Tak akan pernah ada yang tahu, apa yang akan terjadi di masa depan. Semuanya terkesan misterius. Apa yang dimiliki saat ini, bisa saja hilang di masa lalu, dan meninggalkan penyesalan yang besar.
Rama masih mengamati Naya. Semua kegiataannya saat ini tak dia pedulikan sama sekali. Setelah meminta izin, dia mematikan ponsel. Tak mau ada yang mengganggu; siapa pun itu. Pandangannya masih terarah pada Naya.
Mereka begitu dekat, sayangnya dirinya tak bisa menghampiri Naya. Rama belum mau melihat tatapan Naya yang mengatakan betapa bencinya gadis itu padanya.
Tangannya mengepal kuat, rahangnya mengeras. Gemuruh yang ia rasakan semakin kuat. Sekali dia lalai, ia takut tak bisa menahan diri. Keinginannya yang kuat akan memaksanya untuk berlari sekarang juga ke arah Naya.
"Sekarang aku tahu perasaanmu," katanya pedih. "Dulu, kamu melihatku, hanya melihatku, tak berani mendekat jika tak ada izin dariku. Menyakitkan, bukan?" Senyum getir muncul di wajahnya.
Dulu, dia meminta Naya untuk tidak mendekat. Dirinya tak mau diganggu oleh gadis itu. Rasanya sangat menyebalkan ketika melihat senyuman dan ekspresi ceria yang ditampilkan oleh Naya. Gadis itu menyapanya, padahal jelas-jelas Rama tak suka sapaan itu.
Rama terus melakukan itu--menyakiti perasaan Naya. Bahkan dia sering kali membatalkan janji mereka. Waktu itu, Rama sangat ingin menjauhi Naya. Karena dia beranggap tak akan pernah ada perasaan cinta pada Naya, sampai kapan pun.
Namun, sekarang ketika gadis itu pergi, semua anggapannya berantakan.
"Mas, pingin banget ya? Sampai berkaca-kaca giitu matanya," seloroh salah satu pelanggan yang sejak tadi memperhatikan Rama.
Tak aneh, karena Rama sudah berada di sana beberapa jam, memandang hal yang sama tapi tak bergerak sedikit pun.
"Lebih baik masuk aja, Mas. Enggak usah ragu. Enak banget kuenya. Apalagi, karyawannya ramah banget. Terutama perempuan itu."
Meski terlihat tak menyimak, pandangannya mengikuti telunjuk pelanggan itu.
"Dia ramah kalau enggak ditanya tentang pasangan. Kalau enggak pura-pura mendengar, dia langsung mengalihkan pembicaraan. Meski ya, dibilang perempuan itu jomlo. Siapa ya namanya?"
"Naya," jawab Rama datar. "Dia juga tidak suka dengan Anda. Jangan berharap lebih." Rama langsung berbalik cepat. Dirinya tak tahu, apakah Naya melihat wajahnya atau tidak. Semoga saja tidak. Rama tidak mau, gadisnya bersembunyi lagi.
Sudah cukup dia menunggu, mencari seperti orang gila. Dia tidak mau mengalami hal ini lagi. Sekarang, seperti ini saja cukup, dia tidak akan meminta lebih.
Sekarang, dia harus puas dengan kenangan yang ia miliki, dan harapan yang mulai ia rasakan. Setelah memantapkan perasaannya, Rama mulai beranjak. Sekarang, dia sudah punya tujuan setiap kali dia merasa sendiri.
"Woi! Jangan sok ganteng kamu! Tau dari mana kalau dirinya tak suka sama aku!"
Rama berbalik. "Karena saya mantannya."
*
"Kenapa sih?" Naya menatap nyalang ke arah Fio. Sejak tadi, gadis itu menyenggol lengannya, menyoleknya. Itu sangat mengganggu. "Kamu enggak lihat, aku lagi input?"
"Lihat," balas Fio santai.
Naya menggeram kecil. Ingin kesal, tapi kalau kesal dengan Fio percuma. "Kenapa?" Naya memperhatikan apa yang dia ketik di mesin kasir. Bisa potong gaji kalau ada nominal yang salah.
"Orang itu sejak tadi, lihat ke arah sini mulu." Fio mulai bercerita, semangat. Khas perempuan itu. "Awalnya kupikir, dia ingin melihat menu di belakang kita, tapi sepertinya bukan. Ini sudah dua jam orang itu berdiri di tempat yang sama, dan melihat ke kita. Apa jangan-jangan,"
Naya mengernyit, cara bicara Fio membuatnya penasaran. Setelah memastikan belum ada tanda-tanda pelanggan, dia menoleh. "Apa?"
"Dia suka salah satu dari kita?"
Mulut Naya terbuka lebar, tak percaya. "Kebanyakan baca cerita roman, kamu." Ia menggeleng berulang kali. Tak habis pikir dengan pikiran Fio. Mana mungkin, ada orang yang berdiri dua jam di tempat yang sama. Kalau pun ada, tidak mungkin alasannya karena menyukai salah seorang di sini. Kecuali, dia memang dia ingin mengikuti seseorang. Apa ya namanya? stalker?
"Kamu enggak percaya ya?" Fio langsung menuding.
"Memang."
"Coba lihat di sana?"
Naya dengan malas mengangkat kepalanya, dan mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjuk oleh Fio. Gelombang di keningnya semakin banyak. Naya tidak melihat wajah orang itu, karena dia berbalik.
Kemungkinan ucapan Fio benar. Orang itu aneh.
"Mungkin dia," Mata Naya mendadak melebar. Dengan cepat, kepalanya menoleh. Postur tubuh orang itu, mirip dengan orang di masa lalunya. "Enggak mungkin. Itu sama sekali enggak mungkin." Suaranya bergetar. Ia tersenyum sinis. Tak mungkin orang itu tahu di mana dirinya berada?
"Pasti gara-gara dia." Naya terlalu naif, tidak memikirkan kemungkinan itu.
Tepukan lembut di bahunya, dan panggilan ramah, menyadarkan Naya di mana tempatnya berada.
Rio mendadak muncul di depannya.
Kapan dia datang?
"Kenapa mukamu pucat seperti ini?"
Wajahnya di pegang hati-hati oleh Rio. Tatapannya menjelajah ke semua penjuru wajah Naya. Memastikan kalau gadis di depannya itu, baik-baik saja.
"Aku enggak apa-apa." Naya melepaskan kedua tangan Rio di wajahnya. Matanya melirik ke arah tadi, dan dia bernapas lega, orang itu benar-benar pergi.
"Kamu yakin?"
"Kenapa aku harus tidak yakin?" tanya balik Naya.
Rio berdecak. "Kamu tak menjawab ketika dipanggil. Wajahmu seperti ini, dan matamu," Rio mendesah, "sangat sendu. Bagaimana bisa aku dan yang lainnya beranggapan kalau kamu baik-baik saja. Kamu terlihat tidak seperti biasanya."
"Benarkah?" Naya menyentuh wajahnya sendiri. Ia tidak menyangka, orang itu masih berdampak ke dirinya. Dia tidak boleh seperti ini. Semuanya sudah berakhir, dan berubah menjadi kenangan buruk.
"Istirahat saja. Biar Fio yang gantiin kamu."
Selain pemilik, Rama memang sering kali mengatur karyawan. Dia sudah dipercayai oleh Dion.
"Baik." Naya mengikuti ucapan Dion. Dia hapal bagaimana ini akan berlanjut, Dion akan terus memaksanya sampai keinginannya terpenuhi. "Maaf merepotkan," kata Nay pada Fio.
Fio menggeleng. "Tak apa. Kamu istirahat aja, Nay."
*
Rama keluar dari mobil dengan senyum kecil. Dia sangat bahagia saat ini. Akhirnya, harapannya bisa terkabul juga.
"Ngapain senyum-senyum kayak orang gila, gitu?"
Rama mengunci mobilnya. "Enggak perlu tahu." Ia berjalan melewati sepupunya--Adit, begitu saja.
Adit merangkul pundak Rama. Baru sebentar langsung ditepis sadis oleh Rama.
"Kejam amat sama sepupu sendiri."
Rama langsung masuk tanpa menanggapi omongan Adit. Buang-buang waktu.
"Kenapa jarang pulang? Tante curhat panjang lebar. Kamu seharusnya paham, Tante kesepian."
Rama tahu itu. Jadi tutup mulutmu.
Dia berhenti. Ruang tamunya dipenuhi oleh orang-orang yang kini sedang bersenda gurau. Hampir semua orang adalah keluarga mereka. Kecuali, satu orang.
Tanpa permisi, Rama langsung pergi menuju kamarnya. Dia tidak mau kebahagiaannya yang sekarang dia rasakan, hilang. Yang dia inginkan sekarang, melihat kembali rekaman Naya di kepalanya.
"Rama."
Rama mendesah berat. "Kenapa, Ma?" tanyanya sembari berbalik.
"Kenapa langsung masuk gitu aja?"
"Capek," balas Rama. Dia tidak segan-segan menunjukkan maksud dari ucapannya.
"Ini ada Calista lho." Mamanya mengamit lengan gadis yang bernama Calista itu.
"Terus?" Rama menaikkan sebelah alisnya. Terlihat jelas, laki-laki itu tidak tertarik dengan pembahasan ini.
"Ya, kamu temani dia," kata sang Mama. "Calista sudah jauh-jauh ke sini. Bawakan kue kesukaanmu."
"Salahnya dia datang ke sini." Rama tak suka hal ini. Dulu, mungkin dia akan merasa sedikit senang, tapi sekarang, tidak lagi. Dia sama sekali tidak tertarik.
"Mungkin, Rama capek," sahut Calista ramah. "Calista, enggak apa-apa, kok."
"Bagus kalau kamu sadar." Setelah mengatakan itu, Rama langsung berbalik, mengabaikan teriakan Mamanya, dan masuk ke dalam kamar.
Di balik pintu kamar, Rama akhirnya bisa merasa rileks. Pantas saja, dirinya disuruh pulang. Ada maunya.
Sudah cukup lama, Rama tidak pulang ke rumah. Alasannya sederhana. Dia tidak mau mendengar pertanyaan mengenai siapa kekasihnya saat ini. Pertanyaan itu sudah kerap kali dia jawab, tapi, Mamanya seakan tak puas.
"Menyebalkan." Rama menyusupkan jemarinya di rambut, jengah. "Udah dibilang, tetap aja dilakukan," gumamnya.
Dia beranjak dari pintu dan menjatuhkan diri di atas ranjangnya.
Mamanya tidak seperti ini sebelumnya, hal menyebalkan yang dilakukan adalah terus menyalahkan Rama atas keputusan Naya. Ya, Rama akui, itu memang salahnya. Dia lebih memilih untuk Mamanya menyalahkannya. Bukan membawa perempuan yang sama sekali tak berguna.
Tatapannya dialihkan pada sebuah figura yang sengaja ditaruh di sana. Rama memang sengaja menaruh sebuah figura foto di sana, agar setiap kali dia kemari ada hal yang membuatnya tenang.
Ada bekas robekan di antara dua orang yang tengah menunjukkan ekspresi berbeda. Sang gadis menunjukkan kebahagiaan, sedangkan laki-lakinya menunjukkan sebaliknya. Foto itu adalah foto saat mereka bertunangan ... dengan terpaksa.
Kalau Rama mengingat itu, semua kenangan buruk yang dia berikan pada Naya muncul. Dan seperti biasa, matanya mulai terpejam, dan mimpi akan masa lalu siap untuk menyambutnya.
Sudah berulang kali, Naya dikenalkan lelaki oleh Sandra. Dari tinggi, hingga pendek, dari yang pendiam, sampai yang cerewet, dan masih banyak lagi. Dari sekian banyak laki-laki yang dikenalkan oleh Sandra, sampai sekarang belum ada yang membuat hatinya kepincut. Pun ada, ketertarikannya hanya sampai kencan kedua setelahnya, perasaan itu menguap tak tersisa.Apa yang sudah terjadi sebelumnya,"Kau kenal dengan Ari? Dia meminta nomer ponselmu."Naya mengernyit, dan langsung menengadahkan kepala. "Ari?" Kernyitan di dahinya semakin dalam ketika mencoba mengingat nama itu. "Ah, aku tahu. Untuk apa dia minta nomerku?"Ari adalah salah satu pelanggan tetap di kafe tempat Naya bekerja, yang ternyata adalah teman Sandra. Berulang kali mereka terlibat pembicaraan santai.Sandra berkacak pinggang. Keningnya mengernyit dalam, dan bibirnya mencebik. "Mau mengerjakan tugas kampus! Ya, kenalanlah. Kau mau aku jambak atau bagaimana?"Naya
Pernah suatu hari--entah berapa kali, bayangan akan pertemuan mereka hinggap di kepala. Banyak skenario asing yang muncul, hingga menimbulkan beberapa perasaan yang berakhir dengan menyedihkan. Naya mengerjap, lalu mengalihkan pandangan, memutuskan apa yang seharusnya tidak dia lakukan.Perasaannya yang mulanya nyaman, berubah drastis. Dia tidak menyangka kalau hari ini mereka akan dipertemukan.Dia mencengkram cangkirnya kuat-kuat, mengertakkan gigi, dan menelan bulat-bulat perasaannnya saat ini.Aku harus terlihat baik-baik saja. Aku bukan Naya yang dulu. Kehadirannya tak akan pernah mempengaruhiku."Nay, ada apa?"Panggilan lembut disertai dengan tepukan yang tak kalah lembut di tangannya, menyentakkan Naya."Ya? Kau berbicara apa?""Ada apa?" tanya Ari khawatir. "Kita balik saja, aku tak mau kau kenapa-napa." Ari mengeluarkan dompet dan memanggil pelayan."Tak apa?" tanya Naya khawatir.Bia
Jika waktu itu, aku tak mengabaikanmu. Cerita kita, tidak akan seperti ini."Sudah kuduga. Perusahaan G akan mengalami kemajuan. Tahun ini kinerja mereka sangat memuaskan. Inovasi-inovasi yang mereka tampilkan selalu berdampak positif. Aku tak menyesal membeli saham perusahaan itu." Seno terus menerus membanggakan perusahaan G yang akhir-akhir ini selalu muncul di berita.Seno adalah Paman Rama. Saudara Ayahnya. Di antara saudara Ayahnya--tiga bersaudara--Seno-lah yang sering mengunjungi rumah keluarga Rama.Di antara keramaian itu, Rama hanya mengunyah makananannya. Tak peduli dengan berita mengenai Perusahaan G itu. Sekarang, pikirannya dipenuhi oleh satu topik dan satu manusia. Aska.Dia sudah menunggu cukup lama--menurutnya--untuk mendapatkan informasi mengenai sosok laki-laki yang kemarin bertemu dengan Naya."Apa sekarang aku dipermainkan?" gumamnya."Rama, kau sedang memi
Menyembuhkan patah hati, amat sangat susah. Jangan kau datang dan menghancurkan semuannya."Sandra!" Naya bangun dengan cepat. Telinganya mulai terganggu oleh getaran dan suara yang besar seakan sebentar lagi sesuatu itu akan roboh.Selagi berjalan, Naya menghela napas, berulang kali. Dia tidak menyukai suara ini karena membuat jantungnya berdebar tak nyaman. Suara-suara bising, getaran hebat dan hentakkan keras."Hah. Ini Sandra kemana lagi." Naya buru-buru memegangi mesin cuci. Memeluknya erat--sebisa tangannya--meredam suara itu dengan tubuhnya. Sedikit geli tapi, tak bisa dia lepaskan. "Awas aja tuh bocah balik. Aku kasih pelajaran! Seenaknya kalau ninggalin mesin cuci."Meski kesal, ia mulai merasa nyaman. Dirinya seperti tengah berolahraga untuk mengeluarkan lemak di perutnya."Aw," lirihnya.Kepalanya mendadak nyeri. Selalu seperti ini, jika dirinya mendadak bangun. Sepertinya dia harus beristirahat dulu sebelum menjemur i
Ketika kau menyakitinya, jangan harap akan diberikan senyumanNaya mendorong keras tubuh Rama, hingga mereka berdua saling menjauh. Saking emosinya, Naya hampir limbung."Eh, Nay!""Jangan beraninya kamu sentuh aku!" hardik Naya yang menolak bantuan Rama.Lebih baik aku jatuh daripada nerima bantuanmu! batin Naya.Dia masih tidak terima dengan apa yang baru saja diberitahukan padanya; Aska yang mencari informasinya. Sekarang, Rama mendadak muncul di lingkungan rumahnya. Haruskah dirinya kaget?Naya tak membuka mulutnya lagi, dan menghampiri Rama cepat."Nay, kamu--"Naya menarik gas miliknya dan bergegas membalikkan badan tanpa mau mendengar ucapan Rama. "Dasar cowok gila! Brengsek! Enggak tahu malu!" omelnyaNaya memang sengaja membiarkan suaranya lebih keras, agar orang di belakangnya saat ini mulai berpikir. Setelah putus, dia sudah berpikir kalau Rama benar-benar tak punya otak.
Semenjak kejadian Rama yang mendatanginya, Naya semakin waspada. Jika mendengar suara mobil, sering kali, dia menoleh dan menyipitkan matanya. Kepalanya bergerak untuk mencari tahu apakah Rama ada di sana. Kebenciannya pada Rama belum kunjung turun. Itu yang dia tahu ketika melihat muka manusia brengsek satu itu. Setiap kali melihatnya, emosinya mendadak muncul entah dari mana. Padahal, Naya sudah bertekad untuk bersikap elegan, dingin, bahkan sampai tidak berprikemantanan. Kening Naya mengernyit. Matanya langsung menyipit ketika mendengar suara motor yang mendekat. "Jangan bilang ke sini." Naya mendongakkan kepalanya, mengintip apakah dugaannya benar atau tidak. Kalau itu Rama, dia tidak akan menjawab sama sekali, atau dia akan memanggil Pak RT. Naya menganggukkan kepalanya berulang kali, puas akan pemikiranya. Suara motor itu berhenti di depan rumah Naya. Sontak saja, bukan hanya melongokkan kepala, Naya malah mengintip dari bali
Naya merinding mendengar itu. ia menekan kuat keinginannya untuk membanting ponsel yang sekarang dia pegang. Karena dia belum menjadi s ultan, membanting ponselnya sama saja perbuatan sia-sia. "Omonganmu menjijikan!" desis Naya. "Jangan pernah mengirimkan apa pun ke aku. Kirimkan saja semua ke pacarmu! " Kemarahan Naya semakin besar ketika mendengar tawa dari seberang telepon. Dia pikir aku sedang melucu apa? "Kamu cemburu?" tanya Rama. Mata Naya seperti akan keluar . Apakah ini laki-laki yang sama dengan laki-laki beberapa tahun yang lalu? Atau apa otak laki-laki itu kebentur sesuatu? Aneh. Naya merasa asing. "Kamu mimpi? Kalau kamu enggak mau dilaporkan ke polisi, jangan pernah melakukan itu lagi! Dasar orang gila!" teriaknya sebelum memutuskan panggilan. "Benar-benar manusia satu ini. Aku ngomong malah ketawa! Minta ditampar." "Ya udah tampar aja," sahut Sandra. "Ogah ketemu sama manusia satu itu
"Ada undangan reunian nih. Kamu mau datang enggak?" Aska menunjukkan ponselnya di mana grup kelas mereka yang dulu terpampang. Rama hanya melirik, lalu menghadap ke depan. Terlihat jelas tidak tertarik dengan informasi itu. Ia melepas jaket, menaruhnya sembarang dan merebahkan tubuhnya di sana. "Enggak punya rumah?" sindir Rama. Dari tujuh hari dalam seminggu, Aska kerap kali ke apartemennya. Mau sebanyak apa pun dia menghina secara terang-terangan, mengusirnya tanpa belas kasihan. Tetap saja, manusia satu itu tetap datang ke sini. "Punya, di sini kan?" Aska nyengir. Rama menyugar rambut sembari menghela napas. Seakan kantor tidak cukup membuatnya emosi, dia harus mendapatkan sahabat yang ingin dibuangnya. Rama menyesal sudah memutuskan Aska menjadi sahabatnya. Ia bergegas mengambil minuman di kulkas. "Serius, enggak mau ikut?" "Enggak.Nggak penting." "Siapa tahu, mantanmu ikut. Lumayankan?" Aska men
Pernah kehilangan kepercayaan pada seseorang yang akan memenuhi hatinya, membuat Naya tidak bisa memberikan kepercayaannya dengan mudah. Seberapa kuat dia mencoba untuk kembali percaya, dia tetap gagal. Ada kecurigaan yang timbul, itu membuatnya enggan untuk membuka hati.Namun, dia sadar, mau sampai kapan dia akan seperti ini?Dia akan mencoba membuka hatinya untuk Angga. Sampai saat ini, Sandra mengatakan kalau laki-laki itu baik. Naya akan mencoba untuk mempercayainya."Mau kubelikan pastime?""Enggak. Kalau kamu mau beli, beli aja," kata Naya."Ya enggak. Aku nawarin kamu, kalau kamu enggak mau, ya buat apa juga aku beli?" kata Angga. "Kalian langsung pulang?""Iya." Sandra menjawab terlebih dulu. "Kamu balik lagi sana." Ia mengibaskan tangan, mengusir Angga."Yaelah, udah selesai dibutuhin langsung diusir ya?"Sandra mengangguk mantap, tak bersalah. "Ya emang harus diusir."Naya mendengarkan perdebata
Kaki Naya terus bergerak dengan gelisah. Keinginannya untuk kabur dari ruangan semakin meningkat. Bahkan rasa penyesalannya pun semakin besar. Naya tak tahu kalau tempat ini adalah milik dari orang yang sudah dia hapus dari kehidupannya. Dari luasnya bumi, kenapa harus ketemu sama ini orang? Menyebalkan. Naya merasakan kakinya ditendang kecil. Ketika menoleh dia menemukan Sandra sudah dalam tampang menyeramkan. "Kamu sengaja mau ketemu sama dia? Makanya milih tempat ini?" bisik Sandra. Naya tanpa sadar memutar jarinya dekat kepala. "Kamu gila?" balasnya juga dengan berbisik. Kalau dirinya tahu tempat ini milik orang itu, tak akan pernah memilih tempat ini. Mendingan agak terpencil tapi hati nyaman. Dibandingkan tempat ini, yang sudah jelas akan membuatnya makan hati sendiri. "Terus, kenapa kamu milihat tempat ini? Kamu tahu dia pemiliknya?" "Ya enggaklah. Makin gila kamu ya." "Sepertinya penjelasan
"Enggak mau nyewa ruko atau apa gitu?" Naya mulai merasa takut berjalan di sekitar rumah. Meski masih ada celah untuk melangkah tapi kalau kepala sudah oleng bisa saja tanaman di sekitar rumah dia tendang. Naya menunjuk tanaman yang mulai berkembang biak. Satu pot bertambah satu pot lagi. Begitu seterusnya. Sandra ikut mengamati. "Ya...mau nyewa gimana? Uangku belum cukup. Kamu udah mulai sebel ya?" "Enggak gitu, San. Aku takut kalau tanaman ini akan kutendang suatu hari nanti. Kau tahu, ketika kepalamu sedang pusing, dan matamu minta untuk dipejamkan?" "Ya benar juga sih." Sandra mengusap dagu. Tatapannya berkeliaran ke segala arah mencari spot. "Kupikir ini juga cukup kebanyakan." "Kebanyakan ya kebanyakan. Enggak usah pakai cukup." Naya geleng-geleng kepala dengan sikap Sandra. "Gimana? Mau nyewa ruko?" "Kan udah aku bilang. Uangku enggak cukup." "Pakai uangku juga. Aku punya cukup uang," tawar Naya. "Meski enggak banyak
"Ada undangan reunian nih. Kamu mau datang enggak?" Aska menunjukkan ponselnya di mana grup kelas mereka yang dulu terpampang. Rama hanya melirik, lalu menghadap ke depan. Terlihat jelas tidak tertarik dengan informasi itu. Ia melepas jaket, menaruhnya sembarang dan merebahkan tubuhnya di sana. "Enggak punya rumah?" sindir Rama. Dari tujuh hari dalam seminggu, Aska kerap kali ke apartemennya. Mau sebanyak apa pun dia menghina secara terang-terangan, mengusirnya tanpa belas kasihan. Tetap saja, manusia satu itu tetap datang ke sini. "Punya, di sini kan?" Aska nyengir. Rama menyugar rambut sembari menghela napas. Seakan kantor tidak cukup membuatnya emosi, dia harus mendapatkan sahabat yang ingin dibuangnya. Rama menyesal sudah memutuskan Aska menjadi sahabatnya. Ia bergegas mengambil minuman di kulkas. "Serius, enggak mau ikut?" "Enggak.Nggak penting." "Siapa tahu, mantanmu ikut. Lumayankan?" Aska men
Naya merinding mendengar itu. ia menekan kuat keinginannya untuk membanting ponsel yang sekarang dia pegang. Karena dia belum menjadi s ultan, membanting ponselnya sama saja perbuatan sia-sia. "Omonganmu menjijikan!" desis Naya. "Jangan pernah mengirimkan apa pun ke aku. Kirimkan saja semua ke pacarmu! " Kemarahan Naya semakin besar ketika mendengar tawa dari seberang telepon. Dia pikir aku sedang melucu apa? "Kamu cemburu?" tanya Rama. Mata Naya seperti akan keluar . Apakah ini laki-laki yang sama dengan laki-laki beberapa tahun yang lalu? Atau apa otak laki-laki itu kebentur sesuatu? Aneh. Naya merasa asing. "Kamu mimpi? Kalau kamu enggak mau dilaporkan ke polisi, jangan pernah melakukan itu lagi! Dasar orang gila!" teriaknya sebelum memutuskan panggilan. "Benar-benar manusia satu ini. Aku ngomong malah ketawa! Minta ditampar." "Ya udah tampar aja," sahut Sandra. "Ogah ketemu sama manusia satu itu
Semenjak kejadian Rama yang mendatanginya, Naya semakin waspada. Jika mendengar suara mobil, sering kali, dia menoleh dan menyipitkan matanya. Kepalanya bergerak untuk mencari tahu apakah Rama ada di sana. Kebenciannya pada Rama belum kunjung turun. Itu yang dia tahu ketika melihat muka manusia brengsek satu itu. Setiap kali melihatnya, emosinya mendadak muncul entah dari mana. Padahal, Naya sudah bertekad untuk bersikap elegan, dingin, bahkan sampai tidak berprikemantanan. Kening Naya mengernyit. Matanya langsung menyipit ketika mendengar suara motor yang mendekat. "Jangan bilang ke sini." Naya mendongakkan kepalanya, mengintip apakah dugaannya benar atau tidak. Kalau itu Rama, dia tidak akan menjawab sama sekali, atau dia akan memanggil Pak RT. Naya menganggukkan kepalanya berulang kali, puas akan pemikiranya. Suara motor itu berhenti di depan rumah Naya. Sontak saja, bukan hanya melongokkan kepala, Naya malah mengintip dari bali
Ketika kau menyakitinya, jangan harap akan diberikan senyumanNaya mendorong keras tubuh Rama, hingga mereka berdua saling menjauh. Saking emosinya, Naya hampir limbung."Eh, Nay!""Jangan beraninya kamu sentuh aku!" hardik Naya yang menolak bantuan Rama.Lebih baik aku jatuh daripada nerima bantuanmu! batin Naya.Dia masih tidak terima dengan apa yang baru saja diberitahukan padanya; Aska yang mencari informasinya. Sekarang, Rama mendadak muncul di lingkungan rumahnya. Haruskah dirinya kaget?Naya tak membuka mulutnya lagi, dan menghampiri Rama cepat."Nay, kamu--"Naya menarik gas miliknya dan bergegas membalikkan badan tanpa mau mendengar ucapan Rama. "Dasar cowok gila! Brengsek! Enggak tahu malu!" omelnyaNaya memang sengaja membiarkan suaranya lebih keras, agar orang di belakangnya saat ini mulai berpikir. Setelah putus, dia sudah berpikir kalau Rama benar-benar tak punya otak.
Menyembuhkan patah hati, amat sangat susah. Jangan kau datang dan menghancurkan semuannya."Sandra!" Naya bangun dengan cepat. Telinganya mulai terganggu oleh getaran dan suara yang besar seakan sebentar lagi sesuatu itu akan roboh.Selagi berjalan, Naya menghela napas, berulang kali. Dia tidak menyukai suara ini karena membuat jantungnya berdebar tak nyaman. Suara-suara bising, getaran hebat dan hentakkan keras."Hah. Ini Sandra kemana lagi." Naya buru-buru memegangi mesin cuci. Memeluknya erat--sebisa tangannya--meredam suara itu dengan tubuhnya. Sedikit geli tapi, tak bisa dia lepaskan. "Awas aja tuh bocah balik. Aku kasih pelajaran! Seenaknya kalau ninggalin mesin cuci."Meski kesal, ia mulai merasa nyaman. Dirinya seperti tengah berolahraga untuk mengeluarkan lemak di perutnya."Aw," lirihnya.Kepalanya mendadak nyeri. Selalu seperti ini, jika dirinya mendadak bangun. Sepertinya dia harus beristirahat dulu sebelum menjemur i
Jika waktu itu, aku tak mengabaikanmu. Cerita kita, tidak akan seperti ini."Sudah kuduga. Perusahaan G akan mengalami kemajuan. Tahun ini kinerja mereka sangat memuaskan. Inovasi-inovasi yang mereka tampilkan selalu berdampak positif. Aku tak menyesal membeli saham perusahaan itu." Seno terus menerus membanggakan perusahaan G yang akhir-akhir ini selalu muncul di berita.Seno adalah Paman Rama. Saudara Ayahnya. Di antara saudara Ayahnya--tiga bersaudara--Seno-lah yang sering mengunjungi rumah keluarga Rama.Di antara keramaian itu, Rama hanya mengunyah makananannya. Tak peduli dengan berita mengenai Perusahaan G itu. Sekarang, pikirannya dipenuhi oleh satu topik dan satu manusia. Aska.Dia sudah menunggu cukup lama--menurutnya--untuk mendapatkan informasi mengenai sosok laki-laki yang kemarin bertemu dengan Naya."Apa sekarang aku dipermainkan?" gumamnya."Rama, kau sedang memi