"Apa ini? Permen.. Jelly?? Sejak kapan kamu suka makan makanan seperti ini??" Tanyaku yang heran kepada Ryan yang terlihat meletakkan satu kantong besar permen Jelly di mejanya
"Eriinnn!" Panggil Naomi sambil berlari kecil menghampiriku. Dia datang sambil memeluk sebungkus permen Jelly besar yang sesekali dimakan olehnya.
"Mau?" Tanya Naomi yang menawarkan permen Jelly yang dipegangnya itu kepadaku.
“Haha kamu sepertinya sangat menyukai permen itu." Ucapku sambil agak tertawa karena melihat Naomi yang begitu menggemaskan, seperti anak kecil yang begitu lahap memakan permen kesukaannya.
"Em." Jawab Naomi singkat sambil terus mengunyah permen itu.
"Hmmm... Coba kamu tawari Ryan. Sepertinya, anak ini juga lagi suka permen Jee..." Ucapanku seketika terhenti, setelah mengetahui bahwa ternyata Ryan sudah tidak berada di sampingku. Anak itu menghilang. Aku langsung bingung dan bertanya-tanya. Kapan dan bag
“Aku pamit pulang ya, Erin.” Ucap Naomi kepadaku. “Iya, hati-hati ya...” Ujarku sambil menepuk bahu Naomi. “Sampai jumpa!”Ucap Naomi dan Ryan. Naomi dan Ryan pun mulai berjalan menjauh dari rumahku, dan seperti waktu itu Ryan juga mengantarkan Naomi pulang sampai ke rumahnya. Lalu, sama seperti waktu itu juga, Naomi masih juga merasa sungkan kepada Ryan karena menjadi repot untuk mengantarnya pulang sampai ke rumahnya. *** “Okay! Sudah sampai. Kalau begitu, aku pulang ya. Sampai jum…” “Ehh! Apakah kamu mau mampir dirumahku sebentar?” Tanya Naomi secara tiba-tiba kepada Ryan dengan nada suara yang terdengar canggung. “Hah??” Ujar Ryan memastikan apa yang didengarnya barusan. “Hmm... Aku hanya merasa tidak enak karena kamu terus mengantarku seperti ini. Kebetulan, Bibi juga memasak masakan yang cukup banyak untukku. Kamu belum makan malam, bukan?? Jadi... anggap saja, ini sebagai ungkapan t
[Di Kantin Sekolah]“Eh iya! Erin... kamu bakalan ikut acara pentas seni di hari Sabtu ini, bukan?” Tanya Naomi penasaran.“Hmm... pensi, ya?? Aku itu sebenarnya tidak suka datang ke acara seperti itu..” Jawabku namun terjeda seketika, setelah menyadari wajah Naomi yang menunjukkan rasa kecewa.“Aahh… Tapi kalau kamu mau ikut, aku juga akan ikut kok... dengan senang hati.” Lanjutku berusaha menyenangkan hati Naomi.“Eh serius!! Aah senangnya... Aku soalnya tidak mau melewatkan kesempatan ini. Kamu tahu, bukan?? Di pensi nanti bintang tamunya itu siapa..” Ucap Naomi dengan nada yang bersemangat sambil terus menerus membuat senyum lebar“Hey! Apa yang sedang kalian perbincangkan? Seru sekali sepertinya.” Ucap Ryan yang tiba-tiba datang, sambil sesekali meminum sebotol soda yang dipegangnya.“Ishh... Mau tahu aja...” Ucapku dengan nada mengejek.
"Erin? Dimana kamu sekarang?” Tanya Ryan yang meneleponku. "Aku? Di bus." Jawabku. "Di bus?? Kamu pulang!? Mengapa tiba-tiba sekali?" Tanya Ryan yang terkejut mengetahui bahwa aku sudah berada di perjalanan pulang. "Em, iya.. Maaf, tidak sempat pamit tadi. Aku tiba-tiba ada urusan mendadak. Jadi, aku sampai kelupaan untuk pamit kepada kalian berdua." Jawabku mencoba mencari alasan. “Oh, seperti itu... Baiklah, kalau begitu. Kamu hati-hati di jalan, ya.” Ucap Ryan yang terdengar pasrah dengan jawabanku. "Erin? Dia benar-benar sudah pulang!?" Tanya Naomi yang berdiri di sebelah Ryan. "Iya, anak itu sudah di bus sekarang." Jawab Ryan.sambil memasukkan ponselnya di kantong celananya. "Yah... Padahal, aku berniat untuk menikmati pesta kembang api malam ini bersama Erin." Ucap Naomi dengan ekspresi kecewa. "Ya, apa boleh buat... Sepertinya Erin benar-benar ada urusan yang penting sehingga dia pergi terburu-buru seperti itu."
"Eh! Erin, kamu mau pergi kemana dengan Naomi sore ini?" Tanya Ryan yang membalikkan tubuhnya ke arahku, dengan memasang wajah penasaran. "Iiih... Mau tahu... aja." Ucapku dengan nada yang menyebalkan, sambil terus melihat layar ponselku. "Iiiisshh! Erin? Erin... Aku ikut bersama dengan kalian, ya?? Boleh, bukan??" Tanya Ryan sambil memasang wajah penuh harap. "Ikut?? Tidak ahh...Tak boleh!" Jawabku ketus kepada Ryan. Wajah Ryan seketika langsung tampak muram. Namun, matanya masih terus menatapku, berusaha membujuk dengan menunjukkan sikap manja yang sangat mengganggu pandangan mataku. "Heh! Kalau kamu memang suka dengan Naomi, langsung bilang saja ke orangnya. Siapa tahu dia mau menjadi pacarmu, bukan?? Sana! Cepat ungkapkan perasaanmu! Jadi, kamu bisa pergi berkencan dengannya kapan saja. Daripada seperti ini, selalu mengikuti aku dan Naomi. Ganggu, tahu?? Sangat mengganggu!!" Ucapku dengan nada kesal. "Hmm... kamu kok, tahu? Kalau,
"Halo! Selamat pagi!!" Sapa seorang pemuda yang sedang menggosok gigi di depan cermin kamar mandi kepada Naomi. Sepertinya, pemuda itu juga baru bangun dari tidurnya. Wajahnya masih terlihat polos tanpa riasan apapun. Namun, dia masih terlihat rupawan. Naomi begitu terkejut, melihat sosok pemuda di hadapannya itu. Dia hanya bisa berdiri di sana tanpa berkata dan berkedip sekalipun. Tubuhnya seketika kaku seperti mayat. Pemuda itu pun menjadi bingung dan gelisah, melihat Naomi yang hanya diam membeku di sana. Dia bingung dengan apa yang harus ia lakukan terhadap gadis di hadapannya itu. "Permisi..." Ucap pemuda itu sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Naomi, berusaha untuk menyadarkan Naomi yang matanya bahkan tak berkedip. "Aaaaakkkhh!!!" Teriak Naomi dengan begitu kencangnya, seperti melihat makhluk astral sambil berlari kencang ke arah kamarku. Semua orang di rumah menjadi terbangun karena teriakan keras yang Naomi buat.
"Eh! Ayo! Ayo! Jangan menghabiskan waktu kita hanya untuk berdiam diri saja disini. Ayo, kita mulai pergi untuk mencari wahana permainan." Ucap Barra memecahkan suasana yang mulai tidak karuan, sambil mencoba menggandeng tangan Laura seraya berkenalan dan berusaha menjadi dekat dengan gadis kecil itu. "Eh iya? Erin... Siapa laki-laki itu?" Bisik Ryan kepadaku karena penasaran melihat pria di hadapannya itu. "Barra Alexander. Ssttt!" Jawabku kepada Ryan, serta segera memberikan isyarat kepadanya untuk diam. "What's!!!" Teriak Ryan yang kaget sambil berusaha menutup mulutnya, supaya bisa diam. “Barra!? Barra Alexander!? Artis populer itu?? Woaahh! Bagaimana kamu bisa mengenal orang, seperti dirinya?” Ujar Ryan yang masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar. "Ssstt... Aku akan menceritakan semuanya nanti." Bisikku singkat kepada Ryan, berusaha mencegah Ryan yang kemungkinan akan berisik untuk mencari tahu. Kami semu
Tak terasa, hari kelulusanku akhirnya tiba. Hari ini, aku resmi lulus dari tingkat sekolah menengah atas. Aku pun mulai bersiap untuk masuk ke jenjang perguruan tinggi, seperti yang aku dan orang tuaku cita-citakan. Perguruan tinggi yang aku dambakan mulai membuka sesi pendaftaran. Aku pun langsung bersiap dan mengikuti tes yang diadakan. Akhirnya, sesuai dengan apa yang aku harapkan, aku berhasil lulus untuk masuk ke perguruan tinggi tersebut, sesuai dengan jurusan yang aku pilih. Namun, kegembiraan yang aku rasakan seketika pudar ketika melihat beberapa biaya yang harus dibayarkan. Bisnis Laundry orang tuaku sebenarnya mulai mengalami penurunan sejak bulan lalu, dikarenakan kejadian dimana beberapa baju pelanggan menjadi rusak dan robek karena mesin cuci yang tampak sudah tua itu. Karena kejadian itu, Ayah dan Ibu harus mengganti rugi kepada beberapa pelanggan. Lalu, karena kejadian itu, pelanggan mereka pun mulai menjadi berkurang. Saat ini, aku merasa me
Mulai hari ini, aku akan mulai menginap di rumah Barra. Ya, aku harus tinggal bersama Artis itu mulai sekarang. Aku tahu bahwa hal ini pasti akan sangat canggung bagi kami berdua. Tapi, apa boleh buat?? Pokoknya, aku harus bekerja dengan baik, supaya aku bisa meringankan beban yang aku dan keluargaku sedang rasakan ini. Ya, aku harus memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin. “Kamu jangan berbuat yang aneh-aneh ya, Rin. Perlihatkan sikap terbaikmu di depan Barra. Jangan berani-berani kamu merepotkannya. Kamu harus selalu menemani dan membantu Barra, mengerti??” Ucap Ibu yang terus memberikan nasehat kepadaku. “Bu? Anak Ibu itu sebenarnya aku atau Barra? Seharusnya, Ibu berkata kepadaku untuk hati-hati dan menjaga diri, bukan?? Karena harus tinggal bersama seorang pria yang sebenarnya masih asing bagiku. Apa Ibu sama sekali tidak mengkhawatirkanku??” Ujarku yang lama-kelamaan menjadi kesal dengan ucapan Ibu. “Eh! Bukan seperti itu. Ibu berkata seperti ini, ka
Hidup yang terasa biasa-biasa saja tidak mengartikan bahwa hidupmu tidak spesial atau kehadiranmu tidak penting. Di dunia ini, kita semua punya alasan dan tujuan masing-masing. Tuhan tidak menciptakan kita tanpa suatu alasan. Tuhan pasti punya maksud. Kita adalah pemeran utama di kehidupan kita masing-masing. Kita punya cerita ketika sendiri, dengan genre yang berbeda, dengan alur yang berbeda, dan juga dengan akhir yang berbeda. Kita punya waktu klimaks masing-masing. Jangan pernah menganggap dirimu sebagai seorang figuran, sebagai penghias dalam kehidupan orang lain. “Kamu juga punya peran yang penting.” “Tiap kamu adalah unik.” Jangan pernah menganggap dirimu tidak berguna. Dirimu biasa-biasa saja. “Kamu itu berharga.” “Dirimu tidak tergantikan.” Kita berhak memiliki happy ending dari kehidupan kita, masing-masing. Keadaan bisa berubah kapan saja. Semuanya pasti berakhi
07.20 “Heh! Ada apa denganmu? Mengapa kamu terus menatapku, seperti itu!?” Tanyaku, yang heran dengan sikap Dino yang terus menatapku dengan ekspresi datarnya sedari sarapan tadi. “Aku mau minta uang.” Jawab Dino, dengan tetap menunjukkan ekspresi datarnya. “Hah? Apa katamu!? Uang? Apa alasannya? Mengapa aku harus memberimu uang? Enak saja…” Ujarku. “Cepat berikan! Atau Kakak akan menyesal.” Ucap Dino, yang tiba-tiba mengancamku. “Menyesal? Apa yang harus aku sesali?” Tanyaku, yang tidak menanggapi perkataan Dino dengan serius. “Kalau Kakak tidak memberiku uang, aku akan memberitahukan kepada Ibu tentang apa yang aku saksikan kemarin malam.” Ucap Dino, dengan wajahnya yang tetap berekspresi
“Barra, apa kamu sebenarnya berlibur dengan Rio, Naomi, Alessa, Dino dan Erin waktu itu?” Tanya Kak Rio, sambil terus berusaha fokus untuk menyetir. “Oh! Bagaimana Kakak bisa tahu?” Ujar Barra. “Ya, kamu tidak tahu saja… Para ibu tu tidak bisa kalian bohongi. Setelah kalian berenam pergi, mereka semua berkumpul di rumahku dan mulai membicarakan kemiripan alasan kalian, yang sama-sama minta izin untuk pergi liburan bersama dengan teman lama ataupun rekan kerja kalian masing-masing. Ya, sesuai dugaan, kita semua tahu bahwa kalian sebenarnya pergi bersama. Masa, kalian pergi dalam waktu yang bersamaan secara kebetulan. Tentu tidak wajar, bukan?” Jelas Kak Rio. “Haha iya juga… Ya, kami semua sepertinya memang tidak pandai berbohong. Aku bahkan tidak terpikirkan akan hal itu, saat izin dengan Ibu.” Ujar Barra.
“Yah hujannya semakin deras.” Ujar Alessa. Kami baru saja selesai menikmati makan siang di salah satu tempat makan, yang terletak di sekitaran minimarket. Namun, di saat kami sudah ingin menyebrang jalan, hujan tiba-tiba saja turun dengan cukup deras. Ryan dan Barra sedang pergi ke minimarket untuk membeli beberapa payung saat ini. Kami berempat menunggu mereka di sebuah halte dekat situ. “Eh ini!” Ucap Ryan kepada Dino, sambil memberikan payung yang ia beli. Mereka membeli tiga buah payung. Dino pergi bersama dengan Alessa. Aku pun segera mendekat ke arah Naomi, berniat ingin sepayung dengannya. Namun, kekasihnya yang menyebalkan itu segera menyenggol tanganku dan memayungi Naomi, lalu segera pergi bersama dengannya. “Ish! Wah, ada apa dengan anak itu!? Mengap
Barra yang pada saat itu sudah berada di kamar, karena telah selesai dengan makan malamnya. Seketika, langsung terbangun dan keluar dari kamar, berkat teriakan yang dibuat oleh Erin. “Apa yang terjadi!?” Tanya Barra, yang heran dengan apa yang dia lihat sekarang. “Ada yang lupa untuk menutup kran air dan membiarkan lubang airnya tertutup.” Jelas Erin dengan singkat, dan mulai menguras air di lantai. “Hei! Kamu jangan hanya berdiam diri di sana! Cepat bantu aku membereskan ini semua!” Ujar Erin dengan nada tingginya, karena melihat Barra yang hanya celingak-celinguk melihat kondisi rumah. “Oh! Iya. Iya. Apa yang bisa aku bantu?” Tanya Barra, yang segera datang menghampiri Erin. “Itu. Tolong, angkat barang-barang itu ke at
Semuanya berjalan sesuai dengan rencana Ryan dan Naomi. Mereka berenam akhirnya berhasil pergi berlibur tanpa dampingan para Ibu itu. Mereka pergi ke sebuah kota yang memang terkenal sebagai tempat wisata. Di kota itu, ada daerah yang masih memiliki suasana sebuah desa, yang masih asri dan tidak begitu ramai. Salah satu alasan Ryan memilih tempat itu, tentunya untuk kenyamanan Barra, Sang Idola. Ryan tidak mau membuat Barra merasa tidak nyaman, apalagi melihat kondisinya sekarang. 14.50 “Woah! Sudah lama sekali, aku tidak datang ke tempat seperti ini. Udaranya terasa masih begitu segar. Suasananya begitu nyaman dan tenang.” Ujar Naomi, Sang Anak Kota. “Em benar, Kak. Suasana di sini benar-benar membuat hati merasa tenang. Seketika, aku merasa bebanku seperti hilang.” Ucap Alessa, mendukung perkataan Naomi barusan.
“Bu, aku pamit pulang sekarang, ya. Aku mau bersiap untuk berangkat kerja.” Ujar Erin kepada Ibu. “Iya, hati-hati… Eh iya! Ingat-ingat semua pesan yang Ibu bilang padamu tadi, ya. Minyak goreng, jangan lupa sampai lupa dibeli.” Ujar Ibu. “Iya, siap Bu!” Jawab Erin, sambil bergegas melangkah ke arah pintu. “Eh Rin! Biar Kakak antar. Aku juga sekalian ingin pamit untuk pulang sekarang. Bi, benar-benar tidak apa, bukan?” Ujar Kak Rio, yang baru saja keluar dari kamar Barra. “Iya, tidak apa-apa, Rio. Lagipula, jika kamu di sini, apa yang mau kamu lakukan? Lebih baik, kamu tetap bekerja saja. Barra biar Bibi yang urus.” Jelas Ibu. “Iya, Bi. Aku percayakan Barra kepada Bibi, ya. Terima kasih banyak. Kalau begitu, Erin pamit pe
Barra dan Erin, keduanya sudah tiba di restoran, tempat Bi Trisha mengundang kami semua. Meja yang kami pesan terletak di bagian rooftop restoran itu. Sehingga, kami melihat keberadaan mereka dari gedung sebelah, yang merupakan sebuah penginapan. Kami menyewa ruangan itu, hanya untuk membuktikan dugaan kami akan hubungan Barra dan Erin. Beberapa menit pun berlalu, Erin dan Barra masih tampak canggung dan tidak berbicara satu sama lain, sehabis sapaan mereka di awal mereka datang. “Lihat, bukan?? Aku sudah bilang hubungan mereka sempat merenggang karena rumor kencan itu. Lihat! Sikap mereka tidak tampak seperti biasanya, bukan?” Ujar Ryan, yang mulai senang karena bisa membuktikan perkataannya. “Hmm iya… sepertinya aku mulai yak
Kondisi kesehatan Barra sudah benar-benar pulih, setelah peristiwa kecelakaan itu. Dia mulai kembali disibukkan dengan berbagai aktivitasnya di dunia hiburan. Namun, Kak Rio mulai menyadari bahwa sikap Barra tampak aneh akhir-akhir ini. Fisik Barra memang telah kembali sehat, tapi Kak Rio ragu dengan kesehatan mentalnya. “Bar, ada apa sebenarnya denganmu? Mengapa kamu sering terlihat melamun dan tidak fokus akhir-akhir ini? Apa ada masalah? Apa ada hal yang mau kamu ceritakan kepadaku?” Tanya Kak Rio, dengan ekspresi penuh kekhawatiran. “Hah? Ah tidak. Aku tidak apa-apa.” Jawab Barra. “Tidak apa-apa, bagaimana!? Di acara musik kemarin, di saat waktunya kamu mulai bernyanyi, kamu malah hanya terdiam membeku di panggung. Lalu, saat syuting tadi, di saat kamu seharusnya berpelukan dengan lawan mainmu, kamu malah men