ryan bisa menemukan pasangan yang begitu cantik dan baik. Sahabatku, Naomi juga beruntung mendapatkan Ryan yang benar-benar tulus menyayanginya. Namun, aku hanya masih terlalu kaget saja dengan kenyataan itu sekarang. Lagipula, aku juga mengakui bahwa aku rindu untuk bercanda dan bertengkar kecil dengan Ryan, seperti ini. *** “Sebentar! Mereka berd
Hari ini, Barra benar-benar memulai untuk shooting drama terbarunya itu. Di tengah-tengah waktu shooting, aku melihat Barra sedang duduk berduaan dengan Hera di ruang tata rias. Mereka terlihat berbincang dengan begitu intim sehingga membuat langkah kakiku yang berniat ingin bertemu Barra, seketika menjadi terhenti. Aku hanya mampu berjalan sampai di depan pintu, dan kemudian melihat mereka yang sedang seru mengobrol dari kejauhan. Keakraban mereka berdua terasa ganjal bagiku. Aku seketika menjadi penasaran dengan hubungan mereka. Keduanya tidak tampak seperti seorang rekan kerja saat ini. Tatapan mata Barra pada wanita itu begitu terlihat berbeda bagiku. Peran mereka berdua sebagai pasangan kekasih di drama tampaknya terwujud sampai ke kehidupan nyata mereka. Ya, mereka tampak seperti dua orang yang saling tertarik satu sama lain, sebagai seorang pria dan wanita. “Em. Aku yakin, Barra pasti ada rasa dengan wanita itu. Huh! Mengapa terlihat sekali!?” Batink
“Halo, Erin. Ini aku, Felly, Manajer Hera. Maaf, jika aku harus mengganggu waktumu malam-malam begini.” Jawab Kak Felly, yang merupakan Manajer Kak Hera. “Ohh! Kak Felly... Ahh tidak kok, Kakak tidak mengganggu. Hmm... Ada apa memangnya, Kak?” Ucapku kepada Kak Felly. “Begini... Aku sedang mencari Hera sekarang. Namun, aku tidak menemukannya saat aku datang ke restoran, tempat para pemain drama berkumpul. Lalu, aku mendengar ada staf yang mengatakan bahwa dia melihat Hera dan Barra tampak memesan kamar hotel di tempat mereka makan ini. Barra juga belum pulang ke rumah sekarang, bukan??” Jelas Kak Felly yang kemudian menanyakan keberadaan Barra. “Em. Barra... dia juga belum pulang, Kak.” Jawabku yang tiba-tiba merasa lemas, karena membayangkan berbagai hal yang kemungkinan dapat terjadi. Kak Felly memintaku untuk datang ke hotel tersebut untuk bersama-sama mencari mereka berdua. Aku segera berangkat ke ke tempat yang disebutkan Kak Felly di telepon. Se
“Barra? Ada kiriman dokumen untukmu!” Ucapku yang menerima kiriman paket untuk Barra tadi. Barra menerima dokumen yang aku berikan itu dan langsung membukanya untuk melihat apa yang ada didalamnya. Dia membaca isi dokumen itu dengan serius. Lalu, wajahnya yang serius tiba-tiba berubah menjadi murung dan kemudian menjadi tampak begitu marah. “Ada apa?” Tanyaku yang penasaran dengan apa yang Barra baca sehingga wajahnya menjadi begitu serius. Barra hanya terdiam. Dia benar-benar tidak menanggapi pertanyaanku. Dia bahkan terlihat seperti tidak mendengar suaraku. Dia sepertinya benar-benar terkejut dan kesal hingga tidak dapat mendengar suaraku. Aku pun akhirnya tidak berani untuk menanyakan hal itu. Barra sepertinya butuh waktu untuk dirinya sendiri. Hal itu sepertinya bukan urusan yang pantas untuk aku tahu. Aku memutuskan untuk kembali masuk ke kamarku. Namun, langkah kakiku terhenti ketika melihat jarum di jam dinding yang menunjukkan pukul 14.00. Sek
Jadwal Barra hari ini kosong. Karena itu, aku meminta izin kepadanya untuk tidur di rumahaku malam ini. Aku benar-benar sudah kangen dengan Ayah, Ibu, dan anak menyebalkan itu. Setelah mendapat lampu hijau dari Barra, aku pun segera bergegas untuk bersiap pulang ke rumahku. “Aku pergi sekarang, ya?” Teriakku kepada Barra. yang sepertinya masih berada di dalam kamar mandi. “Iya, hati-hati!” Jawab Barra dengan agak berteriak agar aku bisa mendengar suaranya. Aku segera pergi dengan rasa hati yang gembira, membayangkan wajah Ibu dan Ayah di rumah. Namun, aku sepertinya sudah lupa dengan perilaku menyebalkan Ibuku karena sudah lama tidak bertemu dengannya. “Ayah!” Ucapku sambil memeluk Ayah yang sedang menyantap sarapannya. “Eh? Apa ini? Mengapa kamu datang kemari!? Ada apa? Ibu sudah bilang jika kamu butuh apa-apa, Ibu yang akan mengantarkannya ke sana, bukan?? Ibu sudah bilang kepadamu agar tidak meninggalkan Barra selama Rio belum pulang, bukan
Selang beberapa detik dari pertanyaan yang diajukan Barra kepada pria mencurigakan itu. Hal yang tidak diinginkan terjadi. Pria itu tiba-tiba menusuk perut Barra dengan sebuah pisau yang digenggamnya. Pria itu menusuknya tanpa berkata satu kata pun kepada Barra, tapi matanya terlihat tersenyum puas. Setelah melakukan hal kejam tersebut, pria itu segera pergi. Tanpa memberi penjelasan atau tanda apapun mengenai alasan dia melakukan hal tersebut. Barra hanya bisa mengerang kesakitan. Dia mulai merasakan darah yang mulai keluar dari bagian perutnya. Barra berusaha menahan aliran darah itu dengan tekanan dari tangan kirinya, sambil kemudian tangan kananya berusaha untuk menekan nomor di ponselnya, berniat meminta pertolongan dari seseorang. Pandangannya mulai kabur. Barra hanya bisa melihat nama Erin di daftar panggilan terakhirnya. Tubuh Barra tidak sanggup menahan kesadarannya, karena darah yang tak hentinya keluar dari tubuhnya. Tapi, syukurlah... Barra berhasil menekan nomor
Hidup yang terasa biasa-biasa saja tidak mengartikan bahwa hidupmu tidak spesial atau kehadiranmu tidak penting. Di dunia ini, kita semua punya alasan dan tujuan masing-masing. Tuhan tidak menciptakan kita tanpa suatu alasan. Tuhan pasti punya maksud. Kita adalah pemeran utama di kehidupan kita masing-masing. Kita punya cerita ketika sendiri, dengan genre yang berbeda, dengan alur yang berbeda, dan juga dengan akhir yang berbeda. Kita punya waktu klimaks masing-masing. Jangan pernah menganggap dirimu sebagai seorang figuran, sebagai penghias dalam kehidupan orang lain. “Kamu juga punya peran yang penting.” “Tiap kamu adalah unik.” Jangan pernah menganggap dirimu tidak berguna. Dirimu biasa-biasa saja. “Kamu itu berharga.” “Dirimu tidak tergantikan.” Kita berhak memiliki happy ending dari kehidupan kita, masing-masing. Keadaan bisa berubah kapan saja. Semuanya pasti berakhi
07.20 “Heh! Ada apa denganmu? Mengapa kamu terus menatapku, seperti itu!?” Tanyaku, yang heran dengan sikap Dino yang terus menatapku dengan ekspresi datarnya sedari sarapan tadi. “Aku mau minta uang.” Jawab Dino, dengan tetap menunjukkan ekspresi datarnya. “Hah? Apa katamu!? Uang? Apa alasannya? Mengapa aku harus memberimu uang? Enak saja…” Ujarku. “Cepat berikan! Atau Kakak akan menyesal.” Ucap Dino, yang tiba-tiba mengancamku. “Menyesal? Apa yang harus aku sesali?” Tanyaku, yang tidak menanggapi perkataan Dino dengan serius. “Kalau Kakak tidak memberiku uang, aku akan memberitahukan kepada Ibu tentang apa yang aku saksikan kemarin malam.” Ucap Dino, dengan wajahnya yang tetap berekspresi
“Barra, apa kamu sebenarnya berlibur dengan Rio, Naomi, Alessa, Dino dan Erin waktu itu?” Tanya Kak Rio, sambil terus berusaha fokus untuk menyetir. “Oh! Bagaimana Kakak bisa tahu?” Ujar Barra. “Ya, kamu tidak tahu saja… Para ibu tu tidak bisa kalian bohongi. Setelah kalian berenam pergi, mereka semua berkumpul di rumahku dan mulai membicarakan kemiripan alasan kalian, yang sama-sama minta izin untuk pergi liburan bersama dengan teman lama ataupun rekan kerja kalian masing-masing. Ya, sesuai dugaan, kita semua tahu bahwa kalian sebenarnya pergi bersama. Masa, kalian pergi dalam waktu yang bersamaan secara kebetulan. Tentu tidak wajar, bukan?” Jelas Kak Rio. “Haha iya juga… Ya, kami semua sepertinya memang tidak pandai berbohong. Aku bahkan tidak terpikirkan akan hal itu, saat izin dengan Ibu.” Ujar Barra.
“Yah hujannya semakin deras.” Ujar Alessa. Kami baru saja selesai menikmati makan siang di salah satu tempat makan, yang terletak di sekitaran minimarket. Namun, di saat kami sudah ingin menyebrang jalan, hujan tiba-tiba saja turun dengan cukup deras. Ryan dan Barra sedang pergi ke minimarket untuk membeli beberapa payung saat ini. Kami berempat menunggu mereka di sebuah halte dekat situ. “Eh ini!” Ucap Ryan kepada Dino, sambil memberikan payung yang ia beli. Mereka membeli tiga buah payung. Dino pergi bersama dengan Alessa. Aku pun segera mendekat ke arah Naomi, berniat ingin sepayung dengannya. Namun, kekasihnya yang menyebalkan itu segera menyenggol tanganku dan memayungi Naomi, lalu segera pergi bersama dengannya. “Ish! Wah, ada apa dengan anak itu!? Mengap
Barra yang pada saat itu sudah berada di kamar, karena telah selesai dengan makan malamnya. Seketika, langsung terbangun dan keluar dari kamar, berkat teriakan yang dibuat oleh Erin. “Apa yang terjadi!?” Tanya Barra, yang heran dengan apa yang dia lihat sekarang. “Ada yang lupa untuk menutup kran air dan membiarkan lubang airnya tertutup.” Jelas Erin dengan singkat, dan mulai menguras air di lantai. “Hei! Kamu jangan hanya berdiam diri di sana! Cepat bantu aku membereskan ini semua!” Ujar Erin dengan nada tingginya, karena melihat Barra yang hanya celingak-celinguk melihat kondisi rumah. “Oh! Iya. Iya. Apa yang bisa aku bantu?” Tanya Barra, yang segera datang menghampiri Erin. “Itu. Tolong, angkat barang-barang itu ke at
Semuanya berjalan sesuai dengan rencana Ryan dan Naomi. Mereka berenam akhirnya berhasil pergi berlibur tanpa dampingan para Ibu itu. Mereka pergi ke sebuah kota yang memang terkenal sebagai tempat wisata. Di kota itu, ada daerah yang masih memiliki suasana sebuah desa, yang masih asri dan tidak begitu ramai. Salah satu alasan Ryan memilih tempat itu, tentunya untuk kenyamanan Barra, Sang Idola. Ryan tidak mau membuat Barra merasa tidak nyaman, apalagi melihat kondisinya sekarang. 14.50 “Woah! Sudah lama sekali, aku tidak datang ke tempat seperti ini. Udaranya terasa masih begitu segar. Suasananya begitu nyaman dan tenang.” Ujar Naomi, Sang Anak Kota. “Em benar, Kak. Suasana di sini benar-benar membuat hati merasa tenang. Seketika, aku merasa bebanku seperti hilang.” Ucap Alessa, mendukung perkataan Naomi barusan.
“Bu, aku pamit pulang sekarang, ya. Aku mau bersiap untuk berangkat kerja.” Ujar Erin kepada Ibu. “Iya, hati-hati… Eh iya! Ingat-ingat semua pesan yang Ibu bilang padamu tadi, ya. Minyak goreng, jangan lupa sampai lupa dibeli.” Ujar Ibu. “Iya, siap Bu!” Jawab Erin, sambil bergegas melangkah ke arah pintu. “Eh Rin! Biar Kakak antar. Aku juga sekalian ingin pamit untuk pulang sekarang. Bi, benar-benar tidak apa, bukan?” Ujar Kak Rio, yang baru saja keluar dari kamar Barra. “Iya, tidak apa-apa, Rio. Lagipula, jika kamu di sini, apa yang mau kamu lakukan? Lebih baik, kamu tetap bekerja saja. Barra biar Bibi yang urus.” Jelas Ibu. “Iya, Bi. Aku percayakan Barra kepada Bibi, ya. Terima kasih banyak. Kalau begitu, Erin pamit pe
Barra dan Erin, keduanya sudah tiba di restoran, tempat Bi Trisha mengundang kami semua. Meja yang kami pesan terletak di bagian rooftop restoran itu. Sehingga, kami melihat keberadaan mereka dari gedung sebelah, yang merupakan sebuah penginapan. Kami menyewa ruangan itu, hanya untuk membuktikan dugaan kami akan hubungan Barra dan Erin. Beberapa menit pun berlalu, Erin dan Barra masih tampak canggung dan tidak berbicara satu sama lain, sehabis sapaan mereka di awal mereka datang. “Lihat, bukan?? Aku sudah bilang hubungan mereka sempat merenggang karena rumor kencan itu. Lihat! Sikap mereka tidak tampak seperti biasanya, bukan?” Ujar Ryan, yang mulai senang karena bisa membuktikan perkataannya. “Hmm iya… sepertinya aku mulai yak
Kondisi kesehatan Barra sudah benar-benar pulih, setelah peristiwa kecelakaan itu. Dia mulai kembali disibukkan dengan berbagai aktivitasnya di dunia hiburan. Namun, Kak Rio mulai menyadari bahwa sikap Barra tampak aneh akhir-akhir ini. Fisik Barra memang telah kembali sehat, tapi Kak Rio ragu dengan kesehatan mentalnya. “Bar, ada apa sebenarnya denganmu? Mengapa kamu sering terlihat melamun dan tidak fokus akhir-akhir ini? Apa ada masalah? Apa ada hal yang mau kamu ceritakan kepadaku?” Tanya Kak Rio, dengan ekspresi penuh kekhawatiran. “Hah? Ah tidak. Aku tidak apa-apa.” Jawab Barra. “Tidak apa-apa, bagaimana!? Di acara musik kemarin, di saat waktunya kamu mulai bernyanyi, kamu malah hanya terdiam membeku di panggung. Lalu, saat syuting tadi, di saat kamu seharusnya berpelukan dengan lawan mainmu, kamu malah men