Laras sedang memasak sarapan di dapur saat deru mobil memasuki pekarangan rumah. Ibu satu anak itu segera mengecilkan kompor dan menuju ruang depan untuk membukakan pintu, dia juga sedikit heran dengan tamu yang datang di pagi buta begini.
"Waalaikumsalam."
Laras mengerjabkan kedua mata cepat saat tadi sempat tertegun dengan seseorang yang saat ini berdiri di depan rumahnya.
"Boleh masuk?"
Suara bas David kembali mengejutkan Laras. Lelaki matang itu sedikit geli dengan tingkah Laras yang tidak berubah.
Perempuan itu akan diam dan baru bergerak saat sebuah tangan digoyang-goyangkan didepan kedua matanya. Dan David baru saja melakukannya.
Laras yang tersadar berusaha menguasai diri. Perempuan itu berdehem pelan sebelum menjawab.
"Mau apa kesini?"
"Mau bertamu, boleh aku masuk."
David yang tahu penolakan Laras berusaha berbicara selembut mungkin. Dia tahu bagaimana Laras saat membenci seseorang, dan saat ini dialah orang di
Laras memejamkan kedua mata rapat. Perempuan berambut panjang itu berusaha mengatur emosi yang sudah membumbung tinggi.Perlakuan David yang semena-mena membuatnya merasa dilecehkan.Ia tahu bagaimana tadi David yang menatapnya tanpa berkedip, mencuri kesempatan setiap mereka bertemu pandang dan sekarang dengan seenak jidat lelaki itu memeluknya."Lepass."Laras mendesis jengkel. Perempuan itu berusaha melepaskan diri dari belitan tangan David yang semakin kuat memeluk perutnya. Nafas hangat David yang mengenai tengkuk Laras berhasil membuat perempuan itu meremang. Sensai ini sudah lama tidak ia rasakan."Kubilang lepasss," ulang perempuan itu lagi."Tidak akan sebelum kita bicara."David berucap dengan air muka menyebalkan. Lelaki itu tersenyum saat melihat anggukan Laras dengan tubuh perempuan itu yang mulai pasrah."Jangan berbohong. Atau aku bisa bertindak semauku."Laras mengumpat pelan. Perempuan itu duduk ke
"Kamu kenapa mas? aku lihat-lihat beberapa hari ini kayak gak fokus gitu."Riana menatap David dengan penasaran. Sejak beberapa hari yang lalu kekasihnya itu menunjukkan gelagat yang berbeda. David lebih banyak diam terlihat sedang banyak masalah. Tidak seperti biasa dan itu cukup menganggunya."Aku gapapa. Cuma lagi capek.""Kalau capek mending istirahat. Kamu gak perlu repot antar jemput aku begini."David tersenyum. Laki-laki itu menoleh menatap kekasihnya yang menampilkan wajah cemberut.Tangannya ia ulurkan untuk memegang tangan Riana yang sejak tadi saling bertaut."Iya. Nanti mas istirahat.""Aku kayak lagi ngomong sama bocah mas. Dari kemaren iya iya mulu tapi gak dilakuin.""Kamu makin cerewet ya," David menjawil puncak hidung kekasihnya gemas."Aku cerewet buat kebaikan mas kok. Besok gak usah jemput aja ya, biar aku dianterin sopir aja."Ia hanya mengangguk dan kembali fokus pada jalanan didepan.
Sudah menjadi rutinitas David untuk mengunjungi Sasa seminggu dua sampai tiga kali. Laki-laki itu terlihat lelah saat sampai rumah namun akan sangat mudah ditutupi saat bertemu Sasa.David belum menceritakan apapun perihal dirinya yang ternyata sudah menjadi ayah sejak usia muda. Laki-laki itu belum siap menerima konsekuensi atas perbuatannya. Katakan lah dia pengecut sebab tidak berani bertanggung jawab. Karena sungguh David tidak siap mengecewakan banyak orang, terlebih mamanya.Masa lalu yang buruk membuatnya dirundung masalah di masa kini. Kecerobohannya berimbas pada putrinya yang harus merasakan nasib berbeda dibanding anak lainnya.Dia tahu, bagaimana anak itu memandangnya. Tak jarang David menahan tangis diam-diam saat melihat tingkah aktif putrinya. Dia telah melewatkan banyak hal.Sasa berbeda, bocah itu cenderung manja saat bersama dirinya. Mungkin sudah merasakan bahwa mereka memang memiliki ikatan yang belum mampu ia akui pada dunia.D
Laras tiba dirumah saat jam menunjuk angka sepuluh malam. Perempuan itu mendudukan diri di sofa ruang tamu dengan mata terpejam.Lelah. Karena ini malam Minggu dan kafe lebih ramai dari hari-hari biasa. Ia harus turun tangan ikut membantu karyawan lain ditambah Sonya yang belum berangkat mengharuskan perempuan itu bekerja ekstra lebih dari biasanya.Sejak siang tadi perutnya terasa mual. Kepalanya juga pening mungkin kelelahan karena harus bolak-balik mengantar pesanan para pelanggan. Ditambah dia belum sempat makan nasi karena tidak selera.Laras mencoba bangkit namun pandanganya tiba-tiba menjadi hitam. Perempuan itu duduk kembali dengan bibir mendesis karena lemas dan kepala terasa semakin berat."Duduk ras. Aku buatkan teh dulu."David muncul dari kamar tamu. Lelaki yang masih Laras cintai itu berlalu menuju dapur setelah memberikan peringatan pada mantan kekasihnya."
"sudah enakan.?"David menoleh menatap Laras yang duduk di salah satu kursi makan dengan tenang.Perempuan yang sejak tadi diam itu mengangkat pandangan dan membalas tatapan David. Kemudian mengangguk sebagai jawaban."Aku buat sarapan. Kamu duduk aja. Sebentar lagi aku bangunkan Sasa."David kembali sibuk dengan masakan yang sebentar lagi matang. Laki-laki itu terlihat fokus membuat Laras tersenyum dalam diamnya.Laras akui masakan David lebih enak dibanding masakannya sendiri. Laki-laki itu terbiasa mandiri, soal makanan pun David termasuk orang yang perfectionis dan pemilih tentang bahan yang akan diolah."Pagi mama."Sasa duduk disalah satu kursi samping mamanya. Setelah mencium kedua pipi mamanya bergantian, bocah itu menopang dagu, turut memperhatikan David yang masih fokus memasak."Pagi juga sayang."Sasa mengangguk anggukkan kepala pelan. Bocah itu seperti tengah memikirkan sesuatu. Gestur seperti ini suda
David baru pulang pada malam harinya. Kondisi Laras yang sudah membaik membuat laki-laki itu akhirnya bisa bernafas lega dan tak khawatir akan nasib putrinya.Tiba dirumah ia segera membersihkan diri dan melemparkan tubuh di ranjang yang beberapa hari ini tidak di tempati. Ia tersenyum manis dengan mata terpejam. Kilasan momen dengan Laras beberapa hari ini membuat David bahagia.Sederhana. Namun cukup mengobati rasa rindu yang selama ini coba laki-laki itu kubur dalam.Laras berubah. Namun perempuan itu mampu menguasai diri dengan baik. Perempuan itu mampu mengontrol emosi dengan baik walau tak jarang dirinya melihat bagaimana mata Laras menyiratkan kebencian yang semakin menambah rasa bersalahnya.Laras adalah korban. Dan dia adalah laki-laki tak tau diri yang merampas kebahagiaan perempuan itu.David kembali memejamkan mata. Kejadian demi kejadian yang menghampiri hidupnya benar-benar membuat laki-laki itu tak siap. Rahasia-rahasia yang terungka
"Bagaimana kelanjutan hubungan kalian?" Papa Riana bertanya setelah mendudukan diri di samping sang istri."Baik pa," perempuan itu hanya menjawab singkat dan kembali menekuri kertas-kertas yang sejak tadi menjadi fokusnya.Ia sedikit tak nyaman saat orangtuanya kembali menanyakan hubungannya dengan David. Karena sejak mereka pacaran tak ada kemajuan mengenai hubungan mereka.Akhir-akhir ini ia sengaja menyinggung pembicaraan mengenai pernikahan namun Riana harus gigit jari karena David selalu mengelak dan beralasan belum siap."Kamu sudah cukup untuk menikah nak. Apa gak ada keinginan untuk ke jenjang yang lebih serius?"Riana meletakkan kacamata bacanya. Perempuan itu menghembuskan nafas sepelan mungkin, walaupun kesal ia tak boleh ketus pada orang tuanya ."Papamu benar sayang. Perempuan berbeda dengan laki-laki," Ibu Riana menambahkan. Wanita paruh baya itu menatap anaknya penuh harap.Sebenarnya dia sendiri tak ingin mendes
Jam delapan David sudah berdiri di gerbang rumah orang tua Riana. Keadaan terlihat sepi karena ini memang masih pagi dan orang-orang rumah pasti sibuk dengan pekerjaan masing-masing."Ada perlu apa mas?"Seorang satpam menghampiri David. Wajar saja lelaki paruh baya itu tak mengenal dirinya karena hanya beberapa kali David berkunjung kesini dan saat itu pun tidak ada satpam yang berjaga."Saya ada keperluan dengan Riana pak. Apa masih ada dirumah?""Oh, teman neng Riri. Ada mas, silahkan masuk."David mengekor mengikuti pak Gandi, satpam keluarga Riana yang kini berjalan di depan menuju pintu rumah megah tersebut."Buk tolong panggilan neng Riri ya. Ini temannya. Bapak mau kedepan dulu."Pak Gandi berbicara pada perempuan paruh baya yang sedang beres-beres di sekitaran ruang tamu."Oh. Iya pak," Sahut istri pak Gandi."Silahkan duduk mas. Saya panggilkan neng Riri dulu ya."Paruh baya itu mempersilahkan kemu