ARION ANDERSON membelah keramaian pesta dengan percaya diri. Melihat banyaknya tamu yang diundang pasangan pengacara sukses ibu kota untuk merayakan ulang tahun pernikahan yang kesepuluh, Arion seperti menemukan berbagai kesempatan untuk memperluas bisnis. Namun sebelum mengurus tentang uang, dia harus membereskan dulu masalah pelik yang memaksanya terbang ke Bali dan menghadiri acara membosankan ini.
Sebuah pengkhianatan kecil yang dilakukan sang ayah.
Arion berjalan di tengah keramaian, mengangguk singkat ke beberapa wajah yang dia kenal tetapi tidak dengan nama sebagai bentuk kesopanan. Dia juga melemparkan senyum tipis, tetapi menolak berbagai sentuhan fisik yang coba dilakukan orang-orang. Lelaki ataupun perempuan. Terutama perempuan. Saat empat sampai lima perempuan mencoba menghentikan langkah dan menyeretnya ke obrolan tidak penting, dia menolak tegas. Misinya terlalu penting buat ditunda demi perempuan-perempuan haus uang.
Ketika kesabarannya nyaris hilang, Arion akhirnya menemukan si-pemecah-masalah duduk di meja bar. Seorang diri. Tanpa merangkai kalimat pembuka yang menarik simpatik lebih dulu, Arion berjalan cepat mengampiri lalu duduk di sisi kanan orang itu.Setiap detiknya terlalu berharga buat disia-siakan demi basa-basi nggak penting, pikir Arion.
"Well. Well. Arion Anderson. Long time no see!"Lagi pula, orang di sebelahnya ini terkenal pembuka obrolan ulung. Perempuan di penghujung tiga puluhan yang antusias, ceria, dan terdengar sedikit mabuk. Arion memalingkan wajah dan memamerkan ekspresi terkejut."Freya. Freya Qirani, hei!" Dia mengulurkan tangan dan disambut lontaran tawa dari perempuan yang dia kenal saat menghadiri pernikahan salah satu rekan bisnisnya. Awal mula dia sadar, suatu hari nanti Arion bakal membutuhkan Freya. "Berapa lama kita nggak ketemu? Setahun? Dua tahun?""Bukan gue yang nikah sama pekerjaan dan uang, sampai bisa masuk Forbes Asia. Tunggu! I love my job and money. A lot. Bedanya bisnis gue bisa berantakan kalau Forbes tahu." Freya terkekeh bagai kuda yang baru dilepaskan ke lapangan besar.Arion mengambil waktu beberapa detik untuk memperhatikan tiga gelas kosong di depan teman lamanya itu, mengira-ngira semabuk apa Freya. Dia tidak mau bersusah-susah menjelaskan maksud dan tujuannya, tetapi Freya tidak bisa memberi solusi karena terlalu mabuk. Setelah yakin Freya bisa diajak kompromi, Arion merapatkan duduk lalu memesan segelas Whiski. Walau acara ini membosankan, tetap saja sebuah pesta. Akan sia-sia bila dia tidak menikmati segelas Whiski."How are you?” tanya Arion, yang kembali dibalas tawa renyah Freya. "Good. Lo?" Arion baru membuka bibir, dan Freya mendaratkan pukulan kecil di bahunya lalu lanjut bicara, "Oh Man, lo nggak cocok basa-basi begini di saat kening lo jelas menuliskan; harus-mendapatkan-sesuatu-dari-Freya! Besar-besar dan tebal."Spontan, Arion menggosok keningnya. "Nggak masalah nih, gue langsung sikat ke inti?”"Sejak kapan lo suka muter-muter padahal tujuannya udah jelas di otak lo?”"I need your help," kata Arion. "Lo udah punya puluhan pasangan khusus dari kalangan seperti ini?” Ibu jari Ezra menunjuk kerumunan orang-orang di balik punggung mereka.Kumpulan orang-orang berpenghasilan tinggi; pemilik bisnis dengan kaki gurita, orang-orang berpengaruh—politikus, aktivis, influncer, artis. Kaum jetset."Lalu?" Tiba-tiba Freya menaruh gelas dan memutar kursi bar menghadap ke arah Arion. Dari ekspresinya yang teramat serius, Arion berani bertaruh perempuan ini mati-matian menghadang pengaruh alkohol demi mendengar lebih jelas permintannya. "Untuk siapa? Lo?"Ketika Arion mengangguk, Frey terkekeh."Wah. Seriously? Ada apa sama prinsip nggak butuh pasangan tetap untuk dipamerkan dan dibawa ke mana-mana? Uang lebih menyenangkan, daripada cewek yang super ribet?" Freya menambakan tanda kutip di kata menyenangkan. "Why? Kasih gue satu alasan meyakinkan, kalau lo memang klien menjanjikan.""Keluarga tersayang gue lagi memutar otak dan nyusun rencana buat ngambil seluruh harta yanh ditinggalin Bokap." Sesungguhnya Arion tidak suka membahas segala sesuatu tentang keluarga kesayangannya itu, tetapi dia tidak punya pilihan.“Oh ya, lo baru kehilangan Bokap lo seminggu lalu. Sori for your lost, sori juga gue nggak sempat datang,” kata Freya. “Oke. Lanjut.”“Seperti kematian orang kaya yang terlalu gampang tebar sperma di mana-mana sampai punya beberapa anak dari perempuan berbeda. Saudara-saudara tersayang dan ibu masing-masing berusaha menuntut warisan.” Freya terlihat siap tertawa, tetapi perempuan itu berhasil menahan dan mengangguk penuh maklum. Mereka ada di dunia yang sama. Kekacauan macam itu seperti film di bioskop, tinggal menunggu waktu rilis saja. “Di surat warisan—tertulis jelas; gue harus nikah dan melanjutkan keturunan Anderson sebelum umur 35. Atau, nama gue bakal ilang dari forbes. Alias semua fasilitas gue dicabut.”Freya masih tersenyum, tetapi mata yang menyipit tidak bisa menutupi kegugupan perempuan itu."Keluarga baik hati itu menawarkan diri mencarikan pasangan tapi gue tolak. Aku nggak mau mati sebelum berumur 70 atau 80.""Oke. Jadi inti yang bisa gue tangkap, lo butuh pasangan dan anak sebelum umur 35." Senyum Freya benar-benar lenyap, temannya memasang wajah serius dan kerutan di kening memberi tahu Arion—Freya sedang berpikir keras. "Pasangan. Hamil. And to be honest, ini susah Ezra. Perempuan-perempuan di bisnis ini hanya mau pertunangan atau pernikahan kasual. Seks, oke. Anak? Wah ....""Gue ada satu calon berpotensi.""Kalau udah ada, kenapa kau datang ke gue? Oh. My. God. Me?"Kali ini Arion yang tertawa. Freya memiliki wajah manis, tubuh sintal dengan lekuk pas yang bisa dijadikan imajinasi liar semalaman suntuk oleh laki-laki normal, tetapi Arion sama sekali tidak memiliki rasa tertarik seperti itu kepada Freya. Dia normal, hanya saja ini Freya. Versi perempuan darinya, yang tertarik dan ambisius kepada bisnis-uang. Dia tidak bisa membayangkan, apa yang bakal terjadi kalau dia dan Freya—holy shit! Membayangkannya saja sudah mengerikan."Arion?" Dan dari suara, Freya sepertinya juga ketakutan."Bukan lo.""Siapa?"Arion mengeluarkan dan mengotak-atik ponsel sebentar, lalu menyerahkannya kepada Freya. Tidak sampai lima detik Freya sudah berteriak. Di antara kerasnya musik yang dimainkan DJ di ujung sana, beberapa orang bisa mendengar dan melirik ke arah mereka.
"Tenang, Frey. Ini bukan lo.""I know, ini Davira Lovata." Freya menggosok kening dengan kedua tangan. "Justru itu buat gue lebih terkejut. Kenapa Vira? Racun apa yang berkubang di otak lo sampai mengira dia mau jadi pasangan beberapa tahun dan melahirkan anak?" Freya mengambil gelas yang ditinggalkan tadi, lalu menegak minuman beralkohol itu sampai tandas. "Why?"Arion memajukan tubuh, menjajarkan wajah mereka sampai napas beraroma anggur itu menerpa wajahnya. "Karena lo nggak bisa bantu dia dari satu masalah pelik, tapi gue bisa. Mempertimbangkan hal itu, dia pasti mau menikah-mengandung-melahirkan."Kedua bibir berlipstik merah Freya terbuka sedikit, disusul pelototan. "Kenapa gue nggak terkejut ya lo cari tahu tentang dia sebelum ke gue?” Arion mendaratkan pukulan lebih keras dari sebelumnya ke dada Arion. "I hate you, Arion.""Thank you."Freya menyandarkan satu tangan di pinggiran meja bar, lalu memijit pelipis. "Vira bukan cuma partner di bisnis ini, Arion. Dia sahabat gue. Dan lo, mau gue menyiapkan kontrak atas nama kalian dengan permintaan yang kesulitannya lebih tinggi dari biasanya."Arion turun dari kursi dan mengancingkan jas hitamnya. Dia berdiri di samping Freya, seraya merengkuh bahu polos perempuan itu. "Nah, seperti yang lo bilang. Lo sahabatnya. Lo pasti tahu pasti, dia butuh bantuan gue.” Ezra menepuk bahu Freya sebanyak dua kali, lalu lanjut berkata, "Gue tunggu kedatangan dia di kantor. Gue langsung balik ke Jakarta malam ini, besok sore bisa lah dia datang ketemu gue.""KITA PERLU bicara. Sekarang. Penting!"Davira segera menengadah dari laptop ke wajah sahabat sekaligus atasan dari tempatnya bekerja. Entah kapan pastinya Freya melewati pintu kaca di depan sana, dan kenapa perempuan ini pulang dari Bali? Karena catatan kecil di agenda digitalnya jelas tertulis kapan Freya bakal pulang dari Bali, dan itu minggu depan. Davira menutup laptop dan mengamati wajah Freya yang menjulang di hadapannya, mengingat perempuan itu baru menghabiskan malam di pesta—kemungkinan mabuk sangat besar. Jadi dia mengambil waktu beberapa detik untuk memastikan, tetapi tidak ada tanda-tanda Freya mabuk.Freya gusar."Frey?""Kita punya klien baru." Freya menjawab. "Arion Anderson," lanjut Freya sebelum Davira sanggup mengungkapkan kesenangan mendapatkan klien baru, bos sekaligus sahabatnya itu mengambil iPad dari samping laptop, lalu mengembalikan lagi benda itu kepadanya setelah mengotak-atik beberapa
“SELAMAT datang dan senang bertemu langsung dengan anda," sambut Arion, sesaat setelah pijakan terakhir si perempuan mendarat di depan meja kerjanya. Sebelum memulai pembicaraan menarik, Arion lebih dulu memberi kode kepada Zeline untuk segera keluar. Walau seketarisnya itu sudah bekerja lima tahun, berada di daftar tiga orang paling bisa dia andalkan dan percaya, tetapi bahan diskusi antar Arion dan Davira terlalu berbahaya didengar siapa pun. Kalau sampai bocor, dia bakal rugi paling banyak. Ketika Zeline menghilang dan pintu super tebalnya tetutup rapat, Arion keluar dari meja lalu menyandarkan bokong di ujung kiri meja. Memandang lebih jelas Davira dari ujung kaki sampai kepala. Perlu usaha keras dari Arion untuk menahan tawa saat menemukan garis-garis kepanikan menghiasi wajah oriental perempuan itu. Berbanding terbalik dengan posisi berdiri Davira, yang meneriakkan kepercayaan diri seluas ruang kerja pribadi Arion. "Saya
LELAKI ITU menggeleng, lalu menyuarakan ketegasaan yang membuat Davira meremang. Namun Davira tidak berminat mengalah, dia semakin semangat melawan semua rasa gelisah yang mengganggu sejak lutut mereka bertemu beberapa saat lalu. Dia semakin tinggi membangun tembok pertahanan, menyembunyikan setiap kecemasaan—tidak sudi terlihat lemah di depan si lelaki walau sedikit saja. Menguatkan tekad apa pun yang terjadi dia tidak mau terjebak bersama lelaki bajingan lagi. Cukup satu bajingan, dengan segala kekacauan yang membuatnya sakit kepala.Ketika Arion melangkah maju sembari menyorotkan tatapan mengitimidasi, Davira buru-buru mundur dan coba menepis bayang-bayang Lukman saat menginginkan sesuatu darinya. Selama dua tahun terakhir, dia berhasil menghalu kenangan Lukman--hal-hal gila yang diperbuat lelaki itu. Belum pernah terlintas sekalipun dalam benaknya, dia bakal terje
TIGA HARI berlalu setelah pertemuan Arion dan Davira, tetapi rasa kesal akan penolakan perempuan itu tak kunjung mereda. Walaupun Arion memahami ketakutan Davira, tetap saja jawaban tidak dari perempuan itu terasa menjengkelkan. Bisa-bisanya Davira menolak mentah-mentah ide cemerlang Arion, win-win solution bagi masalah keduanya.Sambil menempelkan satu tangan yang terkepal di jendela kaca, Arion mengamati lalu lintas ibu kota yang padat di jam makan siang begini. Di saat pekerjaan tidak hilir mudik di benaknya, bisikan setan yang diabaikan sejak melihat Davira meninggalkan kartu namanya di meja—kembali terdengar. Membongkar begitu banyak pilihan cara buat mendapatkan jawaban iya dari Davira. Dia tahu semua kesusahaan perempuan itu, bahkan yang terkecil sekalipun—seperti: Davira rela makan dua kali saja demi penghematan, bekerja sebagai bartender di salah satu club malam elit di Jakarta demi mengumpulkan rupiah. Namun kalau dia menggunaka
TIGA HARI berlalu setelah pertemuan Arion dan Davira, tetapi rasa kesal akan penolakan perempuan itu tak kunjung mereda. Walaupun Arion memahami ketakutan Davira, tetap saja jawaban tidak dari perempuan itu terasa menjengkelkan. Bisa-bisanya Davira menolak mentah-mentah ide cemerlang Arion, win-win solution bagi masalah keduanya.Sambil menempelkan satu tangan yang terkepal di jendela kaca, Arion mengamati lalu lintas ibu kota yang padat di jam makan siang begini. Di saat pekerjaan tidak hilir mudik di benaknya, bisikan setan yang diabaikan sejak melihat Davira meninggalkan kartu namanya di meja—kembali terdengar. Membongkar begitu banyak pilihan cara buat mendapatkan jawaban iya dari Davira. Dia tahu semua kesusahaan perempuan itu, bahkan yang terkecil sekalipun—seperti: Davira rela makan dua kali saja demi penghematan, bekerja sebagai bartender di salah satu club malam elit di Jakarta demi mengumpulkan rupiah. Namun kalau dia menggunaka
LELAKI ITU menggeleng, lalu menyuarakan ketegasaan yang membuat Davira meremang. Namun Davira tidak berminat mengalah, dia semakin semangat melawan semua rasa gelisah yang mengganggu sejak lutut mereka bertemu beberapa saat lalu. Dia semakin tinggi membangun tembok pertahanan, menyembunyikan setiap kecemasaan—tidak sudi terlihat lemah di depan si lelaki walau sedikit saja. Menguatkan tekad apa pun yang terjadi dia tidak mau terjebak bersama lelaki bajingan lagi. Cukup satu bajingan, dengan segala kekacauan yang membuatnya sakit kepala.Ketika Arion melangkah maju sembari menyorotkan tatapan mengitimidasi, Davira buru-buru mundur dan coba menepis bayang-bayang Lukman saat menginginkan sesuatu darinya. Selama dua tahun terakhir, dia berhasil menghalu kenangan Lukman--hal-hal gila yang diperbuat lelaki itu. Belum pernah terlintas sekalipun dalam benaknya, dia bakal terje
“SELAMAT datang dan senang bertemu langsung dengan anda," sambut Arion, sesaat setelah pijakan terakhir si perempuan mendarat di depan meja kerjanya. Sebelum memulai pembicaraan menarik, Arion lebih dulu memberi kode kepada Zeline untuk segera keluar. Walau seketarisnya itu sudah bekerja lima tahun, berada di daftar tiga orang paling bisa dia andalkan dan percaya, tetapi bahan diskusi antar Arion dan Davira terlalu berbahaya didengar siapa pun. Kalau sampai bocor, dia bakal rugi paling banyak. Ketika Zeline menghilang dan pintu super tebalnya tetutup rapat, Arion keluar dari meja lalu menyandarkan bokong di ujung kiri meja. Memandang lebih jelas Davira dari ujung kaki sampai kepala. Perlu usaha keras dari Arion untuk menahan tawa saat menemukan garis-garis kepanikan menghiasi wajah oriental perempuan itu. Berbanding terbalik dengan posisi berdiri Davira, yang meneriakkan kepercayaan diri seluas ruang kerja pribadi Arion. "Saya
"KITA PERLU bicara. Sekarang. Penting!"Davira segera menengadah dari laptop ke wajah sahabat sekaligus atasan dari tempatnya bekerja. Entah kapan pastinya Freya melewati pintu kaca di depan sana, dan kenapa perempuan ini pulang dari Bali? Karena catatan kecil di agenda digitalnya jelas tertulis kapan Freya bakal pulang dari Bali, dan itu minggu depan. Davira menutup laptop dan mengamati wajah Freya yang menjulang di hadapannya, mengingat perempuan itu baru menghabiskan malam di pesta—kemungkinan mabuk sangat besar. Jadi dia mengambil waktu beberapa detik untuk memastikan, tetapi tidak ada tanda-tanda Freya mabuk.Freya gusar."Frey?""Kita punya klien baru." Freya menjawab. "Arion Anderson," lanjut Freya sebelum Davira sanggup mengungkapkan kesenangan mendapatkan klien baru, bos sekaligus sahabatnya itu mengambil iPad dari samping laptop, lalu mengembalikan lagi benda itu kepadanya setelah mengotak-atik beberapa
ARION ANDERSON membelah keramaian pesta dengan percaya diri. Melihat banyaknya tamu yang diundang pasangan pengacara sukses ibu kota untuk merayakan ulang tahun pernikahan yang kesepuluh, Arion seperti menemukan berbagai kesempatan untuk memperluas bisnis. Namun sebelum mengurus tentang uang, dia harus membereskan dulu masalah pelik yang memaksanya terbang ke Bali dan menghadiri acara membosankan ini. Sebuah pengkhianatan kecil yang dilakukan sang ayah. Arion berjalan di tengah keramaian, mengangguk singkat ke beberapa wajah yang dia kenal tetapi tidak dengan nama sebagai bentuk kesopanan. Dia juga melemparkan senyum tipis, tetapi menolak berbagai sentuhan fisik yang coba dilakukan orang-orang. Lelaki ataupun perempuan. Terutama perempuan. Saat empat sampai lima perempuan mencoba menghentikan langkah dan menyeretnya ke obrolan tidak penting, dia menolak tegas. Misinya terlalu penting buat ditunda demi perempuan-perempuan haus uang.Ketik