Dua minggu setelah kami menikah, aku mulai di ajak Mas Ubay untuk ikut dalam rapat. Begitu canggung rasanya, tapi menurut Mas Ubay aku harus terbiasa. Karena dia berharap aku bisa menjalankan bisnis berdua dengannya."Kalian ini kayak perangko tau ga! Kemana-mana selalu berdua." "Ciee ... yang ngiri ...!" ledek Mas Ubay."Gw ga ngiri, gw nganan doang." "Hahaha, sabar Bestie. Gimana hubungan kamu dengan Pak pengacara?" Tanyaku sambil merangkul Lea yang tengah cemberut."Tau ga, Al. Minggu ini aku mau dikenalin pada orang tuanya. Aku deg-degan banget sumpah.""Emang lu, bisa deg-degan juga, Lele!"potong Mas Ubay cepat."Bisa lah! Lu kira gw batu, apa!""Jangan sewot, Le. Entar cepat tua.Mas Ubay makin semangat memanas-manasi Lea."Lu yang bikin gw cepat tua, nyebelin. Aturan gw ga restuin elu nikah sama teman gw. Kasian Alina dapat suami kayak kanebo kering.""Eh, sembarangan! Tanya Alina aja, aku kanebo kering apa waslap basah." Tawa Lea terdengar lantang. Hingga bahunya terguncang
Aku sampai di rumah Mama setelah sebelumnya menunggu Mas Ubay pulang dari kantor. Mendengarku menangis, lelaki itu langsung membatalkan semua agendanya hari ini. Dan meluncur bersamaku ke rumah duka.Aku terisak, melihat jasad yang sudah dimandikan itu terbujur kaku di tengah rumah dan siap untuk di kebumikan. Bayangan Mama yang begitu perhatian padaku bahkan lebih menyayangiku dari pada anaknya sendiri melintasi begitu saja. Membuat air mataku kian deras mengalir."Maafin Mbak Tety, kalau ada salah ya, Al," ujar Tante Irma sambil memelukku. "Mama orang baik, Tante. Sangat baik, Mama sudah seperti Mama kandungku sendiri. Mama tak punya salah, InsyaAllah," sahutku dengan suara bergetar menahan tangis."Sejak dia tau kamu dan Gunawan bercerai, Mbak Tety mulai jarang mau makan. Setiap hari melamun. Sempat Tante bawa ke rumah sakit, karena khawatir. Tapi, belum ada perkembangan. Dokter bilang, mbak Tety ga boleh banyak pikiran.""Apalagi, setelah kamu menikah, keadaannya makin parah. Da
Kini kami di jalan menuju pulang. Tak ada pembicaraan yang tercipta. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Sebelah tangan Mas Ubay masih setia menggenggam jariku. Seakan sedang memberikan semangat baru. Dan mengatakan semua akan baik-baik saja.Kami pun sampai di rumah."Ih, kalian jalan-jalan ga ngajak-ngajak!" Sungut Lea.Mas Ubay tak menjawab, dia langsung menuju ke kamar. Sedangkan aku memilih duduk di samping Lea. Aku menceritakan kepada Lea, Apa yang terjadi hari ini. Lea sangat kaget, terlebih saat dia tahu jika si Siti sudah kembali."Gila emang mantanmu itu. Jelas-jelas waktu itu Siti telah menyia-nyiakan ibunya. Sekarang malah dibiarkan kembali. Emang otaknya kurang se-ons tuh anak."Akupun berpikiran sama. Entah apa yang sudah merasuki Mas Gunawan. Sehingga tega membiarkan ibunya dirawat oleh perempuan seperti Siti."Jangan-jangan dia yang membunuh Ibunya, ups!" Lea sontak menutup mulutnya."Maaf, Al. Aku keceplosan.""Gapapa, Lea. Aku sebenarnya juga berpikiran seperti
POV GunawanSial! Mobil Alina dan laki-laki itu berhasil mundur dengan cepat. Sehingga mereka masih selamat, hanya mobilnya saja yang lecet itupun tak parah."Ga becus kalian!" Hardikku para preman karbitan itu kesal."Seharusnya buat mereka celaka, tak perlu sampai mati. Yang penting mereka paham dengan siapa mereka berhadapan." Dua orang bertato yang kusewa itu hanya diam."Sekarang pergi kalian jauh-jauh, jangan sampai tertangkap. Kalau kalian sampai ditemukan, jangan bawa-bawa nama saya!"Aku melempar uang lima juta pada mereka. Tanpa malu, uang itu dipunggut dan dibawa pergi."Sial, buang-buang uang saja!" rutukku.Siti yang sedari tadi melihat hanya tersenyum mencibir. Perempuan itu kembali setelah beberapa saat Fatma, pembantu yang pandai memuaskanku itu diusir Tante Irma. Adik Mama itu terlalu ikut campur. Semua juga karena Alina, dia biang keladinya. Pasti karena sakit hati, dia sengaja membuat hidupku hancur."Seharusnya kamu lakukan sendiri, dong. Masa begitu aja takut," uj
Hah! Brengs*k perempuan ini, membuatku kesal saja. Akhirnya aku mengalah. Pintu terbuka. Tiga orang berpakaian rapi sudah berdiri disana. Dua orang diantaranya berbadan tinggi besar."Nyari siapa?" tanyaku."Maaf, Pak. Rumah ini tolong segera di kosongkan. Karena akan segera direnovasi oleh Pak Anton.""Pak Anton? Siapa Anton?""Pak Anton yang membeli rumah ini,""Yang beli? Saya ga menjual rumah ini. Bahkan, surat-suratnya saja saya belum pegang," tolakku."Maaf, Bapak. Kami hanya menjalankan perintah. Pak Anton sudah membayar lunas rumah ini kepada Bu Alina Putri Sabiya yang memiliki sertifikat rumah ini yang juga atas namanya. Ini kwitansinya."Laki-laki yang memakai baju serba hitam itu menyerahkan kwitansi bermaterai sebagai bukti pembelian yang sah kepadaku.Mataku membulat sempurna, benar saja. Rumah ini sudah dialihkan Mama atas nama Alina. Dan kini perempuan itu menjualnya tanpa menunggu persetujuanku. Perempuan Jahan*m! Matre! Baru saja Mama meninggal, dia sudah menjual ruma
Kami sampai disebuah hotel, walau bukan hotel mahal setidaknya cukup bagus untuk dijadikan tempat tinggal sementara. Beruntung masih ada mobil merah milik Mama yang sempat dibawa oleh Siti. Memang tak terlalu bagus, Tapi lumayan nyaman untuk dipakai saat ini. Hanya ini harta Mama yang aku dapat. Selebihnya entah dimana. Tante Irma tak mau menjawab saat aku tanya.Bahkan mulai membawa-bawa statusku yang hanya anak angkat Mama Tety."Kita tinggal disini? Hotel murahan ini?" Cetusnya tak suka."Sementara, Sayang. Nanti kalau sudah dapat warisan dari Mama aku akan belikan kamu dan Sabila rumah mewah, apapun yang kamu inginkan akan aku penuhi,"Siti tersenyum tipis. Sejak pertemuan pertama kami dulu, aku sudah tertarik pada Siti. Entah kenapa wajahnya membuatku candu. Bahkan aku ikhlas menikahi Siti yang seorang pelac*r. "Buruan, Mas rebut harta itu. Aku tak bisa menunggu lama,""Maksud kamu? Memang kamu mau kemana?""Ti-tidak, tidak kemana-mana. Aku hanya ga mau hidup susah dan kembali k
Aku pulang dengan perasaan tak menentu. Aku bingung mau melanjutkan hidup. Sementara belum ada pemasukan sama sekali."La, Mama mana?" Saat kulihat Sabila duduk sendiri didepan televisi."Mama lagi nelpon." sahutnya tanpa menoleh padaku. Aku pun mencari Siti yang mungkin ada di balkon."Sabar, Ki. Saya belum ada uang. Nanti kalau sudah ada uang, pasti akan saya serahkan. Saya tak mungkin kabur."" .... ""Iya, saya paham. Saya akan usahakan secepatnya. Jika tidak ada, saya ikhlas dengan kesepakatan kita yang kedua. Tapi, tolong jangan lepaskan benda ini. Saya masih butuh."Aku menangkap pembicara Siti dengan seseorang di telepon. Siapa dia? Uang apa?"Suami saya akan menyiapkan uangnya. Tenang saja, uang segitu baginya tak ada apa-apa."Entah apa jawaban diseberang sana, teleponnya pun berakhir."Uang apa, Dek?" Siti berbalik, wajahnya langsung pias."Kamu sudah pulang, Mas? Sejak kapan kamu disitu?" tanyanya."Sedari tadi. Aku ingin tau untuk apa uang itu dia minta? Dan siapa dia?"A
Bugh!Sebuah hantaman mendarat di perutku. Serangan yang tiba-tiba membuatku yang tak siap, sehingga terjengkang ke belakang. Pisau kecil yang kupegang terlempar entah kemana."Mama, gapapa?""Adit!"Ibu dan anak itu berpelukan sejenak, sebelum Adit mulai menghantamku lagi."Adit! hentikan!" Pekikku.Tapi, pria yang lebih muda dariku itu tak menghiraukan."Bang, siapapun yang menyakiti Mama, berhadapan dengan gw!"Adit terus menyerangku, walau aku berusaha menjelaskan. Tapi, provokasi dari Tante Irma mematahkan kebohongan yang aku ciptakan demi keselamatanku. Sepupuku itu dengan semangat memberikan bogem mentah pada wajahku.Kemudian, berdua dengan mamanya. Mereka mengikat tangan dan menyuruhku duduk. Kini aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Tangan terikat ke belakang, begitu juga dengan kedua kaki. Keringat bercucuran, entah apalagi yang akan mereka lakukan padaku."Adit, lepaskan, Dit!"Pria muda itu tertawa. Tak menyangka wajah polos Adit ternyata hanya kedok. Adit, seperti anak mud
Perjalanan pun kami lakukan, menikmati alam meski kami tengah diberi ujian olehNya. "Kenikmatan kita itu lebih banyak dari pada ujian yang Allah berikan, Sayang. Jangan berkecil hati. InsyaAllah akan ada kemudahan dibalik kesulitan. Nadiva akan menjadi gadis cantik seperti bundanya." Mas Ubay tak henti-hentinya menguatkanku.Bahkan saat Nadiva dibawa ke ruang operasi, dia selalu menjadi tempatku bersandar. Air mata tak kunjung habis mengingat bayiku sedang dalam perawatan.Hafidz dan Bude Tia menunggu di hotel. Aku percaya bude Tia akan menjaga Hafidz selama kami dirumah sakit.Sekitar 3 jam, Nadiva selesai di operasi. Alhamdulillah, Operasinya berjalan lancar. Hanya saja menurut dokter nanti perlu terapi wicara untuk Nadiva. Namun, dokter menyakinkan jika bekas operasi itu tak akan menganggu penampilan Nadiva kelak. Teknologi sudah canggih, apapun bisa tampak sempurna saat ini. Hanya butuh uang saja.***Hari berlalu, tahun berganti.Nadiva sudah menginjak usia 4 tahun. Memang ada s
Kelahiran Nadiva Az-Zahra anak perempuan keduaku menjadi harapan yang seakan kandas. Nadiva lahir dengan keadaan fisik yang tak sempurna. Bibir dan langit-langit mulut Nadiva tidak normal. Orang biasa menyebutnya bibir sumbing. Awalnya aku menangis mengetahui hal itu. Apalagi tampak gurat kecewa diwajah Mama.Bersyukur Mas Ubay selalu menguatkan hatiku."Semua ciptaan Allah itu indah, bersyukur hanya secuil kekurangan ini saja yang Allah berikan pada kita. Tak usah berkecil hati. Nanti kita cari solusi gimana Nadiva bisa tumbuh menjadi gadis yang percaya diri."Mama agak acuh padaku, lebih sering ke rumah Lea yang juga telah melahirkan. Anak Lea laki-laki. Tampan dan sempurna, Mama selalu membicarakan perkembangan Hasan anak kedua Lea itu.Aku lebih sering menghindar dari obrolan itu. Menyibukkan diri di dapur atau pura-pura sedang menyusui Nadiva.Melihat keadaan itu, Mas Ubay memutuskan untuk sementara kami menempati rumah kami yang telah lama kosong.Mama keberatan, tapi kali ini M
"Kalau ada niat mah, apa saja bisa, Ma! Mau tinggal disebelah rumah kita, juga pasti mampu." sahut Papa yang baru datang dari kamarnya."Eh, Om. Apa kabar, Om?""Sehat! Apalagi sejak ada Alina di sini. Berdua dengan mamanya Ubay, cerewetin Om untuk makan makanan sehat dan rutin minum vitamin."Aina mencebikkan bibirnya. Walau segera dia tersenyum setelah itu. Tapi, hati kecilku berkata jika Aina datang bukan membawa keberkahan sebagai seorang tamu. Namun, sedang menunjukkan eksistensinya sebagai wanita pelakor sejati. "Nak Aina mau makan di sini? Kebetulan kami mau makan siang. Tapi, kayaknya bik irah ga masak nasi lebih, ya, Al?" Papa beranjak masuk. Aku berusaha menahan tawa. Papa mengajak orang makan tapi, ga punya nasi. Orang yang punya otak, pasti akan paham maksud papa mertuaku itu."Ga usah, Om. Lain kali aja. Nanti Aina mampir lagi." Tak lama perempuan itu pamit.Aku dan Mama mengantarkanku ke pintu, lalu kami sama-sama kembali masuk dan masuk ke ruang makan."Kamu ini, giman
Bayang-bayang Aina mengusik hatiku. Ternyata perempuan itu sudah keluar dari penjara. Kini penampilannya juga jauh berbeda. Tak ada lagi rambut panjang bergelombang dengan bibir bergincu merah menghiasi wajah.Yang tampak wajah dengan riasan sederhana dibalut kain panjang dan baju longgar seperti yang kukenakan. Tak terlihat apakah perutnya besar atau tidak karena seingatku waktu ditangkap, Aina dalam keadaan hamil. Ah, kenapa dia yang kupikirkan? Tapi, aneh saja. Kenapa dia datang ke restoran? Lalu menatapku dengan tatapan seperti itu. Seolah sedang mengatakan "Aku kembali!"Sudahlah, aku yakin setiap episode kehidupan akan menemukan ujiannya masing-masing. Dan aku sangat percaya, jika aku sanggup melewatinya."Alina, makan dulu, Nak. Ini Mama buatkan sop hangat untuk kamu." Teriakan Mama terdengar dari luar. Aku yang sedari pulang dari resto masih rebahan di kamar. Langsung bangkit dan berjalan ke pintu."Iya, Ma.""Sini, Sayang. Kamu pasti lapar. Mama masak sop iga sapi muda. Hmmm
Aku ingin melawan, tapi rasa sakit ini membuatku tak sanggup bangkit lagi. Doa minta pertolongan tak henti-hentinya aku lafaskan. Hanya pertolongan Allah yang saat ini aku harapkan. Sakit di perut makin menggila. Hingga aku merasa ada yang basah dibawah sana. Ya Allah, kenapa ini? Mencoba meraba, ada warna merah ditanganku. Ya Allah, aku kenapa?Ketika, Alex hendak mendekat lagi, pintu tiba-tiba terbuka dengan kencang hingga menimbulkan suara gaduh Karena pertemuan kayu dengan tembok itu.Beberapa orang laki-laki masuk dan langsung menghajar Alex. Sementara aku tak kuasa lagi menahan rasa sakit di perut."Cepat angkat! Korban mengalami pendarahan." Aku hanya mendengar teriakan itu sebelum semua menjadi gelap.****"Kamu sudah sadar, Sayang? Alhamdulillah, ya Allah..."Mas Ubay mengabaikan pertanyaanku. Laki-laki itu menciumi wajahku, lalu meraih tangan dan menggenggamnya erat. Ada air yang mengambang di matanya."Makasih, ya Allah. Makasih, Sayang, kamu sudah bertahan demi kita, demi
Aku terbangun dalam ruangan serba putih. Kepala masih sedikit pusing. Perlahan aku menoleh mengitari setiap sisi ruangan ini. Sepi, hanya aku sendiri di sini. Tak lama, terdengar samar-samar suara obrolan dari luar. Meski sangat pelan tapi masih dapat kudengar dengan jelas.Aku tersenyum tipis mendengar jawaban Mas Ubay atas permintaan perempuan yang dapat kupastikan itu adalah Aisyah. Silahkan saja coba rebut dia dariku. Aku telah menyerahkan hatiku dan cinta kami pada Allah. Dengan seyakin-yakinnya aku berkata, jika Mas Ubay akan menjadikan aku istri satu-satunya yang akan mendapatkan penghargaan berupa cinta darinya.Terlepas, jika kelak Allah takdirkan dia bersanding dengan perempuan lain, nyatanya cinta kami sudah terlebih dahulu terpupuk bersama.Aku mencoba menulikan pendengaran, seharusnya Aisyah lebih mengerti tempat untuk mengutarakan isi hati. Aku yang kini lemah tak berdaya butuh dukungan untuk bangkit dan melupakan kenangan pahit saat Alex berusaha menjadikan aku wanita
"Cucu saya gimana, Dok?" lirih Mama yang tampak ripuh."Alhamdulillah, sejauh ini dia masih bertahan. Bantu do'a saja ya, Bu. Ini karena Bu Alina banyak kehilangan darah, juga mengalami dehidrasi. InsyaAllah semua akan baik-baik saja."Semua bernafas lega. Alhamdulillah, Alinaku memang wanita kuat, dia wanita hebat yang pernah kutemui. Aku yakin dia akan sembuh dan jauh lebih kuat."Ma, Mama, Papa juga Lea, pulang saja. Biar Ubay yang menjaga Alina di sini.""Mama juga mau di sini.""Ma, Mama harus menjaga kesehatan. Mama sebentar lagi akan punya dua cucu dari Ubay, dan dua cucu dari Lea. Jangan sampai Alina melihat mama dalam keadaan pucat karena kelelahan.""Benar, Ma. Kita pulang, biar Ubay menjaga Alina. Besok pagi-pagi kita kesini. Mudah-mudahan Alina sudah sadar."Akhirnya malam itu aku sendiri menjaga Alina. Jam delapan malam, ada telepon dari Pak Freddy. Aku bergegas keluar agar tidak menganggu tidur Alina."Saya ikut prihatin dengan apa yang terjadi dengan Pak Baihaqi. Saya h
Mama menangis melihat Alina yang masih belum sadarkan diri. Terpaksa aku menyampaikan kejadian yang sebenarnya kepada Mama. Walau sebenarnya tak tega. Tapi, jika nanti ada terjadi hal yang tak di inginkan aku tak mau Mama ngedown."Maafkan Ubay, Ma," lirihku.Mama terisak memelukku."Kamu kalau ada apa-apa kasih tau, Mama. Bagaimana pun Alina anak Mama, menantu Mama. Mama pasti akan mengusahakan yang terbaik untuknya. Kalau sudah begini, terjadi apa-apa dengannya gimana?""Sudah, Ma. Ubay memikirkan kesehatan Mama. Jangan salahin dia terus." Papa berusaha menenangkan Mama. Aku tertunduk, "sabar Bang, Mama hanya syok!" lirih Lea menenangkan."Gimana Mas, apa dalangnya sudah tertangkap?" tanya Arsyad."Belum, Ar. Menurut teman gw yang bekerjasama dengan polisi, orang itu melarikan diri keluar negeri.""Memang siapa dalangnya, Bay?" sahut Papa."Wiliam, Pa."Daniel sudah memastikan jika pelaku adalah William, dan seorang perempuan yang juga pengusaha seperti dirinya. Chaterine, perempua
Sesampainya di sana, gerbang rumah itu terbuka lebar. Sebuah mobil polisi sudah parkir di halaman dan beberapa mobil lain yang kupastikan itu mobil Daniel dan anak buahnya. Ternyata mereka sudah mengrebek rumah itu. Seorang laki-laki yang sangat kukenal sudah dalam kondisi terborgol. "Daniel, mana Alina?""Alina sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Lu susul ke sana. Gw sedang melacak otak dibalik semua ini. Tadi istri lu pingsan. Gw takut terlambat jika menunggu lu, sebab, istri lu pendarahan.""Innalilahi, pendarahan?""Iya, buruan lu ke sana. Laki-laki kurang aj*r ini berusaha menodai istri lu, untung Alina bisa bertahan sampai gw dan polisi datang."Bugh! Sebuah pukulan kulayangkan pada Alex sesaat setelah mendengar penjelasan Daniel."Biad*b!""Sabar, Pak! Kami dari pihak kepolisian yang akan menangani laki-laki ini dan menghukum sesuai hukum yang berlaku." Pak polisi itu mengiring Alex menjauh."Gimana rasanya perempuan bekasku!" ujar Alex dengan wajah yang sudah babak belur.