Pertunangan Revan dan Vero.
Sesuai yang mereka rencanakan, Revan dan Vero melangsungkan pertunangan mereka hari ini. Malam yang dipenuhi terang bulan bahkan terlihat bintang gemerlap begitu indah. Para tamu undangan dari berbagai pengusaha telah berdatangan untuk menyaksikan langsung pertunangan Revan dan Vero yang tergolong dari keluarga sama-sama mapan.
Pertunangan mereka memang terkesan sederhana, betapa bahagia menyelimuti Vero hingga ia selalu menebarkan senyum kepada setia tamu menyalamnya.
Pertunangan mereka pun terlaksana, tawa bahagia dari berbagai kalangan begitu menyemarakan mereka. Revan mencium kilat bibir Vero tanda mereka resmi bertunangan setelah bertukar cincin emas putih. Tak hentinya Vero memandangi cincin berlapis swarovki yang kini melekat di jemari tangannya.
Bangga dan terharu pada akhirnya Revan meminangnya untuk menjadi teman hidup.
Di kejauhan tapi tetap
(Noah - Kala Cinta Menggoda)Memulai aktivitas kembali, Alya berketepatan pemegang kunci Toko. Ia mendekat ke arah pintu kaca, tanpa sengaja ia melirik sebuah bucket bunga terletak di bangku luar Toko. Alya mendekap bucket bunga tersebut sambil mengernyit bingung.Buket bunga?Dari siapa ini?Alya memendarkan pandangannya sesekali menghirup wewangian bunga segar tersebut. Tidak ada seorang pun di sekitar Toko, ia hanya melihat orang yang sedang lalu lalang berjalan tanpa ada yang terlihat mencurigakan.Ia mencari tahu siapa pengirim buket bunga ini, ada kart ucapan di dalamnya. Alya membuka ragu-ragu sambil membaca ditujukan pada siapa."For Gina, selamat pagi Gina?! Semoga harimu tetap berbahagia dan tetap tangguh. Aku hanya berharap ketika kau mencium aroma wewangian bunga ini, maka kau harus tersenyum. Dari pria yang mengagumimu. -R-."
Dengan sigap Revan memboyong tubuh Gina keluar dari supermarket. Ia membaringkan tubuh Gina di kursi tengah mobil hitam garangnya. Untuk pertama kali, Revan merasa khawatir berlebihan pada Gina. Ia berusaha cepat menuju rumah sakit, memasuki mobilnya secara cepat dan sigap. Selama perjalanan menuju rumah sakit siapapun yang mencoba menghalangi perjalanannya ia maki bahkan tak segan membentak tidak perduli siapapun itu. Ia hanya ingin Gina sampai di rumah sakit secepatnya. Berusaha melakukan semua secara cepat, seolah saat ini ia mulai membiasakan diri dengan kehadiran Gina. Seolah wanita itu adalah napas kehidupannya. Sesampai di rumah sakit, para suster dengan sigap menolong ketika Revan berkoar teriak meminta agar segera membawa Gina untuk diperiksa. Ia memasang wajah bingung, khawatir apalagi dengan kondisi Gina yang tengah berbadan dua. Setelah pemeriksaan, dokter k
Matahari cerah mulai menyinari seisi bumi, sang cahaya menerobos masuk ke segala penjuru ruangan yang memudahkan cahaya terpantul. Begitupun ruangan kamar VIP milik Gina, bunyi riuhan burung serta cuaca yang sejuk membuat keadaan kian tenang.Sangat kantuk, bahkan manik matanya sulit untuk terbuka. Sambil memaksa akhirnya Gina membuka matanya sambil menatap langit kamar sejuk bercat putih tersebut.Dimana dia?Rasa pusing yang masih bergelanyut dikepalanya masih terasa berat namun ia memaksa segera menyadarkan dirinya dan memendarkan pandangan. Berusaha sekali lagi dan ia memposisikan tubuh segera duduk.Ia menatap sekitar kembali, dimana dia?Sosok tampan yang ia ketahui telah mengganggu hari-harinya tampak duduk di sofa empuk sambil menatapnya tanpa kedip. Sekali lagi, Gina memperjelas pandangannya menatap sepasang manik mata berwarna biru."R-Revan?" Gina
Vero menatap cincin pertunangan mereka sambil tersenyum puas, belum bisa ia melupakan pesta sederhana dengan sang kekasih. Revan adalah pria satu-satunya yang telah merebut hati Vero.Di dalam ruang kerja.Revan duduk di kursi khusus ruang kerjanya sesekali bayang Gina terusan mengisi isi kepala. Perpisahan dengan Gina padahal telah berlalu beberapa hari yang lalu. Ia tidak bisa membayangkan jika Gina tidak mau meluluhkan hati untuk diberi kasih sayang atau sekadar perhatian sederhana dari pria mapan seperti Revan.Vero memarkirkan mobil merahnya di garasi keluarga Djayningrat. Ia tidak sabar bertemu dengan Revan, mengingat waktu pertemuan mereka begitu jarang akhir-akhir ini. Berkunjung ke rumah milik Revan dengan suasana bahagia.Tidak lupa ia membawa beberapa makanan khas kota mereka. Anika pasti akan suka begitu juga dengan calon papa mertuanya, Ari.Ting!
"Sayang ...," Vero mencoba membuyarkan lamunan Revan.Vero menatap tatapn Revan, begitupun Alya mereka menatap Gina bersamaan yang sedang menunduk."Revan, kau ingin memesan brownies bukan?" Vero bertanya kembali.Revan perlahan tersadar dan menatap Vero dengan senyuman sensual namun terlihat sedang berusaha menutupi hasrat terpendamnya pada Gina."Jadi memesan 'kan?" Vero masih memperingatkan."Tolong, berikan dua porsi brownies untukku dan tunanganku."Vero menahan senyum puas ketika Revan mengungkapkan hal sederhana tersebut. Meski tadi ia sempat mencurigai Revan dan Gina, tapi setelah pria itu menyebut sayang seolah dunia kembali milik mereka berdua.Alya langsung sigap menyiapkan dua porsi kue brownies.Revan dan Vero berbincang sesekali memeluk erat pria bertubuh bidang tersebut. Pandangan Gina terganggu,
Minggu pagi yang dingin. Perut bergejolak sakit, tenggorokan terasa sakit merasakan mual menyakitkan. Pagi sekali rasa mual menyerang Gina. Tumbenan ia tidak dapat menahan perasaan mual menyakitkan ini. Kehamilan Gina kini memasuki usia kandungan ke 4 bulan. Tubuh rampingnya mulai memperlihatkan perut membesar. Ia usap lembut sambil tersenyum meski perasaan pusing juga mual masih terus menyerang. Huek! Huek! Ia berlari menuju kamar mandi sambil menahan mualan yang rasanya ingin ia tumpahkan sekarang juga. Gina pun memuntahkan semua isi perut yang ada meski hanya cairan saja yang keluar dari mulutnya. Gejolak yang teramat menyakitkan, hingga perut perih memaksa muntah terusan. Kenapa pagi ini ia begitu mual? Huek! Bruuk! Seseorang mencengkram erat lengannya sambil menggeram marah.
Untuk pertama kali dalam hidup Gina, ia di dalam mobil bersama Revan tak lain pria asing yang baru saja ia kenal. Hatinya bergemuruh antara takut, nyaman, tidak enak hati dan juga debaran jantung tidak stabil.Jangan sebut namanya Revan Alexander jika ia tidak mampu menundukkan semua karakter wanita termasuk Gina Syakilla.Sepanjang perjalanan Revan memasang senyum penuh kemenangan atas keberhasilannya. Pada akhirnya, ia berhasil meluluhkan keras hati Gina yang terusan menolak Revan."Revan, apakah yang kau lakukan ini tidak terlalu berlebihan?" Tanya Gina pelan."Gina ... kita berteman dan aku hanya mengajakmu ke perayaan saja. Ada masalah? Aku pikir itu bukanlah masalah yang serius.""Tap-tapi aku ...," Gina berhenti, tidak melanjutkan kata.Revan menatap Gina sekilas lalu menyetir santai, "Aku tidak akan menyakitimu Gina, kau percaya denganku 'kan? Aku tid
Chenni melepas pelukan itu lalu menatap kembali luka memar pada dada Gina."Apa kau tidak merasakan sakit pada tubuhmu?" Tanya Chenni merasakan dadanya kian sesak.Gina mengepalkan tangan, tidak ingin membuat siapapun melihat ia merasa kasihan atas nasib menimpanya saat ini. Chenni menunduk lalu ia menangis sesunggukan membuat Gina kaget dan tak henti menatap Chenni."Mba Chenni, m-maaf?! Apa aku melakukan hal yang salah? Maaf Mba ...," ucap Gina tidak enak hati.Chenni mengusap air mata yang membasahi pipi, lalu tersenyum kecut."Bagaimana mungkin ada orang yang tega melakukan kekerasan pada wanita hamil sepertimu?" Tanya Chenni bernada serak.Gina memelow, "Aku merasa ini tidak sakit kok."Chenni menarik napas panjang lalu menatap kembali kehamilan Gina, "Berapa usia kandunganmu?""4 bulan, Mba Chenni." 
Di perusahaan cabang di Indonesia, Revan tengah mengetuk pena di meja kerja dengan terletak jelas cetakan jabatan CEO perusahaan yang ia geluti sejak lama. Menunduk memikirkan suatu hal. Ya, masa waktu Revan di negara ini akan segera berakhir. Tidak terasa sebentar lagi, ia akan kembali ke New York tapi kali ini tidak pulang sendiri atau bersama Vero tapi bersama dengan Gina. Wanita berbeda dari yang ia nyatakan di hati kecil dahulu.Setelah menjalani beberapa meeting, Revan memilih kembali ke rumah. Ingin bertemu Gina, masih belum menemukan waktu yang tepat.Sembari menyetiir, Revan memikirkan bagaimana perkataan yang pantas ia katakan nanti pada Vero. Sesampai di rumah, ia menuju pantry meneguk beberapa tegukan air putih dan menetralkan pikiran berkecamuk. Ia meletak kasar gelas tersebut, ia meremat rambut sehingga teracak serta kegelisahan mulai menyerang perlahan."Tumben siangan begini sudah pulang kamu," ucap Alline mengagetkan Revan.Revan menoleh sejenak wajah Alline yang mas
Pagi ini Revan menikmati sarapan pagi, tapi setelah berpikiran semalaman kalau Gina bersentuhan lagi dengan Aston-suaminya. Jujur, ia marah dan tidak rela demi apa pun membiarkan Gina berpaling darinya.Ia sudah menekankan di hati, Gina akan tetap menjadi milik Revan utuh. Tidak akan membiarkan kesakitan dihati wanita yang begitu ia cintai tersebut.Bayang-bayang percintaan panas mneyeruak dalam pikiran Revan, sentuhan yang ia berikan membuat Gina ikhlas lahir batin bahkan tidak ada kata menyesal atau mara ia ungkapkan entah karena menikmati atau sentuhan seperti inilah yang ia inginkan sesungguhnya.Revan sudah berjanji pada hati kecil, kalau Gina akan tetap menjadi wanita terbahagia. Ia sudah bertekat untuk menjalani perlahan hingga waktu tiba membawa Gina sejauh-jauhnya dari Aston. Pria iu sudah menyiakan Gina yang seharusnya ia hujani dengan penuh cinta."Ehem-- pikirin apaan? Bengong begitu, kosong pandangan." Alline nyeletuk.Revan
Vero yang merasa hidupnya hancur berkeping tak berhenti menangis pilu, tadi itu? Ia merasa kebahagiaan itu hanya miliknya sejenak tidak selamanya. Beginikah hasil ketika mengetahui sang tunangan tak lagi mencintai sepenuh hati?Tidak bisa ia bayangkan jika ia dan Revan harus berpisah.Baru kemarin mereka bahagia, bertunangan dan kini pria berstatus tunangannya harus merenggang menyakitkan. Tanpa ia sadari, sang ibu menyadari kesedihan Vero yang tampak menutupi kalau hati sedang kalut.Sebagai ibu yang paham tentang keadaan Vero, ia berdiri di ambang pintu dan menyaksikan bagaimana Vero menahan sedih tapi ingin mencuatkan semua. Ia mencoba membaur, tersenyum kecil."Begadang sayang?" Anita memasuki kamar."Eh, Mama--" Vero langsung mengusap air mata secepat mungkin.Mencatut wajah sang putri dari cermin, ia mengusap punggug Vero. Ia yakin, melalui sentuhan ini ia sedang memberi koneksi Vero agar mengatakan tentang isi hati sebenar
Revan menggertakkan gigi, masih di lokasi tempat Gina dan Aston tengah berbincang seolah tidak menyadari kehadirannya. Tidak akan tinggal diam, padahal tadi dia sudah sangat gempar ingin membuat Gina mempercayai dan membawa wanita ia cintai tersebut jauh dari jangkauan orang.Baiklah, kalau memang Gina dan Aston menginginkan persaingan di mulai dengan senang hati Revan menerima dan sangat siap untuk menyerang secara halus. Segala perbuatan merebut tidak harus terangan terlihat.Hati-hati tapi mematikan.Bila perlu mematikan secara perlahan hingga ke jantung. Ia mengalah malam ini, tapi tidak dengan hari berikutnya. Akan ia balas, Revan pun menghidupkan mesin mobil dan memundurkan perlahan.Dencitan demi dencitan terdengar nyaring, ia sedikit kasar sambil membunyikkan gas-rem beberapa kali memberitahu kalau ia siap menyerang.Ia pergi meninggalkan lokasi, menjauh dari Gina beberapa saat. Gina tau, mobil yang baru saja pergi tersebut milik
Gina menatap dengan pandangan tak berkedip sedikit pun. Mulutnya tengah terkatup setelah menyadari kalau Aston-suaminya yang memanggil."Istriku?!" Aston tersenyum bak pria iblis sedang memenangkan kehadiran."K-kau sedang apa?"Aston mengernyit, "Hubungan kita kurang baik belakangan ini, kenapa kau seperti tidak menyukai kehadiranku? Kau tergganggu?"Gina menarik napas, tatapan merah nanar. Menggeleng gelisah karena sulit mengatakan apa pun saat ini. Bukankah seharusnya bertemu Revan malam ini?Ke mana pria tersebut?"B-bukan, aku hanya kaget kau hampir tidak pernah laggi menjemputku. Hanya merasa bingung dan kaget.""Gina sayang, aku tau ... aku melakukan banyak kesalahan padamu. Aku juga ingin membuatmu tetap nyaman.""Maksud ucapanmu?""Eh, begini, aku sedang menunggumu pulang. Aku sudah menantikan jam pulangmu. Tapi, aku berkeliling dahulu tadi ke kota."Tubuh Gina mulai gemetar, apa yang baru saja Aston katakan? Ia masih tidak percaya kalau su
Vero benar-benar kalut kalau saja memang Revan memiliki wanita lain selainGina menyusun rapi roti yang baru masuk, ia tersenyum penuh raut wajah tersungging memesona. Tampilan yang memperlihatkan kalau ia akan baik saja. Mencintai Revan tanpa siapa pun yang tau. Tidak. Alya mengetahui dan apa saja tentang Gina.Revan akhirnya sampai di Toko Roti, memendarkan pandangannya dan menatap Gina dengan lembut. Seulas senyum tercetak menawan dari pahatan wajah Revan. Embusan napas tertoreh elegan dari bibir sensualnya."Hai," sapanya.Gina menoleh, susah payah menelan saliva. Ia menatap lama wajah tampan dilapisi kulit legam eksotis. Dia memang pria bule yang khas.Gina Syakilla menatap Revan sambil meletakkan kue yang hendak ia susun."Revan, kau sedang apa? K-kenapa?" Gina sedikit gugup."Bertemu denganmu," jawab Revan.Alya yang menatap mereka syok, hanya bisa termangu dan tidak menyangka kalau Revan mulai terangan b
Revan meraih kemeja putihnya, ia mengenakan ke tubuh sempurna yang banyak digilai para wanita. Ia tahu, jika tubuhnya banyak diidamkan kaum hawa termasuk Gina. Ia telah merasakan betapa nikmat ia dalam kungkungan pria tersebut.Ia ingin memutuskan bertemu Gina, ia ingin menunjukkan sikap kalau ia juga berhak memberikan perhatian terhadap Gina. Ia sisir dengan rapi rambutnya ke belakang. Ia tersenyum pulas sambil menyemprotkan cologne. Reavn begitu memukau, bak sedang ingin menyatakan cinta pada wanita yang begitu ia cintai.Revan memang bukanlah tipikal pria yang sukanya mengumbar pesona di hadapan banyak wanita. Sekali ia mencintai, ia akan mencintai satu orang wanita tanpa memikirkan syarat apa untuk sekadar mencintainya saja. Revan memiliki kelembutan luar biasa, ia akan senang membantu kaum wanita yang tertindas.Kecuali dengan Gina, ia memang membantu tapi ia jatuh cinta.Ah!
Gina tampak menunduk setelah percakapannya dengan Vero. Kini ia menatap kosong area dapur tempat melaksanakan makan siang bergantian dengan Alya.Hati kecilnya seolah terkikis ingin marah pada kenyataan, tapi ia memikirkan ia pun pantas mendapatkan yang sudah menjadi impiannya sejak sekian lama. Perasaan yang telah lama tersakiti, telah diberi warna oleh Revan.Pria yang sudah memberikannya banyak warna.Alya tampak membawa bekal, ia memang sudah terbiasa selalu membawa bekal ke Toko. Ia menatap Gina yang tengah melamunkan entah apa. Ia terlihat gelisah, mengembuskan napas kelelahan yang tidak berhenti.Alya tahu perasaannya."Gina," panggilnya menyentuh pundak lembut."Eh ... Alya, apa kau tidak memiliki pelanggan di depan?""Lagi kosong."Alya memberesi bekalnya, Gina hanya menatap dengan tatapan kosong.&nbs
Semenjak pengakuan Gina kemarin, Alya masih tidak menyangka bahkan perasaan mereka semakin gugup juga sulit mengungkapkan hal apapun lagi. Alya menatap Gina ragu namun ia tidak bisa menyalahkan Gina karena ia memang pantas diberi perhatian oleh pria asing.Sangat disayangkan, jika pria itu sudah dimiliki orang lain tak lain pelanggan yang mereka anggap kakak. Sulit mengartikan namun inilah kenyataan hidup yang harus Gina jalani."Gina, Re—""Gina? Alya?" Vero menyapa.Deg!Belum sempat Gina menyebut nama Revan, Vero telah hadir di antara mereka. Melihat Vero rasanya ia tidak memiliki kuasa untuk mengucapkan tentang Revan lagi, ia menatap Alya berharap merahasiakan hal ini."Hey, apa yang terjadi dengan kalian? Kalian tampak menegang sekali," ucap Vero dengan senyum tipis.Alya mempertunjukkan wajah menyimpan perasaan kaku, menegang