Sudah berulang kali, Naya dikenalkan lelaki oleh Sandra. Dari tinggi, hingga pendek, dari yang pendiam, sampai yang cerewet, dan masih banyak lagi. Dari sekian banyak laki-laki yang dikenalkan oleh Sandra, sampai sekarang belum ada yang membuat hatinya kepincut. Pun ada, ketertarikannya hanya sampai kencan kedua setelahnya, perasaan itu menguap tak tersisa.
Apa yang sudah terjadi sebelumnya,
"Kau kenal dengan Ari? Dia meminta nomer ponselmu."
Naya mengernyit, dan langsung menengadahkan kepala. "Ari?" Kernyitan di dahinya semakin dalam ketika mencoba mengingat nama itu. "Ah, aku tahu. Untuk apa dia minta nomerku?"
Ari adalah salah satu pelanggan tetap di kafe tempat Naya bekerja, yang ternyata adalah teman Sandra. Berulang kali mereka terlibat pembicaraan santai.
Sandra berkacak pinggang. Keningnya mengernyit dalam, dan bibirnya mencebik. "Mau mengerjakan tugas kampus! Ya, kenalanlah. Kau mau aku jambak atau bagaimana?"
Naya terkekeh pelan. Kadang, kekesalan Sandra sungguh membuatnya terhibur. Apalagi jika berhubungan dengan topik yang sama.
"Lagian, jawabanku juga kau sudah tahu, kan?" Dia menaruh pakaiannya ke jejeran pakaian yang sudah dia lipat terlebih dulu.
Setelah memastikan tak ada pakaian yang ketinggalan, Naya menoleh ke Sandra."Aku sudah tahu," kata Sandra. "Sangat tahu. Jawabanmu tak pernah berubah bertahun-tahun."
"Nah." Naya menjetikkan jemarinya. "Jadi, buat apa masih bertanya? Dan lagi, aku sudah memperingatkan padamu. Jangan memberikan nomerku kesembarang orang. Itu sangat menganggu."
Bukan satu kali, atau dua kali, Naya menerima 'teror' dari orang yang mendapatkan nomernya dari Sandra. Satu kali tak dibalas pesan, atau mengangkat telepon, mereka akan terus menghubungi nomernya hingga membuat Naya harus mematikan ponselnya beberapa hari. Parahnya, malah ada yang menungguinya di depan rumah, menanyakan kenapa dirinya tidak membalas pesannya.
Mengingat itu, Naya sakit kepala.
"Kali ini dia normal." Sandra menunjukkan foto Ari di ponselnya. "Dia ini udah kukenal cukup lama. Pribadinya juga baik, sopan, dan asik. Bukan tipe-tipe peneror, atau tukang selingkuh. Gajinya juga lumayan, terus,"
Naya menganga medengarkan penjelasan dari Sandra. Entah mulai kapan, Sandra mengumpulkan data Ari, hingga mendapatkan informasi sebanyak itu. Sampai ukuran celananya pun Sandra tahu.
"Kau pernah pacaran dengannya?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja. Naya tak bisa menahan kebingungan dan rasa penasarannya di kepala.
Rasanya tidak masuk akal, Sandra mengetahui semua hal tentang Ari kalau tidak pernah berhubungan, atau minimal pernah menyukai. Karena Naya tahu, banyak cara yang bisa dilakukan oleh gadis jika sudah berniat untuk menguntit seseorang, apalagi di media sosial.
Naya selalu takjub dengan kemampuan itu.
"Tidak," Sandra melipat kedua kakinya. "Aku sudah cukup lama mengenalnya, dan salah satu mantan pacar Ari adalah penggosip hebat, jadi, ya ... begitu."
"Ah." Naya mengangguk, mengerti.
"Jadi, kau mau keluar dengannya? Dia selalu menanyakan padaku, apakah kau ada waktu atau tidak." Sandra menggoyangkan ponselnya, seakan memberitahu kalau semua pertanyaan Ari ada di ponselnya.
"Aku lelah, San. Maksudku, aku seperti membuang waktu bertemu dengan seseorang yang tidak menarik perhatianku sama sekali."
Sandra menghela napas. "Aku melakukan ini, karena peduli padamu, Nay," kata Sandra lembut. Dia menepuk pundak Naya. "Aku hanya tak mau kau terus seperti ini. Memangnya aku tak tahu kalau berulang kali kau menatap pasangan kekasih dengan tatapan kosong?"
Naya tak mengelaknya. Benar, dia kerap kali melakukan itu.
"Aku tahu, kau terluka, sangat terluka. Lalu, sampai kapan kau begini? Waktu terus berjalan, Nay. Kau juga harus melupakan masa lalumu itu, dan satu orang brengsek, bukan berarti orang lain juga brengsek."
Masih dengan keterdiaman, Naya mendengarkan perkataan itu. Perkataan yang sudah berulang kali terpikirkan di dalam kepalanya. Dia sudah meyakini kalimat itu, semua berbeda, tak semuanya mempunyai sifat seperti itu. Namun, semuanya seakan sia-sia.
"Aku sudah mencobanya," kata Naya serak. "Aku sudah mencoba untuk membukakan hatiku."
"Kau yakin, kau sudah mencoba?"
Kening Naya berkerut. "Maksudmu, aku berbohong?"
Sandra menggeleng. Bibirnya melahirkan senyuman tipis. "Aku tahu kau pasti sudah mencoba. Maksudku, kau yakin benar-benar sudah mencoba sekuat tenaga? Apakah kau sudah melepaskan semua perasaanmu pada mantanmu?"
*
Naya menghela napas berat berulang kali. Menenangkan dirinya dan meyakinkan diri kalau kali ini dia harus berhasil. Kata-kata Sandra benar, dia sepertinya belum melupakan perasaannya di masa lalu.
Atau dirinya yang begitu mudah dipengaruhi oleh Sandra?
Tapi, dari sekian banyak kafe. Kenapa dia harus berada di depan kafe ini?
Naya ingin membatalkan pertemuan ini, dan berbalik pulang. Meski sudah kembali, tempat ini salah satu tempat yang ia hindari. Banyak hal yang bisa dia kenang di tempat ini.
"Apa karena ini, dia bilang aku harus membuktikannya? Sandra, harus kuapakan kau setelah pulang." Naya mengepalkan kedua tangannya, memusatkan emosinya di sana. "Udahlah." Naya hanya berharap tidak bertemu siapa-siapa yang dia kenal.
Dia menarik napas dan membuangnya perlahan. Banyak alasan dia gugup ketika menyentuh knop pintu. Tempat itu jelas sangat berbeda dibandingkan terakhir kali bertemu. Namun, suasana di sana masih sama.
Naya tanpa sadar langsung menoleh ke tempat yang sering kali dia duduki. Satu per satu kenangan muncul di kepalanya, membuat emosinya mulai bermain. Dulu, dia sering kemari, hanya sekadar menikmati minuman dan memandang orang-orang yang berlalu lalang. Karena tak ingin sendiri, Naya akhirnya meminta ...
Naya menggelengkan kepala, mengenyahkan kenangan itu.
"Ini alasan aku tak mau ke sini."
Bahunya merasakan tepukan lembut. Naya berbalik dengan cepat, dengan jantung yang berdegup cepat.
"Ari," panggilnya lemah. Rasa lega menyeruak dari dadanya. Ia tersenyum lebar. "Hai."
"Hai." Ari menyapa balik. "Kau kenapa? Sakit?"
"Tidak. Kenapa?"
Ari menunjuk kening Naya. "Kau berkeringat. Seharusnya aku menjemputmu, meski kau tolak."
Mendengar penyesalan dari suara Ari, membuat Naya kembali memberikan senyuman penenangnya. "Aku baik-baik saja. Ini," dia mengusap dahinya, melihat keringatnya sendiri, "aku sering seperti ini."
"Benarkah? Setelah ini, aku akan mengantarkanmu pulang."
Naya menggoyangkan kedua tangannya. "Tak usah. Aku sungguh bisa pulang sendiri."
Ari menggeleng lalu mencondongkan wajahnya. "Kali ini aku tidak akan mendengarmu, Nona." Tubuhnya kembali menegak. Dia membalikkan tubuh Naya, dan mendorongnya agar berjalan.
"Aku bisa berjalan sendiri, jangan mendorongku."
"Begitukah?"
Naya mencebikkan bibirnya, dan mereka memutuskan untuk menduduki deretan tengah yang masih tersisa.
"Kau ingin memasan apa?" Ari memanggil pelayan. "Tempat ini sangat bagus untuk mengabiskan waktu," katanya menjelaskan.
"Aku milkshake, cokelat."
"Milkshake?" bibir Ari berkedut.
Naya mengernyitkan dahinya. "Kenapa? Enggak ada yang salah kan?"
Sejak dulu, kesukaannya tidak berubah. Terlebih di kafe ini. Pesanannya selalu sama, dia tak pernah bosan dengan minuman itu. Entah apa yang membuatnya menyukai minuman itu.
Ari tertawa kecil, lalu mengaitkan kedua tangannya dan menjadikannya tumpuan dagu. "Tidak. Tapi, kupikir kau tak menyukai minuman seperti itu, dan lebih menyukai kopi."
Gantian Naya yang tersenyum samar. Sembari menolehkan pandangannya ke luar, Naya berkata, "Kopi, pilihan terakhirku."
"Aku ingin meminta maaf. Aku terlalu pengecut meminta nomormu dari Sandra," aku Ari. "Seharusnya aku meminta langsung padamu."
"Tak masalah. Yang penting, kau tak menerorku." Naya menarik kembali pandangannya, dan menatap Ari. "Aku akan mem-blokirmu."
"Benarkah?" Ari ternyata tak salah memilih untuk mendekati Naya. Gadis itu apa adanya. "Kau tak punya kekasih kan?"
Naya menghela napas. "Tentu tidak. Aku bukan tipe seseorang yang berselingkuh." Kali ini sikap Naya berubah serius. Ada beberapa hal yang tidak dia sukai, salah satunya kalimat ini. "Dan aku benci dengan seseorang yang berselingkuh."
Ari mengangguk paham, sepertinya dia sudah memilih topik yang salah. "Tentu, semua orang tak mau diselingkuhi. Kau suka membaca buku?"
"Tentu." Naya mencoba untuk mengendalikan perasaan kesalnya. Kali ini berbeda dari sebelumnya, Ari tidak membuatnya merasa risih, kecuali kalimat itu. Sikapnya biasa saja, dan tidak melakukan sesuatu yang membuatnya langsung muak. "Kau juga?"
"Ya. Aku menyukai novel misteri."
Mereka membahas novel kesukaan masing-masing. Ketika mendapatkan satu novel yang sama, mereka tampak bersemangat. Beberapa kali mereka saling menyahuti adegan dalam novel itu.
Sepertinya, Naya tak salah sudah menerima pemaksaan Sandra saat ini.
"Kau tahu, kalau asistenmu tidak menyukaimu, mungkin aku sudah mengejarnya."
"Tak ada hubungannya denganku."
Naya menghentikkan kegiatannya menyesap minumannya ketika mendengar suara yang tidak asing. Tanpa sadar dia menggertakan giginya, dan napasnya terasa berat.
Ari menyentuh tangan Naya, memeriksa gadis itu. "Naya, Kenapa? Kau serius tak sakit?"
Naya memberanikan diri untuk menaikkan pandangannya, dan detik itu dia menyesal melakukannya.
Pernah suatu hari--entah berapa kali, bayangan akan pertemuan mereka hinggap di kepala. Banyak skenario asing yang muncul, hingga menimbulkan beberapa perasaan yang berakhir dengan menyedihkan. Naya mengerjap, lalu mengalihkan pandangan, memutuskan apa yang seharusnya tidak dia lakukan.Perasaannya yang mulanya nyaman, berubah drastis. Dia tidak menyangka kalau hari ini mereka akan dipertemukan.Dia mencengkram cangkirnya kuat-kuat, mengertakkan gigi, dan menelan bulat-bulat perasaannnya saat ini.Aku harus terlihat baik-baik saja. Aku bukan Naya yang dulu. Kehadirannya tak akan pernah mempengaruhiku."Nay, ada apa?"Panggilan lembut disertai dengan tepukan yang tak kalah lembut di tangannya, menyentakkan Naya."Ya? Kau berbicara apa?""Ada apa?" tanya Ari khawatir. "Kita balik saja, aku tak mau kau kenapa-napa." Ari mengeluarkan dompet dan memanggil pelayan."Tak apa?" tanya Naya khawatir.Bia
Jika waktu itu, aku tak mengabaikanmu. Cerita kita, tidak akan seperti ini."Sudah kuduga. Perusahaan G akan mengalami kemajuan. Tahun ini kinerja mereka sangat memuaskan. Inovasi-inovasi yang mereka tampilkan selalu berdampak positif. Aku tak menyesal membeli saham perusahaan itu." Seno terus menerus membanggakan perusahaan G yang akhir-akhir ini selalu muncul di berita.Seno adalah Paman Rama. Saudara Ayahnya. Di antara saudara Ayahnya--tiga bersaudara--Seno-lah yang sering mengunjungi rumah keluarga Rama.Di antara keramaian itu, Rama hanya mengunyah makananannya. Tak peduli dengan berita mengenai Perusahaan G itu. Sekarang, pikirannya dipenuhi oleh satu topik dan satu manusia. Aska.Dia sudah menunggu cukup lama--menurutnya--untuk mendapatkan informasi mengenai sosok laki-laki yang kemarin bertemu dengan Naya."Apa sekarang aku dipermainkan?" gumamnya."Rama, kau sedang memi
Menyembuhkan patah hati, amat sangat susah. Jangan kau datang dan menghancurkan semuannya."Sandra!" Naya bangun dengan cepat. Telinganya mulai terganggu oleh getaran dan suara yang besar seakan sebentar lagi sesuatu itu akan roboh.Selagi berjalan, Naya menghela napas, berulang kali. Dia tidak menyukai suara ini karena membuat jantungnya berdebar tak nyaman. Suara-suara bising, getaran hebat dan hentakkan keras."Hah. Ini Sandra kemana lagi." Naya buru-buru memegangi mesin cuci. Memeluknya erat--sebisa tangannya--meredam suara itu dengan tubuhnya. Sedikit geli tapi, tak bisa dia lepaskan. "Awas aja tuh bocah balik. Aku kasih pelajaran! Seenaknya kalau ninggalin mesin cuci."Meski kesal, ia mulai merasa nyaman. Dirinya seperti tengah berolahraga untuk mengeluarkan lemak di perutnya."Aw," lirihnya.Kepalanya mendadak nyeri. Selalu seperti ini, jika dirinya mendadak bangun. Sepertinya dia harus beristirahat dulu sebelum menjemur i
Ketika kau menyakitinya, jangan harap akan diberikan senyumanNaya mendorong keras tubuh Rama, hingga mereka berdua saling menjauh. Saking emosinya, Naya hampir limbung."Eh, Nay!""Jangan beraninya kamu sentuh aku!" hardik Naya yang menolak bantuan Rama.Lebih baik aku jatuh daripada nerima bantuanmu! batin Naya.Dia masih tidak terima dengan apa yang baru saja diberitahukan padanya; Aska yang mencari informasinya. Sekarang, Rama mendadak muncul di lingkungan rumahnya. Haruskah dirinya kaget?Naya tak membuka mulutnya lagi, dan menghampiri Rama cepat."Nay, kamu--"Naya menarik gas miliknya dan bergegas membalikkan badan tanpa mau mendengar ucapan Rama. "Dasar cowok gila! Brengsek! Enggak tahu malu!" omelnyaNaya memang sengaja membiarkan suaranya lebih keras, agar orang di belakangnya saat ini mulai berpikir. Setelah putus, dia sudah berpikir kalau Rama benar-benar tak punya otak.
Semenjak kejadian Rama yang mendatanginya, Naya semakin waspada. Jika mendengar suara mobil, sering kali, dia menoleh dan menyipitkan matanya. Kepalanya bergerak untuk mencari tahu apakah Rama ada di sana. Kebenciannya pada Rama belum kunjung turun. Itu yang dia tahu ketika melihat muka manusia brengsek satu itu. Setiap kali melihatnya, emosinya mendadak muncul entah dari mana. Padahal, Naya sudah bertekad untuk bersikap elegan, dingin, bahkan sampai tidak berprikemantanan. Kening Naya mengernyit. Matanya langsung menyipit ketika mendengar suara motor yang mendekat. "Jangan bilang ke sini." Naya mendongakkan kepalanya, mengintip apakah dugaannya benar atau tidak. Kalau itu Rama, dia tidak akan menjawab sama sekali, atau dia akan memanggil Pak RT. Naya menganggukkan kepalanya berulang kali, puas akan pemikiranya. Suara motor itu berhenti di depan rumah Naya. Sontak saja, bukan hanya melongokkan kepala, Naya malah mengintip dari bali
Naya merinding mendengar itu. ia menekan kuat keinginannya untuk membanting ponsel yang sekarang dia pegang. Karena dia belum menjadi s ultan, membanting ponselnya sama saja perbuatan sia-sia. "Omonganmu menjijikan!" desis Naya. "Jangan pernah mengirimkan apa pun ke aku. Kirimkan saja semua ke pacarmu! " Kemarahan Naya semakin besar ketika mendengar tawa dari seberang telepon. Dia pikir aku sedang melucu apa? "Kamu cemburu?" tanya Rama. Mata Naya seperti akan keluar . Apakah ini laki-laki yang sama dengan laki-laki beberapa tahun yang lalu? Atau apa otak laki-laki itu kebentur sesuatu? Aneh. Naya merasa asing. "Kamu mimpi? Kalau kamu enggak mau dilaporkan ke polisi, jangan pernah melakukan itu lagi! Dasar orang gila!" teriaknya sebelum memutuskan panggilan. "Benar-benar manusia satu ini. Aku ngomong malah ketawa! Minta ditampar." "Ya udah tampar aja," sahut Sandra. "Ogah ketemu sama manusia satu itu
"Ada undangan reunian nih. Kamu mau datang enggak?" Aska menunjukkan ponselnya di mana grup kelas mereka yang dulu terpampang. Rama hanya melirik, lalu menghadap ke depan. Terlihat jelas tidak tertarik dengan informasi itu. Ia melepas jaket, menaruhnya sembarang dan merebahkan tubuhnya di sana. "Enggak punya rumah?" sindir Rama. Dari tujuh hari dalam seminggu, Aska kerap kali ke apartemennya. Mau sebanyak apa pun dia menghina secara terang-terangan, mengusirnya tanpa belas kasihan. Tetap saja, manusia satu itu tetap datang ke sini. "Punya, di sini kan?" Aska nyengir. Rama menyugar rambut sembari menghela napas. Seakan kantor tidak cukup membuatnya emosi, dia harus mendapatkan sahabat yang ingin dibuangnya. Rama menyesal sudah memutuskan Aska menjadi sahabatnya. Ia bergegas mengambil minuman di kulkas. "Serius, enggak mau ikut?" "Enggak.Nggak penting." "Siapa tahu, mantanmu ikut. Lumayankan?" Aska men
"Enggak mau nyewa ruko atau apa gitu?" Naya mulai merasa takut berjalan di sekitar rumah. Meski masih ada celah untuk melangkah tapi kalau kepala sudah oleng bisa saja tanaman di sekitar rumah dia tendang. Naya menunjuk tanaman yang mulai berkembang biak. Satu pot bertambah satu pot lagi. Begitu seterusnya. Sandra ikut mengamati. "Ya...mau nyewa gimana? Uangku belum cukup. Kamu udah mulai sebel ya?" "Enggak gitu, San. Aku takut kalau tanaman ini akan kutendang suatu hari nanti. Kau tahu, ketika kepalamu sedang pusing, dan matamu minta untuk dipejamkan?" "Ya benar juga sih." Sandra mengusap dagu. Tatapannya berkeliaran ke segala arah mencari spot. "Kupikir ini juga cukup kebanyakan." "Kebanyakan ya kebanyakan. Enggak usah pakai cukup." Naya geleng-geleng kepala dengan sikap Sandra. "Gimana? Mau nyewa ruko?" "Kan udah aku bilang. Uangku enggak cukup." "Pakai uangku juga. Aku punya cukup uang," tawar Naya. "Meski enggak banyak
Pernah kehilangan kepercayaan pada seseorang yang akan memenuhi hatinya, membuat Naya tidak bisa memberikan kepercayaannya dengan mudah. Seberapa kuat dia mencoba untuk kembali percaya, dia tetap gagal. Ada kecurigaan yang timbul, itu membuatnya enggan untuk membuka hati.Namun, dia sadar, mau sampai kapan dia akan seperti ini?Dia akan mencoba membuka hatinya untuk Angga. Sampai saat ini, Sandra mengatakan kalau laki-laki itu baik. Naya akan mencoba untuk mempercayainya."Mau kubelikan pastime?""Enggak. Kalau kamu mau beli, beli aja," kata Naya."Ya enggak. Aku nawarin kamu, kalau kamu enggak mau, ya buat apa juga aku beli?" kata Angga. "Kalian langsung pulang?""Iya." Sandra menjawab terlebih dulu. "Kamu balik lagi sana." Ia mengibaskan tangan, mengusir Angga."Yaelah, udah selesai dibutuhin langsung diusir ya?"Sandra mengangguk mantap, tak bersalah. "Ya emang harus diusir."Naya mendengarkan perdebata
Kaki Naya terus bergerak dengan gelisah. Keinginannya untuk kabur dari ruangan semakin meningkat. Bahkan rasa penyesalannya pun semakin besar. Naya tak tahu kalau tempat ini adalah milik dari orang yang sudah dia hapus dari kehidupannya. Dari luasnya bumi, kenapa harus ketemu sama ini orang? Menyebalkan. Naya merasakan kakinya ditendang kecil. Ketika menoleh dia menemukan Sandra sudah dalam tampang menyeramkan. "Kamu sengaja mau ketemu sama dia? Makanya milih tempat ini?" bisik Sandra. Naya tanpa sadar memutar jarinya dekat kepala. "Kamu gila?" balasnya juga dengan berbisik. Kalau dirinya tahu tempat ini milik orang itu, tak akan pernah memilih tempat ini. Mendingan agak terpencil tapi hati nyaman. Dibandingkan tempat ini, yang sudah jelas akan membuatnya makan hati sendiri. "Terus, kenapa kamu milihat tempat ini? Kamu tahu dia pemiliknya?" "Ya enggaklah. Makin gila kamu ya." "Sepertinya penjelasan
"Enggak mau nyewa ruko atau apa gitu?" Naya mulai merasa takut berjalan di sekitar rumah. Meski masih ada celah untuk melangkah tapi kalau kepala sudah oleng bisa saja tanaman di sekitar rumah dia tendang. Naya menunjuk tanaman yang mulai berkembang biak. Satu pot bertambah satu pot lagi. Begitu seterusnya. Sandra ikut mengamati. "Ya...mau nyewa gimana? Uangku belum cukup. Kamu udah mulai sebel ya?" "Enggak gitu, San. Aku takut kalau tanaman ini akan kutendang suatu hari nanti. Kau tahu, ketika kepalamu sedang pusing, dan matamu minta untuk dipejamkan?" "Ya benar juga sih." Sandra mengusap dagu. Tatapannya berkeliaran ke segala arah mencari spot. "Kupikir ini juga cukup kebanyakan." "Kebanyakan ya kebanyakan. Enggak usah pakai cukup." Naya geleng-geleng kepala dengan sikap Sandra. "Gimana? Mau nyewa ruko?" "Kan udah aku bilang. Uangku enggak cukup." "Pakai uangku juga. Aku punya cukup uang," tawar Naya. "Meski enggak banyak
"Ada undangan reunian nih. Kamu mau datang enggak?" Aska menunjukkan ponselnya di mana grup kelas mereka yang dulu terpampang. Rama hanya melirik, lalu menghadap ke depan. Terlihat jelas tidak tertarik dengan informasi itu. Ia melepas jaket, menaruhnya sembarang dan merebahkan tubuhnya di sana. "Enggak punya rumah?" sindir Rama. Dari tujuh hari dalam seminggu, Aska kerap kali ke apartemennya. Mau sebanyak apa pun dia menghina secara terang-terangan, mengusirnya tanpa belas kasihan. Tetap saja, manusia satu itu tetap datang ke sini. "Punya, di sini kan?" Aska nyengir. Rama menyugar rambut sembari menghela napas. Seakan kantor tidak cukup membuatnya emosi, dia harus mendapatkan sahabat yang ingin dibuangnya. Rama menyesal sudah memutuskan Aska menjadi sahabatnya. Ia bergegas mengambil minuman di kulkas. "Serius, enggak mau ikut?" "Enggak.Nggak penting." "Siapa tahu, mantanmu ikut. Lumayankan?" Aska men
Naya merinding mendengar itu. ia menekan kuat keinginannya untuk membanting ponsel yang sekarang dia pegang. Karena dia belum menjadi s ultan, membanting ponselnya sama saja perbuatan sia-sia. "Omonganmu menjijikan!" desis Naya. "Jangan pernah mengirimkan apa pun ke aku. Kirimkan saja semua ke pacarmu! " Kemarahan Naya semakin besar ketika mendengar tawa dari seberang telepon. Dia pikir aku sedang melucu apa? "Kamu cemburu?" tanya Rama. Mata Naya seperti akan keluar . Apakah ini laki-laki yang sama dengan laki-laki beberapa tahun yang lalu? Atau apa otak laki-laki itu kebentur sesuatu? Aneh. Naya merasa asing. "Kamu mimpi? Kalau kamu enggak mau dilaporkan ke polisi, jangan pernah melakukan itu lagi! Dasar orang gila!" teriaknya sebelum memutuskan panggilan. "Benar-benar manusia satu ini. Aku ngomong malah ketawa! Minta ditampar." "Ya udah tampar aja," sahut Sandra. "Ogah ketemu sama manusia satu itu
Semenjak kejadian Rama yang mendatanginya, Naya semakin waspada. Jika mendengar suara mobil, sering kali, dia menoleh dan menyipitkan matanya. Kepalanya bergerak untuk mencari tahu apakah Rama ada di sana. Kebenciannya pada Rama belum kunjung turun. Itu yang dia tahu ketika melihat muka manusia brengsek satu itu. Setiap kali melihatnya, emosinya mendadak muncul entah dari mana. Padahal, Naya sudah bertekad untuk bersikap elegan, dingin, bahkan sampai tidak berprikemantanan. Kening Naya mengernyit. Matanya langsung menyipit ketika mendengar suara motor yang mendekat. "Jangan bilang ke sini." Naya mendongakkan kepalanya, mengintip apakah dugaannya benar atau tidak. Kalau itu Rama, dia tidak akan menjawab sama sekali, atau dia akan memanggil Pak RT. Naya menganggukkan kepalanya berulang kali, puas akan pemikiranya. Suara motor itu berhenti di depan rumah Naya. Sontak saja, bukan hanya melongokkan kepala, Naya malah mengintip dari bali
Ketika kau menyakitinya, jangan harap akan diberikan senyumanNaya mendorong keras tubuh Rama, hingga mereka berdua saling menjauh. Saking emosinya, Naya hampir limbung."Eh, Nay!""Jangan beraninya kamu sentuh aku!" hardik Naya yang menolak bantuan Rama.Lebih baik aku jatuh daripada nerima bantuanmu! batin Naya.Dia masih tidak terima dengan apa yang baru saja diberitahukan padanya; Aska yang mencari informasinya. Sekarang, Rama mendadak muncul di lingkungan rumahnya. Haruskah dirinya kaget?Naya tak membuka mulutnya lagi, dan menghampiri Rama cepat."Nay, kamu--"Naya menarik gas miliknya dan bergegas membalikkan badan tanpa mau mendengar ucapan Rama. "Dasar cowok gila! Brengsek! Enggak tahu malu!" omelnyaNaya memang sengaja membiarkan suaranya lebih keras, agar orang di belakangnya saat ini mulai berpikir. Setelah putus, dia sudah berpikir kalau Rama benar-benar tak punya otak.
Menyembuhkan patah hati, amat sangat susah. Jangan kau datang dan menghancurkan semuannya."Sandra!" Naya bangun dengan cepat. Telinganya mulai terganggu oleh getaran dan suara yang besar seakan sebentar lagi sesuatu itu akan roboh.Selagi berjalan, Naya menghela napas, berulang kali. Dia tidak menyukai suara ini karena membuat jantungnya berdebar tak nyaman. Suara-suara bising, getaran hebat dan hentakkan keras."Hah. Ini Sandra kemana lagi." Naya buru-buru memegangi mesin cuci. Memeluknya erat--sebisa tangannya--meredam suara itu dengan tubuhnya. Sedikit geli tapi, tak bisa dia lepaskan. "Awas aja tuh bocah balik. Aku kasih pelajaran! Seenaknya kalau ninggalin mesin cuci."Meski kesal, ia mulai merasa nyaman. Dirinya seperti tengah berolahraga untuk mengeluarkan lemak di perutnya."Aw," lirihnya.Kepalanya mendadak nyeri. Selalu seperti ini, jika dirinya mendadak bangun. Sepertinya dia harus beristirahat dulu sebelum menjemur i
Jika waktu itu, aku tak mengabaikanmu. Cerita kita, tidak akan seperti ini."Sudah kuduga. Perusahaan G akan mengalami kemajuan. Tahun ini kinerja mereka sangat memuaskan. Inovasi-inovasi yang mereka tampilkan selalu berdampak positif. Aku tak menyesal membeli saham perusahaan itu." Seno terus menerus membanggakan perusahaan G yang akhir-akhir ini selalu muncul di berita.Seno adalah Paman Rama. Saudara Ayahnya. Di antara saudara Ayahnya--tiga bersaudara--Seno-lah yang sering mengunjungi rumah keluarga Rama.Di antara keramaian itu, Rama hanya mengunyah makananannya. Tak peduli dengan berita mengenai Perusahaan G itu. Sekarang, pikirannya dipenuhi oleh satu topik dan satu manusia. Aska.Dia sudah menunggu cukup lama--menurutnya--untuk mendapatkan informasi mengenai sosok laki-laki yang kemarin bertemu dengan Naya."Apa sekarang aku dipermainkan?" gumamnya."Rama, kau sedang memi