'Bagaimanapun dan apapun caranya, ia harus berhasil meluluhkan adik tirinya.'
***
"Please," pinta Adam sembari mempererat pelukannya.
'Apa yang harus aku lakukan sekarang??' batin Pricillia cemas.
Ia terus berusaha melepas pelukan pemuda itu dengan sekuat tenaga. Tapi, usahanya tetap tak membuahkan hasil. Tenaganya tidak lebih kuat dari kakak tirinya.
Deg deg—
'Seseorang tolong aku!' teriak gadis itu dalam hatinya dengan degup jantung yang sudah tak karuan lagi.
Keheningan di unit apartemen itu membuat suara degup jantungnya semakin terdengar dengan jelas memenuhi telinganya sendiri.
Manik biru langitnya sedikit bergetar saat melihat tangan kekar Adam melingkari tubuhnya begitu erat sampai membuatnya sulit bergerak leluasa.
Entah kenapa ketika melihat lengan kekar yang melingkar di tubuhnya memunculkan sebuah ide dalam kepalanya. Ide untuk merayunya sedikit
'Kenapa tiap kali memikirkannya, firasatku mengatakan kalau ada sesuatu yang pria itu rencanakan?' *** "Hah? Adam pergi ke fakultas musik pagi ini?" ujar Linda dengan nada tak percaya sembari sibuk merapikan tatanan rambutnya dengan sebuah sisir. "Iya. Pagi tadi ramai sekali. Kamu mau tahu berita apa yang paling menggemparkan?" balas Chloe dengan penuh antusias sembari menepuk-nepuk wajahnya berulang kali bermaksud merapikan alas bedak yang baru saja ia pakai. Kini wanita bermanik violet itu menoleh sembari sedikit menaikan alisnya. "Berita apa?" Wanita bersurai pendek yang masih sibuk berhias itu menjawab, "Well, ternyata gadis baru yang waktu itu kita labrak adalah adik tiri Adam." PRAKK!— Sisir yang ada di genggamannya terjatuh ke lantai. "APAA?! Adik tirinyaa??!" pekik Linda dengan mata membulat sempurna. "Ja-jadi gadis culun itu ... dia ... dia-adik tirinya Adam??" Manik vi
‘Sorot matanya tampak begitu lelah, tidak lagi memancarkan kilaunya. Semuanya tampak begitu gelap.' *** Sang fajar mengintip dari balik tirai jendela, seolah memberi isyarat pada Pricillia bahwa hari Sabtu yang merupakan hari favoritnya telah tiba. Hari di mana ia biasa menghabiskan waktunya untuk berlatih biola. Secara perlahan, manik biru langitnya mulai menampakan kemilaunya. Menandakan bahwa sang pemilik manik sudah bangun dari tidur panjangnya. Dengan malas, ia mengangkat tubuhnya untuk bangun. Enggan menapakan kakinya di lantai. Gadis itu masih memilih untuk duduk di atas kasur dan bersandar pada sandaran kepala kasur seperti orang yang baru saja selesai mengerjakan pekerjaan berat. Bukan tenaga yang ia dapatkan setelah bangun tidur, tapi rasa lelah. Seolah tidak memiliki tulang untuk menopang tubuhnya. Padahal pagi ini merupakan pagi yang cerah di kota New York. Tapi, itu tidak membuatnya merasa lebih bai
Peringatan: Bab ini mengandung adegan dewasa (21+). Harap pembaca bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. ‘Desahan kembali melesat dari dalam mulut gadis itu ketika merasakan miliknya disentuh oleh tangan nakal kakak tirinya itu yang saat ini sudah melesat masuk ke dalam celana panjang training yang ia kenakan.’ *** Drrt drrrt drrrrrtt— Pricillia sedikit membelakakan matanya ketika melihat nama yang tertera di layar ponselnya. ‘David?’ Itulah nama yang tertera di sana. Ada perlu apa pemuda itu meneleponnya? Saat gadis bersurai hitam itu akan mengangkatnya, terdengar langkah kaki Adam ikut memasuki kamarnya. Sejenak, ia ragu apakah ia harus mengangkat telepon dari teman sekelasnya itu. Terlebih saat ini kakak tirinya sedang berada di unitnya. Sejujurnya, keberadaan pemuda itu membuat Pricillia merasa sedikit terkekang. Berada di dekatnya selalu membuat gadis itu tertekan. Seolah ia harus meminta ijin pada kakak tirinya terlebih dahulu atas segala hal yang ingin ia lakukan. Ane
‘Aneh tapi nyata, gadis itu mulai sedikit menyukainya. Ia suka akan perasaan menggelitik yang muncul tiap kali dirinya mendapat perlakuan manis dari kakak tirinya.’ *** Mata pemuda itu langsung membulat sempurna ketika melihat nama yang tertera dari layar ponselnya. “Ayah?” Sebelum mengangkatnya, Adam melempar manik hitamnya ke arah Pricillia, mengamati sejenak gadis yang saat ini duduk termangu di atas ranjang yang hampir menjadi tempatnya melampiaskan hawa nafsu. Entah kenapa, tatapan intensnya membuat gadis itu sedikit salah tingkah hingga reflek mengencangkan balutan selimutnya di sekujur tubuhnya. Pemuda mix-raced itu kembali memfokuskan pandangannya ke layar ponselnya. Ia usap lembut layar ponselnya untuk mengangkat sambungan telepon dari sang Ayah— “Halo.” [Halo, Adam. Maaf mengganggu waktumu ya.] Terdengar suara pria paruh baya dari seberang sana. [Begini, setelah mempertimbangkannya sejenak, Ayah dan Ibu sepakat untuk menghabiskan waktu dengan kalian sebentar sebelum
‘Dunianya yang semula damai, kini porak poranda akibat kebejatan pemuda yang telah resmi menjadi kakak tirinya itu.’ *** “Pricillia ….” Suara berat Adam kini menyebut namanya. Sorot mata pemuda itu kembali memancarkan makna tersirat pada si pemilik nama. Tatapannya begitu dalam, mengandung seribu makna yang mampu menghipnotis banyak wanita untuk ‘bermain’ dengannya di atas ranjang dengan sukarela. Satu tangan kekarnya yang ia gunakan untuk memegang stir mobil, kini berpindah ke wajah gadis yang sudah resmi menjadi adik tirinya. Perlahan ia singkirkan helaian rambut yang menghalangi wajah cantiknya, kemudian ia belai lembut kulit mulusnya yang telah menjadi tempat baginya menghujani ribuan kecupan mesra. Sentuhan tangan Adam kembali memberikan sensasi menggelitik pada Pricillia untuk yang kesekian kalinya. “Hari ulang tahunmu minggu depan ‘kan?” tanya pemuda itu kemudian. Seketika itu juga, kedua manik Pricillia membulat dengan sempurna. Ia tidak menyangka kalau kakak tirinya ta
‘Meski sorot matanya tersirat sebuah emosi yang menggebu-gebu, tapi tetap saja tidak ada yang bisa menebak isi pikirannya. Karena pemuda berpredikat womanizer itu selalu bertindak secara spontan dan penuh kejutan.’ *** Tap tap tap— Setibanya mereka di terminal, terdapat beberapa LCD monitor yang menampilkan jadwal keberangkatan dari New York ke berbagai kota maupun negara. Di layar tersebut juga menampilkan jam keberangkatan kedua orang tua mereka ke Honolulu. Selang beberapa menit kemudian, terdengar suara pengumuman. [Selamat sore penumpang. Ini adalah pengumuman pra-boarding dengan nomor penerbangan HA051 ke Honolulu. Kami sekarang mengundang para penumpang dengan anak kecil, dan setiap penumpang yang membutuhkan bantuan khusus, untuk mulai menaiki pesawat pada saat ini. Harap siapkan boarding pass dan identifikasi Anda. Boarding reguler akan dimulai dalam waktu sekitar sepuluh menit. Terima kasih.] “Baiklah, sudah waktunya kita berangkat,” ujar Thomas sembari melihat ke arah
‘Warna hitam legam pada gitar akustik tersebut tampak begitu mempesona sekaligus mengingatkannya pada seseorang.’ *** “Semua keputusan ada di tanganmu. Jadi, pikirkanlah baik-baik.” Tanpa berkata-kata lagi, Adam langsung menyalakan mesin mobilnya dan melaju keluar dari tempat parkir bandara menuju unit apartemennya dengan kecepatan normal. Sama seperti di awal, sepanjang perjalanan tidak ada suara apapun. Hanya ada keheningan yang menemani mereka. Sepasang saudara tak sedarah itu memilih untuk fokus pada kegiatan masing-masing. Adam fokus mengemudi, sedangkan Pricillia memfokuskan pandangannya pada jendela mobil memandangi langit yang kini sudah kehilangan cahayanya. . . . Setibanya di gedung apartemen yang ditempati Pricillia, Adam menghentikan laju mobilnya tepat di depan gerbang apartemen tersebut. Tanpa menoleh, pemuda itu menyuruh adik tirinya untuk keluar dari dalam mobilnya. “Kita
‘Sorot matanya tiba-tiba saja berubah menjadi tajam, tersirat perasaan cemburu dan amarah yang begitu dalam.’ *** “Apa kamu menyukainya?” Suara berat yang begitu familiar memenuhi gendang telinganya. Yakni, suara khas pemuda bermanik hitam legam yang saat ini berdiri tepat di sampingnya. Seketika itu juga, manik biru langit Pricillia membulat sempurna, bahkan peluh mulai mengalir dari ujung dahinya membasahi wajahnya yang kini memucat. Begitupun dengan David yang juga diam mematung, tak berani menatap atau bahkan bergerak sedikitpun. Bukan tanpa alasan pemuda bermanik emerald itu begitu ketakutan. Saat ini, Adam sedang menatap tajam dirinya. Sorot mata sang womanizer itu penuh dengan amarah dan emosi yag menggebu-gebu, seolah mampu mencekik bahkan menebas lehernya saat itu juga. Membayangkannya saja sudah membuat jantungnya hampir merosot dari tempatnya. “Apa Anda tertarik untuk membeliny
'Mereka tahu bahwa masa depan hubungan keluarga ini bergantung pada seberapa baik mereka bisa menyembunyikan kebenaran yang ada' *** Dalam suasana malam yang tenang, Adam dan Pricillia melangkah masuk ke ruang tamu rumah mereka setelah menghabiskan waktu berkencan di tepi danau. Kesan manis perjalanan mereka masih menggelayut di udara, namun atmosfer hangat itu terhenti ketika mereka berhadapan dengan Thomas, ayah mereka, yang duduk di sofa sambil sibuk dengan iPad di tangannya. Cahaya dari layar elektronik itu menyoroti ekspresi waspada di wajah Thomas, menciptakan ketegangan yang dapat dirasakan di ruangan itu. Thomas menyapa mereka dengan nada ramah, tetapi ekspresi wajahnya menunjukkan ketertarikan yang lebih dalam. Dengan pertanyaan yang seakan-akan mencari jawaban, ia bertanya, "Habis dari mana kalian berdua? Dan kenapa baru pulang sekarang?" Adam dengan sigap menjawab, "Kami baru saja menonton film di bioskop, Ayah." Sementara Pricillia hanya mengangguk setuju, berusaha men
'Apakah ini benar-benar baik untuk kita? Ataukah kita semakin terjebak dalam labirin yang kelam?' *** Percikan cahaya bulan membingkai malam mereka saat Adam dan Pricillia memasuki wilayah terlarang untuk menjalani kencan mereka. Mereka berdua berdiri di tepi danau yang sepi, dikelilingi oleh pepohonan yang gelap dan menyiratkan keadaan misterius. Adam memandang Pricillia dengan senyum licik yang sulit diartikan. Malam itu, bulan bersinar cerah, menerangi langkah mereka yang melangkah ke wilayah terlarang. Adam memimpin Pricillia melintasi pinggir danau yang sunyi, diapit oleh pepohonan rimbun yang memancarkan aura misterius. Dalam sorotan cahaya bulan, wajah Adam terangkat, senyumnya menciptakan ketegangan yang sulit dipahami di antara mereka. Pricillia, berdiri di sampingnya, merasakan getaran emosional yang mengalir dalam kegelapan malam. "Selamat datang di tempat paling eksklusif untuk berkencan, Pricillia," ujar Adam samb
'Kita sudah menjalani petualangan ini cukup lama, dan sekarang, kita akan menjelajah wilayah yang lebih gelap dan rumit.' *** "Oke, kalau memang itu yang kamu mau, jangan salahkan aku kalau besok berita tentang hubungan kita yang tak seharusnya menyebar ke seluruh kampus." Deg deg! Ucapan itu dari mulut Adam berhasil menghidupkan kembali kenangan akan perlakuan buruk dan cemoohan yang pernah dialami Pricillia di kampus. Tubuhnya tiba-tiba lemas, terutama saat membayangkan betapa hancurnya hati ibunya nanti ketika mengetahui tentang hubungan mereka yang tak seharusnya. Dunianya kembali terasa gelap, sunyi, dan sepi. Tak ada siapa pun di sana, kecuali dirinya dan Adam. Perasaan bersalah kembali menyergap Pricillia. Pikirannya menjadi kacau. Terlebih lagi, tatapan pemuda berkulit hitam itu bagaikan rantai yang mengikat tubuhnya kuat, membuatnya sulit untuk bernapas. Lidahnya terasa kelu, tak bisa mengeluarkan suara atau sepatah kata pun. Entah mengapa semuanya terasa begitu sulit
'Tapi tekadnya kembali digoyahkan ketika suara berat Adam yang penuh intimidasi itu masuk ke telinganya.' *** "BA*INGAN! KEPA*AT!!!" Sudah di ambang batas kesabaran, Thomas langsung bergegas ke arah wanita yang pernah menjadi pendamping hidupnya. Tanpa aba-aba, pria paruh baya itu langsung melayangkan pukulan sekaligus tamparan keras. Serangannya yang tanpa ampun menyebabkan kepala Diana terbentur lantai dengan cukup keras. Hingga darah segar mengalir dari pelipisnya. Melihat ayahnya murka seperti itu, Adam bersorak penuh kemenangan di dalam hatinya.Tanpa membuang waktu lagi, ia berpura-pura memasang ekspresi ketakutan seraya buru-buru memakai kembali boxer juga celana panjangnya. Sementara, Elle yang terkejut dengan apa yang baru saja terjadi di depan matanya, hanya bisa bergeming. Otaknya seakan memerlukan lebih banyak waktu untuk mencerna maksud dari perilaku tak lazim yang dilakukan oleh seorang ibu kandung pada putra semata wayangnya sendiri. Sementara Pricillia hanya bisa
Peringatan: Bab ini mengandung adegan dewasa (21+). Harap pembaca bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. 'Nalar dan adab sama sekali tidak ada dalam kamusnya. Ia hanya ingin kembali merasakan sesuatu yang disebut surga duniawi.' *** "Se-sekarang Adam berada di rumah ... Diana." Seketika iris mata Thomas membulat dengan sempurna. Rahangnya tampak mengeras. Bahkan, gemuruh emosi terpancar jelas dari sorot matanya. Elle bahkan sempat bergidik ngeri ketika merasakan aura membunuh terpancar dari suaminya. Bagaimana Adam bisa tahu di mana sosok wanita itu berada? Apa selama ini mereka masih saling berhubungan satu sama lain? Apa wanita itu yang memaksa Adam untuk terus berhubungan dengannya? Pria paruh baya itu semakin dibuat frustasi oleh pikirannya sendiri. Perasaannya juga semakin was-was ketika ingatan akan perbuatan bejat mantan istrinya terhadap Adam kembali berputar di kepalanya. "Adam sudah mengirim lokasinya saat ini ke ponsel Pricillia. Jaraknya cukup jauh dari sini. Ja
'Suaranya seperti tercekat.Terlebih ketika dirinya harus menyebutkan nama dari sosok yang paling dibenci oleh suaminya.' *** "Umm ... Nick. Sepertinya Tante dan Pricillia harus pulang. Jadi, maaf karena malam ini kami tidak bisa menemanimu lebih lama lagi. Tapi, tenang saja. Besok kami akan kemari lagi. Selamat malam," ujar Elle usai menutup sambungan telepon dari Thomas. Pricillia langsung mengerutkan dahinya, menatap khawatir sang Ibu. Gadis bermanik biru langit itu kemudian menyentuh lengan Elle. Sentuhannya membuat wanita paruh baya itu menoleh ke arahnya. Ketika iris mata mereka saling bertemu, Elle memberinya sebuah senyum yang tak sampai ke mata. Senyum yang terkesan dipaksakan. Menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Pricillia. Jangan khawatir," ucap Elle kemudian mengajak Pricillia untuk bergegas ke kediaman Thomas. Gadis bernetra biru langit itu hanya diam dan mengikuti ibunya dari belakang. Meski Elle berkata tidak apa-apa, Pricillia tahu pasti ada yang tidak beres. Terliha
'Kalau kamu tetap tidak minta maaf hari ini juga. Maka uang beserta fasilitas yang telah Ayah sediakan untukmu akan Ayah sita selamanya!' *** Drap drap drap-- "Nick! Pricillia ... haahh ... ba-bagaimana ... keadaan Nick??" seru Elle dengan nada panik. Napasnya terengah-engah karena telah berlari dari depan gedung rumah sakit. {Tenang, Bu. Dokter sedang menanganinya,} sahut Pricillia lewat gerakan tangannya. Sementara itu, Adam yang juga ada di sana memilih duduk diam sambil menyilangkan kakinya. Tanpa berinisiatif untuk meminta maaf atau sekadar menjelaskan perbuatannya pada Elle. Ketika iris mata mereka bertemu, Elle langsung menegurnya dengan keras, "Adam, kenapa kamu melakukan itu? Meski dia bukan sepupu kandungmu. Tapi, kamu sadar 'kan kalau perbuatanmu itu sudah kelewat batas?" Matanya menilik tajam, seolah menuntut permintaan maaf. Adam membuang muka ke sembarang arah. Pemuda mix-raced itu hanya menghela napas panjang, malas menanggapi sikap ibu sambungnya yang menurutnya
Peringatan: Bab ini mengandung percakapan yang mungkin tak layak untuk pembaca di bawah umur. Harap bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. 'Terpancar dari sorot matanya perasaan tak suka saat tahu wanitanya lebih memperhatikan pria lain ketimbang dirinya.' *** "Baiklah, kita sudah sampai," ujar Nick setelah memarkirkan mobilnya di halaman depan kafe. Pria itu kemudian mematikan mesin mobilnya dan beranjak keluar. Begitu pun dengan Pricillia. Mereka memasuki kafe tersebut dan memilih untuk duduk di kursi pojok belakang ruangan yang kebetulan masih kosong. Tak lama waktu berselang, tanpa sepengetahuan mereka, Adam pun tiba di depan kafe tersebut. "Hmm, mau menguji kesabaranku rupanya? Baiklah, tidak ada kata ampun lagi untukmu, Pricillia." Api cemburu yang membara dalam dadanya membuat Adam tak bisa lagi berpikir dengan jernih. Tanpa pikir panjang, ia langsung memarkirkan motornya tepat di sebelah mobil Nick lalu bergegas menyusul mereka berdua ke dalam kafe tersebut. . . "H
Peringatan: Bab ini mengandung adegan dewasa (21+). Harap pembaca bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. 'Satu hal yang Pricillia ketahui dengan jelas adalah Adam memang berniat untuk balas dendam padanya. Namun, apakah harus dengan cara sebejat itu?' *** "Uhhmm, aaah, aaahhh—hmmmhhh, ohh God! Lebih cepat—Adaam, aaahhh!" Hentakan demi hentakan yang Adam lakukan membuat salah satu mahasiswi yang menjadi tempatnya melampiaskan nafsu birahi kini mendesah cukup keras. Desahan yang keluar dari mulutnya mampu membuat para mahasiswi lainnya mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam toilet, lantaran merasa tidak nyaman sekaligus jijik. "Apa-apaan sih mereka!? Tidak bisakah mereka menyewa sebuah kamar hotel?" gerutu salah satu mahasiswi yang tak sengaja melihat adegan panas mereka dari sela-sela pintu. Ada pula mahasiswi yang diam-diam merutuki perilaku tak bermoral Adam, karena sengaja melakukannya di tempat umum. Terlebih, sang womanizer tersebut tidak menutup rapat pintu toiletnya, s