Wira, istri dan putranya Bima duduk dengan tenang di sofa ruang tengah. Sejak sepuluh menit yang lalu mereka tidak juga mengeluarkan suara apapun.
Apalagi Bima, pemuda yang biasanya tak bisa diam itu kini menutup mulutnya rapat-rapat saat melihat ekspresi mamanya yang menyeramkan.
"Maaf menunggu lama om, tante."
Sonya meringis setelah meletakkan tiga gelas teh dihadapan mereka. Perempuan itu ikut merasakan aura tak menyenangkan dan memilih berlama-lama di dapur dengan alasan membuatkan minum.
"Terima kasih, harusnya gak usah repot-repot," ujar Diana.
" Sama sekali tidak Tante," jawab Sonya pelan.
Diana tersenyum tipis dan dibalas Sonya dengan senyum lembut.
Dalam penglihatan Sonya dia tahu wanita paruh baya didepannya ini tengah menyimpan amarah dan raut yang ditampilkan membuatnya bergidik tapi percayalah pancaran mata seseorang tidak pernah menampilkan kebohongan.
Perempuan itu menduga hal yang selama ini ia pikirkan benar-be
"Maafkan aku Ras. Aku mengaku salah tapi aku mohon jangan jauhkan aku dari putriku."David berujar memelas, lelaki yang duduk tegang sedari tadi itu tak melepas pandangan dari Laras dengan binar meredup.Hatinya sakit melihat Laras yang hanya diam seperti ini tanpa mengeluarkan reaksi apapun.Perempuan itu hanya menatap kearah lain dan melengos saat mata mereka tak sengaja bertemu.Bahkan mata indah itu tak lagi ingin menatapnya.David mencoba peruntungan, laki-laki itu bangkit berniat duduk disebelah Laras namun perempuan itu lebih dulu menghindar dan melempar tatapan tajam."Jangan mendekat atau aku akan keluar," ancam Laras dengan nafas memburu."Aku .. aku hanya berniat .."David kesulitan mengolah kata, laki-laki itu tergagap dan menutup mulut rapat saat netranya tak sengaja menangkap Laras yang mengusap pipi sebelah kanan.Apakah perempuan itu menangis? Apakah itu karenanya?"Pergi dari sini mas. Aku anggap
"papa beneran kesini kan?"Suara riang Sasa berhasil menerbitkan senyum David. Laki-laki yang tengah disibukkan dengan pekerjaan kantor itu tetap meluangkan waktunya untuk sekedar berkabar dengan sang putri.Sejak seminggu lalu hubungannya dengan gadis cilik itu berjalan baik, mereka semakin dekat dan David bersyukur putrinya mau menerima kehadirannya."Iya sayang. Papa kesana. Sasa mau dibawakan apa?"David kembali mengulas senyum saat tingkah lugu sang putri berhasil ia tangkap. Gadis kecil disana tengah mengetukkan jari telunjuk di pipi membuat David gemas dibuatnya.Tuhan. Kenapa dulu ia begitu bodoh menolak putrinya sendiri."Apa aja. Sasa gak tau mau apa papa."Suara Sasa terdengar manja ditelinga David. Laki-laki itu mengangguk kemudian melempar ciuman jauh, yang dibalas tak kalah heboh oleh Sasa."Sudah dulu ya sayang. Papa masih kerja. Kalau sudah pulang nanti, papa video call lagi.""He em Sasa juga mau n
Seperti janjinya kemarin, David tiba di kediaman Laras saat jam menunjuk angka delapan pagi. Laki-laki itu memang sengaja datang lebih awal karena ingin mengajak anaknya bermain diluar untuk menghindari panas. "Papa." Teriakan Sasa dari dalam rumah membuat David menoleh, laki-laki itu ikut mengembangkan senyum saat melihat tawa lepas putrinya. Sudah seminggu sejak terakhir kali dia datang kesini, dan hari ini adalah hari yang paling dinantinya. "Pagi sayang," sapa David setelah Sasa berhasil masuk kedalam pelukannya. "Pagi papa," sahut bocah itu dengan malu-malu. Laras yang mengintip di balik jendela segera keluar untuk menemui sepasang ayah dan anak itu. Hatinya menghangat melihat interaksi didepannya walaupun ada goresan kecil yang kembali membuat hatinya ngilu namun hal itu, Laras abaikan. Semalaman dia memikirkan apa yang diucapkan Sonya sore kemarin, dan Laras sudah mengambil keputusan. Semoga ini keputusan yang ba
"Tante senang kamu sudah bisa menerima David. Semua ini gak mudah nak, tapi terimakasih sudah bersedia memaafkan kami."Diana melemparkan senyum hangat, ibu dua anak itu tidak tahu harus bagaimana saat berhadapan langsung dengan Laras.Perasaan bersalah, kecewa, sedih, dan kesakitan lainnya benar-benar membuatnya sesak setiap kali mengingat kejahatan putranya.Selama ini, ia kira David sudah berubah. Melihat sendiri bagaimana putra sulungnya itu lebih mudah diatur saat lulus SMA, namun ia harus menelan pil pahit saat ternyata kebobrokan David baru ia ketahui beberapa Minggu yang lalu."Aku cuma manusia biasa Tante. Rasa-rasanya juga gak baik memendam benci terlalu lama. Apalagi ada Sasa diantara kami," ujar Laras dengan senyum lembut."Kamu memang perempuan baik nak. Maaf karena anak tante, kamu harus menanggung sakit sendirian."Diana berujar dengan sorot redup diakhir kalimat. Sebagai sesama wanita dia paham apa yang dulu dirasakan wanita
Wira dan istrinya sedang dalam perjalanan pulang dari rumah Laras. Mereka memang sengaja memilih perjalanan malam karena menghindari macet dan panas. Pasangan suami istri itu sibuk dengan fikiran masing-masing. Sebelum sang istri bertanya."Pa, apa papa gak ngerasa ada yang aneh sama pemuda tadi?"Diana menoleh menatap suaminya. Kening wanita paruh baya itu berkerut, memikirkan kemungkinan yang sejak siang tadi menganggu pikirannya."Siapa yang mama maksud?"Wira balik bertanya, karena tidak paham dengan maksud sang istri. Tadi siang saat mereka berkumpul, ada beberapa laki-laki seusia putranya yang datang ke rumah Laras untuk mengambil pesanan kue.Lantas pemuda mana yang istrinya maksud."Yang siang tadi datang ke rumah Laras. Siapa namanya tadi?"Perempuan itu tampak berfikir,"Ryan, iya namanya Ryan," sambung Diana lagi.
David berkendara dalam diam. Laras yang duduk disebelahnya memalingkan pandangan pada jendela mobil. Menatap rintik yang turun, sisa hujan yang menguyur kota subuh tadi.Laras terlihat tak semangat saat ia jemput di kedai tadi. Wajah muram perempuan itu membuatnya diam dan tak berani untuk bertanya.Ia takut salah ucap dan berakhir membuat mood perempuan itu berantakan.Kemarin malam ia kaget saat mengetahui Laras menghubunginya. Perempuan itu memintanya untuk menjemput di kedai pukul sepuluh pagi dan ia menyetujui.Dan disinilah mereka sekarang.Ia mengikuti langkah kaki perempuan itu yang berjalan lebih dulu semakin masuk ke dalam. David tak sempat bertanya saat ia melihat Laras sudah lebih dulu berjongkok disalah satu nisan disana.Pandangannya mengikuti kemana tangan Laras bergerak.Ia mengeja nama disana dan jantungnya serasa dihantam dengan pukulan k
"Assalamualaikum."Seorang remaja yang kini duduk di bangku SMP memasuki rumah setelah tadi memberi salam namun tak ada seorang pun yang menjawab.Gadis itu langsung menuju kamar untuk meletakkan tas dan melepas sepatu.Penampilannya masih terlihat rapih walaupun seharian berada di sekolah. Tubuh semampainya membuat terlihat lebih dewasa daripada anak seusianya."Mama, kenapa di kebun terus?"Gadis itu memprotes mamanya dengan bibir cemberut, matanya menelisik ke penjuru taman dan berakhir menatap adiknya yang kini tengah sibuk bermain tanah. Ia mendesah lelah, akan menambah pekerjaannya karena ia yakin bocah yang tengah sibuk itu akan susah untuk diajak mandi. Karena kejadian ini sudah sering sekali terjadi."Ini, mama cuma beresin taneman sama lihat bunga yang tantemu kasih kemarin. Bagus kan kak?"Perempuan yang tengah hamil besar itu menunjuk bunga yang dimaksud, bibirnya menyunggingkan senyum senang saat bunga yang lama diidamkan a
"papa!"Yaya memekik antusias. Bocah tiga tahun itu berlari dan memeluk kedua kaki sang ayah erat yang belum sempat menjaga keseimbangan. Mereka hampir jatuh jika saja tangan laki-laki itu tak memang kusen pintu untuk menahan bobot tubuh mereka."Uhhh, papa kaget nak. Kalau jatuh bagaimana?"Ucap sang papa dengan tangan mengelus dada. Walaupun putrinya sering begini, tapi tetap saja membuat kaget."Kangen pa. Kenapa pelginya lama?"Yaya memberikan protes. Bibir bocah itu mengerucut ke depan membuat sang papa gemas dan berkahir mencium pipi sang putri berkali-kali."Mas, kapan sampe?"Laras yang baru keluar dari kamar segera menghampiri sepasang ayah dan anak itu, perempuan hamil besar itu mengambil tangan suaminya untuk dicium."Baru aja. Sasa kemana ma?" tanya laki-laki itu."Kok mama gak denger suara mobil papa ya."Bukannya menjawab Laras malah balik bertanya. Perempuan itu sepertinya baru bangun ti