Jam delapan David sudah berdiri di gerbang rumah orang tua Riana. Keadaan terlihat sepi karena ini memang masih pagi dan orang-orang rumah pasti sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
"Ada perlu apa mas?"
Seorang satpam menghampiri David. Wajar saja lelaki paruh baya itu tak mengenal dirinya karena hanya beberapa kali David berkunjung kesini dan saat itu pun tidak ada satpam yang berjaga.
"Saya ada keperluan dengan Riana pak. Apa masih ada dirumah?"
"Oh, teman neng Riri. Ada mas, silahkan masuk."
David mengekor mengikuti pak Gandi, satpam keluarga Riana yang kini berjalan di depan menuju pintu rumah megah tersebut.
"Buk tolong panggilan neng Riri ya. Ini temannya. Bapak mau kedepan dulu."
Pak Gandi berbicara pada perempuan paruh baya yang sedang beres-beres di sekitaran ruang tamu.
"Oh. Iya pak," Sahut istri pak Gandi.
"Silahkan duduk mas. Saya panggilkan neng Riri dulu ya."
Paruh baya itu mempersilahkan kemu
Laras masih duduk di kursi kerjanya dengan bertopang dagu saat para karyawan sudah meninggalkan kedai lebih dulu.Perempuan itu mengerjap saat ketukan pintu mengalihkan perhatiannya yang sejak tadi asyik melamun."Mama."Sasa yang baru tiba dengan Sonya segera beralih dan duduk dalam pangkuan mamanya dengan manja. Bocah itu meletakkan kepala pada ceruk leher Laras dan dibalas perempuan itu dengan mengusap Surai sang putri lembut penuh sayang."Capek kak?"Bocah yang matanya tinggal segaris itu mengangguk mengiyakan. Bibirnya tak lagi mengeluarkan suara karena kelelahan dan mengantuk setelah seharian di ajak keluar Sonya dan suaminya, Sena."Makasih ya nte mau jagain Sasa. Pasti gak bisa diem nih anak.""Santai aja. Udah biasa, kalau anak Lo diem malah gue takut," Balas Sonya.Laras hanya mangut-mangut. Perempuan itu mengambil ponsel dan mengetikan sesuatu disana.Ekspresi Laras yang tak biasa berhasil menarik perha
David mencekal tangan mamanya, laki-laki itu menampilkan raut memelas yang membuat Diana enggan menatap ke arah sang putra.Ibu dua anak itu melepaskan belitan David yang mengerat, dia tahu anaknya akan menjelaskan sesuatu namun mendengar putranya tadi mengatakan telah merusak wanita benar-benar membuat dirinya marah dan kecewa.Ternyata dugaannya selama ini benar, kepergian putranya beberapa tahun lalu berhasil membentuk karakter David tak bermoral."Ma, dengerin penjelasan David dulu," David mengiba.Laki-laki yang kini tak lagi memaksa sang mama itu menatap dengan ekspresi pasrah, benar-benar binggung saat melihat mamanya terlihat emosional seperti sekarang."Mama capek vid.""Ma, tolong biarkan David jelaskan dulu. Mama belum denger semuanya.""Apa kata merusak belum cukup untuk menjelaskan semuanya. Apa kamu pikir mama bodoh?"Perempuan paruh baya itu menatap sang putra sengit, kedua matanya mengembun. Sungguh dia kecewa d
"Sasa."Bima berteriak heboh saat siluet Sasa terlihat dari balik pintu kaca. Laki-laki itu segera meninggalkan meja dan berjalan menuju bocah cantik tadi dengan mata berbinar.Nuri yang sejak tadi mengamati hanya menggeleng, heran juga melihat remaja ganteng yang sikapnya memalukan seperti ini.Bima memang pelanggan tetap kedai ini, tak heran laki-laki itu terlihat akrab dengan Sasa dan para pegawai karena seringnya pemuda itu datang kesini."Bim, udah mulai masuk kuliah ya?"Laras yang baru tiba bertanya, karena memang sejak beberapa bulan ini ia tak melihat Bima datang ke kedai.Dan bisa dipastikan pemuda itu sedang libur kuliah."Sudah mbak, capek juga liburan dirumah."Bima tertawa ringan.Memang benar karena 2 bulan lebih libur dia hanya menjadi sopir mamanya, mengantar mamanya kesana kemari dan mendadak menjadi asisten papanya juga saat sedang sibuk di kantor.Jika disuruh memilih Bima tak ingin
Wira, istri dan putranya Bima duduk dengan tenang di sofa ruang tengah. Sejak sepuluh menit yang lalu mereka tidak juga mengeluarkan suara apapun.Apalagi Bima, pemuda yang biasanya tak bisa diam itu kini menutup mulutnya rapat-rapat saat melihat ekspresi mamanya yang menyeramkan."Maaf menunggu lama om, tante."Sonya meringis setelah meletakkan tiga gelas teh dihadapan mereka. Perempuan itu ikut merasakan aura tak menyenangkan dan memilih berlama-lama di dapur dengan alasan membuatkan minum."Terima kasih, harusnya gak usah repot-repot," ujar Diana." Sama sekali tidak Tante," jawab Sonya pelan.Diana tersenyum tipis dan dibalas Sonya dengan senyum lembut.Dalam penglihatan Sonya dia tahu wanita paruh baya didepannya ini tengah menyimpan amarah dan raut yang ditampilkan membuatnya bergidik tapi percayalah pancaran mata seseorang tidak pernah menampilkan kebohongan.Perempuan itu menduga hal yang selama ini ia pikirkan benar-be
"Maafkan aku Ras. Aku mengaku salah tapi aku mohon jangan jauhkan aku dari putriku."David berujar memelas, lelaki yang duduk tegang sedari tadi itu tak melepas pandangan dari Laras dengan binar meredup.Hatinya sakit melihat Laras yang hanya diam seperti ini tanpa mengeluarkan reaksi apapun.Perempuan itu hanya menatap kearah lain dan melengos saat mata mereka tak sengaja bertemu.Bahkan mata indah itu tak lagi ingin menatapnya.David mencoba peruntungan, laki-laki itu bangkit berniat duduk disebelah Laras namun perempuan itu lebih dulu menghindar dan melempar tatapan tajam."Jangan mendekat atau aku akan keluar," ancam Laras dengan nafas memburu."Aku .. aku hanya berniat .."David kesulitan mengolah kata, laki-laki itu tergagap dan menutup mulut rapat saat netranya tak sengaja menangkap Laras yang mengusap pipi sebelah kanan.Apakah perempuan itu menangis? Apakah itu karenanya?"Pergi dari sini mas. Aku anggap
"papa beneran kesini kan?"Suara riang Sasa berhasil menerbitkan senyum David. Laki-laki yang tengah disibukkan dengan pekerjaan kantor itu tetap meluangkan waktunya untuk sekedar berkabar dengan sang putri.Sejak seminggu lalu hubungannya dengan gadis cilik itu berjalan baik, mereka semakin dekat dan David bersyukur putrinya mau menerima kehadirannya."Iya sayang. Papa kesana. Sasa mau dibawakan apa?"David kembali mengulas senyum saat tingkah lugu sang putri berhasil ia tangkap. Gadis kecil disana tengah mengetukkan jari telunjuk di pipi membuat David gemas dibuatnya.Tuhan. Kenapa dulu ia begitu bodoh menolak putrinya sendiri."Apa aja. Sasa gak tau mau apa papa."Suara Sasa terdengar manja ditelinga David. Laki-laki itu mengangguk kemudian melempar ciuman jauh, yang dibalas tak kalah heboh oleh Sasa."Sudah dulu ya sayang. Papa masih kerja. Kalau sudah pulang nanti, papa video call lagi.""He em Sasa juga mau n
Seperti janjinya kemarin, David tiba di kediaman Laras saat jam menunjuk angka delapan pagi. Laki-laki itu memang sengaja datang lebih awal karena ingin mengajak anaknya bermain diluar untuk menghindari panas. "Papa." Teriakan Sasa dari dalam rumah membuat David menoleh, laki-laki itu ikut mengembangkan senyum saat melihat tawa lepas putrinya. Sudah seminggu sejak terakhir kali dia datang kesini, dan hari ini adalah hari yang paling dinantinya. "Pagi sayang," sapa David setelah Sasa berhasil masuk kedalam pelukannya. "Pagi papa," sahut bocah itu dengan malu-malu. Laras yang mengintip di balik jendela segera keluar untuk menemui sepasang ayah dan anak itu. Hatinya menghangat melihat interaksi didepannya walaupun ada goresan kecil yang kembali membuat hatinya ngilu namun hal itu, Laras abaikan. Semalaman dia memikirkan apa yang diucapkan Sonya sore kemarin, dan Laras sudah mengambil keputusan. Semoga ini keputusan yang ba
"Tante senang kamu sudah bisa menerima David. Semua ini gak mudah nak, tapi terimakasih sudah bersedia memaafkan kami."Diana melemparkan senyum hangat, ibu dua anak itu tidak tahu harus bagaimana saat berhadapan langsung dengan Laras.Perasaan bersalah, kecewa, sedih, dan kesakitan lainnya benar-benar membuatnya sesak setiap kali mengingat kejahatan putranya.Selama ini, ia kira David sudah berubah. Melihat sendiri bagaimana putra sulungnya itu lebih mudah diatur saat lulus SMA, namun ia harus menelan pil pahit saat ternyata kebobrokan David baru ia ketahui beberapa Minggu yang lalu."Aku cuma manusia biasa Tante. Rasa-rasanya juga gak baik memendam benci terlalu lama. Apalagi ada Sasa diantara kami," ujar Laras dengan senyum lembut."Kamu memang perempuan baik nak. Maaf karena anak tante, kamu harus menanggung sakit sendirian."Diana berujar dengan sorot redup diakhir kalimat. Sebagai sesama wanita dia paham apa yang dulu dirasakan wanita