Sudah sebulan Flo dirawat. Keadaannya sudah membaik walau belum sadarkan diri pasca operasi diluar negeri. Pendarahan hebat di kepala dan juga beberapa cidera serius yang dia alami membuat Flo sampai saat ini terpaksa menjalani perawatan dirumah sakit. Di tubuhnya juga masih dipasang ventilator untuk menjaga laju napas, juga infus untuk memasukkan obat juga nutrisi.Tak sedikit biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tuanya, bahkan Mas Ubay pun ikut membantu. Karir Ibunya dipertaruhkan untuk kesembuhan Flo.Setelah pulang dari Singapura, Flo sudah mulai merespon jika diajak bicara walau hanya dengan gerakan jari dan air mata yang keluar begitu saja. Terkadang aku suka mengajaknya mengingat momen di sekolah dulu, tentu saja bukan saat aku merasa tertekan karena bullyan-nya. Tapi, masa-masa lucu yang tak akan pernah terulang lagi. Air mata Flo mengalir deras, entah merasa senang entah karena sedih dengan keadaan yang sekarang."Aku tau, kamu dengar Flo. Bangun lah, kita mulai hari baru
"Oh iya, Sayang. Kamu hati-hati, ya. Makasih banyak lagi hamil gini, masih sempat-sempatnya ke sini," "Sama-sama, Tante," jawabku."Biasa Tante, cari muka. Apapun akan dia lakukan,"Bi Ita tampak kaget dengan ucapan Aina. Kalau aku, bodo amat. Karena Mas Ubay sudah pernah menceritakan karakter Aina yang diam-diam kasar, dan pembangkang. Namun, banyak yang tak percaya, karena dia pandai bermuka dua."Makasih, Mbak Aina. Jangan suka membongkar aib sendiri. Ya, sudah pamit ya, Bi. Nanti Alina akan kesini lagi bareng Mas Ubay, sekalian mau ngecek kehamilan,"Wajah Aina makin tak sedap dipandang mata. Bagaimana tidak, dia dulu bertahun menikah sama sekali tak mau disentuh Mas Ubay. Menikah hanya tinggal serumah, sedangkan aku, benar-benar mengabdikan diri untuk suami. Hingga mendapatkan hasil dari pembibitan yang halal.Sesampainya di halaman rumah sakit, aku langsung menuju halte dan duduk di sebuah bangku panjang yang ada di sana.Menunggu jemputan aku mengeluarkan ponselku. Membaca pes
"Coba Bibi pikir buat apa Flo membawa minyak itu, jika bukan untuk merencanakan sesuatu!" Kini aku dan Mas Ubay sedang berada di rumah Bibi Rosita, begitu juga Mama."Flo ga begitu orangnya, mungkin minyak itu tak sengaja terbeli dan lupa dibawa masuk," Bibi Rosita kekeuh membela Flo."Mbak, selama ini Mbak tak peduli dengan Flo. Mbak lebih mengutamakan karier, mbak sadar tidak, makin kesini Flo makin menjauh dari Mbak," Mama berusaha menyadarkan Kakaknya."Hana, aku seperti ini itu untuk dia, untuk Flo!""Tapi, Flo ga butuh hanya harta dia butuh kasih sayang, butuh perhatian. Walau kini dia sudah menikah, kenyataannya Flo masih merindukan kasih sayang, Mbak, sebagai ibunya. Sehingga Flo mencari perhatian dengan cara tak wajar,""Hana! Kamu menuduh Flo mau mencelakai Alina! Namun, justru mengenai dirinya sendiri? begitu! Picik sekali kamu, Han! Aku kira sebagai tantenya, kamu lebih bisa membaca isi hati Flo. Nyatanya kamu justru malah menganggap ponakan kamu sendiri penjahat!"Suara
"Hei! Perempuan Sint*Ng! Pelak*r murahan! Keluar kamu!" Suara teriakan perempuan terdengar dari luar. "Mas, siapa itu?" Mas Ubay yang masih malas-malasan di kasur malah menarik tubuhku untuk kembali tidur."Buka pintunya! Jangan sembunyi kamu perempuan kampung! Kamu sudah mempermalukan aku! Keluar! Kamu penyebab videoku tersebar, kamu harus tanggung jawab!"Lalu terdengar suara dia berteriak-teriak sambil berontak, seperti sedang ditarik oleh seseorang.Tok tok tok!."Non, Tuan, ada Mbak Aina diluar, teriak-teriak ga jelas," suara Bik Irah."Mas, ayo liatin ada masalah apa lagi,""Duh, mantan meresahkan banget, ga lihat apa orang mau nambah belum puas," gerutunya, aku mencubit perut rata suamiku itu."Apa an sih, Mas. Nanti ada yang dengar dikira ga puas begituan,""Begituan apa? Kan Mas ga nyebutin puas apa?""Ya puas buat itu?"sahutku sungkan."Kamu, lagi pengen, ya?""Astaghfirullah, Mas Ubay!" Laki-laki itu tersenyum manis."Canda Sayang, yuk kita lihat. Sudah dapat dipastikan i
Hari terus berlalu, beberapa bulan sudah terlewati sejak kecelakaan yang dialami Flo. Flo sendiri sudah sadar, tapi sama sekali belum bisa di ajak bicara. Perempuan malang itu hanya bisa duduk di kursi roda tanpa mampu melakukan apa-apa. Aku tahu dari Lea. Hanya Lea saat ini yang rajin ke sana. Bibi Rosita juga tak berani untuk mengusir Lea, karena ponakannya yang satu itu sudah terkenal dengan wataknya yang keras. Sementara Mama Hana juga Mas Ubay memilih menjaga jarak.Tentang minyak yang sengaja di taruh di anak tangga itu, juga sudah terlupakan. Seolah sudah meyakini jika Flo pelakunya.Aku sendiri juga di sibukkan dengan keadaan diri yang makin payah, kehamilanku sudah berusia delapan bulan artinya tinggal menunggu waktu saja. Perut terasa sangat besar. Sehingga, aku tidak di ijinkan untuk melakukan aktifitas berlebihan. Mas Ubay yang kini mulai memegang perusahaan Papa juga semakin sibuk. Tak jarang dia pulang larut malam. Walau terkadang mengeluh lelah, tapi semuanya tetap dia
Disaat kekurangan dana, ada keinginan untuk menjual satu restoranku saat itu. Restoran yang sudah punya dua cabang itu lumayan besar pendapatannya. Hingga saat Ustadz Malik mengatakan butuh biaya operasional di pondok, aku bisa menggunakan tabunganku pribadi. Aku juga ingin mendapatkan pahala jariyah jika apa yang dibangun dijadikan tempat beribadah kepada Allah.Telepon pun berakhir, Mas Ubay sepertinya hari ini masih sangat sibuk. Aku memaklumi. Sambil mengusap perut aku terus berdzikir. Menenangkan hati, entah kenapa hatiku tiba-tiba saja tidak tenang. Kemudian berjalan hendak ke kamar ketika suara dering kembali terdengar. Ketika aku hendak kembali ke depan, pintu rumah terbuka perlahan. Ruang depan yang terhalang lemari tinggi membuatku tak bisa melihat siapa yang datang."Bik ... Bik Irah sudah pulang?"Tapi, tak ada jawaban. Aku melangkah ke depan. Kini nafasku juga mulai pendek-pendek karena perut yang makin membesar, sesak sekali.Setiba di ruang tamu, aku begitu terkejut."A
"Tenanglah, Alina ... Kenapa kamu seperti orang yang begitu takut menghadapi kematian? seharusnya kamu bersyukur masih diberi kesempatan untuk menikmati hidup, karena Flo yang menggantikan posisimu yang seharusnya sekarat seperti saat ini," ujar Andre dengan nada menghina.Keringat dingin mengucur deras. Kini aku terjebak. Tembok ini yang menghalangi pelarianku."Kamu yang seharusnya bersyukur, Ndre. Masih diberi kesempatan untuk menjadi suami yang memang punya kewajiban untuk mendidik Istrinya agar lebih baik, bukannya mengikuti sifat istrimu yang jelas-jelas salah,"Andre menyeringai."Aku rasa, aku tak butuh seorang istri, aku hanya butuh Flo agar aku tetap bisa menjadi suami yang mapan. Karena sejak Flo seperti mayat hidup, aku bebas. Bisa kemana saja aku suka. Tak lagi mendengar ocehannya yang memekakkan telinga. Dan aku begitu menikmati hidupku saat ini," tuturnya dengan suara sumbang, aku yakin laki-laki ini hanya tertekan dengan sikap Flo yang tak menghargai dia sebagai seoran
Aku terjatuh, beruntung bukan perutku duluan yang mengenai lantai. Rasa sakit tiba-tiba datang, perutku kram, aku berteriak kencang, sambil memegang pinggang. Bagian bawah tubuhku terasa sakit semua. Tak lama aku merasakan ada cairan yang keluar dari jalan lahir.'Allah ... Allah ... Hamba mohon bantuanMu,'Cairan merah mulai merembes dari pakaian bawahku. Celana panjang yang kukenakan basah."Al, kita akan pergi bersama, kita akan bahagia," Andre mendekat lalu menarik ujung kerudungku hingga kepalaku terangkat ke atas. Air mataku tak bisa lagi kubendung. Bayang-bayang Mas Ubay dengan senyum penuh bahagia menyambut anak pertamanya itu memudar.Rasa sakit itu kian menjadi, aku tak sanggup lagi ya Allah ...Sebelum aku kehilangan kesadaran, aku masih sempat menahan pisau yang di arahkan Andre padaku. Hingga tanganku pun terasa basah oleh cairan yang mungkin saja itu darah.*****Aku terbangun, dengan alat oksimetri yang terpasang di hidung. Kepala terasa sangat berat, perlahan aku membu
Perjalanan pun kami lakukan, menikmati alam meski kami tengah diberi ujian olehNya. "Kenikmatan kita itu lebih banyak dari pada ujian yang Allah berikan, Sayang. Jangan berkecil hati. InsyaAllah akan ada kemudahan dibalik kesulitan. Nadiva akan menjadi gadis cantik seperti bundanya." Mas Ubay tak henti-hentinya menguatkanku.Bahkan saat Nadiva dibawa ke ruang operasi, dia selalu menjadi tempatku bersandar. Air mata tak kunjung habis mengingat bayiku sedang dalam perawatan.Hafidz dan Bude Tia menunggu di hotel. Aku percaya bude Tia akan menjaga Hafidz selama kami dirumah sakit.Sekitar 3 jam, Nadiva selesai di operasi. Alhamdulillah, Operasinya berjalan lancar. Hanya saja menurut dokter nanti perlu terapi wicara untuk Nadiva. Namun, dokter menyakinkan jika bekas operasi itu tak akan menganggu penampilan Nadiva kelak. Teknologi sudah canggih, apapun bisa tampak sempurna saat ini. Hanya butuh uang saja.***Hari berlalu, tahun berganti.Nadiva sudah menginjak usia 4 tahun. Memang ada s
Kelahiran Nadiva Az-Zahra anak perempuan keduaku menjadi harapan yang seakan kandas. Nadiva lahir dengan keadaan fisik yang tak sempurna. Bibir dan langit-langit mulut Nadiva tidak normal. Orang biasa menyebutnya bibir sumbing. Awalnya aku menangis mengetahui hal itu. Apalagi tampak gurat kecewa diwajah Mama.Bersyukur Mas Ubay selalu menguatkan hatiku."Semua ciptaan Allah itu indah, bersyukur hanya secuil kekurangan ini saja yang Allah berikan pada kita. Tak usah berkecil hati. Nanti kita cari solusi gimana Nadiva bisa tumbuh menjadi gadis yang percaya diri."Mama agak acuh padaku, lebih sering ke rumah Lea yang juga telah melahirkan. Anak Lea laki-laki. Tampan dan sempurna, Mama selalu membicarakan perkembangan Hasan anak kedua Lea itu.Aku lebih sering menghindar dari obrolan itu. Menyibukkan diri di dapur atau pura-pura sedang menyusui Nadiva.Melihat keadaan itu, Mas Ubay memutuskan untuk sementara kami menempati rumah kami yang telah lama kosong.Mama keberatan, tapi kali ini M
"Kalau ada niat mah, apa saja bisa, Ma! Mau tinggal disebelah rumah kita, juga pasti mampu." sahut Papa yang baru datang dari kamarnya."Eh, Om. Apa kabar, Om?""Sehat! Apalagi sejak ada Alina di sini. Berdua dengan mamanya Ubay, cerewetin Om untuk makan makanan sehat dan rutin minum vitamin."Aina mencebikkan bibirnya. Walau segera dia tersenyum setelah itu. Tapi, hati kecilku berkata jika Aina datang bukan membawa keberkahan sebagai seorang tamu. Namun, sedang menunjukkan eksistensinya sebagai wanita pelakor sejati. "Nak Aina mau makan di sini? Kebetulan kami mau makan siang. Tapi, kayaknya bik irah ga masak nasi lebih, ya, Al?" Papa beranjak masuk. Aku berusaha menahan tawa. Papa mengajak orang makan tapi, ga punya nasi. Orang yang punya otak, pasti akan paham maksud papa mertuaku itu."Ga usah, Om. Lain kali aja. Nanti Aina mampir lagi." Tak lama perempuan itu pamit.Aku dan Mama mengantarkanku ke pintu, lalu kami sama-sama kembali masuk dan masuk ke ruang makan."Kamu ini, giman
Bayang-bayang Aina mengusik hatiku. Ternyata perempuan itu sudah keluar dari penjara. Kini penampilannya juga jauh berbeda. Tak ada lagi rambut panjang bergelombang dengan bibir bergincu merah menghiasi wajah.Yang tampak wajah dengan riasan sederhana dibalut kain panjang dan baju longgar seperti yang kukenakan. Tak terlihat apakah perutnya besar atau tidak karena seingatku waktu ditangkap, Aina dalam keadaan hamil. Ah, kenapa dia yang kupikirkan? Tapi, aneh saja. Kenapa dia datang ke restoran? Lalu menatapku dengan tatapan seperti itu. Seolah sedang mengatakan "Aku kembali!"Sudahlah, aku yakin setiap episode kehidupan akan menemukan ujiannya masing-masing. Dan aku sangat percaya, jika aku sanggup melewatinya."Alina, makan dulu, Nak. Ini Mama buatkan sop hangat untuk kamu." Teriakan Mama terdengar dari luar. Aku yang sedari pulang dari resto masih rebahan di kamar. Langsung bangkit dan berjalan ke pintu."Iya, Ma.""Sini, Sayang. Kamu pasti lapar. Mama masak sop iga sapi muda. Hmmm
Aku ingin melawan, tapi rasa sakit ini membuatku tak sanggup bangkit lagi. Doa minta pertolongan tak henti-hentinya aku lafaskan. Hanya pertolongan Allah yang saat ini aku harapkan. Sakit di perut makin menggila. Hingga aku merasa ada yang basah dibawah sana. Ya Allah, kenapa ini? Mencoba meraba, ada warna merah ditanganku. Ya Allah, aku kenapa?Ketika, Alex hendak mendekat lagi, pintu tiba-tiba terbuka dengan kencang hingga menimbulkan suara gaduh Karena pertemuan kayu dengan tembok itu.Beberapa orang laki-laki masuk dan langsung menghajar Alex. Sementara aku tak kuasa lagi menahan rasa sakit di perut."Cepat angkat! Korban mengalami pendarahan." Aku hanya mendengar teriakan itu sebelum semua menjadi gelap.****"Kamu sudah sadar, Sayang? Alhamdulillah, ya Allah..."Mas Ubay mengabaikan pertanyaanku. Laki-laki itu menciumi wajahku, lalu meraih tangan dan menggenggamnya erat. Ada air yang mengambang di matanya."Makasih, ya Allah. Makasih, Sayang, kamu sudah bertahan demi kita, demi
Aku terbangun dalam ruangan serba putih. Kepala masih sedikit pusing. Perlahan aku menoleh mengitari setiap sisi ruangan ini. Sepi, hanya aku sendiri di sini. Tak lama, terdengar samar-samar suara obrolan dari luar. Meski sangat pelan tapi masih dapat kudengar dengan jelas.Aku tersenyum tipis mendengar jawaban Mas Ubay atas permintaan perempuan yang dapat kupastikan itu adalah Aisyah. Silahkan saja coba rebut dia dariku. Aku telah menyerahkan hatiku dan cinta kami pada Allah. Dengan seyakin-yakinnya aku berkata, jika Mas Ubay akan menjadikan aku istri satu-satunya yang akan mendapatkan penghargaan berupa cinta darinya.Terlepas, jika kelak Allah takdirkan dia bersanding dengan perempuan lain, nyatanya cinta kami sudah terlebih dahulu terpupuk bersama.Aku mencoba menulikan pendengaran, seharusnya Aisyah lebih mengerti tempat untuk mengutarakan isi hati. Aku yang kini lemah tak berdaya butuh dukungan untuk bangkit dan melupakan kenangan pahit saat Alex berusaha menjadikan aku wanita
"Cucu saya gimana, Dok?" lirih Mama yang tampak ripuh."Alhamdulillah, sejauh ini dia masih bertahan. Bantu do'a saja ya, Bu. Ini karena Bu Alina banyak kehilangan darah, juga mengalami dehidrasi. InsyaAllah semua akan baik-baik saja."Semua bernafas lega. Alhamdulillah, Alinaku memang wanita kuat, dia wanita hebat yang pernah kutemui. Aku yakin dia akan sembuh dan jauh lebih kuat."Ma, Mama, Papa juga Lea, pulang saja. Biar Ubay yang menjaga Alina di sini.""Mama juga mau di sini.""Ma, Mama harus menjaga kesehatan. Mama sebentar lagi akan punya dua cucu dari Ubay, dan dua cucu dari Lea. Jangan sampai Alina melihat mama dalam keadaan pucat karena kelelahan.""Benar, Ma. Kita pulang, biar Ubay menjaga Alina. Besok pagi-pagi kita kesini. Mudah-mudahan Alina sudah sadar."Akhirnya malam itu aku sendiri menjaga Alina. Jam delapan malam, ada telepon dari Pak Freddy. Aku bergegas keluar agar tidak menganggu tidur Alina."Saya ikut prihatin dengan apa yang terjadi dengan Pak Baihaqi. Saya h
Mama menangis melihat Alina yang masih belum sadarkan diri. Terpaksa aku menyampaikan kejadian yang sebenarnya kepada Mama. Walau sebenarnya tak tega. Tapi, jika nanti ada terjadi hal yang tak di inginkan aku tak mau Mama ngedown."Maafkan Ubay, Ma," lirihku.Mama terisak memelukku."Kamu kalau ada apa-apa kasih tau, Mama. Bagaimana pun Alina anak Mama, menantu Mama. Mama pasti akan mengusahakan yang terbaik untuknya. Kalau sudah begini, terjadi apa-apa dengannya gimana?""Sudah, Ma. Ubay memikirkan kesehatan Mama. Jangan salahin dia terus." Papa berusaha menenangkan Mama. Aku tertunduk, "sabar Bang, Mama hanya syok!" lirih Lea menenangkan."Gimana Mas, apa dalangnya sudah tertangkap?" tanya Arsyad."Belum, Ar. Menurut teman gw yang bekerjasama dengan polisi, orang itu melarikan diri keluar negeri.""Memang siapa dalangnya, Bay?" sahut Papa."Wiliam, Pa."Daniel sudah memastikan jika pelaku adalah William, dan seorang perempuan yang juga pengusaha seperti dirinya. Chaterine, perempua
Sesampainya di sana, gerbang rumah itu terbuka lebar. Sebuah mobil polisi sudah parkir di halaman dan beberapa mobil lain yang kupastikan itu mobil Daniel dan anak buahnya. Ternyata mereka sudah mengrebek rumah itu. Seorang laki-laki yang sangat kukenal sudah dalam kondisi terborgol. "Daniel, mana Alina?""Alina sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Lu susul ke sana. Gw sedang melacak otak dibalik semua ini. Tadi istri lu pingsan. Gw takut terlambat jika menunggu lu, sebab, istri lu pendarahan.""Innalilahi, pendarahan?""Iya, buruan lu ke sana. Laki-laki kurang aj*r ini berusaha menodai istri lu, untung Alina bisa bertahan sampai gw dan polisi datang."Bugh! Sebuah pukulan kulayangkan pada Alex sesaat setelah mendengar penjelasan Daniel."Biad*b!""Sabar, Pak! Kami dari pihak kepolisian yang akan menangani laki-laki ini dan menghukum sesuai hukum yang berlaku." Pak polisi itu mengiring Alex menjauh."Gimana rasanya perempuan bekasku!" ujar Alex dengan wajah yang sudah babak belur.