Apa yang dikatakan Tante Irma membuatku tidak tenang. Meski Mama sebentar lagi bukan Mertuaku lagi, tapi aku tetap menyayanginya. Apa yang harus aku lakukan? Menurut Tante Irma, Raisa sering menolak Tante untuk mengunjungi Mama, berdalih Mama lagi istirahat ."Kenapa Tante tidak marahin dia? Tante kan adiknya Mama." aku gregetan mendengar cerita Tante Irma."Ada Gunawan, Al. Gunawan lebih mendengarkan kata perempuan itu. Pantas Mbak Tety ga pernah menyetujui pernikahan mereka, perempuan itu licik." Nah, kan benar firasatku.Aku sendiri bingung apa yang harus dilakukan. Dengan Tante Irma saja dia berani, apalagi aku, yang bahkan dengan santai dianggap pelakor olehnya."Bagaimana kalau kita pasang cctv secara diam-diam, Tante?" usulku."Caranya? Dia kan selalu dirumah, Al? Pintu selalu terkunci, bahkan sering dia tak menjawab panggilan Tante." ujar Tante frustasi.Ya Allah, sampai segitunya. Aku meremas jariku, gregetan sekali."Nanti Alina pikirkan dulu caranya ya, Tan.""Alina, Tante
"Pergi sana! Pelakor!" Mulutnya terus mengeluarkan kata-kata kotor.Aku terus mendorong hingga tiba-tiba tak sengaja Raisa terbanting ke belakang.Bugh!perempuan itu meringgis."Ingat, ya! Aku juga punya hak yang sama disini, sampai kami sah bercerai!" Aku menunjuk tajam ke arah wanita itu, belum tau dia aku juga bisa kasar kalau sudah tak tahan. Wajahnya memerah, rambutnya awut-awutan, sebagian menutupi wajah. Raisa mendengkus, untung saja anaknya baru datang setelah kericuhan itu terjadi. Sepertinya dia dikamar memainkan ponsel Mamanya yang tergeletak sembarangan. Hingga saat aku hendak berlalu, ada benda pipih itu ditangan si gadis.Kamar Mama terkunci dari luar, untung kuncinya masih nyantol disana. Astaghfirullah, tega sekali dia.Aku membuka kunci lalu memutar kenop pintu. Seketika bau tak sedap menyeruak masuk ke hidung. Sesosok wanita kurus tengah terbaring, matanya menatapku, tapi tak mengucapkan sepatah kata pun."Ya Allah, Mama ..." Aku berlari menghampirinya. Meraih tan
Mata Mas Gunawan membeliak melihat punggung Mama dan bagian bawahnya yang melepuh dan terluka. Rahang lelaki itu mengeras."Mas, kamu lihat ini lebam? Tubuh Mama biru-biru, apa kamu yakin jika Mama terjatuh? Sementara Mama sama sekali tak bisa bergerak? Jatuh apa dijatuhkan? Atau jangan-jangan di buat jatuh? Mungkin juga dipukuli karena merasa merawat Mama sebagai sebuah beban." Aku memperlihatkan bagian tubuh Mama yang memang menampakkan lebam biru yang memang agak samar dan melepuh di sebagian tubuh belakangnya.Nafas Mas Gunawan menderu, sambil melirik ke arah Raisa yang wajahnya makin memucat."Mas Sayang, kamu harus percaya aku. Aku ga mungkin menyakiti Mama yang merupakan orang tua kamu. Mamamu juga Mamaku, mana mungkin aku tega berbuat seperti itu." rayuan busuk wanita itu mulai membuat wajah yang tadi siap menyemburkan amarah kembali tenang."Soal punggung Mama, terkadang aku ga kuat untuk mengangkat tubuh Mama sekedar untuk tidur miring. Dan bagian bawah Mama yang luka, kuli
"Apa benar jika, pak Gunawan telah menikah lagi, Bu?Pak Adrian yang merupakan bos dari Mas Gunawan menatapku lekat. Aku menunduk seolah pertanyaan itu sebuah luka yang sedang berdenyut nyeri. Melihat aku yang masih diam, Pak Adrian kembali melanjutkan kata."Sebenarnya, perusahaan ini sudah sejak lama berkomitmen dengan peraturan untuk tidak menerima karyawan yang memiliki istri lebih dari satu, karena akan menganggu kinerja dalam mereka bekerja. Saya sedikit kecewa dengan Pak Gunawan, Kenapa dia malah menyembunyikan dari saya."Tampak pria yang masih terlihat muda itu sangat kecewa."Maaf Pak, jangankan pada Bapak. Saya saja juga baru tau. Selama bertahun-tahun dia menyembunyikan perempuan itu. Dan beberapa bulan belakangan ini dia membawanya tinggal tak jauh dari tempat tinggal Mamanya.""Jadi, Ibu juga baru tau?"Aku mengangguk."Ya Allah ..." Desisnya."Sebelumnya saya mohon maaf kepada ibu. Jika pak Gunawan terpaksa kami keluarkan dari perusahaan ini. Kami khawatir dia akan menj
Mama sudah ditangani dokter. Hari sudah mulai gelap. Namun belum ada kabar dari teman-temanku. Kini aku dan Tante Irma duduk di ruang tunggu."Sayang, Tante ga tau gimana harus membalas kebaikan kalian. Tante benar-benar berterima kasih atas bantuan kamu dan teman-temanmu itu, Nak.""Tante, itu sudah kewajiban Alina sebagai anak. Tante jangan berpikir yang tidak-tidak, tak ada balas budi, kita ini keluarga."Tante Irma langsung memelukku sambil menangis haru."Sungguh merugi Gunawan menyia-nyiakan kamu, Sayang. Kamu itu wanita berhati mulia."Aku tersenyum tipis. Tapi, kisah hidupku tak semanis Cinderella, yang akhirnya bertemu pangeran tampan. Aku hanya wanita yang dipunggut lalu dicampakkan. Mungkinkah karena aku mandul seperti yang Raisa katakan, Mas Gunawan lebih memilih mempertahankan Raisa dari pada aku? ah, nasib cinta yang mengenaskan."Al, kenapa melamun?" Tante Irma mengejutkan lamunanku. Aku langsung menoleh."Kamu lagi mikirin apa, Sayang. Bicaralah pada Tante, jadikan Tan
Berulang kali kuputar video itu. Memastikan jika aku tidak salah dengar."Ini mah si Siti, Siti Nurlela, kita manggilnya Siti. Kalau Raisa Humaira teh, adiknya. Udah lama meninggal waktu masih kecil. Kabarnya jatuh di Empang. Tapi, kalau dilihat mah seperti habis di siksa. Tapi, ya gitu kita kan orang luar, ga tau apa-apa." ujar wanita tua yang hampir separuh rambutnya sudah memutih itu, ketika melihat foto Raisa."Jadi, ini bukan Raisa, Mbah?""Ya jelas bukan! Raisa udah meninggal kok. Mbah ikut dalam pemakamannya.""Lalu orang tua Raisa eh, Siti ini dimana, Mbah?""Setelah Raisa meninggal. Si Siti ngilang entah kemana. Yang Mbah tau, Mak sama Bapaknya nyariin dia ke Jakarta. Karena dapat kabar Siti naik bis ke Jakarta.""Jadi, orang tuanya juga tak ada di kampung ini?" "Engga, udah lama ga. Itu rumahnya di ujung jalan. Udah lapuk, tak ada yang merawat." ujar si Mbah sambil menunjuk ke ujung jalan.Video berdurasi hampir lima menit itu membuatku benar-benar tak habis pikir. Bagaiman
POV Gunawan"Kamu yakin, bisa merawat Mama?" Ujarku pada Raisa wanita yang lima tahun ini sudah kunikahi secara siri meski tanpa persetujuan Mama."Yakin lah! Masa merawat Mama aja aku ga bisa." Wanita yang tak lagi memakai kerudungnya itu terus mengoles lipstik di bibirnya."Kalau kamu merasa ga mampu, biar aku carikan pembantu. Jangan sampai kejadian seperti kemarin lagi. Aku ga mau Alina makin memojokkan kamu."Sejak Alina datang waktu itu, aku mulai sedikit lebih perhatian pada Mama. Aku lebih cerewet pada Raisa. Berharap dia merawat Mama dengan sepenuh hati. Karena upaya membujuk Alina untuk tetap menjadi istriku, sepertinya sia-sia. Dia sudah mendaftarkan gugatan cerai ke pengadilan, bahkan sudah memasuki sidang kedua."Pelakor itu, memang selalu mencari celah. Setelah gagal merebut Mama, sekarang dia berusaha mengambil perhatian Tante Irma. Pasti ingin agar Tante Irma memihak dia dan mengambil semua harta milik Mama.""Jangan berburuk sangka, Alina tak seperti itu.""Kamu membe
"Gimana rasanya?" perempuan yang menendangku berucap angkuh.Aku tak bisa menjawab, ngilu ini masih menyiksa begitu juga malu sekali rasanya."Lea! Elu ini apa-apaan. Kalau dia mati gimana? Kantung ajaibnya ditendang begitu." bentak Pak Baihaqi yang mulai mendekat."Mati ya dikubur lah, Bang. Masa dipajang." Ketusnya cuek.Astaga, perempuan macam apa yang menjadi teman Alina."Lagi pula, dia bawa pisau, mau membunuh Alina.""Serius, Lu!""Iya, tuh pisaunya!" Perempuan itu memungut pisau yang tergeletak di lantai tak jauh dariku.Pak Baihaqi baru datang memang tidak melihat bagian awal. Dia tidak tahu jika aku membawa sebuah pisau lipat di saku celanakul"Oh, jadi ini mantan suami Alina yang punya istri dua itu."Lelaki itu setengah jongkok di depanku. Matanya menatapku lekat, seakan sedang mengingat ingat sesuatu."Saya pernah melihat kamu, tapi saya lupa dimana." Ujarnya kemudian. Aku tak berani mengatakan siapa aku sebenarnya, bisa-bisa Pak Baihaqi melaporkan aku pada Pak Adrian ka
Perjalanan pun kami lakukan, menikmati alam meski kami tengah diberi ujian olehNya. "Kenikmatan kita itu lebih banyak dari pada ujian yang Allah berikan, Sayang. Jangan berkecil hati. InsyaAllah akan ada kemudahan dibalik kesulitan. Nadiva akan menjadi gadis cantik seperti bundanya." Mas Ubay tak henti-hentinya menguatkanku.Bahkan saat Nadiva dibawa ke ruang operasi, dia selalu menjadi tempatku bersandar. Air mata tak kunjung habis mengingat bayiku sedang dalam perawatan.Hafidz dan Bude Tia menunggu di hotel. Aku percaya bude Tia akan menjaga Hafidz selama kami dirumah sakit.Sekitar 3 jam, Nadiva selesai di operasi. Alhamdulillah, Operasinya berjalan lancar. Hanya saja menurut dokter nanti perlu terapi wicara untuk Nadiva. Namun, dokter menyakinkan jika bekas operasi itu tak akan menganggu penampilan Nadiva kelak. Teknologi sudah canggih, apapun bisa tampak sempurna saat ini. Hanya butuh uang saja.***Hari berlalu, tahun berganti.Nadiva sudah menginjak usia 4 tahun. Memang ada s
Kelahiran Nadiva Az-Zahra anak perempuan keduaku menjadi harapan yang seakan kandas. Nadiva lahir dengan keadaan fisik yang tak sempurna. Bibir dan langit-langit mulut Nadiva tidak normal. Orang biasa menyebutnya bibir sumbing. Awalnya aku menangis mengetahui hal itu. Apalagi tampak gurat kecewa diwajah Mama.Bersyukur Mas Ubay selalu menguatkan hatiku."Semua ciptaan Allah itu indah, bersyukur hanya secuil kekurangan ini saja yang Allah berikan pada kita. Tak usah berkecil hati. Nanti kita cari solusi gimana Nadiva bisa tumbuh menjadi gadis yang percaya diri."Mama agak acuh padaku, lebih sering ke rumah Lea yang juga telah melahirkan. Anak Lea laki-laki. Tampan dan sempurna, Mama selalu membicarakan perkembangan Hasan anak kedua Lea itu.Aku lebih sering menghindar dari obrolan itu. Menyibukkan diri di dapur atau pura-pura sedang menyusui Nadiva.Melihat keadaan itu, Mas Ubay memutuskan untuk sementara kami menempati rumah kami yang telah lama kosong.Mama keberatan, tapi kali ini M
"Kalau ada niat mah, apa saja bisa, Ma! Mau tinggal disebelah rumah kita, juga pasti mampu." sahut Papa yang baru datang dari kamarnya."Eh, Om. Apa kabar, Om?""Sehat! Apalagi sejak ada Alina di sini. Berdua dengan mamanya Ubay, cerewetin Om untuk makan makanan sehat dan rutin minum vitamin."Aina mencebikkan bibirnya. Walau segera dia tersenyum setelah itu. Tapi, hati kecilku berkata jika Aina datang bukan membawa keberkahan sebagai seorang tamu. Namun, sedang menunjukkan eksistensinya sebagai wanita pelakor sejati. "Nak Aina mau makan di sini? Kebetulan kami mau makan siang. Tapi, kayaknya bik irah ga masak nasi lebih, ya, Al?" Papa beranjak masuk. Aku berusaha menahan tawa. Papa mengajak orang makan tapi, ga punya nasi. Orang yang punya otak, pasti akan paham maksud papa mertuaku itu."Ga usah, Om. Lain kali aja. Nanti Aina mampir lagi." Tak lama perempuan itu pamit.Aku dan Mama mengantarkanku ke pintu, lalu kami sama-sama kembali masuk dan masuk ke ruang makan."Kamu ini, giman
Bayang-bayang Aina mengusik hatiku. Ternyata perempuan itu sudah keluar dari penjara. Kini penampilannya juga jauh berbeda. Tak ada lagi rambut panjang bergelombang dengan bibir bergincu merah menghiasi wajah.Yang tampak wajah dengan riasan sederhana dibalut kain panjang dan baju longgar seperti yang kukenakan. Tak terlihat apakah perutnya besar atau tidak karena seingatku waktu ditangkap, Aina dalam keadaan hamil. Ah, kenapa dia yang kupikirkan? Tapi, aneh saja. Kenapa dia datang ke restoran? Lalu menatapku dengan tatapan seperti itu. Seolah sedang mengatakan "Aku kembali!"Sudahlah, aku yakin setiap episode kehidupan akan menemukan ujiannya masing-masing. Dan aku sangat percaya, jika aku sanggup melewatinya."Alina, makan dulu, Nak. Ini Mama buatkan sop hangat untuk kamu." Teriakan Mama terdengar dari luar. Aku yang sedari pulang dari resto masih rebahan di kamar. Langsung bangkit dan berjalan ke pintu."Iya, Ma.""Sini, Sayang. Kamu pasti lapar. Mama masak sop iga sapi muda. Hmmm
Aku ingin melawan, tapi rasa sakit ini membuatku tak sanggup bangkit lagi. Doa minta pertolongan tak henti-hentinya aku lafaskan. Hanya pertolongan Allah yang saat ini aku harapkan. Sakit di perut makin menggila. Hingga aku merasa ada yang basah dibawah sana. Ya Allah, kenapa ini? Mencoba meraba, ada warna merah ditanganku. Ya Allah, aku kenapa?Ketika, Alex hendak mendekat lagi, pintu tiba-tiba terbuka dengan kencang hingga menimbulkan suara gaduh Karena pertemuan kayu dengan tembok itu.Beberapa orang laki-laki masuk dan langsung menghajar Alex. Sementara aku tak kuasa lagi menahan rasa sakit di perut."Cepat angkat! Korban mengalami pendarahan." Aku hanya mendengar teriakan itu sebelum semua menjadi gelap.****"Kamu sudah sadar, Sayang? Alhamdulillah, ya Allah..."Mas Ubay mengabaikan pertanyaanku. Laki-laki itu menciumi wajahku, lalu meraih tangan dan menggenggamnya erat. Ada air yang mengambang di matanya."Makasih, ya Allah. Makasih, Sayang, kamu sudah bertahan demi kita, demi
Aku terbangun dalam ruangan serba putih. Kepala masih sedikit pusing. Perlahan aku menoleh mengitari setiap sisi ruangan ini. Sepi, hanya aku sendiri di sini. Tak lama, terdengar samar-samar suara obrolan dari luar. Meski sangat pelan tapi masih dapat kudengar dengan jelas.Aku tersenyum tipis mendengar jawaban Mas Ubay atas permintaan perempuan yang dapat kupastikan itu adalah Aisyah. Silahkan saja coba rebut dia dariku. Aku telah menyerahkan hatiku dan cinta kami pada Allah. Dengan seyakin-yakinnya aku berkata, jika Mas Ubay akan menjadikan aku istri satu-satunya yang akan mendapatkan penghargaan berupa cinta darinya.Terlepas, jika kelak Allah takdirkan dia bersanding dengan perempuan lain, nyatanya cinta kami sudah terlebih dahulu terpupuk bersama.Aku mencoba menulikan pendengaran, seharusnya Aisyah lebih mengerti tempat untuk mengutarakan isi hati. Aku yang kini lemah tak berdaya butuh dukungan untuk bangkit dan melupakan kenangan pahit saat Alex berusaha menjadikan aku wanita
"Cucu saya gimana, Dok?" lirih Mama yang tampak ripuh."Alhamdulillah, sejauh ini dia masih bertahan. Bantu do'a saja ya, Bu. Ini karena Bu Alina banyak kehilangan darah, juga mengalami dehidrasi. InsyaAllah semua akan baik-baik saja."Semua bernafas lega. Alhamdulillah, Alinaku memang wanita kuat, dia wanita hebat yang pernah kutemui. Aku yakin dia akan sembuh dan jauh lebih kuat."Ma, Mama, Papa juga Lea, pulang saja. Biar Ubay yang menjaga Alina di sini.""Mama juga mau di sini.""Ma, Mama harus menjaga kesehatan. Mama sebentar lagi akan punya dua cucu dari Ubay, dan dua cucu dari Lea. Jangan sampai Alina melihat mama dalam keadaan pucat karena kelelahan.""Benar, Ma. Kita pulang, biar Ubay menjaga Alina. Besok pagi-pagi kita kesini. Mudah-mudahan Alina sudah sadar."Akhirnya malam itu aku sendiri menjaga Alina. Jam delapan malam, ada telepon dari Pak Freddy. Aku bergegas keluar agar tidak menganggu tidur Alina."Saya ikut prihatin dengan apa yang terjadi dengan Pak Baihaqi. Saya h
Mama menangis melihat Alina yang masih belum sadarkan diri. Terpaksa aku menyampaikan kejadian yang sebenarnya kepada Mama. Walau sebenarnya tak tega. Tapi, jika nanti ada terjadi hal yang tak di inginkan aku tak mau Mama ngedown."Maafkan Ubay, Ma," lirihku.Mama terisak memelukku."Kamu kalau ada apa-apa kasih tau, Mama. Bagaimana pun Alina anak Mama, menantu Mama. Mama pasti akan mengusahakan yang terbaik untuknya. Kalau sudah begini, terjadi apa-apa dengannya gimana?""Sudah, Ma. Ubay memikirkan kesehatan Mama. Jangan salahin dia terus." Papa berusaha menenangkan Mama. Aku tertunduk, "sabar Bang, Mama hanya syok!" lirih Lea menenangkan."Gimana Mas, apa dalangnya sudah tertangkap?" tanya Arsyad."Belum, Ar. Menurut teman gw yang bekerjasama dengan polisi, orang itu melarikan diri keluar negeri.""Memang siapa dalangnya, Bay?" sahut Papa."Wiliam, Pa."Daniel sudah memastikan jika pelaku adalah William, dan seorang perempuan yang juga pengusaha seperti dirinya. Chaterine, perempua
Sesampainya di sana, gerbang rumah itu terbuka lebar. Sebuah mobil polisi sudah parkir di halaman dan beberapa mobil lain yang kupastikan itu mobil Daniel dan anak buahnya. Ternyata mereka sudah mengrebek rumah itu. Seorang laki-laki yang sangat kukenal sudah dalam kondisi terborgol. "Daniel, mana Alina?""Alina sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Lu susul ke sana. Gw sedang melacak otak dibalik semua ini. Tadi istri lu pingsan. Gw takut terlambat jika menunggu lu, sebab, istri lu pendarahan.""Innalilahi, pendarahan?""Iya, buruan lu ke sana. Laki-laki kurang aj*r ini berusaha menodai istri lu, untung Alina bisa bertahan sampai gw dan polisi datang."Bugh! Sebuah pukulan kulayangkan pada Alex sesaat setelah mendengar penjelasan Daniel."Biad*b!""Sabar, Pak! Kami dari pihak kepolisian yang akan menangani laki-laki ini dan menghukum sesuai hukum yang berlaku." Pak polisi itu mengiring Alex menjauh."Gimana rasanya perempuan bekasku!" ujar Alex dengan wajah yang sudah babak belur.