Lula memandang Jack di seberangnya, seolah waktu di antara mereka melambat. Kehangatan anggur yang mengalir dalam tubuhnya memberinya keberanian lebih. Wanita tak sadar, bahwa dia terlalu banyak minum malam ini. Kepalanya terasa sakit, sedikit berdenyut, dan dia mulai merasa pusing. Pandangannya lambat laun mulai mengabur, membuatnya kesal. “Sepertinya aku terlalu banyak minum,” gumamnya sambil tersenyum kecil. Tanpa disadarinya, Jack sudah ada di sampingnya, menatapnya dengan khawatir. Dia menatap Lula dengan penuh kelembutan, hingga membuatnya kehilangan kata. Lula dapat merasakan kehangatan napas Jack menyapu di pipinya. Wanita itu terkekeh menatapnya. Jemarinya terulur menekan pipi pria itu.“Kenapa dunia begitu tidak adil padaku?” Lula mengeluh, nada suaranya mencerminkan rasa frustrasinya.Pria itu hanya membiarkannya meluapkan emosi, hingga ia merasakan sentuhan lembut di bibirnya yang membuatnya terdiam.“Terkadang bibir ini berbicara sembarangan. Aku tidak menyukainya!”
Saat Lula terbangun keesokan paginya, cahaya matahari lembut menyelinap masuk melalui celah tirai, langsung menyilaukan matanya. Ia mengerjap, perlahan menyadari bahwa selimut yang membungkus tubuhnya terasa lebih berat dari biasanya.Memandang sekeliling, kepalanya masih terasa kabur. Matanya terarah pada sosok Jack yang terbaring di sampingnya, tidur dengan tenang, napasnya teratur. Wajahnya tampak damai, tapi justru itu yang membuat jantung Lula berdetak lebih cepat.Lula perlahan bangkit, merubah posisinya dan menarik selimut lebih erat ke tubuhnya. Rasa sakit di kepalanya semakin terasa, dan ia mengerang pelan, mencoba menenangkan diri.Namun, saat matanya menyapu tubuhnya sendiri, ia terkejut. Di bawah selimut, dia tidak mengenakan apapun. Tubuh polosnya hanya terbungkus oleh selimut yang dia gunakan."Apa yang sudah kulakukan?" pikirnya, gelisah.Lalu matanya kembali tertuju pada Jack yang masih terlelap. Tanpa sadar, pikirannya langsung melompat pada kemungkinan terburuk."Apa,
Lula menghela napas lega saat roda pesawat menyentuh landasan. Perjalanan dinas bersama Jack selama beberapa hari terakhir benar-benar menguras energi dan pikirannya. Meski pekerjaannya belum selesai sepenuhnya, ada rasa nyaman saat tahu dirinya kembali ke rumah. Ketika keluar dari pintu kedatangan, pandangannya langsung tertuju pada sosok Emily yang berdiri di antara kerumunan, melambai dengan senyum lebarnya. “Lula! Akhirnya kamu pulang juga!” seru Emily sambil menghampirinya, tanpa basa-basi langsung mengambil alih koper yang Lula tarik. “Gimana perjalananmu sama Pak Jack? Capek banget, ya?” Lula mengangguk sambil tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan rasa lelah yang tampak jelas di wajahnya. “Lumayan. Banyak hal yang harus dicek di lapangan, tapi ya, semuanya berjalan lancar.” Emily menaikkan alis sambil menatap Lula dengan ekspresi menggoda. “Oh, lancar ya? Seru dong jalan bareng bos ganteng?” Lula mendengus kecil, malas menanggapi. “Seru apanya, Em? Aku ikut cuma b
Sambungan telepon tidak dapat membatasi mereka untuk saling menggoda. Keduanya sibuk dengan kegiatan pelepasan hasrat mereka.“Lula, jangan menyiksaku,” kata pria itu di seberang sana.Ah, sepertinya hanya satu orang saja yang sibuk di sana. Sementara satunya, mencoba mempermainkannya di tempat yang berbeda.Segera setelah mendengar suara dari ujung sana, Lula segera mematikan sambungan telepon. Dia mengabaikan permintaan tunangan saudari tirinya itu. Melihat pria itu memohon, Lula begitu senang.Perempuan itu tersenyum simpul dan berkata pada dirinya sendiri, “Mari kita lihat apakah hidup putri kesayangan ayah itu akan sempurna selamanya?”Hanya membayangkan kehancuran hidup keluarga cemara itu, Lula tersenyum puas.
“Jangan pernah menemuiku lagi.”“Kenapa? Aku putrimu. Kenapa aku tidak boleh menemuimu lagi, Dad?”Pria itu berbalik, tangannya masuk ke dalam saku celana kainnya. Helaan napas terdengar samar.“Aku sudah memiliki keluarga lain. Kau harus mengerti, Lula.”“Aku juga keluargamu. Aku putrimu! Apa aku salah menemuimu sebagai anak?”“Salah! Istriku tidak menyukaimu. Dia tidak ingin aku berhubungan dengan masa lalu.”Lula hanya bisa berdecak. “Tapi aku masih anakmu, Dad! Sampai kapan pun, aku akan tetap anakmu. Bukan masa lalu!”“Ini pertemuan terakhir kalinya. Jangan pernah menemuiku lagi atau datang ke rumahku seperti kemarin.”Setelah berkata demikian, pria tua itu pergi begitu saja. Lula tetap memandang punggungnya yang menjauh, matanya memanas, rahangnya mengeras, dan buku jarinya mengepal. “Aku membencimu.”“Lula!”Wanita itu tersentak dari lamunannya. Dia menoleh ke belakang dan mendapati wanita pirang yang duduk di belakangnya. “Emil?”“Kamu kenapa? Pak Rey memanggilmu sejak tadi. Di
Di atas kasur, Lula meregangkan tubuhnya. Semalaman, dia harus menyelesaikan pekerjaannya. Karena Rey, yang terus mendesak, kepalanya semakin pening. Rey meminta pekerjaan diselesaikan malam itu juga, dengan kabar yang mendadak.Wanita itu bangkit dan membenahi rambutnya yang berantakan. Dia menjepit rambutnya dengan jepit berwarna putih dan mengarahkannya ke atas. Lalu, wanita itu turun dari kasur, mengenakan sandalnya menuju ke dapur.Mengingat hari ini adalah hari Minggu, Lula tidak memiliki rencana apa pun selain bersantai di apartemennya. Namun, niat tersebut harus ditunda setelah dia melihat isi kulkas yang kosong, hanya terdapat beberapa botol mineral."Ah, sial. Aku belum berbelanja rupanya."Niat hati untuk bersantai menjadi gagal. Dia harus terpaksa mencari sarapan dan berbelanja bulanan nantinya.Wanita itu kembali naik ke atas, membersihkan diri sebelum pergi berbelanja. Dia berendam di bath up, membasuh rambutnya yang sudah mulai lepek. Setelah tiga puluh menit, dia selesa
"Dad, aku mau es krim!""Es krim? Putriku mau es krim? Tentu saja. Daddy akan segera membawakannya.""Yeay, terima kasih, Dad!"Pria itu pergi dan kembali dengan membawa es krim untuknya. Anak perempuan tadi yang merengek, menerimanya dan menjadi sangat gembira. Dia dengan senang meraih cone es krim."Terima kasih, Dad! Daddy adalah pahlawan untuk Lula!" teriaknya."Ya, tentu saja."Samar-samar, memori lama itu muncul kembali. Mengapa dia masih merindukannya? Oh, pria itu jelas sudah membuang dirinya. Untuk apa masih merindukannya?Lula memalingkan wajahnya. Dia tidak bisa terus merindukan masa lalunya. Dia harus melanjutkan hidup. Dia tidak membutuhkan siapa pun dalam hidupnya. Dia bisa hidup sendiri.Lula bangkit dan memutuskan untuk pergi. Namun, saat langkahnya bergerak, suara televisi membuatnya terhenti."Saya sangat bangga dengan putri saya. Margareth sangat menyayangi saya. Dia adalah putri tunggal saya, yang sangat saya cintai. Pertunangannya adalah kebahagiaan saya juga, seba
Lula baru saja membuka pintu apartemennya ketika Emil datang berlari, napasnya tersengal-sengal. Dengan rambut pirang yang sedikit berantakan, Emil tampak terdesak, seperti orang yang ingin segera bicara. "Lula! Tunggu sebentar!" Emil berseru sambil mengatur napasnya. Lula menatap Emil dengan alis terangkat, bingung dengan sikap temannya itu. “Emil? Kenapa kamu di sini? Ada apa?” Emil, yang sudah menenangkan dirinya, meletakkan kedua tangan di pinggangnya, wajahnya penuh tanda tanya dan sedikit marah. “Seharusnya aku yang tanya! Semalam kamu di mana? Kamu enggak pulang, kan?” Lula memiringkan kepala, terkejut dengan pertanyaan itu. "Dari mana kamu tahu aku enggak pulang?" “Siapa lagi kalau bukan Pak Rey!” jawab Emil cepat, nada bicaranya terdengar seperti tuntutan. Mata Lula melebar. “Pak Rey?” Rey, bosnya, mencarinya? Kenapa dia sampai menelepon Emil? “Iya, Rey. Semalam dia nelepon terus, nanya kamu di mana. Dikira aku tahu. Padahal, jelas-jelas kita enggak tinggal bareng. Aneh
Lula menghela napas lega saat roda pesawat menyentuh landasan. Perjalanan dinas bersama Jack selama beberapa hari terakhir benar-benar menguras energi dan pikirannya. Meski pekerjaannya belum selesai sepenuhnya, ada rasa nyaman saat tahu dirinya kembali ke rumah. Ketika keluar dari pintu kedatangan, pandangannya langsung tertuju pada sosok Emily yang berdiri di antara kerumunan, melambai dengan senyum lebarnya. “Lula! Akhirnya kamu pulang juga!” seru Emily sambil menghampirinya, tanpa basa-basi langsung mengambil alih koper yang Lula tarik. “Gimana perjalananmu sama Pak Jack? Capek banget, ya?” Lula mengangguk sambil tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan rasa lelah yang tampak jelas di wajahnya. “Lumayan. Banyak hal yang harus dicek di lapangan, tapi ya, semuanya berjalan lancar.” Emily menaikkan alis sambil menatap Lula dengan ekspresi menggoda. “Oh, lancar ya? Seru dong jalan bareng bos ganteng?” Lula mendengus kecil, malas menanggapi. “Seru apanya, Em? Aku ikut cuma b
Saat Lula terbangun keesokan paginya, cahaya matahari lembut menyelinap masuk melalui celah tirai, langsung menyilaukan matanya. Ia mengerjap, perlahan menyadari bahwa selimut yang membungkus tubuhnya terasa lebih berat dari biasanya.Memandang sekeliling, kepalanya masih terasa kabur. Matanya terarah pada sosok Jack yang terbaring di sampingnya, tidur dengan tenang, napasnya teratur. Wajahnya tampak damai, tapi justru itu yang membuat jantung Lula berdetak lebih cepat.Lula perlahan bangkit, merubah posisinya dan menarik selimut lebih erat ke tubuhnya. Rasa sakit di kepalanya semakin terasa, dan ia mengerang pelan, mencoba menenangkan diri.Namun, saat matanya menyapu tubuhnya sendiri, ia terkejut. Di bawah selimut, dia tidak mengenakan apapun. Tubuh polosnya hanya terbungkus oleh selimut yang dia gunakan."Apa yang sudah kulakukan?" pikirnya, gelisah.Lalu matanya kembali tertuju pada Jack yang masih terlelap. Tanpa sadar, pikirannya langsung melompat pada kemungkinan terburuk."Apa,
Lula memandang Jack di seberangnya, seolah waktu di antara mereka melambat. Kehangatan anggur yang mengalir dalam tubuhnya memberinya keberanian lebih. Wanita tak sadar, bahwa dia terlalu banyak minum malam ini. Kepalanya terasa sakit, sedikit berdenyut, dan dia mulai merasa pusing. Pandangannya lambat laun mulai mengabur, membuatnya kesal. “Sepertinya aku terlalu banyak minum,” gumamnya sambil tersenyum kecil. Tanpa disadarinya, Jack sudah ada di sampingnya, menatapnya dengan khawatir. Dia menatap Lula dengan penuh kelembutan, hingga membuatnya kehilangan kata. Lula dapat merasakan kehangatan napas Jack menyapu di pipinya. Wanita itu terkekeh menatapnya. Jemarinya terulur menekan pipi pria itu.“Kenapa dunia begitu tidak adil padaku?” Lula mengeluh, nada suaranya mencerminkan rasa frustrasinya.Pria itu hanya membiarkannya meluapkan emosi, hingga ia merasakan sentuhan lembut di bibirnya yang membuatnya terdiam.“Terkadang bibir ini berbicara sembarangan. Aku tidak menyukainya!”
Lula mencoba menenggelamkan perasaannya yang campur aduk dan berusaha fokus pada menu yang telah disiapkan Jack. Saat piring berisi hidangan mulai disajikan, aroma menggugah selera menyeruak ke udara. Makanan itu terlihat cantik, dihias dengan rapi dan menggiurkan.“Ini adalah salad dengan dressing lemon dan ikan salmon panggang,” kata Jack, menunjuk ke piring. “Dan untuk pencuci mulut, kami punya kue coklat yang sangat lezat.”Lula mengangguk, berusaha menikmati hidangan tersebut. Namun, saat dia mengambil suap pertama, dia membulatkan matanya. Hidangan ini sangat lezat.“Bagaimana rasanya?” tanya Jack, matanya tajam menilai reaksinya.“Rasanya enak,” jawab Lula dengan senyum yang dipaksakan. “Salad ini segar, dan salmonnya dimasak dengan sempurna.”“Baguslah,” kata Jack, tampak puas. “Saya ingin kamu memberi tahu saya secara jujur tentang semuanya. Ini adalah langkah dalam pengembangan resort.”“Baik. Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk memberikan masukan, Pak,” jawab Lula samb
Gladys terbangun dengan kepala yang terasa berat. Dia mengerutkan kening sambil memijat pelipisnya, merasakan kehangatan dari dalam selimut tebal yang menutupi tubuh telanjangnya. Di sampingnya, lengan Rey masih melingkar di pinggangnya. Gladys membuka mata dan mendapati wajah Rey yang terlelap di dekatnya. Dia mendesah dalam hati, bertanya-tanya apakah keputusan ini benar. Dengan hati-hati, ia berusaha untuk melepaskan lengan Rey yang menahannya. Namun, lengan itu terasa menempel erat, seolah enggan untuk dilepaskan. Rey, yang merasa gerakan tersebut, membuka matanya. Maniknya menatap Gladys dengan senyuman lembut. “Selamat pagi,” ucapnya dengan suara parau. “Aku harus pergi. Singkirkan tanganmu,” kata Gladys dengan nada tegas, berusaha menyembunyikan rasa cemas yang menggelayuti pikirannya. Gladys terus berusaha melepaskan diri, namun Rey tetap menahannya. “Kenapa terburu-buru? Masih pagi, Dis,” katanya, suaranya santai dan tenang. “Kau gila?! Bagaimana jika Eve datang tiba-tib
“Halo Jack?” “Hai, apa kabar?” Gladys memejamkan matanya, merasakan detak jantungnya berdetak cepat. Dia takut Jack akan mencurigai sesuatu. “Dis, kamu baik-baik saja?” “Ah, ya, tentu. Aku baik-baik saja, Jack. Ada apa? Ada masalah di sana?” “Tidak. Aku hanya merindukan kamu, Dis.” “Aku juga sangat merindukanmu. Setelah semuanya beres, mari kita bertemu dan melepas rindu.” “Ya, tentu saja. Mari kita bertemu.” “Um, Jack, sepertinya aku harus menutup telepon ini. Aku akan menghubungimu nanti.” “Baiklah. Aku mencintaimu, Dis.” “Aku lebih mencintaimu.” Beep! Gladys menggenggam teleponnya, meremasnya dengan gugup. Dia merasa bingung dan tertekan, merasa seolah telah mengkhianati Jack. Tiba-tiba, tubuhnya dirangkul dari belakang. Mata Gladys melebar, dan dia segera berbalik. Tangannya menahan tubuh yang mendekat. “Rey?!” Rey masih menjaga jarak, namun tatapannya tetap lekat pada Gladys, dengan tangannya melingkar di pinggangnya. “Aku mencintaimu.” Gladys mengerutkan kening,
Penerbangan panjang yang melelahkan akhirnya berakhir. Lula bergerak cepat menuruni tangga pesawat, mengikuti langkah besar Jack yang telah lebih dulu turun. Honolulu, kota yang indah ini, menawarkan pemandangan menakjubkan dengan langit biru cerah dan udara tropis yang segar. Siapa yang tidak ingin mengunjungi tempat seperti ini? Bagaikan Bali di negara bagian Hawaii, keindahannya memikat setiap mata yang melihat. Setibanya mereka di bandara, seorang pria berpakaian rapi dengan name-tag bertuliskan “Billi” menghampiri mereka. “Selamat pagi, Pak Jack,” sapanya dengan senyum ramah. “Selamat pagi, Billi. Apa hotel sudah siap?” tanya Jack. “Ya, Pak. Semua yang Bapak minta sudah disiapkan. Saya di sini untuk menjemput dan mengantar ke hotel,” jawab Billi dengan penuh percaya diri. Billi dengan sigap mengambil alih koper yang sebelumnya dipegang oleh Jack. Dia sedikit menoleh ke arah Lula, “Boleh saya bantu membawa koper Nona juga?” “Ah, tidak perlu. Saya bisa membawanya sendiri,”
Lula membiarkan senyumnya tetap tergambar di wajahnya. Ada sesuatu yang terasa aneh di hatinya sejak malam tadi. Perasaan itu asing, tapi juga menyenangkan. Lula tidak tahu pasti, namun ada kebahagiaan yang menggelitik jiwanya. Kebahagiaan seperti apa? Bahkan dia sendiri tidak mampu mendefinisikannya. Ketika Emil tiba-tiba muncul, dia langsung mengernyitkan alisnya, heran melihat Lula yang terlihat melamun sambil tersenyum sendirian. “La! Kenapa senyum-senyum enggak jelas?” Tersentak oleh suara sahabatnya, Lula mengangkat wajahnya dan menatap Emil yang kini berdiri di dekatnya. “Enggak apa-apa, Mil,” jawab Lula sambil melirik ke arah sahabatnya. Emil mengerutkan dahi, masih tidak percaya. “Hah? Aneh, deh kamu!” Emil kemudian duduk di samping Lula, menyilangkan kakinya sambil menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Rasanya, aku pengen ambil cuti.” Lula menoleh, keningnya berkerut bingung. “Cuti? Buat apa, Mil?” Emil mendesah panjang, sebelum menjawab dengan nada datar, “Pengen n
Lula membiarkan matanya menjelajahi setiap sudut apartemen Jack, merasa terkesan oleh keteraturan dan kerapian yang ada di dalamnya. Segalanya tampak tersusun dengan sempurna, mencerminkan karakter Jack yang selalu perfeksionis. Suasana ruangan itu begitu tenang dan terorganisir, seolah semuanya berada di tempat yang seharusnya. “Dia sungguh luar biasa,” pikir Lula dalam hati sambil menatap sebuah foto yang tergantung di dinding. Dalam foto itu, Jack berdiri bersama keluarganya—Eve dan Tante Camila. Meski pertemuan mereka singkat, Lula mengenal mereka cukup baik untuk merasa akrab dengan sosok-sosok di dalam foto itu. Suara langkah Jack memecah keheningan. Napasnya sedikit berat ketika ia muncul dari balik pintu, membawa sesuatu di tangannya. "Apakah ini ponselmu?" tanyanya dengan nada datar, memperlihatkan ponsel yang digenggamnya. Lula menoleh dan mengangguk pelan. “Ya, itu milikku.” Jack mendekat dan menyerahkan ponsel itu. “Ambil.” Senyum tipis terbentuk di bibir Lula saat men