“Sarah, how are you baby?” ucapku sembari memeluk gadis berdarah Rusia itu.
Sarah Deelin adalah model utama, dan juga seorang muse yang kujadikan sebagai sumber inspirasi dalam merancang busana utama. Bola matanya berwarna biru langka dan sangat indah, totally the concept for today.
Aku menyambutnya dengan penuh sukacita, “Tolong dandani Sarah dengan cantik ya.”
Tepat hari ini, aku sudah kembali ke Italia untuk pameran busana bertajuk "Show Me 2023" yang diadakan sekali dalam setahun. Aku telah mempersiapkan semuanya dengan matang dan mendetail.
“Sean,” panggilku pada kandidat yang lulus dalam sesi interview lalu.
“Are you ready?&rdq
“Misteri pembunuhan Sarah Deelin, model utama Shue Magazine.” “Vittoria Joa Shue selaku direktur dan head designer sebagai salah satu tersangka, saat ini sedang dalam tahap pemeriksaan,” Evans membacakan berita terbaru pagi ini. “Apa?” sahut Simon langsung merebut Ipad Evans. “Bukankah ia adalah klienmu?” “Gantikan shiftku hari ini ya,” tawar Simon langsung melepas jas putihnya. “Hei, hei. Aku punya janji dengan pacarku hari ini.” “Aku akan kembalikan dua kali lipat bye,” tukas Simon langsung berlari keluar sambil menelepon. * Su
Simon Ziche adalah dokter psikiater yang membantuku selama masa pemulihan, hingga aku berhasil memantapkan hatiku untuk bangkit kembali. Ia adalah anak angkat dari pemilik perkebunan kecil dekat gereja, Paman Jovis. Lady Anne memperkenalkan kami berdua, ditambah lagi Simon berdarah campuran Korean-American. Kami akan lebih mudah dalam hal berkomunikasi. Selain Lady Anne, Simon juga mengetahui masa laluku dengan baik. * “Aku tunangan Ms. Joa,” ucap Eric memperjelas kembali pernyataannya. “Oh.” “Biar aku bukakan,” tawar Simon sambil meraih kaleng minum dari tanganku. “Hanya ‘oh’?” gumam Eric yang tidak senang melihat reaksi kaku dari pria asin
Seharian mencari tanpa arah dalam tumpukkan koran, lebih parahnya kepalaku bertambah pusing setiap melihat tulisan koran dengan jarak spasi berdekatan. Aku menaikkan alis dan memejamkan mataku berkali-kali, sekedar senam ringan untuk melatih otot mata. Lady Anne datang membawakanku teh bunga hangat, “Istirahat dulu Joa, jangan terlalu memaksakan diri,” sarannya. Aku hanya tersenyum dan berterima kasih padanya, aku masih merasa asing dengan Lady Anne yang baik—takut merasa akrab. Aku sedang mencari berita tentang kematian Carina Rossi—ya, kematianku sendiri. “Tanggal 15, tanggal 16, tanggal 17, tanggal 15…16…17…18…,” gumamku berulang kali. “Kenapa tidak ada? Apa Bilson merahasiakan kematianku? Bajingan tid
Simon menawarkanku untuk mengunjungi Lady Anne, kesehatannya semakin memburuk akhir-akhir ini. Sementara sidang ketiga atas kasus Sarah Deelin masih berlangsung, karena Maurice bersikeras tidak mau mengakuinya. “Kau sudah merasa baikan?” tanya Simon seraya menyetir. “Pemandangannya indah dan udaranya sangat sejuk, aku merasa luar biasa,” terangku seraya mengulurkan tangan dari kaca jendela mobil. Bangunan tua bernuansa kayu yang bertuliskan “Love&Peace” dengan simbol salib emas sudah terlihat di depan mata. Lady Anne menyambut kami dengan teh bunga dan cookies jahe buatannya. “Joa, Simon, apa semuanya berjalan baik-baik saja?” “Masalah kantor sedikit
“Ssshh....,” desisku yang ikut ngilu melihat luka di pipi Simon saat mengoleskan obat. “Aku akan mengusir anak itu pulang sekarang juga,” dengusku kesal. Simon menahan tanganku dan menggelengkan kepala, masih memegang pipinya yang membengkak. “Kau terlalu baik, anak itu perlu diberi pelajaran,” geramku. “Lady Anne sedang berbicara padanya, biarkan saja. Lagipula, kau sudah memukulnya tadi,” tutur Simon. Aku mendengus kesal lagi. “Urus pipiku saja, okay?” timpal Simon berusaha tersenyum padaku. * Di luar, Eric sedang mengompres belakang lehernya dengan kantong es. &n
“Joa, sudah bangun?” sapa Lady Anne kala menyiapkan sarapan pagi. “Iya. Wah, masakannya indah sekali,” pujiku. “Duduklah, semuanya sudah selesai,” ucap Lady Anne sambil tersenyum hangat. “Seharusnya anda membangunkanku agar bisa membantu,” anjurku sembari mencicipi Taroz khas Italia. Lady Anne hanya menggelengkan kepala, ia tahu aku tidak pernah memasak dengan benar. Di saat bersamaan, Simon muncul dengan berpakaian rapi, “Simon, kau sudah mandi?” “Sudah, aku baru selesai menyiram tanaman depan,” ucapnya sembari menggeser kursi dan duduk di sampingku. “Kemana anak itu?” tanyaku heran. “Eric sudah berpamitan pagi-pagi, ia bilang ada telepon mendesak,” terang Lady Anne. “Ow,” sahutku tak acuh. Dipikir-pikir lagi, Eric memukul Simon karena
“Mungkin, korban pernah berurusan dengan organisasi hitam semasa hidupnya,” duga Mr. Foster. Sarah adalah wanita manis dengan pemikiran polos dan hidupnya suci, meskipun dunia modeling memiliki banyak sisi gelap, namun aku yakin Sarah berbeda. Mendiang Ibunya juga adalah seorang model papan atas, aku pikir dengan nama Ibunya, ia tidak perlu berusaha keras mencari koneksi. “Ms. Joa, aku belum bertanya apa maksudmu kemari?” “Aku hanya tidak sabar menunggu, studioku tak bisa dipakai dan pekerjaanku menjadi terhambat. Kau tahu wajahku terpampang jelas pada berita utama dalam sepekan ini,” ruahku. “Belum lagi, kelu
“Halo, kau hilang ke mana sih? Pergi tanpa pamit.” Aku bisa mendengar suara Joke diikuti dengan dengusan kesal dari telepon, ia pasti kalang kabut mencariku seharian ini. HAHAHA. “Kau masih bisa tertawa?” “Anak bodoh itu membawaku ke dokter kandungan, dia pikir aku mengandung anak Simon. Lucu sekali, sangat konyol HAHAHA.” Joke mengomel super panjang di telepon—mengatakan aku dan Eric sama-sama gila, padahal aku hanya ingin melihat wajah linglungnya. “Jadi kapan kau bisa menjemputku?” tanyaku. &nb
La Blonde adalah satu-satunya kafe bernuansa Asia di Italia. Aku tidak tahu mengapa kafe ini diberi nama kebarat-baratan. Yang jelas, semua pelayan disini menggunakan rambut palsu berwarna blonde. Kami memutuskan untuk mengawali hari dengan sarapan disini. "Simon, kau tidak sibuk hari ini?" tanyaku. "Praktekku buka mulai pukul sepuluh, jadi tidak usah terburu-buru. Santai saja," terangnya. "Apa yang ingin kau bicarakan? Katanya sangat penting?" "Joke memberitahuku bahwa kau mendapat surat ancaman, dan kau berusaha menyembunyikannya dari kami semua?" ungkap Simon. "Heol, apa-apaan anak itu? Hampir 90% ceritanya sudah diubah, Simon." Aku tidak berbohong. Toh, nyatanya aku memang tidak berusaha menyembunyikannya. Tapi, aku berpikir surat itu hanya keisengan seorang pengangguran atau haters yang ingin melihatku terpuruk. "Setelah kasus kakak beradik itu, kau tidak boleh menyepelekan hal apapun. Mungkin
Amplop merah muda dengan ukiran mawar emas itu masih terlentang bebas di atas meja kerjaku. Aku tidak bisa fokus menciptakan rancangan selanjutnya. Kendati menyingkirkan benda itu, aku malah jatuh dalam kekesalan dan amarah yang tak dapat diuraikan. Bilson brengsek! Apa ia sungguh-sungguh menganggap perselingkuhannya dengan Chloe adalah hal yang patut dibanggakan? Selain memikirkan berbagai cacian dan makian menjijikan, aku juga tak habis pikir tentang perasaan Bilson pada wanita itu. Apa Bilson benar-benar mencintai Chloe? Aku terlalu percaya diri meyakini bahwa Chloe akan mendapat karma instan, karena Bilson pasti hanya menganggapnya sebagai mainan menarik untuk sesaat. Tapi, sekarang situasinya berbeda. Bilson akan menikahi Chloe, seperti yang tertulis di kartu undangan amplop merah muda, waktunya bulan depan. Tring.. Tring.. Aku menatap layar ponsel menyala, sebuah kata 'Ges
"Jadi, surat ini sudah Anda terima sebelum kasus terjadi?" "Benar." "Ya ampun, kenapa baru bilang sekarang?" "Aku benar-benar tidak ada keinginan untuk merahasiakannya sama sekali. Tapi, lihatlah surat ini, seperti omong kosong tak bermodal. Lihat saja, kertas yang digunakannya. Lagipula, yang diancamnya juga adalah aku," terangku. Tak sadar, volume suaraku semakin tinggi, Mr. Foster memberi isyarat dengan menempelkan ujung jarinya ke bibir. "Ya, apapun itu. Hal sekecil apapun sangat berguna dalam penyelidikan. Biarkan pihak kepolisian yang menilainya." "Aku benar-benar tidak mengerti. Bagaimana mungkin orang yang mengancamku berhubungan dengan kasus kematian Sarah?" "Aku sendiri juga tidak tahu, tapi tidak menutup kemungkinan keduanya saling berhubungan. Aku akan membawa kedua surat ini menemui atasanku dan melakukan tes sidik jari. Kami juga akan mencari tahu hal lainnya. Untuk itu, izinkan kami mengambil re
Mr. Foster langsung bisa dikenali dalam sekali pandang, karena ia selalu memakai setelan jas abu-abu dan topi. Ditambah tongkat perunggu berkepala naga yang selalu dibawanya kemana-mana. Sherlock Holmes! Benar, serupa tapi tak sama. "Maaf merepotkanmu, Ms. Joa." "Tidak masalah," jawabku datar. "Saya ingin memberikan beberapa pertanyaan perihal kasus Sarah Deelin, model majalah utama dari perusahaanmu." "Ya, silahkan." "Apa mendiang Sarah pernah menceritakan bagaimana kondisi keuangan keluarganya pada Anda?" tanya Mr. Foster sembari bersiap-siap untuk menulis di catatan kecilnya. "Detektif, sudah berapa kali kau menanyakan hal yang sama padaku? Aku sampai sudah hapal jawabanku." "Per.. permisi, apa Tuan dan Nona mau pesan?" sela seorang pelayan wanita. "Tolong, satu gelas kopi susu dingin. Anda mau pesan apa, Ms. Joa?" tanya Mr. Foster. "Teh oolong panas saja." Setelah pelayan wanita berp
"Hei, sedang melamun apa?" Aku menatap Joke yang berwajah masam dengan alis menyeringai tajam ke arahku. "Singkirkan segala beban pikiran yang tidak berhubungan dengan pekerjaan dan rencana balas dendam." "Apa sih?" elakku. "Jangan-jangan kau masih kepikiran dengan sosok pria aneh yang berjanji akan menjagamu seumur hidupnya." Memang benar! "Joa, kau tidak pernah belajar dari kesalahan, ya? Aku sudah mengingatkanmu agar tidak terlalu terlibat dengan urusan luar. Sasaran kita hanya Bilson dan para pecundang itu." "Aku tahu, aku tahu." "Suruh kau merayu Bilson yang mata keranjang saja, kau tidak lulus," gerutu Joke sembari meneguk habis jus jeruk di gelasnya. "Siapa bilang tidak berhasil? Bahkan aku mendapatkan undangan perjamuan makan malam dari mereka." "Tapi, kau tidak pergi kan? Kau malah bersenang-senang dengan pria aneh itu sampai tidak tahu jalan pulang. Benar-benar keterlaluan." "Hei, kau
Kami bertiga sedang duduk di lounge hotel bernuansa klasik dengan lampu gantung di setiap sudut. Anehnya, cahaya lampu membuat suasana di pagi menjadi sedikit redup. "Maafkan aku," ungkap wanita yang memakai blouse merah pekat, senada dengan warna wine yang kami pesan. "Ucapanku terdengar seperti sedang menuduh seseorang berbuat hal yang tidak-tidak," jelasnya lagi. "Tidak masalah, santai aja," balasku. "Aku harap kesalahanku tidak mempengaruhi hasil kerja sama diantara kalian," terang Chloe masih memasang wajah penuh harap. "Ya, kau tenang saja. Aku ini cukup profesional." "Sungguh terima kasih," tutur Chloe sembari menunduk. Kenapa orang ini sangat mencemaskannya? Apa Bilson telah menemukan titik lemahnya? Apa ini yang namanya karma instan? "Kalau begitu, aku permisi dulu." "Tunggu, Ms. Joa. Kami ingin mengundangmu makan malam bersama akhir pekan ini, apa memungkink
Ckritttt! "Hei, ada apa?" protesku. "Maafkan saya, bu. Apa ada yang terluka?" sahut supir taksi dengan panik. "Sekelompok pria itu muncul tiba-tiba. Jadi, saya terpaksa rem mendadak." "Sayang, ada apa?" timpal Bilson yang sudah setengah sadar. Aku yakin kepalanya masih berputar hebat, namun ia memicingkan matanya untuk melihat penampakan di depan mobil. "Siapa mereka?" gumamnya. "KELUAR!!" Belum sempat memikirkan apa yang harus dilakukan, seseorang sudah memukul kaca mobil dengan tongkat kayu. "KELUAR KALIAN SEMUA!" teriaknya. Aku cukup takut tapi tidak setakut itu– lebih tepatnya, khawatir campur bingung. Aku melihat supir taksi perlahan keluar sambil bertanya apa yang sedang terjadi, sambil sesekali memohon ampun. "Hei, kalian berdua juga keluar!" perintahnya. "Mereka mau apa, sih!?" geram Bilson sambil membuka pintu mobil. "Lebih baik, jangan menyerang dulu. Mungkin mereka hanya peram
“Halo, Mr. Bilson. Apa kau punya waktu luang?” aku meneleponnya pagi-pagi dengan dalih membicarakan masalah pekerjaan. Informasi yang kudapatkan kemarin masih belum jelas.Bagaimana mungkin tragedi sebesar itu tidak masuk ke dalam surat kabar?“Kalau begitu, akan kukirimkan lokasinya,” ujarku. Aku sengaja memilih tempat yang letaknya cukup jauh dan sepi.Kami akan bertemu di De Moon Bar.“Silahkan masuk,” ujar Eric yang sudah menunggu di luar sedari pagi. Karena pagi ini sudah mendung, aku kehilangan semangat untuk bertengkar dengannya. “De moon Bar,” ucapku sembari masuk ke dalam mobil.Brak!Suara bantingan keras saat menutup pintu mobil. Sebenarnya, aku tidak perlu sekesal i
(FLASHBACK) Aku terbangun dalam kamar yang hangat dan seorang wanita sedang merawat luka yang memenuhi sekujur tubuhku. Aku berusaha memanggilnya, “Pe—Permisi.” Tenggorokanku kering dan seluruh badanku mati rasa, aku pikir aku sudah lumpuh. Aku harus duduk di atas kursi roda berbulan-bulan. Lady Anne dan Simon adalah orang yang selalu berada di sisiku, syukurlah aku dipertemukan dengan dua malaikat asing. Dalam pikiranku hanya satu, aku ingin menangkap Bilson Moretz dan menjebloskannya ke penjara seumur hidup. Aku menghubungi Marco, pengacara keluarga Rossi untuk membicarakannya—“Mrs. Carina, tolong jangan pernah menghubungiku lagi. Kami semua sudah menganggapmu mati di jurang hari itu.”