“Kau tahu, aku selalu penasaran bagaimana kabarmu,” suara Arga terdengar tenang namun hangat, mengiringi pertemuan yang tak terduga antara dirinya dan Arum di sebuah kafe kecil di sudut kota.
Arum menatap wajah lama yang kini tampak sedikit berbeda — lebih matang, namun masih memancarkan pesona ramah yang tak berubah.
“Aku baik, Arga. Terima kasih sudah menanyakan,” jawab Arum dengan senyum canggung. Rasanya aneh bisa bertemu lagi setelah sekian lama, terlebih saat kini hidupnya telah berada dalam masa-masa baru bersama Rendra.
Arga hanya tersenyum kecil, matanya menyiratkan ketulusan yang membuat Arum merasa sedikit teringat pada kenangan lama mereka. “Sepertinya hidup sudah berubah banyak, ya? Bagaimana kabarmu sekarang?”
Arum menarik napas panjang sebelum menjawab, mencoba meredam keraguannya. “Ya, banyak hal yang berubah. Aku dan Rendra... kami baru memulai perjalanan baru ini bersama.”
&ldq
“Arum, kamu kelihatan lelah belakangan ini. Apa semuanya baik-baik saja?” Suara lembut Rendra terdengar dari ruang makan, mencoba menggapai perhatian Arum yang sejak beberapa hari terakhir sering tenggelam dalam pikirannya sendiri.Rendra duduk di seberang meja, memandangi istrinya yang tampak termenung, sesekali menyentuh ujung gelas kopinya tanpa minat.Arum tersentak pelan dari lamunannya. Ia mendongak, menatap Rendra dengan senyum kecil yang seolah terpaksa. “Maaf, mungkin aku sedang banyak pikiran,” jawabnya singkat.Rendra menatapnya dengan mata yang mencari, berusaha menangkap sesuatu yang tak terucapkan. “Banyak pikiran tentang apa? Kamu bisa cerita sama aku,” ujarnya lembut, dengan harapan bisa meringankan beban yang tampaknya disimpan Arum dalam diamnya.Arum terdiam sesaat, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. Ada sesuatu di dalam dirinya yang sulit dijelaskan, keraguan yang perlahan merasuk setelah kehadir
“Ratna! Lihat, kamu masuk di halaman utama lagi.” Suara semangat dari Sarah, salah satu rekan kerja di galeri, terdengar nyaring ketika ia menunjukkan koran yang memuat wajah Ratna di halaman depan.Di sana terpampang foto Ratna berdiri di depan salah satu karyanya yang baru-baru ini terjual dengan harga tinggi.Ratna tersenyum tipis, meski dalam hatinya ada perasaan campur aduk yang sulit ia jelaskan. Ia selalu bermimpi menjadi seorang seniman yang dikenal, tapi kini, setelah sorotan itu benar-benar datang, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.Rasanya seolah ada beban baru yang harus ia pikul, seakan-akan setiap langkah yang ia ambil kini diamati oleh banyak mata yang menuntut kesempurnaan darinya.“Terima kasih, Sarah,” ujarnya, mencoba terdengar antusias. Namun, tatapan Sarah yang penuh kekaguman membuatnya merasa canggung. Dulu, Ratna adalah seseorang yang lebih senang berada di balik layar, diam-diam bekerja tanpa perhatian
"Arum, aku rasa... kita perlu bicara," suara Ratna terdengar rendah namun mantap, mengalihkan perhatian Arum dari cangkir teh hangat yang baru saja ia ambil. Keduanya duduk di teras rumah Arum yang sejuk, diapit pepohonan dan udara segar, namun suasana terasa berbeda kali ini.Ada keheningan canggung di antara mereka yang belum pernah Arum rasakan sebelumnya.Arum meletakkan cangkirnya, menatap wajah sahabatnya dengan cermat. "Tentu, Ratna. Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Arum, berusaha tetap tenang meski perasaannya tiba-tiba berdesir dengan gelisah.Ratna menarik napas panjang, matanya menghindari tatapan Arum sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Aku... merasa terpinggirkan, Arum. Aku tahu ini mungkin terdengar egois, tapi... sejak kamu bersama Rendra, aku merasa kamu berubah. Rasanya, kamu sudah jauh meninggalkanku."Arum terkejut mendengar kata-kata itu. “Ratna, aku tidak pernah berniat begitu… Aku sangat menghargai persahabatan kit
“Rendra, Nak, sepertinya ada yang perlu Ibu bicarakan denganmu,” ucap Siti Rahayu Wulandari dengan suara yang lembut namun penuh makna. Ia duduk dengan anggun di ruang tamu, tangannya memegang secangkir teh, dan pandangannya lekat menatap anaknya, seolah hendak menembus isi pikirannya.Rendra menatap ibunya dengan dahi sedikit berkerut, merasa ada hal yang ganjil dalam perbincangan ini. “Ada apa, Bu?” tanyanya hati-hati.Siti tersenyum samar, meletakkan cangkirnya di meja, dan mendekatkan dirinya pada Rendra. “Ibu hanya khawatir, Nak. Setelah semua yang terjadi dalam keluarga kita, terutama dengan apa yang telah kamu alami, Ibu ingin memastikan bahwa kamu membuat keputusan yang benar. Terutama mengenai Arum.”Perkataan itu membuat Rendra tersentak sedikit. Meski selama ini ia mengetahui bahwa ibunya memiliki pendapat tersendiri tentang Arum, ia tidak pernah membayangkan bahwa ibunya akan membicarakan hal ini dengan serius.
Arum duduk di taman kota sore itu, terdiam menatap sekumpulan burung yang berkicau riang di dahan pohon dekat bangku yang didudukinya. Suasana di sekitar terasa damai, seakan menyuarakan kedamaian yang sulit ia temukan dalam pikirannya belakangan ini.Udara sore yang sejuk seolah menghapus sesaat segala beban yang terasa menggantung di hatinya.Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki yang dikenalnya dengan baik. Langkah ringan tapi mantap, langkah yang dulu sering menemaninya pulang sepulang kuliah di waktu lampau.Ia mengangkat kepalanya dan melihat Arga berdiri tak jauh darinya, mengenakan senyum lembut yang selalu membuatnya merasa hangat.“Arum,” panggil Arga pelan, seolah takut mengusik ketenangan sore itu.Arum tersenyum, walau sedikit terkejut melihat kehadiran Arga. “Arga? Tumben kamu ke sini. Ada apa?”Arga tersenyum kecil dan duduk di sampingnya, memberikan ruang tapi tetap dekat, seperti selalu menghorma
“Aku nggak pernah tahu kalau kamu masih dekat dengan Arga.” Nada suara Rendra rendah, tapi ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan dalam setiap kata yang keluar dari mulutnya.Arum mengangkat alis, sedikit terkejut dengan arah pembicaraan mereka sore itu. “Rendra, Arga hanya teman. Kamu tahu itu.”Rendra menggelengkan kepala pelan, tapi matanya tetap menatap Arum dengan tatapan tajam. “Teman yang menyatakan perasaan padamu? Teman yang mengira dia bisa memberi kamu kebahagiaan lebih dari aku?”Arum menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang mulai tertekan oleh ketegangan antara mereka. “Kamu salah paham. Aku memang bertemu Arga beberapa kali, tapi semua hanya percakapan biasa, Rendra. Nggak ada yang lebih dari itu.”Namun, Rendra sepertinya tidak bisa menerima penjelasan itu dengan mudah. Baginya, bayangan Arga masih mengintai dalam setiap kehadiran Arum, merongrong rasa percaya diri yang dulu
“Arum, apa kamu yakin dengan keputusan ini?” Rendra menatap Arum dalam-dalam, matanya penuh rasa cemas. “Kita bisa membicarakan semuanya, kan?”Arum menghela napas panjang, pandangannya jatuh ke cangkir kopi di depannya yang sudah dingin. Ia terdiam, merasa setiap kata yang ingin diucapkannya seolah menyesakkan dada. Ia tahu bahwa pembicaraan ini penting, tetapi juga berbahaya bagi hubungan mereka.“Rendra, ini bukan lagi soal bicara,” ujarnya dengan suara bergetar. “Kita sudah bicara berulang kali, tapi tetap saja… aku merasa tercekik. Semua yang terjadi antara kita, dari awal sampai sekarang, seolah hanya menambah beban yang tidak pernah hilang.”Mendengar itu, Rendra tampak terhenyak. “Jadi menurutmu aku yang menambah beban itu?”Arum menggeleng pelan, lalu menatapnya dengan penuh kesedihan. “Aku nggak bilang begitu. Tapi cemburu yang berlebihan, tekanan dari keluarga kita, dan&he
“Aldi, aku nggak tahu lagi harus bagaimana…” Suara Ratna bergetar saat dia duduk di depan Aldi, wajahnya terlihat letih dengan mata yang merah akibat tangis yang tak berhenti sejak semalam. Ia merasa seolah dunia yang dulu ia cintai kini menjebaknya dalam bayangan ketakutan dan keraguan.Aldi menghela napas pelan, lalu menatap Ratna dengan ekspresi lembut namun penuh perhatian. Dia mengenal Ratna bukan hanya sebagai seorang seniman berbakat, tetapi sebagai pribadi yang penuh cinta dan dedikasi.Melihatnya berada di titik terendah seperti ini menyisakan rasa sakit yang tak ia sangka akan ia rasakan.“Ratna,” Aldi mulai dengan suara yang tenang, “kamu nggak harus memikul semua ini sendirian. Kamu sudah bekerja keras, dan nggak ada salahnya kalau kamu merasa lelah.”Ratna menundukkan kepala, menggigit bibirnya untuk menahan isak.“Aku merasa gagal, Aldi. Aku kehilangan sahabat terbaikku, aku merasa tera
“Arum, apakah kamu yakin sudah siap?” suara lembut Rendra terdengar, suaranya mengandung keraguan sekaligus harapan. Mereka berdiri di sebuah taman kecil yang dikelilingi pohon-pohon berbunga, diapit oleh senja yang memancarkan cahaya keemasan.Arum mengangguk pelan, memandang Rendra dengan tatapan yang tenang namun sarat makna. “Aku siap, Rendra,” jawabnya dengan suara mantap. “Untuk segala hal yang telah kita lalui, dan apa pun yang akan datang.”Senja di taman itu menjadi saksi kehangatan dan kedamaian yang akhirnya bisa mereka raih. Hanya dihadiri keluarga terdekat dan sahabat-sahabat terbaik, mereka memutuskan untuk memperbarui janji pernikahan mereka dalam keheningan, jauh dari keramaian dan drama yang dulu pernah membayangi hubungan mereka.Di sudut taman, Ratna, yang hadir bersama Aldi, menatap Arum dengan senyum bangga di wajahnya. Aldi, yang berdiri di sebelahnya, menganggukkan kepala seolah ikut merasakan kebahagiaa
"Arum, kamu datang juga akhirnya!" Suara Ratna terdengar penuh semangat saat melihat sahabatnya melangkah masuk ke galeri tempat pameran terbarunya. Ratna segera menghampiri Arum, memeluknya dengan erat."Aku kan sudah janji, Na. Aku ingin lihat langsung semua karya hebatmu ini," jawab Arum sambil tersenyum hangat, matanya penuh kekaguman melihat ruangan galeri yang dipenuhi karya-karya Ratna.Dinding-dinding galeri dihiasi dengan lukisan-lukisan batik kontemporer yang unik, setiap goresannya memancarkan ekspresi hati dan jiwa Ratna.Ratna tertawa kecil sambil memandangi Arum. “Akhirnya, aku bisa berdiri di sini, Arum. Setelah semua yang terjadi…,” suara Ratna melirih, mengingat perjalanan panjang dan penuh rintangan yang telah ia lalui.Arum menepuk lengan Ratna pelan, seolah ingin menguatkannya. “Kamu pantas mendapatkan ini semua, Na. Setiap kerja keras, setiap air mata. Aku bangga padamu,” kata Arum dengan tatapan yang tu
"Apakah kita benar-benar siap untuk ini, Ren?" Arum bertanya sambil menatap mata Rendra yang penuh keyakinan.Rendra menggenggam tangan Arum erat. “Kalau kita tidak mencoba, kita tidak akan pernah tahu, kan?”Mereka berdiri di depan rumah kecil yang baru saja mereka sewa. Rumah itu sederhana, jauh dari kemewahan yang pernah mereka bayangkan, tetapi terasa hangat.Hawa sore yang sejuk menyusup di antara dedaunan pohon mangga di halaman, membawa aroma tanah yang khas dan memberi suasana damai.Arum memandang rumah itu dengan senyum tipis. “Aku suka rumah ini, Ren. Sederhana, tapi terasa seperti rumah sungguhan.”Rendra tersenyum, menyadari bahwa itulah yang ia inginkan selama ini. Rumah kecil dengan Arum, bukan istana megah yang dipenuhi intrik dan beban masa lalu.“Kamu tahu, Arum, ini mungkin pertama kalinya dalam hidupku aku merasa benar-benar tenang. Tidak ada tekanan dari keluarga, tidak ada skandal, hanya...
“Apakah kamu sungguh yakin, Arum?” Rendra menatap dalam mata Arum, seolah berusaha menemukan keyakinan di sana.Arum tersenyum lembut, menggenggam tangan Rendra. “Aku yakin, Rendra. Aku juga sudah lelah berlarut-larut dalam keraguan. Mungkin kita memang harus melalui semua ini untuk benar-benar mengerti apa artinya kebersamaan.”Rendra mengangguk pelan, mata cokelatnya berkedip-kedip menahan emosi. Mereka duduk berhadapan di taman kecil yang penuh kenangan, di mana mereka berkali-kali bertemu dan berkali-kali pula bertengkar.Namun, sore ini terasa berbeda. Udara sore terasa hangat, dan aroma bunga melati yang lembut memenuhi suasana.“Aku ingin kita mulai dari awal,” ucap Rendra dengan nada mantap. “Tanpa janji-janji besar. Cukup kita saling percaya dan berjalan bersama.”Arum merasakan haru mengalir di hatinya. Semua luka yang pernah ada, semua pertengkaran dan air mata, perlahan-lahan terasa memuda
“Kamu yakin, Arum?” Suara Dimas terdengar lembut, penuh perhatian. Mereka duduk di beranda rumah keluarga Arum, ditemani angin malam yang sejuk dan secangkir teh hangat di tangan masing-masing.Arum menatap secangkir teh di pangkuannya, jari-jarinya membelai pinggiran cangkir dengan gerakan pelan. “Aku... mungkin ini aneh, Om, tapi aku tetap merasa ada sesuatu di antara aku dan Rendra yang sulit aku lepaskan. Meskipun... semua hal yang terjadi membuatku bertanya-tanya.”Dimas mengangguk, mendengarkan dengan penuh perhatian. “Kadang cinta memang tidak mudah, Arum. Hubungan yang paling berarti sering kali yang paling sulit dipertahankan. Tapi, yang penting, kamu tahu kenapa kamu memilih untuk bertahan.”Arum menatap jauh ke depan, pandangannya melewati taman kecil di halaman rumah yang dipenuhi bunga-bunga warna-warni. Keindahan itu, sekilas, mengingatkan dirinya pada momen-momen indah yang pernah ia alami bersama Rendra.
“Aldi,” suara Ratna terdengar lembut, tapi tegas. Mereka duduk berhadapan di sebuah kafe kecil yang tenang, dikelilingi oleh keramaian orang-orang yang tenggelam dalam percakapan mereka masing-masing. Namun, di antara mereka berdua, suasana terasa begitu hening, hampir seolah waktu berhenti.Aldi menatap Ratna dengan cermat, wajahnya sedikit bingung. "Ada apa, Ratna? Kamu kelihatan... serius hari ini."Ratna tersenyum kecil, namun ada sedikit kesedihan dalam tatapannya. “Aku rasa kita perlu bicara. Tentang kita.”Mata Aldi memancarkan keterkejutan. "Maksudmu... hubungan kita?"Ratna mengangguk pelan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Selama ini, kamu selalu ada untukku, bahkan di saat aku merasa paling jatuh. Kamu memberi dukungan yang luar biasa, dan aku sangat menghargainya. Tapi...”Aldi meraih tangan Ratna, menggenggamnya dengan lembut. “Tapi apa, Ratna? Apa yang kamu rasakan?”Ratna menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberania
"Jadi... ini keputusanmu?" Suara Arga terdengar pelan namun penuh kepastian. Mereka berdua duduk di sebuah bangku di taman kota yang sepi, tempat di mana mereka sering berbincang saat masih remaja, ketika dunia terasa lebih sederhana.Arum menundukkan wajahnya, merasa berat hati untuk mengucapkan kata-kata itu, namun ia tahu bahwa ia harus jujur. "Iya, Ga. Aku... aku nggak bisa berpura-pura lagi. Aku sangat menghargai kamu, semua yang sudah kamu lakukan buat aku, tapi..."Arga tersenyum kecil, meski sorot matanya menyimpan luka yang dalam. "Tapi hatimu tetap untuk Rendra," potongnya, menyelesaikan kalimat yang mungkin sulit bagi Arum untuk diucapkan.Arum mengangguk perlahan. "Maaf... aku merasa begitu bersalah sama kamu. Kamu selalu ada, selalu mendukungku saat aku terpuruk, saat aku sendiri.""Arum," Arga memotong, suaranya terdengar lembut, namun tegas. "Kamu nggak perlu minta maaf. Aku tahu bagaimana perasaanmu dari awal, tapi aku selalu berharap bahw
"Arum..." Rendra menghela napas dalam, suara lembutnya nyaris tenggelam dalam keheningan sore yang menenangkan di taman kota. Ia menatap Arum dengan penuh harap, sementara gadis itu duduk di sebelahnya, tangan tertaut di pangkuannya, jelas menunjukkan kegugupan yang berusaha ia sembunyikan.Arum menunduk, melihat rerumputan yang bergoyang ditiup angin, mencoba menghindari tatapan Rendra. Ia tahu apa yang mungkin akan dikatakan Rendra. Di satu sisi, ada bagian dari hatinya yang ingin mendengarnya. Namun di sisi lain, ketakutan akan sakit yang sama terulang lagi membuatnya waspada."Aku tahu ini sulit bagimu," Rendra memulai lagi, nada suaranya penuh dengan kerendahan hati dan rasa bersalah yang selama ini tertahan. "Setiap kali melihatmu, aku sadar bahwa luka yang kuberikan masih membekas. Dan aku tahu, mungkin aku tak layak mendapatkan kesempatan kedua."Arum mengangkat wajahnya perlahan, menatap mata Rendra yang kini menunjukkan ketulusan yang dalam, jauh lebih
Arum duduk di teras rumahnya, memandangi langit sore yang mulai meredup. Di tangannya, secangkir teh hangat menemani keheningan pikirannya yang bimbang. Pesan dari Rendra semalam masih terngiang di kepalanya.Ia merasa bahwa setiap kata dalam pesan itu memancarkan ketulusan dan penyesalan yang dalam.Di sisi lain kota, Rendra memandang pantulan dirinya di cermin. Matanya menunjukkan kelelahan yang telah bersembunyi di balik ketenangannya selama ini. Kini, ia sadar bahwa tidak ada yang lebih penting daripada memulihkan kepercayaan Arum dan memperbaiki dirinya sendiri.Dengan tekad yang baru, Rendra turun ke ruang kerja kecilnya. Di sana, di tengah dokumen-dokumen dan berkas yang telah ia susun, ia memulai langkah pertama dalam menebus semua yang pernah ia rusakkan.Ia memutuskan untuk menyusun laporan penuh tentang setiap proyek keluarganya yang mencurigakan dan menyerahkannya ke pihak berwenang. Rendra sadar bahwa inilah satu-satunya cara untuk membuktika