“Lepaskan mama dan papaku!” Suara anak laki-laki meminta penuh permohonan. Dia berusaha untuk menahan diri demi kedua orang tua.
“Mereka akan menjadi sandera yang bagus untuk saat ini.” Suara tawa pun menggelegar memenuhi ruangan.
“Untuk apa? Kamu sudah mengambilku! Cepat lepaskan mereka!” Kali ini dia tak bisa menahannya, dengan menunjukkan gigi dan mata yang menatap tajam, amarahnya mulai menguar.
“Baiklah, aku akan melepaskan mereka. Tapi, kamu harus tanda tangan kontrak ini.” Pria itu melakukan penawaran.
“Kontrak? Kontrak apa maksudmu?” tanya si anak laki-laki heran.
“Kontrak hidupmu dan orang tuamu. Jika sekali saja kamu melanggar, membunuh mereka bukanlah menjadi hal yang sulit untukku.” Dengan arogan kalimat terucap bukan untuk mengancam, tetapi, menunjukkan kekuasaan.
“Kenapa kau melakukan ini kepadaku? Apa salahku?” Anak laki-laki yang tidak mengerti maksud dari ancaman itu bertanya lagi.
“Ya, kamu tidak bersalah. Hanya saja, kamu begitu istimewa dengan otak itu. Jika aku bisa mengambil otak itu dan menggunakannya, itu akan sangat bagus untukku,” ucap lelaki berjas itu dengan tertawa.
“Dasar biadab! Kembalikan aku kepada orang tuaku. Jika tidak, mereka akan merasa sangat kehilangan.” Permohonan masih terdengar dari nada memelas anak laki-laki itu.
“Kehilangan?” Suara tawa keras Kembali terdengar. “Itulah tujuanku, membuat mereka yang memiliki merasakan kehilangan. Ya, agar mereka tahu, betapa berartinya suatu kehadiran. Cepat tanda tangani kontrak, kemudain aku akan melepaskan orang tuamu.” Pria itu benar-benar tak akan melepaskan tanpa mendapatkan yang ia mau.
***
Hujan deras disertai angin, mengguyur jalanan kota malam ini. Sejak 6 bulan yang lalu, keluarga ini terus menerus berpindah tempat tinggal.
“Oek … oek … oek ….” Suara riuh tangisan bayi yang tengah digendong ibunya. Ayah bayi tersebut sedang menyetir mobil dengan tatapan tajam.
“Tenanglah, sayang, ibu ada di sini bersamamu. Ibu akan menjagamu,” ucap ibu bayi itu sembari mengecup keningnya.
Enam jam sudah keluarga tersebut melakukan perjalanan, entah kenapa ayah bayi itu menahan isak tangis.
Chitt…
Suara rem mobil yang diinjak sedikit keras pun terdengar. Keluarga kecil itu sudah sampai di kota yang akan mereka tempati dan memutuskan untuk menetap. Berbulan – bulan keluarga ini mencari tempat untuk mereka tinggali. Sampai mereka pun menemukan tempat yang layak, untuk tinggal dan menjaga bayi mereka yang bernama Liana.
***
“Liana sudah tumbuh menjadi seorang gadis yang rendah hati dan murah senyum. Begi pula dengan kemampuan yang dia miliki. Prestasi yang diperoleh juga bukan sesuatu yang biasa. Akademik, pengembangan bakat atau ekstrakulikuler, seni terlebih lagi dia memiliki kemampuan yang tidak biasa di bidang pengaplikasian IT. Ini yang selalu mengganggu pikiranku,” ucap ibu gadis itu.
“Itu juga mengganggu pikiran papa. Selama bertahun-tahun, kita sudah kehilangan anak laki-laki dan perempuan kita. Namun, papa tidak akan membiarkan itu terjadi lagi,” ucap papa menepuk-nepuk bahu mama.
Sejak hari itu, Liana dituntut untuk menjauhi praktik – praktik yang berbau ilmu teknologi. Sejak keluarga tersebut menatap di kota ini, Papa dan Mama Liana mendirikan sebuah Yayasan Pelatihan Bakat dan Minat.
Sudah 16 tahun berdiri, yayasan tersebut sangatlah unik karena di dalamnya berisi seluruh peminatan anak mulai dari usia dini hingga dewasa. Liana sendiri sudah beranjak SMA. Ia diterima disalah satu SMA favorit di kota dengan predikat yang sangat baik.
Tidak! Mama, Papa, jangan tinggalkan Liana seorang diri. Liana tidak mau sendirian. Tidak! Tidak boleh! Kalian tidak boleh pergi! Mama, Papa!. Liana terbangun dengan keringat yang bercucuran. Ia merasa sangat ketakutan, karena mimpi itu terus berdatangan sejak ia berusia 10 tahun.
Tok … tok … tok …
Dengan tubuh gemetaran, ia menatap pintu kamar sembari menarik selimutnya.
“Ternyata kau masih hidup. Untunglah, aku akan membawamu di waktu yang tepat. Tunggu, dan lihat, apa yang akan terjadi.” Suara seorang pria sambil menyeret sebuah tongkat, dan membawa sebilah pisau, kemudian perlahan mendekati Liana.
“Tidak…,” teriak Liana ketika pria itu menusuk lehernya.
Liana melihat semuanya, pria itu berjalan menyeret sebuah tongkat. Tongkat itu, terlihat persis seperti yang ia lihat di mimpinya, saat usianya masih 10 tahun. Tapi, kenapa ia selalu datang dan menebar ketakutan.Sebelum ia menusuk leher Liana, tiba-tiba waktu berhenti. Ia berdiri tepat di hadapan Liana, mematung dan tidak bergerak. Bahkan, detik jarum jam dinding, juga ikut berhenti, tanpa ia ketahui sebabnya.Suasana begitu sunyi, namun masih sangat mencekam. Liana yang berusaha untuk berdiri, namun ternyata ia juga mematung, sama seperti pria itu. “Kenapa, bahkan aku, tidak bisa membuka mulut?” tanya Liana dalam hati, berusaha sekuat tenaga untuk menggerakkan tubuhnya. Dari balik pintu, terlihat sebuah kilatan cahaya, yang sangat terang. Cahaya itu, perlahan mendekati Liana, dan membuatnya menutup mata, karena terlalu silau.***“Dimana aku? Kenapa, aku bisa ber
Semua terlihat begitu asing, ketika Liana membuka mata. “Ini seperti kiamat,” gumamnya kemudian menggigit bibir. Liana terus berjalan, menghindari cairan panas itu. Ia merasa kebingungan, karena tidak melihat siapapun yang melintas. Liana terus mengikuti jalan setapak, yang sudah diberi tanda, sehingga aman untuk dilewati.Ketika sampai di persimpangan jalan setapak, ia melihat beberapa balok batu besar, seperti sebuah nisan. Karena penasaran, ia pun mencoba melihat batu apa itu sebenarnya.“Semoga tenang dalam damai.” Kalimat itu, terukir di atas setiap batu besar. Beberapa nama pun terukir disetiap batu yang Liana lihat. Karena merasa kebingungan, ia pun berusaha mencari orang untuk bertanya.“Permisi, batu ini, untuk apa ya?” tanya Liana kepada sepasang kekasih, yang mampir ke tempat itu.“Ini, tugu peringatan. Setelah alat pemusnah itu, merenggut buah hat
“Liana, bangun nak. Ini hari pertamamu masuk sekolah. Masa kamu telat,” ucap Mama mencoba membangunkan.“Tidak …,” teriak Liana kemudian terbangun.Dengan tubuh gemetar, Liana mencoba memastikan apakah tubuhnya baik-baik saja. Ia merabah leher dan memperhatikan sekelilingnya, kemudian menghela napas.“Liana, bangun. Apa kamu ingin terlambat di hari pertamamu?” tanya mama dengan nada keras.“Iya Ma, Liana akan bersiap, 10 menit lagi,” jawabnya kemudian meloncat dari ranjang dan bergegas mandi.Liana bergegas turun untuk membantu pekerjaan mama yang ada di dapur. Mama pun terkejut.“Eh, Anak Mama. Tumben tidurnya pulas banget,” ucap mama merapikan meja makan untuk sarapan.“Maaf, Ma. Oh iya Ma, hari ini Papa nganterin Liana, kan?” tanya Liana mengelak, segera mel
“Kenapa kita baru bertemu sekarang?” tanya aji berbisik kepada Liana.“Aish … Liana, sadar. Kamu tidak boleh terbuai dengan rayuan sampah ini. Pasti, dia bukan laki-laki baik,” gumam Liana di dalam hati, kemudian menatapnya.Brug …Liana menjatuhkan buku yang ia bawa dan mengenai kaki Aji. Sontak, Aji berteriak karena terkejut dan kesakitan. Buku yang Liana bawa cukup berat, tentunya cukup untuk mengalihkan si berengsek itu dari hadapannya.“Kamu kenapa, sih? Serius sekali. Aku, hanya bercanda,” tanya Aji terus memegangi kakinya dengan raut wajah kesakitan.“Kamu, kamu yang mendorongku, kan. Kamu, pasti punya niat yang tidak baik. Astaga, apa kamu mau meminta uang sakuku? Atau kamu, ingin aku mengerjakan PR mu?” tanya Liana kesal, kemudian meninggalkannya.***Sepulang sekolah
“Liana, kamu kenapa?” tanya Reno melihat Liana terjatuh dan segera membopongnya.“Aku, aku baik-baik saja,” jawab Liana dengan tubuh gemetar.“Tunggu di sini, aku akan ke apotek untuk membeli obat penenang,” seru Reno kemudian bergegas pergi.Liana berusaha untuk menenangkan diri dengan menengguk segelas air, kemudian merebahkan tubuhnya di sofa. Namun, tiba-tiba ia merasa sangat mengantuk dan akhirnya tertidur pulas di sofa ruang tengah.Mama, Papa. Jangan tinggalkan Liana sendirian! Tidak, aku tidak mau sendirian. Kalian sudah berjanji akan bersamaku selamanya. Mama, Papa, jangan pergi, kumohon! Lagi-lagi Liana bermimpi buruk. Hanya karena tertidur sejenak menunggu Reno, ia mengalami mimpi itu lagi.“Liana,” panggil Reno ketika memasuki rumah Liana.“Tidak,” ucap Liana keras, kemudian terb
Suasanya ini, membuat jantung Liana berdegup kencang. Ia tidak tau harus menghindar atau diam dan menerima. Namun, kini ia terus memperhatikan bibir Reno dengan terus berandai-andai.Ctuak …“Aduh, sakit,” geram Liana ketika Reno menjitak kepalanya.“Hayo, kamu pasti berpikir yang tidak-tidak, kan,” ejek Reno sambil tertawa kemudian kembali ke tempat duduknya.“Astaga, aku, aku tidak berpikiran aneh,” elak Liana memalingkan wajah memerahnya.***Sesampainya di rumah, keadaan mulai terasa aneh. Reno merasa bingung karena tidak biasanya penjaga rumah tidak berada di pos. Tidak biasanya, pintu rumahnya tertutup rapat. Bahkan ada banyak mobil, namun tak ada orang sama sekali. Ia mulai panik.Apalagi kaca depan rumahnya tampak pecah dan banyak serpihan kaca yang berceceran di lantai. Ia mengira bahwa telah terjadi sebuah perampokan d
Saat ini, orang tua Liana terus berdoa, agar anak mereka bisa segera sadar. Namun, ada kenyataan yang harus mereka terima. Kenyataan itu, adalah hal yang paling mereka khawatirkan, selama ini.“Liana mengalami proses pertumbuhan, yang lebih pesat daripada kakaknya. Tanpa sadar, saat ia merasa sakit pada bagian belakang kepalanya. IQ Liana akan berkontraksi dan membuat seluruh sel otaknya sangat aktif, mungkin perlahan IQ nya akan mengalami kenaikan, jika otak itu terlalu aktif bergerak, Liana akan mengalami sakit yang luar biasa dan mungkin kondisinya akan kritis,” jawab dokter Bagus menatap kedua orang tua Liana, kemudian melepas kaca matanya.“Tidak boleh, itu tak boleh terjadi pada putri kami,” teriak mama ketakutan, dengan tubuh gemetar.Ingatan itu, tiba-tiba muncul di ingatan mama Liana. Saat anak sulung mereka, mengalami kejadian serupa. Namun, saat itu, mereka hanya menganggapnya sebagai s
“Liana sudah siuman, ini mama bawakan susu putih,” ucap ama berjalan menuju ranjang Liana. Sontak Liana terkejut, dan menyembunyikan telunjuknya di bawah selimut.Setelah kondisi Liana membaik, ia diperbolehkan untuk pulang, karena esok, ia harus tetap sekolah. Sesampainya dirumah, mama membawakan susu hangat dan nasi goreng untuk Liana. Seusai makan, ia pergi untuk membersihkan diri dan beranjak tidur.***Kukuruyukkkkkk …Suara ayam jago berkokok, suaranya yang merdu membuat Liana bangun dari dunia mimpinya. Ia bersiap untuk berangkat kesekolah. Tanpa disangka, Aji sudah menunggunya sejak tadi di ruang tamu. Karena mendapat kabar jika Liana sakit, ia menjadi sangat gelisah.“Astaga, kenapa kamu disini?” tanya Liana terkejut, hamper saya ia melompat melihat Aji duduk dengan santai di kursi ruang tamunya.“Selamat pagi
Salma kemudian mencabut sebuah kabel agar video itu berhenti, sebelum Liana melakukan hal yang tidak bisa dicegah. Semua orang terdiam dan terus memperhatikan Liana.“Aku akan membunuhnya,” ucap Liana kemudian mengaktifkan senjata andalan yang pernah ia siapkan bersama Panji, selama ada di bumi.Melihat itu, Sofi memeluk Liana dan berusaha menenangkannya. Sofi tahu, bahwa alat itu bahkan bisa menembak mati seekor godzila dengan sekali tembakan. Alat itu, dibuat khusus dan hanya Liana yang bisa memakainya.“Ada apa denganmu? Mereka hanya memancingmu Liana. Tidak mungkin, Aji dan Panji dalam kondisi itu,” jelas Sofi terus memeluk Liana.“Apa kakak tuli? Kak Panji jelas-jelas memanggil kakak, dan kini kakak memintaku untuk mengabaikannya? Apa kakak waras,” tanya Liana.Liana melontarkan pertanyaan itu sembari melepaskan pelukan Sofi. Ia berusaha menyembunyikan
Alat buatan Liana telah selesai. Alat berkilau yang ia kerjakan selama 13 jam non stop itu, akan menjadi salah satu komponen terpenting dalam sejarah penyelamatan planet ini.“Astaga, kenapa alat ini bisa berkilau?” tanya Ratih.“Ini adalah sebuah trik,” jawab Liana kemudian membawa alat itu dan pergi ke pusat teknologi kota.Salma dan Ratih bergegas mengikuti Liana. Mereka sadar bahwa saat ini, pilihan hidup mereka hanyalah membantu Liana dan kembali ke bumi bersama Aji dan Panji.***Proses evakuasi kota masih terus dilakukan. Semua penduduk diberi alat pelindung diri yang sudah dirancang khusus, untuk melindungi diri jika kota ini berhasil di ambil alih.“Tenanglah, Ana. Mereka berusaha memprovokasimu,” ucap Sofi terus memantau keadaan di luar sana.Sembari terus memantau lapisan keamanan, Ana mengaktifkan semua perlin
Semua orang berkumpul di kediaman utama, termasuk Ana dan penjaga kota. Setelah bedebat dengan kakaknya, Liana terkejut mendengar sirine diikuti dengan sensor merah yang menyala dimana-mana.“Apa yang terjadi?” tanya Ratih terkejut sembari menggenggam tangan Salma.“Mereka datang!” teriak salah seorang penjaga yang tergesa-gesa masuk ke kediaman utama.“Situasi darurat, amankan kota!” perintah kepala penjaga kota kemudian berlari keluar.Tanpa mengatakan sepatah kata, Ana berlari keluar dan segera menuju ke pusat teknologi. Entah apa yang akan terjadi, Sofi menarik tangan Liana dan melarangnya untuk ikut campur.“Liana dengarkan aku,” perintah Sofi sembari memegang tangan Liana.“Apa yang kakak lakukan? Kita harus mengikuti Ana,” tanya Liana terkejut ketika Sofi menghentikan langkahnya.“Tidak! Kamu tidak boleh ikut campur. Ka-k
Tiba-tiba suara larangan terdengar. Suara yang tidak asing bagi Liana, namun ia sendiri tidak tahu suara siapa itu. Liana terus memegang liontinnya erat-erat. Berharap sesuatu yang buruk tidak terjadi. Namun…“Pergilah Liana. Lari… cepat….” Teriakan larangan itu kembali mengusik Liana.Tanpa tahu apa arti dari suara itu, Liana dengan cepat mengaktifkan VEBU dan pergi meninggalkan tempat itu. Rasa berat hati meninggalkan tempat yang ia cari seharian penuh untuk menjawab tanda tanya di otaknya.***Sesampainya di kediaman utama, Liana terkejut beberapa penjaga beserta Ana memenuhi kediamannya. Terlihat pula Ratih dan Salma dengan raut wajah khawatir, sekaligus marah tanpa Liana tau apa penyebabnya.“Mengapa semuanya berkumpul di sini?” tanya Liana begitu sampai dan melihat semua orang.Tidak seorang pun membuka bibir mereka untuk
Mendengar perkataan kakaknya, Liana pun mencatat semua yang ia dengar. Sofi tidak lagi mengigau, atau terbangun sedikitpun. Namun, ucapannya itu, jelas membuat Liana merasa sangat penasaran.“Apa yang baru saja diucapkan kak Sofi? Mungkinkah, ingatan itu adalah kejadian yang tidak diketahui oleh siapapun, saat kak Sofi menghilang,” tanya Liana kepada dirinya sembari merapikan selimut Sofi.***Hari sudah berganti. Matahari di atas daratan mungkin sudah terbit saat ini. Tinggal di kota bawah tanah dengan waktu yang sama dengan daratan, membuat semua orang melupakan kenyataan bahwa mereka sudah hidup cukup lama di bawah sana.Dengan sinar matahari yang diserap langsung dari atas, mereka kerap kali tidak sadar bahwa saat ini tengah menjalani kehidupan di dalam bumi.“Selamat pagi,” sapa Ratih sembari membawa sepotong roti.“Apakah kak Sofi masih tertidur?&rdqu
“Mama akan melindungimu, jadi jangan bersuara.” Satu kalimat yang membungkam Sofi selama 5 tahun pertama dia tinggal di planet ini.Selama itulah, dia tidak berkomunikasi dengan siapapun. Bahkan, Sofi kerap kali menangis ketika mendengar bunyi benda keras yang berjatuhan.Kedua orang tua Ana berusaha untuk merawatnya seperti putri mereka sendiri. Namun, apadaya jika seorang anak terus merindukan kasih saying orang tua kandung mereka.“Saat itu, aku sedang menunggu,” ucap Sofi singkat.“Apa yang sebenarnya kakak tunggu?” tanya Liana semakin penasaran.“Mama,” jawab Sofi kemudian meneteskan air mata.Liana kemudian menggenggam kedua tangan Sofi erat. Ia sadar bahwa tidak seharusnya bertanya hal itu, karena akan membuat kakaknya semakin sedih. Namun, Liana ingin Sofi berbagih kesedihan itu dengannya.“Mama berkata,
Semua orang meletakkan pandangannya kepada Sofi. Siapa sangka, jika gadis kecil yang penuh dengan tatapan trauma itu adalah dirinya. Melihat diri kecilnya yang meringkuk di balik pohon, Sofi mengalihkan pandangannya dan mulai mengatur napas.“Apakah semua ini? Mengapa gadis kecil itu adalah kakak?” tanya Liana terkejut dengan raut wajah tidak percaya.Keinginan untuk terus bungkam membuat Sofi bergelinang air mata. “Tidak.” Kata yang saat ini membungkam bibir merah muda itu. Namun, sampai kapan derita itu akan dia tanggung seorang diri.“Itu aku, sekaligus keadaan pertama kaliku ketika menginjakkan kaki di planet ini,” jawab Sofi sembari mentup kedua matanya dengan telapak tangan.“Oh… apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Salma menahan air matanya ketika melihat gadis kecil yang tak lain adalah Sofi.“Saat itu Jack bahkan menghancurkan rumah kami.
Mereka masih berada di ruangan yang sama, sejak terakhir kali tersadar bahwa ada sesuatu yang menanti. Terperosok masuk ke dalam tanah, bahkan tidak terpikirkan oleh mereka.Sekarang, Liana telah menemui sosok yang dipanggil sebagai “Liana” di universe ini. Mereka saling memandang satu sama lain. Begitu juga dengan Salma dan Ratih, raut wajah terkejut itu membuat siapapun ingin tahu apa arti dari semua yang terjadi hingga detik ini.“Hai, aku Liana,” sapa Liana dari universe ke 4.Liana masih terdiam, tidak berucap apapun dan terus memandang gadis seusianya itu. Kali ini, suasana canggung mulai mengusik semua orang yang ada di ruangan itu, termasuk Sofi.“Canggung sekali, tidak ku sangka akan serumit ini,” gumam Sofi kemudian mendekati kedua Liana itu.Kali ini, Liana mulai maju satu langkah ke depan, untuk memastikan apa yang ia lihat bukan ha
Semua mata terbelalak, melihat puing-puing itu berceceran tanpa arah di angkasa. Untuk menghindari benturan akibat puing-puing tersebut, Sofi mengaktifkan fungsi pengaman pesawatnya.Fungsi aktif…“Kita harus segera mendarat. Akan lebih berbahaya jika benda-benda tanpa tujuan itu menabrak pesawat ini,” ucap Sofi kemudian menarik kemudi pesawat itu.“Sungguh membuatku penasaram,” celetuk Salma, terus memperhatikan keluar pesawat.Lagi-lagi, pesawat itu melesat layaknya pancaran kilat. Mereka tiba di daratan planet tempat seseorang yang Liana cari. Perlahan Liana melepaskan sabuk pengaman dan mengenakan semua alat keamanan yang sudah disiapkan sebelumnya. Begitupun dengan Salma, Ratih, san Sofi.“Huftt… aku merasa bahwa jantungku, tidak baik-baik saja,” keluh Ratih sembari mengelus dadanya dengan raut wajah khawatir.“Kita b