"Sayang, nanti Papanya Sabila akan datang kesini. Sabila tunggu Papa saja, ya. Tante masih banyak pekerjaan." Aku berusaha membujuk Sabila.Tangis gadis kecil itu malah lebih kencang. Dia terus berteriak sambil memegang kakiku."Ya ampun, nih anak, udah Ibunya nyebelin, anaknya juga ga tau kondisi." Rutuk Tante Irma yang mungkin tak terima saat Mas Gunawan menitipkan Sabila padanya. Apalagi jika teringat perlakuan Raisa alias Siti padanya."Ya udah, gini aja Tante. Sabila, Alina bawa dulu. Nanti kalau Mas Gunawan sudah pulang Tante kabari, ya. Biar Alina antar lagi kesini.""Iya, Al. Maafin yaa, Tante benar-benar ga enak sama kamu."Aku tersenyum."Gapapa, Tante. Anggap aja lagi beramal."Aku pun membawa gadis kecil itu bersamaku. Semua rencana aku batalkan. Aku mengetik pesan di grup rempong.[Guys, anak calon mantan maduku nih.]Sembari melampirkan foto Sabila yang sudah duduk di kursi disampingku. Kini kami sedang di dalam mobil hendak pulang.[Widiiih! niat bener jadi bidadari, ja
Lho ini kan orang tua nya Siti? Kenapa jadi pencuri?Aku memperbesar gambar di layar ponselku. Bener, ga salah lagi. Ini Bapak-bapak yang mengaku Bapaknya Siti. "Kenapa Al?" Lea yang mungkin heran melihatku kini menghampiri. Melihat apa yang tengah aku perhatikan."Ini seperti Bapak Siti, Le."Lea mengambil alih ponselku."Siti si Raisa gadungan? Masa, sih?""Iya! Aku inget banget kok, kumis dan tahi lalat nya mirip Rano Karno.""Kalau gitu besok kita samperin aja.""Kamu temenin, ya?""Iya.""Tapi, aku mau ketemu Pak Arsyad dulu. Kemarin sudah janjian besok mau bertemu.""Oh, ya, bagaimana proses perceraian lu?""Alhamdulillah tinggal selangkah lagi.""Wah, bentar lagi kita sama ya. Janda muda dan seksi.""Seksi? Maaf ya, aku ga mau jadi janda muda seksi. Aku ingin menjadi janda muda Sholehah.""Iya deh, iyaa ..." Aku terkekeh melihat ekspresi Lea yang bergegas menutup pahanya yang tersingkap karena duduknya yang tak sopan.***Pagi ini aku memandikan sabila. Rencana setelah mengan
Seorang wanita yang tak lagi muda dengan dandanan yang begitu menawan datang bersama seorang perempuan muda dengan gaya sosialita. Tanpa permisi keduanya masuk kerumah yang pintunya dalam keadaan terbuka itu. Mataku begitu terkesima ketika kedua orang itu sudah begitu dekat denganku."Mbak Aina Maharani Putri?" desisku, tanpa sadar bibirku sedikit terbuka."Awas lalar masuk!" sentak Ubay yang ternyata melihat reaksiku.Aku langsung merapatkan bibir. Tapi tak dipungkiri rasa kagum itu makin menjadi-jadi. Mimpi apa aku ketemu seorang selegram terkenal merangkap artis cantik yang wajahnya sering muncul di televisi, youtobe dan tiktok itu. Perempuan itu memamerkan senyum sambil berjalan ilegan ke arahku. Tangannya mengait ditangan wanita disebelahnya, sangat harmonis.Lea dan Ubay mendekati mereka, lalu menyalami perempuan yang memakai baju kebaya dengan sanggul yang menghiasi rambutnya.Aku terpaku, apa itu Ibunya Lea? Dan apa Mbak Aina saudaraan sama mereka. Duh, kenapa ga bilang-bilan
Paginya aku berangkat ke rumah Tante Irma. Semalam memang kami sudah janjian untuk bertemu. Mama Tety dijaga oleh Adit anaknya Tante Irma, jadi hari ini Tante bisa ke rumah sakit agak siang."Maafin Tante, ya, Al. Tante benaran malu sebenarnya ngeluh sama kamu. Tak seharusnya anak ini Tante titip sama kamu. Tapi saat ini posisi Tante, serba salah. Mau dibawa kerumah sakit, kasian. Ditinggal ga ada yang jaga. Om, selalu pulang malam. Sedangkan Adit, mana ngerti jagain anak kecil." Adit masih kuliah, apalagi memang anak satu-satunya, pasti untuk urusan jagain anak kecil itu sedikit mustahil."Gapapa, Tante. Walau sebenarnya saat ini Alina dan Mas Gunawan sudah resmi bercerai.""Resmi bercerai?Serius, Nak?"Aku mengangguk. Mata Tante Irma berkaca-kaca."Ya Allah ... Tante ga bisa membayangkan jika Mbak Tety tahu." ujarnya dengan suara bergetar menahan tangis."Kasian Gunawan. Walau kelakuannya benar-benar menyebalkan, dia tetap ponakan Tante. Sekarang semua yang kena getahnya." Lanjutnya
"Tante kita kemana? Jalan-jalan lagi, ya. Kemarin Lala jalan-jalan sama Om ganteng, beli banyak makanan dan mainan." Aku langsung teringat saat Ubay membawa Sabila ke Mall."Trus? Omnya marah-marah ga?""Engga. Omnya baik banget, apa yang Lala pinta langsung dibeliin. Ga kayak Papa. Jarang ajak Lala jalan-jalan."Aku kembali merenung, pasti karena Mas Gunawan harus membagi waktu denganku."Tante, Lala boleh tidak tinggal sama Om dan Tante?""Maksudnya?" Aku langsung menoleh."Lala mau kita tinggal bersama Tante sama Om, tinggal bersama-sama Lala. Lala jadi anak Tante dan Om."Astaga! Bocil, hayalan macam apa itu? Aku juga mau, eh!"Lala, Om dan Tante ga boleh tinggal bersama. Karena kita belum menikah." Aku mencoba menjelaskan dengan bahasa sederhana, walau bicara dengan anak kecil rasanya membutuhkan skill yang mumpuni agar mereka paham apa yang dibicarakan."Oooh, jadi, Om dan Tante baru akan menikah?""Lho, kok?""Iyaa, karena kata Om ganteng. Tante itu calon istri, Om."Aku kemba
"Bang! Lu kok gitu?"Ubay tak menanggapi Lea. Lelaki itu langsung masuk ke dalam. Aku terdiam, tak tau harus berbuat apalagi.Lea menyerahkan Sabila yang dalam gendongannya padaku, lalu menyusul Ubay ke dalam.Entah apa yang mereka bicarakan. Aku memilih membawa kembali barang-barang Sabila ke mobil."Kita ke rumah Tante aja, ya." bisikku.Sabila mengangguk. Wajah Sabila murung, senyum keceriaan hilang dari wajahnya."Eh, mau dibawa kemana barang-barangnya!" bentak Ubay yang sudah keluar dengan Lea di belakang."Maaf, Bay. Sabila aku bawa kerumahku aja. Biar aku yang jaga." Lirihku."Biar kamu bisa bertemu dengan Bapaknya tiap hari? Lalu kalian balikan gitu?" tudingnya dengan nada rendah tapi cukup membuat perih.Aku melongo? Lea yang sedari tadi memasang wajah cemberut berlari ke arahku dengan senyum yang merekah."Lu! Kelewatan, Bang! Anak orang sampe pucat gitu wajahnya.""Haa, maksudnya?" Aku makin bingung."Nona cantik, sini sama Om ganteng. Katanya mau tinggal bareng sama Om dan
"Ya, gapapa. Aku kesini juga mau ketemu Lea dan Lala. Mereka ada kan?""Kirain mau ketemu aku." gumamnya.Aku melempar senyum, masih dalam masa Iddah, belum bisa memberi lampu hijau pada siapapun."Apaan, kaga ah, masa pake baju ini!" Lea melempar gamis dress Maxi berwarna mocca itu ke atas kasur. "Coba dulu, Lea. Aku juga memakai baju yang sama.""Emang mau kemana sih? Mau makan malam aja ribet amat, pake kerudung segala kayak mau ke pengajian." Gerutunya."Sssttt ... Pokoknya nurut sama aku, plisss ..."Dengan segala bujuk rayu. Akhirnya aku berhasil membuat Lea memakai gamis itu, dan kerudung pashmina squre dengan warna senada. Setelah salat magrib Lea yang sudah aku dandani berjalan pelan dengan tangan kupegang. Kami semua sudah rapi, tinggal turun menunggu Ubay."Gw kayak pengantin." Kekehnya."InsyaAllah calon pengantin." bisikku."Ah gw kalau ga sama Arsyad, ga mau!""Makanya kamu berubah, ini ngomongnya udah balik lagi kayak Bang Juned!"protesku. Lea kembali ketawa."Ketawan
POV IgunRaisa hilang, meski dari bukti yang didapat oleh Alina. Raisa hanyalah nama samaran, tapi aku tetap harus mencari dia. Ada banyak hal yang harus kami bicarakan. Dia tak bisa pergi begitu saja, membawa mobil Mama, dan meninggalkan Sabila bersamaku. Berbagai tempat kudatangi, bahkan polisi pun sudah turun tangan. Perempuan itu hilang bak ditelan bumi.Hingga saat melewati kafe hati, aku melihat seseorang yang tiba-tiba saja sangat kurindukan. Alina!Perempuan itu datang dengan temannya dan laki-laki yang menyebabkan aku dipecat dari kantor. Pasti si Haqi yang mengadu pada Pak Adrian bahwa aku punya istri dua. Aarggghh ... Ingin kuhantam kepala laki-laki itu, tapi aku sadar. Dia orang kaya, apa saja bisa dia lakukan padaku, termasuk menyingkirkanku tanpa jejak. Aku terus memperhatikan mereka dibalik kendaraan yang terparkir. Ada Sabila bersama mereka. Rasa didada panas membara. Alina seperti sepasang suami istri yang sedang makan malam bersama teman-temannya.Tak tahan melihat
Perjalanan pun kami lakukan, menikmati alam meski kami tengah diberi ujian olehNya. "Kenikmatan kita itu lebih banyak dari pada ujian yang Allah berikan, Sayang. Jangan berkecil hati. InsyaAllah akan ada kemudahan dibalik kesulitan. Nadiva akan menjadi gadis cantik seperti bundanya." Mas Ubay tak henti-hentinya menguatkanku.Bahkan saat Nadiva dibawa ke ruang operasi, dia selalu menjadi tempatku bersandar. Air mata tak kunjung habis mengingat bayiku sedang dalam perawatan.Hafidz dan Bude Tia menunggu di hotel. Aku percaya bude Tia akan menjaga Hafidz selama kami dirumah sakit.Sekitar 3 jam, Nadiva selesai di operasi. Alhamdulillah, Operasinya berjalan lancar. Hanya saja menurut dokter nanti perlu terapi wicara untuk Nadiva. Namun, dokter menyakinkan jika bekas operasi itu tak akan menganggu penampilan Nadiva kelak. Teknologi sudah canggih, apapun bisa tampak sempurna saat ini. Hanya butuh uang saja.***Hari berlalu, tahun berganti.Nadiva sudah menginjak usia 4 tahun. Memang ada s
Kelahiran Nadiva Az-Zahra anak perempuan keduaku menjadi harapan yang seakan kandas. Nadiva lahir dengan keadaan fisik yang tak sempurna. Bibir dan langit-langit mulut Nadiva tidak normal. Orang biasa menyebutnya bibir sumbing. Awalnya aku menangis mengetahui hal itu. Apalagi tampak gurat kecewa diwajah Mama.Bersyukur Mas Ubay selalu menguatkan hatiku."Semua ciptaan Allah itu indah, bersyukur hanya secuil kekurangan ini saja yang Allah berikan pada kita. Tak usah berkecil hati. Nanti kita cari solusi gimana Nadiva bisa tumbuh menjadi gadis yang percaya diri."Mama agak acuh padaku, lebih sering ke rumah Lea yang juga telah melahirkan. Anak Lea laki-laki. Tampan dan sempurna, Mama selalu membicarakan perkembangan Hasan anak kedua Lea itu.Aku lebih sering menghindar dari obrolan itu. Menyibukkan diri di dapur atau pura-pura sedang menyusui Nadiva.Melihat keadaan itu, Mas Ubay memutuskan untuk sementara kami menempati rumah kami yang telah lama kosong.Mama keberatan, tapi kali ini M
"Kalau ada niat mah, apa saja bisa, Ma! Mau tinggal disebelah rumah kita, juga pasti mampu." sahut Papa yang baru datang dari kamarnya."Eh, Om. Apa kabar, Om?""Sehat! Apalagi sejak ada Alina di sini. Berdua dengan mamanya Ubay, cerewetin Om untuk makan makanan sehat dan rutin minum vitamin."Aina mencebikkan bibirnya. Walau segera dia tersenyum setelah itu. Tapi, hati kecilku berkata jika Aina datang bukan membawa keberkahan sebagai seorang tamu. Namun, sedang menunjukkan eksistensinya sebagai wanita pelakor sejati. "Nak Aina mau makan di sini? Kebetulan kami mau makan siang. Tapi, kayaknya bik irah ga masak nasi lebih, ya, Al?" Papa beranjak masuk. Aku berusaha menahan tawa. Papa mengajak orang makan tapi, ga punya nasi. Orang yang punya otak, pasti akan paham maksud papa mertuaku itu."Ga usah, Om. Lain kali aja. Nanti Aina mampir lagi." Tak lama perempuan itu pamit.Aku dan Mama mengantarkanku ke pintu, lalu kami sama-sama kembali masuk dan masuk ke ruang makan."Kamu ini, giman
Bayang-bayang Aina mengusik hatiku. Ternyata perempuan itu sudah keluar dari penjara. Kini penampilannya juga jauh berbeda. Tak ada lagi rambut panjang bergelombang dengan bibir bergincu merah menghiasi wajah.Yang tampak wajah dengan riasan sederhana dibalut kain panjang dan baju longgar seperti yang kukenakan. Tak terlihat apakah perutnya besar atau tidak karena seingatku waktu ditangkap, Aina dalam keadaan hamil. Ah, kenapa dia yang kupikirkan? Tapi, aneh saja. Kenapa dia datang ke restoran? Lalu menatapku dengan tatapan seperti itu. Seolah sedang mengatakan "Aku kembali!"Sudahlah, aku yakin setiap episode kehidupan akan menemukan ujiannya masing-masing. Dan aku sangat percaya, jika aku sanggup melewatinya."Alina, makan dulu, Nak. Ini Mama buatkan sop hangat untuk kamu." Teriakan Mama terdengar dari luar. Aku yang sedari pulang dari resto masih rebahan di kamar. Langsung bangkit dan berjalan ke pintu."Iya, Ma.""Sini, Sayang. Kamu pasti lapar. Mama masak sop iga sapi muda. Hmmm
Aku ingin melawan, tapi rasa sakit ini membuatku tak sanggup bangkit lagi. Doa minta pertolongan tak henti-hentinya aku lafaskan. Hanya pertolongan Allah yang saat ini aku harapkan. Sakit di perut makin menggila. Hingga aku merasa ada yang basah dibawah sana. Ya Allah, kenapa ini? Mencoba meraba, ada warna merah ditanganku. Ya Allah, aku kenapa?Ketika, Alex hendak mendekat lagi, pintu tiba-tiba terbuka dengan kencang hingga menimbulkan suara gaduh Karena pertemuan kayu dengan tembok itu.Beberapa orang laki-laki masuk dan langsung menghajar Alex. Sementara aku tak kuasa lagi menahan rasa sakit di perut."Cepat angkat! Korban mengalami pendarahan." Aku hanya mendengar teriakan itu sebelum semua menjadi gelap.****"Kamu sudah sadar, Sayang? Alhamdulillah, ya Allah..."Mas Ubay mengabaikan pertanyaanku. Laki-laki itu menciumi wajahku, lalu meraih tangan dan menggenggamnya erat. Ada air yang mengambang di matanya."Makasih, ya Allah. Makasih, Sayang, kamu sudah bertahan demi kita, demi
Aku terbangun dalam ruangan serba putih. Kepala masih sedikit pusing. Perlahan aku menoleh mengitari setiap sisi ruangan ini. Sepi, hanya aku sendiri di sini. Tak lama, terdengar samar-samar suara obrolan dari luar. Meski sangat pelan tapi masih dapat kudengar dengan jelas.Aku tersenyum tipis mendengar jawaban Mas Ubay atas permintaan perempuan yang dapat kupastikan itu adalah Aisyah. Silahkan saja coba rebut dia dariku. Aku telah menyerahkan hatiku dan cinta kami pada Allah. Dengan seyakin-yakinnya aku berkata, jika Mas Ubay akan menjadikan aku istri satu-satunya yang akan mendapatkan penghargaan berupa cinta darinya.Terlepas, jika kelak Allah takdirkan dia bersanding dengan perempuan lain, nyatanya cinta kami sudah terlebih dahulu terpupuk bersama.Aku mencoba menulikan pendengaran, seharusnya Aisyah lebih mengerti tempat untuk mengutarakan isi hati. Aku yang kini lemah tak berdaya butuh dukungan untuk bangkit dan melupakan kenangan pahit saat Alex berusaha menjadikan aku wanita
"Cucu saya gimana, Dok?" lirih Mama yang tampak ripuh."Alhamdulillah, sejauh ini dia masih bertahan. Bantu do'a saja ya, Bu. Ini karena Bu Alina banyak kehilangan darah, juga mengalami dehidrasi. InsyaAllah semua akan baik-baik saja."Semua bernafas lega. Alhamdulillah, Alinaku memang wanita kuat, dia wanita hebat yang pernah kutemui. Aku yakin dia akan sembuh dan jauh lebih kuat."Ma, Mama, Papa juga Lea, pulang saja. Biar Ubay yang menjaga Alina di sini.""Mama juga mau di sini.""Ma, Mama harus menjaga kesehatan. Mama sebentar lagi akan punya dua cucu dari Ubay, dan dua cucu dari Lea. Jangan sampai Alina melihat mama dalam keadaan pucat karena kelelahan.""Benar, Ma. Kita pulang, biar Ubay menjaga Alina. Besok pagi-pagi kita kesini. Mudah-mudahan Alina sudah sadar."Akhirnya malam itu aku sendiri menjaga Alina. Jam delapan malam, ada telepon dari Pak Freddy. Aku bergegas keluar agar tidak menganggu tidur Alina."Saya ikut prihatin dengan apa yang terjadi dengan Pak Baihaqi. Saya h
Mama menangis melihat Alina yang masih belum sadarkan diri. Terpaksa aku menyampaikan kejadian yang sebenarnya kepada Mama. Walau sebenarnya tak tega. Tapi, jika nanti ada terjadi hal yang tak di inginkan aku tak mau Mama ngedown."Maafkan Ubay, Ma," lirihku.Mama terisak memelukku."Kamu kalau ada apa-apa kasih tau, Mama. Bagaimana pun Alina anak Mama, menantu Mama. Mama pasti akan mengusahakan yang terbaik untuknya. Kalau sudah begini, terjadi apa-apa dengannya gimana?""Sudah, Ma. Ubay memikirkan kesehatan Mama. Jangan salahin dia terus." Papa berusaha menenangkan Mama. Aku tertunduk, "sabar Bang, Mama hanya syok!" lirih Lea menenangkan."Gimana Mas, apa dalangnya sudah tertangkap?" tanya Arsyad."Belum, Ar. Menurut teman gw yang bekerjasama dengan polisi, orang itu melarikan diri keluar negeri.""Memang siapa dalangnya, Bay?" sahut Papa."Wiliam, Pa."Daniel sudah memastikan jika pelaku adalah William, dan seorang perempuan yang juga pengusaha seperti dirinya. Chaterine, perempua
Sesampainya di sana, gerbang rumah itu terbuka lebar. Sebuah mobil polisi sudah parkir di halaman dan beberapa mobil lain yang kupastikan itu mobil Daniel dan anak buahnya. Ternyata mereka sudah mengrebek rumah itu. Seorang laki-laki yang sangat kukenal sudah dalam kondisi terborgol. "Daniel, mana Alina?""Alina sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Lu susul ke sana. Gw sedang melacak otak dibalik semua ini. Tadi istri lu pingsan. Gw takut terlambat jika menunggu lu, sebab, istri lu pendarahan.""Innalilahi, pendarahan?""Iya, buruan lu ke sana. Laki-laki kurang aj*r ini berusaha menodai istri lu, untung Alina bisa bertahan sampai gw dan polisi datang."Bugh! Sebuah pukulan kulayangkan pada Alex sesaat setelah mendengar penjelasan Daniel."Biad*b!""Sabar, Pak! Kami dari pihak kepolisian yang akan menangani laki-laki ini dan menghukum sesuai hukum yang berlaku." Pak polisi itu mengiring Alex menjauh."Gimana rasanya perempuan bekasku!" ujar Alex dengan wajah yang sudah babak belur.