"Maafkan adik saya, Bu Alina. Padahal saya sudah berusaha untuk memberikan pengertian padanya. Bahwa, Pak Baihaqi sudah punya istri dan tak akan menikah untuk kedua kalinya. Tapi, Aisyah seakan mati hatinya untuk memahami itu," ujar Ustadz Malik frustasi.Setelah acara kemarin, Ustadz muda itu berkunjung ke rumah. Dia sangat merasa malu akan kelakuan Aisyah yang datang ke rumah di saat aku dan Mama berada di pondok. Mas Ubay yang panik, menutup pintu dan menelpon Ustadz Malik agar adiknya segera di bawa pulang. Dari rekaman cctv aku melihat Mas Ubay tampak sangat marah. Bahkan mengomeli Aisyah."Tak apa-apa, Ustadz. Bukan salah Ustadz. Mungkin pesona Mas Ubay saja yang membuat Aisyah tak mampu menahan diri. Sejujurnya saya siap berpoligami, jika memang sesuai syariat. Tapi, saya tak bisa memaksa suami. Karena dialah imam yang akan bertanggung jawab atas istri-istrinya.""Saya paham, Bu. Saya juga tak ingin Aisyah menjadi orang ketiga di dalam rumah tangga Ibu dan Pak Baihaqi. Saya san
Aku pun langsung mengirim pesan pada Yati. Yati yang sedari awal diminta untuk melaporkan setiap kejadian buruk yang di alami Lea itu menjawab pesanku. Katanya Lea hari ini tak ke kantor. Dan dari Yati juga aku tau, Lea baik-baik saja. Sikap sang mertua juga sudah mulai menghangat. Meski kata Yati lagi, perempuan bernama Tasya itu masih suka datang ke rumah Ibu Arsyad. Kejadian yang sama persis dengan apa yang kurasakan saat itu.Mendengar pesan Yati itu, Mama sedikit tenang. Dan memutuskan untuk membatalkan rencananya ke rumah mertua Lea tersebut."Begini rasanya punya anak perempuan, ya Al. Walau sudah punya suami, tetap saja rasanya masih punya kewajiban untuk menjaganya," Lirih Mama."Alina ga tau, Ma. Kan belum punya anak perempuan. Baru dalam proses pembuatan,"Mas Ubay yang tiba-tiba datang langsung menyahut ucapan Mama."Ucapin salam dulu, dong, Mas!" Protesku saat melihat Mas Ubay datang tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu."Eh, Iya. Assalamu'alaikum ..."Serentak kami me
Kehamilan kedua Lea disambut bahagia oleh Mama, begitu juga denganku dan Mas Ubay. Meski Lea memilih tinggal di rumah mertuanya, tampaknya dia bahagia. Entah bagaimana cara Lea menaklukkan Ibunya Arsyad itu."Kamu di sini saja, Nak. Kasian Alifa di bawa-bawa terus.""Gapapa, Ma. Kan ada Mbak Yati yang menjaga."Memang Mbak Yati selalu ikut kemana pun jika Lea sedang tak bekerja. "Kalau bisa kamu istirahat saja di rumah. Perusahaan biar Ubay yang nanganin.""Yah, gw lagi!" gumam Mas Ubay. "Ubay, sama adiknya sendiri begitu! Sama saudara itu harus saling membantu. Gimana kalau nanti ga ada Mama dan Papa. Kalian jangan sampai bertengkar terus."Lea tersenyum."Tenang, Bang. Lea akan berusaha untuk tidak merepotkan Abang lagi. Sudah besar, sudah jadi Emak-emak.""Kalau ada apa-apa, ngomong aja, Le. Masa iya Mas Ubay ga mau bantu. Ayahnya Hafidz kan baik hati dan tidak sombong, rajin membantu.""Huu ... Kalau ada maunya aja, bilang Mas Ubay baik hati," Mas Ubay mencebik."Faktanya begitu
Kami masuk ke ruangan. Rumah besar itu seperti aula yang sudah dipenuhi oleh orang-orang yang sudah duduk di meja masing-masing.Melihat kami datang, beberapa mata menatap aneh. Mas Ubay dengan bangga meraih lenganku dan berjalan bergandengan menuju Pak Adrian yang berada di ujung. Sepertinya sedang asik ngobrol dengan orang-orang penting, terlihat dari pakaian yang mereka kenakan. Setelan jas dan dasi yang masih melekat."Wah, Pak Baihaqi. Akhirnya datang, juga.".Pak Adrian menyambut kami dan menyalami Mas Ubay. Ketika hendak menyalamiku, aku menangkupkan tangan di dada. Pak Adrian tampak kaget, lalu tersenyum sambil melakukan hal yang sama denganku."Ini Pak Baihaqi, pemilik HQ Coorporation?" Seorang laki-laki yang hampir separuh kepalanya tak ada rambut itu menunjuk Mas Ubay."Betul, Pak. Ini pengusaha muda yang sukses itu," sahut Pak Adrian.Laki-laki itu bangkit lalu mendekat. "Saya William, pemilik Perusahaan Gardamas jaya abadi." Dia memperkenalkan diri.Mas Ubay menyambut de
"Mikirin apa, Sayang?" Mas Ubay duduk disampingku, yang tengah duduk menghadap akurium kecil.Kini sebuah akuarium mini sengaja dia letakkan di atas meja di dalam kamar. Aku suka melihat ikan dengan warna-warna indah berenang ke sana sini. Aku sering mengajak Hafidz duduk dalam pangkuanku. Lalu bercerita tentang banyak hal. Cerita-cerita positif yang membuat Hafidz betah berlama-lama walau aku yakin hafidz belum sepenuhnya paham. Terkadang, sambil mengingat hafalan Al Qur'an lalu membaca terbata-bata sambil menatap binatang kecil itu hilir mudik."Ga mikirin apa-apa Mas, seneng aja lihat ikan-ikan itu." Aku kembali menatap ikan itu takjub. "Mas, mas pernah berpikir ga, jika kita itu seperti ikan di akuarium ini?" Mas Ubay menggeleng."Kenapa bisa seperti ikan?""Iya, air tempat mereka berenang ibarat dunia. Kemana pun dia pergi, kita bisa perhatikan, meski berenang ke dasar akurium ataupun muncul ke permukaan. Semua dapat kita lihat tanpa ada penghalang.""Lalu?""Ya, kita pun sama.
"Namanya Jody?" gumamku sambil manggut-manggut."Kenapa? Suka sama laki-laki itu?" Ledeknya."Astaghfirullah, Mas. Masa aku akan membagi hati dengan laki-laki seperti itu. Innalilahi!" Mas Ubay tertawa terbahak-bahak. Pantas Mas Ubay tak kenal dengan lelaki itu. Karena dia tau nama laki-laki yang meninggalkan aku di acara resepsi pernikahan dulu itu, Alex, bukan Jody. Padahal, mereka adalah orang yang sama, Alex Jodyantara.Setidaknya dari obrolan kami tadi, aku tau bagaimana akhir dari dia yang telah membuatku dulu menderita. Mungkin itu akibat dari mempermainkan acara yang sakral yang seharusnya menjadi momen indah yang tak akan terlupakan bagiku. Naas justru menjadi kenangan pahit, walau akhirnya mengantarkanku pada keadaan sekarang. Itulah takdir.***"Ma, Alina hari ini ke restoran dulu, ya. Sudah lama tak kesana. Mama mau ikut?""Mama lagi kurang sehat, Sayang. Kamu sendiri aja bisa? Apa mau Mama telepon Ubay, biar dia mengantar kamu?""Ga usah, Ma. Gapapa, Alina sendiri saja.
POV Baihaqi."Alina mana, Ma?" tanyaku ketika melihat Mama sedang mengendong Hafidz yang rewel. Aku baru saja pulang dari kantor. Seharian banyak laporan yang harus aku periksa sehingga tak sempat menelpon Alina."Itulah, dari tadi Mama telpon tapi nomornya ga aktif," sahut Mama cemas."Memang Alina kemana?" Tanyaku mengambil alih hafidz setelah aku mencuci tangan di westafel."Tadi ke restoran, lalu ke rumah Lea.""Oh, jadi, Ma?""Alina ga pamit sama kamu?""Iya, tadi pagi Alina minta ijin. Ubay ga bisa anter, Ubay pikir Alina ga jadi berangkat. Hari ini Ubay sibuk sekali, jadi lupa menelpon Alina.""Coba kamu telepon sekarang!" titah Mama.Hafidz kuserahkan pada Bik Irah yang baru datang. "Coba bikinkan susu dulu, Bik. Barangkali hafidz haus.""Baik, Tuan." Bik Irah membawa Hafidz ke kamar sambil terus membujuk-bujuknya. "Sedari tadi, Hafidz rewel. Tak biasanya seperti itu," adu Mama.Perasaanku mulai tak tenang. Nomor telepon Alina tidak aktif. Aku mencoba menghubungi Lea, juga s
"Salah satu dari kalian ga ada yang melihat?""Ga ada, Pak. Semua pada ga ngeh dengan kejadian itu. Bahkan tak ada yang sadar jika Bu Alina sudah pergi. Sampai beliau lupa membawa makanan untuk Bu Lea."Astaghfirullah ... Kemana Alina. Tak mungkin Alina pergi dengan laki-laki lain. Itu sangat mustahil, Alina bukan perempuan murahan seperti itu. Lalu, kemana dia? Kenapa bisa hilang begitu saja.Aku meremas rambutku. Ya Allah, jagalah istriku. Istri yang begitu aku sayangi. Bahkan, aku rela berdusta hanya agar dia tak terluka.Sebenarnya aku tau Jody itu adalah Alex. Bagaimanapun dia mengubah penampilan, memakai tato, dan baju yang seperti preman itu. Aku tetap mengenalinya. Laki-laki naas, setelah dibuang oleh Pak Freddy justru sekarang dia menjadi gig*l*. Pem*as nafs* wanita Gil* seperti Catherine. Namun, demi menjaga perasaan Alina, aku sengaja tak menjawab jujur. Meski aku tau Alina sedang memancingku saat itu."Coba cari sekali lagi diruangan Alina, Mbak! barangkali Alina ketiduran
Perjalanan pun kami lakukan, menikmati alam meski kami tengah diberi ujian olehNya. "Kenikmatan kita itu lebih banyak dari pada ujian yang Allah berikan, Sayang. Jangan berkecil hati. InsyaAllah akan ada kemudahan dibalik kesulitan. Nadiva akan menjadi gadis cantik seperti bundanya." Mas Ubay tak henti-hentinya menguatkanku.Bahkan saat Nadiva dibawa ke ruang operasi, dia selalu menjadi tempatku bersandar. Air mata tak kunjung habis mengingat bayiku sedang dalam perawatan.Hafidz dan Bude Tia menunggu di hotel. Aku percaya bude Tia akan menjaga Hafidz selama kami dirumah sakit.Sekitar 3 jam, Nadiva selesai di operasi. Alhamdulillah, Operasinya berjalan lancar. Hanya saja menurut dokter nanti perlu terapi wicara untuk Nadiva. Namun, dokter menyakinkan jika bekas operasi itu tak akan menganggu penampilan Nadiva kelak. Teknologi sudah canggih, apapun bisa tampak sempurna saat ini. Hanya butuh uang saja.***Hari berlalu, tahun berganti.Nadiva sudah menginjak usia 4 tahun. Memang ada s
Kelahiran Nadiva Az-Zahra anak perempuan keduaku menjadi harapan yang seakan kandas. Nadiva lahir dengan keadaan fisik yang tak sempurna. Bibir dan langit-langit mulut Nadiva tidak normal. Orang biasa menyebutnya bibir sumbing. Awalnya aku menangis mengetahui hal itu. Apalagi tampak gurat kecewa diwajah Mama.Bersyukur Mas Ubay selalu menguatkan hatiku."Semua ciptaan Allah itu indah, bersyukur hanya secuil kekurangan ini saja yang Allah berikan pada kita. Tak usah berkecil hati. Nanti kita cari solusi gimana Nadiva bisa tumbuh menjadi gadis yang percaya diri."Mama agak acuh padaku, lebih sering ke rumah Lea yang juga telah melahirkan. Anak Lea laki-laki. Tampan dan sempurna, Mama selalu membicarakan perkembangan Hasan anak kedua Lea itu.Aku lebih sering menghindar dari obrolan itu. Menyibukkan diri di dapur atau pura-pura sedang menyusui Nadiva.Melihat keadaan itu, Mas Ubay memutuskan untuk sementara kami menempati rumah kami yang telah lama kosong.Mama keberatan, tapi kali ini M
"Kalau ada niat mah, apa saja bisa, Ma! Mau tinggal disebelah rumah kita, juga pasti mampu." sahut Papa yang baru datang dari kamarnya."Eh, Om. Apa kabar, Om?""Sehat! Apalagi sejak ada Alina di sini. Berdua dengan mamanya Ubay, cerewetin Om untuk makan makanan sehat dan rutin minum vitamin."Aina mencebikkan bibirnya. Walau segera dia tersenyum setelah itu. Tapi, hati kecilku berkata jika Aina datang bukan membawa keberkahan sebagai seorang tamu. Namun, sedang menunjukkan eksistensinya sebagai wanita pelakor sejati. "Nak Aina mau makan di sini? Kebetulan kami mau makan siang. Tapi, kayaknya bik irah ga masak nasi lebih, ya, Al?" Papa beranjak masuk. Aku berusaha menahan tawa. Papa mengajak orang makan tapi, ga punya nasi. Orang yang punya otak, pasti akan paham maksud papa mertuaku itu."Ga usah, Om. Lain kali aja. Nanti Aina mampir lagi." Tak lama perempuan itu pamit.Aku dan Mama mengantarkanku ke pintu, lalu kami sama-sama kembali masuk dan masuk ke ruang makan."Kamu ini, giman
Bayang-bayang Aina mengusik hatiku. Ternyata perempuan itu sudah keluar dari penjara. Kini penampilannya juga jauh berbeda. Tak ada lagi rambut panjang bergelombang dengan bibir bergincu merah menghiasi wajah.Yang tampak wajah dengan riasan sederhana dibalut kain panjang dan baju longgar seperti yang kukenakan. Tak terlihat apakah perutnya besar atau tidak karena seingatku waktu ditangkap, Aina dalam keadaan hamil. Ah, kenapa dia yang kupikirkan? Tapi, aneh saja. Kenapa dia datang ke restoran? Lalu menatapku dengan tatapan seperti itu. Seolah sedang mengatakan "Aku kembali!"Sudahlah, aku yakin setiap episode kehidupan akan menemukan ujiannya masing-masing. Dan aku sangat percaya, jika aku sanggup melewatinya."Alina, makan dulu, Nak. Ini Mama buatkan sop hangat untuk kamu." Teriakan Mama terdengar dari luar. Aku yang sedari pulang dari resto masih rebahan di kamar. Langsung bangkit dan berjalan ke pintu."Iya, Ma.""Sini, Sayang. Kamu pasti lapar. Mama masak sop iga sapi muda. Hmmm
Aku ingin melawan, tapi rasa sakit ini membuatku tak sanggup bangkit lagi. Doa minta pertolongan tak henti-hentinya aku lafaskan. Hanya pertolongan Allah yang saat ini aku harapkan. Sakit di perut makin menggila. Hingga aku merasa ada yang basah dibawah sana. Ya Allah, kenapa ini? Mencoba meraba, ada warna merah ditanganku. Ya Allah, aku kenapa?Ketika, Alex hendak mendekat lagi, pintu tiba-tiba terbuka dengan kencang hingga menimbulkan suara gaduh Karena pertemuan kayu dengan tembok itu.Beberapa orang laki-laki masuk dan langsung menghajar Alex. Sementara aku tak kuasa lagi menahan rasa sakit di perut."Cepat angkat! Korban mengalami pendarahan." Aku hanya mendengar teriakan itu sebelum semua menjadi gelap.****"Kamu sudah sadar, Sayang? Alhamdulillah, ya Allah..."Mas Ubay mengabaikan pertanyaanku. Laki-laki itu menciumi wajahku, lalu meraih tangan dan menggenggamnya erat. Ada air yang mengambang di matanya."Makasih, ya Allah. Makasih, Sayang, kamu sudah bertahan demi kita, demi
Aku terbangun dalam ruangan serba putih. Kepala masih sedikit pusing. Perlahan aku menoleh mengitari setiap sisi ruangan ini. Sepi, hanya aku sendiri di sini. Tak lama, terdengar samar-samar suara obrolan dari luar. Meski sangat pelan tapi masih dapat kudengar dengan jelas.Aku tersenyum tipis mendengar jawaban Mas Ubay atas permintaan perempuan yang dapat kupastikan itu adalah Aisyah. Silahkan saja coba rebut dia dariku. Aku telah menyerahkan hatiku dan cinta kami pada Allah. Dengan seyakin-yakinnya aku berkata, jika Mas Ubay akan menjadikan aku istri satu-satunya yang akan mendapatkan penghargaan berupa cinta darinya.Terlepas, jika kelak Allah takdirkan dia bersanding dengan perempuan lain, nyatanya cinta kami sudah terlebih dahulu terpupuk bersama.Aku mencoba menulikan pendengaran, seharusnya Aisyah lebih mengerti tempat untuk mengutarakan isi hati. Aku yang kini lemah tak berdaya butuh dukungan untuk bangkit dan melupakan kenangan pahit saat Alex berusaha menjadikan aku wanita
"Cucu saya gimana, Dok?" lirih Mama yang tampak ripuh."Alhamdulillah, sejauh ini dia masih bertahan. Bantu do'a saja ya, Bu. Ini karena Bu Alina banyak kehilangan darah, juga mengalami dehidrasi. InsyaAllah semua akan baik-baik saja."Semua bernafas lega. Alhamdulillah, Alinaku memang wanita kuat, dia wanita hebat yang pernah kutemui. Aku yakin dia akan sembuh dan jauh lebih kuat."Ma, Mama, Papa juga Lea, pulang saja. Biar Ubay yang menjaga Alina di sini.""Mama juga mau di sini.""Ma, Mama harus menjaga kesehatan. Mama sebentar lagi akan punya dua cucu dari Ubay, dan dua cucu dari Lea. Jangan sampai Alina melihat mama dalam keadaan pucat karena kelelahan.""Benar, Ma. Kita pulang, biar Ubay menjaga Alina. Besok pagi-pagi kita kesini. Mudah-mudahan Alina sudah sadar."Akhirnya malam itu aku sendiri menjaga Alina. Jam delapan malam, ada telepon dari Pak Freddy. Aku bergegas keluar agar tidak menganggu tidur Alina."Saya ikut prihatin dengan apa yang terjadi dengan Pak Baihaqi. Saya h
Mama menangis melihat Alina yang masih belum sadarkan diri. Terpaksa aku menyampaikan kejadian yang sebenarnya kepada Mama. Walau sebenarnya tak tega. Tapi, jika nanti ada terjadi hal yang tak di inginkan aku tak mau Mama ngedown."Maafkan Ubay, Ma," lirihku.Mama terisak memelukku."Kamu kalau ada apa-apa kasih tau, Mama. Bagaimana pun Alina anak Mama, menantu Mama. Mama pasti akan mengusahakan yang terbaik untuknya. Kalau sudah begini, terjadi apa-apa dengannya gimana?""Sudah, Ma. Ubay memikirkan kesehatan Mama. Jangan salahin dia terus." Papa berusaha menenangkan Mama. Aku tertunduk, "sabar Bang, Mama hanya syok!" lirih Lea menenangkan."Gimana Mas, apa dalangnya sudah tertangkap?" tanya Arsyad."Belum, Ar. Menurut teman gw yang bekerjasama dengan polisi, orang itu melarikan diri keluar negeri.""Memang siapa dalangnya, Bay?" sahut Papa."Wiliam, Pa."Daniel sudah memastikan jika pelaku adalah William, dan seorang perempuan yang juga pengusaha seperti dirinya. Chaterine, perempua
Sesampainya di sana, gerbang rumah itu terbuka lebar. Sebuah mobil polisi sudah parkir di halaman dan beberapa mobil lain yang kupastikan itu mobil Daniel dan anak buahnya. Ternyata mereka sudah mengrebek rumah itu. Seorang laki-laki yang sangat kukenal sudah dalam kondisi terborgol. "Daniel, mana Alina?""Alina sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Lu susul ke sana. Gw sedang melacak otak dibalik semua ini. Tadi istri lu pingsan. Gw takut terlambat jika menunggu lu, sebab, istri lu pendarahan.""Innalilahi, pendarahan?""Iya, buruan lu ke sana. Laki-laki kurang aj*r ini berusaha menodai istri lu, untung Alina bisa bertahan sampai gw dan polisi datang."Bugh! Sebuah pukulan kulayangkan pada Alex sesaat setelah mendengar penjelasan Daniel."Biad*b!""Sabar, Pak! Kami dari pihak kepolisian yang akan menangani laki-laki ini dan menghukum sesuai hukum yang berlaku." Pak polisi itu mengiring Alex menjauh."Gimana rasanya perempuan bekasku!" ujar Alex dengan wajah yang sudah babak belur.