‘Warna hitam legam pada gitar akustik tersebut tampak begitu mempesona sekaligus mengingatkannya pada seseorang.’ *** “Semua keputusan ada di tanganmu. Jadi, pikirkanlah baik-baik.” Tanpa berkata-kata lagi, Adam langsung menyalakan mesin mobilnya dan melaju keluar dari tempat parkir bandara menuju unit apartemennya dengan kecepatan normal. Sama seperti di awal, sepanjang perjalanan tidak ada suara apapun. Hanya ada keheningan yang menemani mereka. Sepasang saudara tak sedarah itu memilih untuk fokus pada kegiatan masing-masing. Adam fokus mengemudi, sedangkan Pricillia memfokuskan pandangannya pada jendela mobil memandangi langit yang kini sudah kehilangan cahayanya. . . . Setibanya di gedung apartemen yang ditempati Pricillia, Adam menghentikan laju mobilnya tepat di depan gerbang apartemen tersebut. Tanpa menoleh, pemuda itu menyuruh adik tirinya untuk keluar dari dalam mobilnya. “Kita
‘Sorot matanya tiba-tiba saja berubah menjadi tajam, tersirat perasaan cemburu dan amarah yang begitu dalam.’ *** “Apa kamu menyukainya?” Suara berat yang begitu familiar memenuhi gendang telinganya. Yakni, suara khas pemuda bermanik hitam legam yang saat ini berdiri tepat di sampingnya. Seketika itu juga, manik biru langit Pricillia membulat sempurna, bahkan peluh mulai mengalir dari ujung dahinya membasahi wajahnya yang kini memucat. Begitupun dengan David yang juga diam mematung, tak berani menatap atau bahkan bergerak sedikitpun. Bukan tanpa alasan pemuda bermanik emerald itu begitu ketakutan. Saat ini, Adam sedang menatap tajam dirinya. Sorot mata sang womanizer itu penuh dengan amarah dan emosi yag menggebu-gebu, seolah mampu mencekik bahkan menebas lehernya saat itu juga. Membayangkannya saja sudah membuat jantungnya hampir merosot dari tempatnya. “Apa Anda tertarik untuk membeliny
‘Menjauhlah dariku, gadis bisu! Apa kamu tidak sadar kalau keberadaanmu membuatku sesak!?’ *** “Kenapa kamu pergi dengan pria itu?” Pertanyaan Adam membuat Pricillia semakin beringsut mundur ke tepi kasur. Kedua manik biru langitnya kembali bergetar menyiratkan perasaan takut ketika mendapati pemuda mix-raced itu perlahan mendekatinya dengan sorot mata yang sama seperti saat malam pertemuan pertama mereka di mana pemuda itu tega menyetubuhinya. Ia tahu kalau kakak tirinya itu akan berbuat macam-macam padanya sebentar lagi. Untuk menghindari hal yang tak diinginkan, gadis itu beranjak dari atas kasur dan berlari secepat yang ia bisa ke arah pintu unit. Namun, baru saja Pricillia membuka pintu unitnya, dari dalam kamar Adam berseru dengan lantang, “Kartu aksesmu ada padaku!” Gadis bersurai hitam itu sontak menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah sang womanizer yang kini sudah berdiri
‘Alunan biola yang terdengar cukup jelas di gendang telinganya, berhasil mengiringinya ke dalam sebuah kenangan masa kecilnya bersama sang Ibu.’ *** Suasana lorong kampus seketika menjadi sunyi senyap. Tampak semua mata tertuju pada dua orang yang saat ini sedang dalam keadaan yang tidak baik, Pricillia dan David. Raut wajah gadis bermanik biru langit tersebut langsung berubah menjadi mendung, seolah kehilangan sinarnya. “Berhenti menggangguku! Asal kamu tahu saja, alasan aku mau berteman denganmu hanya karena aku mengasihanimu, tidak lebih!” Usai melampiaskan rasa frustasinya, pria bermanik emerald itu langsung pergi meninggalkannya begitu saja. Sementara itu, Pricillia hanya diam, lidahnya terasa kelu. Dadanya bagaikan tersayat pisau bermata dua, begitu menyakitkan sampai ke ulu hati. Ia tak menyangka kalau hari ini ia akan kehilangan teman satu-satunya di kampus ini. Sungguh memilukan, dan ju
Peringatan: Bab ini mengandung adegan dewasa (21+). Harap pembaca bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. ‘Hanya malam ini saja, ia ingin tahu bagaimana dan seperti apa itu cinta.’ *** Saat Pricillia hendak membuka kedua matanya, sebuah ciuman mendarat tepat di bibirnya. Sebuah ciuman yang dilakukan oleh Adam, kakak tirinya itu berhasil mengantarkan sensasi berdebar yang berbeda dari biasanya. Kali ini disertai sensasi menggelitik di sekitar perutnya. Terasa baru, namun anehnya itu tidak mengganggunya sama sekali. Sebaliknya, ia menyukai perasaan ini. Kedua manik biru langitnya langsung membulat dengan sempurna ketika merasakan benda lunak tak bertulang milik kakak tirinya melesat masuk dan bertukar saliva dengannya. Namun, kelihaian Adam berhasil menghanyutkan Pricillia untuk mengikuti permainannya ke tahap yang lebih panas lagi. Di sela-sela sesi bercumbu, Adam tampak membisikan sesuatu. Hembusan napasnya menggelitik kulit, memberi sang gadis sebuah sensasi baru. Seketika suasa
‘Waktu tidak bisa diputar kembali, hal yang telah terjadi di antara mereka berdua semalam kini berubah menjadi satu memori yang tidak akan pernah bisa ia lupakan seumur hidupnya.’ *** Di saat jam digital menunjukan pukul enam pagi, Pricillia terbangun dan menoleh ke arah Adam yang ternyata masih terlelap di sebelahnya. Tak mau menyiakan kesempatan yang ada, dengan gerakan sepelan mungkin ia bangun dari atas kasur lalu mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai dekat ranjang. Ia gunakan pakaiannya kembali secepat kilat, sembari sesekali melirik ke arah Adam untuk mengecek apakah pemuda itu masih terlelap atau tidak. Usai memakai seluruh pakaiannya, Pricillia melangkahkan kakinya seringan mungkin untuk keluar dari unit kakak tirinya. Akan panjang urusannya bila pemuda itu terbangun di saat dirinya sedang berusaha untuk pergi secara diam-diam. Namun sebelum beranjak dari sana, ia menuliskan sesuatu di secarik kertas, sebuah pesan singkat untuk Adam. . . . Rupanya keberuntung
‘Cinta hanya untuk orang-orang lemah yang suka menggantungkan diri seutuhnya pada perasaan tak masuk akal itu.’ *** “Kurasa aku tidak perlu basa-basi lagi, karena kamu pasti tahu ‘kan di mana letak kesalahanmu?” Sembari berkata demikian, pemuda bermanik hitam legam itu juga melangkahkan kakinya— selangkah per satu kata yang keluar dari mulutnya. Sementara itu Pricillia hanya berjalan mundur dengan tatapan penuh ketakutan dan rasa cemas. Bahkan, indera pengecapnya mulai terasa kelu, dibarengi dengan keringat dingin yang mulai mengalir membasahi wajahnya. Bagaimana tidak? Tatapan yang diberikan Adam padanya begitu menakutkan seperti serigala hitam yang sedang menjebak mangsanya. GLEK! Bahkan untuk sekedar menelan ludah saja sulitnya bukan main. Kedua kakinya yang sedari tadi ia gunakan untuk menopang tubuhnya juga seolah tak menapak lagi. Melihatnya ketakutan seperti itu memb
Peringatan: Bab ini mengandung adegan dewasa (21+). Harap pembaca bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. ‘Dari sela-sela pintu kamar tidur itu, ia melihat sang Ibu—wanita yang telah melahirkannya ke dunia—juga dalam keadaan tanpa sehelai benang menutupi tubuhnya, sedang menyatukan miliknya dengan milik si pria asing.’ *** Entah kenapa, masa kelam dirinya bersama Diana—ibu kandungnya yang telah ia kubur rapat-rapat kini kembali muncul ke permukaan, membuka luka lama yang sudah susah payah ia sembuhkan. Luka yang nyatanya masih membekas hingga saat ini di relung hatinya. Yang mungkin tak akan pernah sembuh seumur hidupnya. . . . Tiga belas tahun yang lalu… Di malam yang sunyi, hanya ada suara rintik hujan yang turun silih berganti sejak sore. Air yang turun dari langit itu tak kunjung menunjukan tanda-tanda akan berhenti. Ia masih ingat betul pada malam itu, malam yang dinginnya terasa begitu menusuk kulit. Terjadi satu kejadian yang menimbulkan trauma mendalam baginya. .
'Mereka tahu bahwa masa depan hubungan keluarga ini bergantung pada seberapa baik mereka bisa menyembunyikan kebenaran yang ada' *** Dalam suasana malam yang tenang, Adam dan Pricillia melangkah masuk ke ruang tamu rumah mereka setelah menghabiskan waktu berkencan di tepi danau. Kesan manis perjalanan mereka masih menggelayut di udara, namun atmosfer hangat itu terhenti ketika mereka berhadapan dengan Thomas, ayah mereka, yang duduk di sofa sambil sibuk dengan iPad di tangannya. Cahaya dari layar elektronik itu menyoroti ekspresi waspada di wajah Thomas, menciptakan ketegangan yang dapat dirasakan di ruangan itu. Thomas menyapa mereka dengan nada ramah, tetapi ekspresi wajahnya menunjukkan ketertarikan yang lebih dalam. Dengan pertanyaan yang seakan-akan mencari jawaban, ia bertanya, "Habis dari mana kalian berdua? Dan kenapa baru pulang sekarang?" Adam dengan sigap menjawab, "Kami baru saja menonton film di bioskop, Ayah." Sementara Pricillia hanya mengangguk setuju, berusaha men
'Apakah ini benar-benar baik untuk kita? Ataukah kita semakin terjebak dalam labirin yang kelam?' *** Percikan cahaya bulan membingkai malam mereka saat Adam dan Pricillia memasuki wilayah terlarang untuk menjalani kencan mereka. Mereka berdua berdiri di tepi danau yang sepi, dikelilingi oleh pepohonan yang gelap dan menyiratkan keadaan misterius. Adam memandang Pricillia dengan senyum licik yang sulit diartikan. Malam itu, bulan bersinar cerah, menerangi langkah mereka yang melangkah ke wilayah terlarang. Adam memimpin Pricillia melintasi pinggir danau yang sunyi, diapit oleh pepohonan rimbun yang memancarkan aura misterius. Dalam sorotan cahaya bulan, wajah Adam terangkat, senyumnya menciptakan ketegangan yang sulit dipahami di antara mereka. Pricillia, berdiri di sampingnya, merasakan getaran emosional yang mengalir dalam kegelapan malam. "Selamat datang di tempat paling eksklusif untuk berkencan, Pricillia," ujar Adam samb
'Kita sudah menjalani petualangan ini cukup lama, dan sekarang, kita akan menjelajah wilayah yang lebih gelap dan rumit.' *** "Oke, kalau memang itu yang kamu mau, jangan salahkan aku kalau besok berita tentang hubungan kita yang tak seharusnya menyebar ke seluruh kampus." Deg deg! Ucapan itu dari mulut Adam berhasil menghidupkan kembali kenangan akan perlakuan buruk dan cemoohan yang pernah dialami Pricillia di kampus. Tubuhnya tiba-tiba lemas, terutama saat membayangkan betapa hancurnya hati ibunya nanti ketika mengetahui tentang hubungan mereka yang tak seharusnya. Dunianya kembali terasa gelap, sunyi, dan sepi. Tak ada siapa pun di sana, kecuali dirinya dan Adam. Perasaan bersalah kembali menyergap Pricillia. Pikirannya menjadi kacau. Terlebih lagi, tatapan pemuda berkulit hitam itu bagaikan rantai yang mengikat tubuhnya kuat, membuatnya sulit untuk bernapas. Lidahnya terasa kelu, tak bisa mengeluarkan suara atau sepatah kata pun. Entah mengapa semuanya terasa begitu sulit
'Tapi tekadnya kembali digoyahkan ketika suara berat Adam yang penuh intimidasi itu masuk ke telinganya.' *** "BA*INGAN! KEPA*AT!!!" Sudah di ambang batas kesabaran, Thomas langsung bergegas ke arah wanita yang pernah menjadi pendamping hidupnya. Tanpa aba-aba, pria paruh baya itu langsung melayangkan pukulan sekaligus tamparan keras. Serangannya yang tanpa ampun menyebabkan kepala Diana terbentur lantai dengan cukup keras. Hingga darah segar mengalir dari pelipisnya. Melihat ayahnya murka seperti itu, Adam bersorak penuh kemenangan di dalam hatinya.Tanpa membuang waktu lagi, ia berpura-pura memasang ekspresi ketakutan seraya buru-buru memakai kembali boxer juga celana panjangnya. Sementara, Elle yang terkejut dengan apa yang baru saja terjadi di depan matanya, hanya bisa bergeming. Otaknya seakan memerlukan lebih banyak waktu untuk mencerna maksud dari perilaku tak lazim yang dilakukan oleh seorang ibu kandung pada putra semata wayangnya sendiri. Sementara Pricillia hanya bisa
Peringatan: Bab ini mengandung adegan dewasa (21+). Harap pembaca bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. 'Nalar dan adab sama sekali tidak ada dalam kamusnya. Ia hanya ingin kembali merasakan sesuatu yang disebut surga duniawi.' *** "Se-sekarang Adam berada di rumah ... Diana." Seketika iris mata Thomas membulat dengan sempurna. Rahangnya tampak mengeras. Bahkan, gemuruh emosi terpancar jelas dari sorot matanya. Elle bahkan sempat bergidik ngeri ketika merasakan aura membunuh terpancar dari suaminya. Bagaimana Adam bisa tahu di mana sosok wanita itu berada? Apa selama ini mereka masih saling berhubungan satu sama lain? Apa wanita itu yang memaksa Adam untuk terus berhubungan dengannya? Pria paruh baya itu semakin dibuat frustasi oleh pikirannya sendiri. Perasaannya juga semakin was-was ketika ingatan akan perbuatan bejat mantan istrinya terhadap Adam kembali berputar di kepalanya. "Adam sudah mengirim lokasinya saat ini ke ponsel Pricillia. Jaraknya cukup jauh dari sini. Ja
'Suaranya seperti tercekat.Terlebih ketika dirinya harus menyebutkan nama dari sosok yang paling dibenci oleh suaminya.' *** "Umm ... Nick. Sepertinya Tante dan Pricillia harus pulang. Jadi, maaf karena malam ini kami tidak bisa menemanimu lebih lama lagi. Tapi, tenang saja. Besok kami akan kemari lagi. Selamat malam," ujar Elle usai menutup sambungan telepon dari Thomas. Pricillia langsung mengerutkan dahinya, menatap khawatir sang Ibu. Gadis bermanik biru langit itu kemudian menyentuh lengan Elle. Sentuhannya membuat wanita paruh baya itu menoleh ke arahnya. Ketika iris mata mereka saling bertemu, Elle memberinya sebuah senyum yang tak sampai ke mata. Senyum yang terkesan dipaksakan. Menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Pricillia. Jangan khawatir," ucap Elle kemudian mengajak Pricillia untuk bergegas ke kediaman Thomas. Gadis bernetra biru langit itu hanya diam dan mengikuti ibunya dari belakang. Meski Elle berkata tidak apa-apa, Pricillia tahu pasti ada yang tidak beres. Terliha
'Kalau kamu tetap tidak minta maaf hari ini juga. Maka uang beserta fasilitas yang telah Ayah sediakan untukmu akan Ayah sita selamanya!' *** Drap drap drap-- "Nick! Pricillia ... haahh ... ba-bagaimana ... keadaan Nick??" seru Elle dengan nada panik. Napasnya terengah-engah karena telah berlari dari depan gedung rumah sakit. {Tenang, Bu. Dokter sedang menanganinya,} sahut Pricillia lewat gerakan tangannya. Sementara itu, Adam yang juga ada di sana memilih duduk diam sambil menyilangkan kakinya. Tanpa berinisiatif untuk meminta maaf atau sekadar menjelaskan perbuatannya pada Elle. Ketika iris mata mereka bertemu, Elle langsung menegurnya dengan keras, "Adam, kenapa kamu melakukan itu? Meski dia bukan sepupu kandungmu. Tapi, kamu sadar 'kan kalau perbuatanmu itu sudah kelewat batas?" Matanya menilik tajam, seolah menuntut permintaan maaf. Adam membuang muka ke sembarang arah. Pemuda mix-raced itu hanya menghela napas panjang, malas menanggapi sikap ibu sambungnya yang menurutnya
Peringatan: Bab ini mengandung percakapan yang mungkin tak layak untuk pembaca di bawah umur. Harap bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. 'Terpancar dari sorot matanya perasaan tak suka saat tahu wanitanya lebih memperhatikan pria lain ketimbang dirinya.' *** "Baiklah, kita sudah sampai," ujar Nick setelah memarkirkan mobilnya di halaman depan kafe. Pria itu kemudian mematikan mesin mobilnya dan beranjak keluar. Begitu pun dengan Pricillia. Mereka memasuki kafe tersebut dan memilih untuk duduk di kursi pojok belakang ruangan yang kebetulan masih kosong. Tak lama waktu berselang, tanpa sepengetahuan mereka, Adam pun tiba di depan kafe tersebut. "Hmm, mau menguji kesabaranku rupanya? Baiklah, tidak ada kata ampun lagi untukmu, Pricillia." Api cemburu yang membara dalam dadanya membuat Adam tak bisa lagi berpikir dengan jernih. Tanpa pikir panjang, ia langsung memarkirkan motornya tepat di sebelah mobil Nick lalu bergegas menyusul mereka berdua ke dalam kafe tersebut. . . "H
Peringatan: Bab ini mengandung adegan dewasa (21+). Harap pembaca bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. 'Satu hal yang Pricillia ketahui dengan jelas adalah Adam memang berniat untuk balas dendam padanya. Namun, apakah harus dengan cara sebejat itu?' *** "Uhhmm, aaah, aaahhh—hmmmhhh, ohh God! Lebih cepat—Adaam, aaahhh!" Hentakan demi hentakan yang Adam lakukan membuat salah satu mahasiswi yang menjadi tempatnya melampiaskan nafsu birahi kini mendesah cukup keras. Desahan yang keluar dari mulutnya mampu membuat para mahasiswi lainnya mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam toilet, lantaran merasa tidak nyaman sekaligus jijik. "Apa-apaan sih mereka!? Tidak bisakah mereka menyewa sebuah kamar hotel?" gerutu salah satu mahasiswi yang tak sengaja melihat adegan panas mereka dari sela-sela pintu. Ada pula mahasiswi yang diam-diam merutuki perilaku tak bermoral Adam, karena sengaja melakukannya di tempat umum. Terlebih, sang womanizer tersebut tidak menutup rapat pintu toiletnya, s