Kedua mata Venina terbelalak dalam kebingungan saat mendengar pengakuan Erlangga. Dia tak pernah membayangkan bahwa di balik segala kesuksesan yang dimiliki pria itu, tersimpan kisah percintaan yang rumit.
“Mungkin sejak awal rumah tangga saya memang sudah hancur, Nina!” ujar Erlangga dengan suara yang penuh penyesalan, meremas tangan Venina dalam genggaman eratnya. Tatapannya menusuk tajam, mencari pemahaman di dalam mata wanita di hadapannya.
Venina masih terdiam, mencerna setiap kata yang terucap dari bibir Erlangga. Benaknya berputar cepat, mencoba memahami kompleksitas hubungan di antara mereka. Apakah semua yang dia ketahui selama ini hanyalah permukaan dari kebenaran yang jauh lebih dalam?
“Dan kamu bukanlah penyebab dari semua itu,” lanjut Erlangga dengan suara yang mengal
Venina duduk di depan layar komputernya dengan tatapan kosong. Beberapa hari setelah kembali dari Surabaya, dia tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Seringkali dia membuat kesalahan.Tiba-tiba, suara Alfian mengagetkannya. "Ada apa, Nina? Apa kamu sakit?"Venina tersentak, matanya terbelalak saat menyadari kehadiran Alfian di hadapannya. "Ti-tidak, Pak," jawabnya dengan gugup, mencoba menutupi kegelisahannya.“Sejak tadi saya perhatikan kamu tidak fokus? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Alfian lagi, ekspresinya penuh perhatian.“Sebenarnya… saya… saya hanya sedikit lelah, Pak,” jawab Venina dengan ragu, meremas jari-jemarinya dengan gelisah.“Kalau memang kamu butuh is
“Nina…!” panggil Nadia sambil memperhatikan putrinya dari ambang pintu kamarnya. Namun Venina tidak mendengarnya karena terlalu fokus pada urusannya.Venina tengah duduk di tepi ranjangnya, mencoba merapikan rambutnya yang sedikit kusut karena terlalu terburu-buru untuk bersiap. Tak lama kemudian, suara langkah ringan mendekat dari arah pintu. Nadia muncul di hadapannya dengan tatapan tajam yang terasa menembus ruangan.“Mau pergi lagi, Nina?” desak Nadia dengan suara yang penuh kekhawatiran. Matanya menatap tajam putrinya, mencari tanda-tanda kelelahan yang mungkin tersembunyi di balik ekspresi wajahnya.Venina tersentak, memasukkan ponselnya ke dalam tas dengan terburu-buru. “Iya, Bu. Mas Angga minta ketemu sebelum besok dia harus berangkat ke Singapura,” jawabnya sambil
Ketika Venina tiba di tempat yang telah diatur oleh Erlangga, dia langsung disambut oleh senyum hangat pria itu yang tampaknya sudah menunggu dengan sabar.“Akhirnya kamu sampai juga,” kata Erlangga sambil tersenyum, membuat raut wajahnya semakin memesona di bawah sinar matahari yang bercahaya.Venina membalas senyumnya. “Iya, Maaf ya, Mas. Saya agak terlambat sedikit.”“Tidak apa-apa, yang penting kamu sudah di sini,” ujar Erlangga sambil menggenggam tangan Venina dengan lembut.“Saya pikir kita mau nonton,” ujar Venina sambil melihat sekeliling lapangan golf yang terbentang luas. Matanya terpaku pada Erlangga yang tampak gagah dengan pakaian olahraganya. Meskipun hatinya berkecamuk, Venina tidak bisa membantah betapa mena
Seiring dengan langkahnya, Venina mengikuti Erlangga menuju pintu masuk kompleks apartemen mewah tempat pria itu tinggal.“Siang, Pak,” sapu seorang penjaga keamanan sambil menghampiri mereka. Senyum lebar terukir di wajahnya yang ramah.“Siang, Roy,” jawab Erlangga sambil berhenti sejenak, memperhatikan penjaga tersebut. Venina mengamati dengan seksama interaksi mereka.Percakapan itu berlangsung hanya beberapa saat sebelum mereka kembali berjalan. Erlangga menatap Venina dengan senyum hangat. “Kamu naik duluan, ya!” serunya ketika mereka tiba di depan lift. “Mandilah dan ganti pakaianmu dengan yang lebih nyaman,” lanjutnya sambil mencium pipi Venina dengan penuh kasih.“Mas mau ke mana?” tanya Venina, ekspresi
Perjalanan bisnis Erlangga ke Singapura berlangsung lancar. Selesai dengan pertemuan pentingnya, dia langsung kembali ke Jakarta untuk menemui ayahnya, Ernando Krisdiantoro, di ruang kerja pribadinya. Mereka saling berdiskusi. Sebagian besar percakapan mereka didominasi oleh bahasan bisnis yang serius, tentang ekspansi perusahaan dan strategi-strategi yang harus diambil untuk menjaga posisi perusahaan di pasar yang semakin kompetitif. Namun, sebelum pertemuan itu berakhir, Ernando kembali menyinggung tentang hubungan pribadi Erlangga. “Sudah sejauh apa hubungan kalian?” tanya Ernando dengan tajam, tatapannya menusuk lurus ke dalam mata Erlangga. Rahang Erlangga mengeras. Dia merasakan denyutan di lehernya ketika amarah mulai memenuhi pikirannya. "Saya datang ke
Malam itu, Erlangga membawa Venina ke salah satu villa di puncak. Begitu mobil mereka masuk ke dalam garasi, Venina sudah bisa merasakan aura kekosongan dan kesunyian yang menghantui villa itu. Cahaya redup dari lampu yang menyala hanya sebagian membuat suasana semakin mencekam.Venina merapatkan tubuhnya yang terasa dingin ke arah Erlangga. Diikutinya langkah pria itu yang terasa sangat terburu-buru, seperti ada orang yang mengejarnya.“Kenapa kita ke sini, Mas?” tanya Venina dengan gemetar sesaat setelah Erlangga melepaskan genggamannya ketika mereka sudah berada di ruang tengah.Tetapi Erlangga tidak menjawab. Matanya tampak redup, tanpa secercah emosi yang bisa terbaca. Ketidaksabaran Venina semakin bertambah, kecemasannya mulai meluap tak terkendali.
Venina merasa nyeri di setiap bagian tubuhnya saat dia membuka mata, dan langit-langit kamar yang tidak akrab itu hanya menambah rasa kebingungannya. Kenapa dia bisa berada di sini sendiri? Dan di mana Erlangga?Jam di samping ranjang menunjukkan pukul 1 siang, membuat Venina tersentak. Dia tidak memberi kabar pada ibunya. Rasanya jantungnya ingin melompat keluar dari dadanya saat menyadari betapa paniknya ibunya saat ini karena dia tidak ada di rumah.Dengan gerakan tertatih, Venina bangkit dari ranjangnya, meraih jubah tidur dan melangkah keluar. Setiap gerakan menimbulkan rasa sakit yang semakin nyata. Dia memanggil nama Erlangga berulang kali, tetapi tak ada jawaban yang terdengar.“Mas Angga…!” panggil Venina dengan serak. Dia melanjutkan langkahnya sampai ke halaman depan.
Nadia merasa seperti dunia ini runtuh di hadapannya saat dia melihat banyaknya tanda percintaan di tubuh putrinya. Dengan perasaan yang hancur, dia menyiram seluruh tubuh Venina, mencoba membersihkan setiap jejak dari pria yang telah mencoreng kehormatan putrinya. Hatinya terasa begitu sakit. Dia tidak pernah membayangkan putri yang dijaganya dengan penuh kasih sayang akan menghancurkan kepercayaannya seperti ini. “Kenapa, Nina? Kenapa kamu melakukannya?” gumam Nadia lagi dengan suara penuh kesedihan. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa putrinya telah memberikan segalanya pada pria yang tidak pantas bersamanya. Venina hanya bisa menundukkan kepala, tak sanggup bertatapan dengan ibunya. Air matanya mengalir deras, mengungkapkan betapa dalamnya penyesalan yang dia rasakan. “Kalau kamu masih benar-benar menyayangi Ibu, akhiri hubunganmu dengannya,” pintanya dengan suara pilu. Dia merasa begitu kecewa dan terluka melihat putrinya terjerumus begitu dalam dalam kesalahannya. Namun,
Venina sedang menyiapkan teh di dapur ketika Erlangga menghampirinya dengan wajah serius. "Nina, kita harus bicara soal Erna," ujarnya dengan nada tegas.Venina menghela napas panjang, sudah menduga arah pembicaraan ini. "Ada apa lagi, Mas?""Saya rasa kita harus lebih tegas. Erna harus menggugurkan kandungannya," Erlangga berkata tanpa basa-basi.Cangkir teh di tangan Venina hampir terlepas. Dia menatap suaminya dengan tatapan tak percaya. "Apa? Mas bercanda, kan?""Saya serius, Nina. Ini demi masa depan Erna. Dia masih terlalu muda, belum siap jadi ibu," Erlangga bersikeras.Venina menatap suaminya dengan tajam, "Mas, aku nggak nyangka kamu bisa ngomong kayak gitu. Erna itu anak kita, darah daging kita sendiri. Gimana bisa
Erlangga berdiri kaku di depan ruang pemeriksaan, matanya tak lepas dari pintu yang tertutup rapat, seolah-olah bisa menembus dinding untuk melihat keadaan putrinya. Kekhawatiran terukir jelas di wajahnya, campuran antara rasa takut akan kondisi Erna dan amarah yang masih bergolak dalam dadanya.“Erna…," bisiknya berulang-ulang, suaranya serak oleh emosi yang tak terbendung. Tangannya mengepal dan mengendur secara bergantian, menunjukkan pergulatan batin yang hebat di dalam dirinya.Venina berdiri di sampingnya, berusaha menenangkan suaminya dengan kata-kata lembut di tengah kecemasannya sendiri. "Erna akan baik-baik saja, Mas. Dia gadis yang kuat."Erlangga menoleh tajam, rahangnya mengeras. Dia masih belum bisa memaafkan Venina yang telah menyembunyikan kehamilan Erna darinya. "Baik-baik saja?" desisn
Erlangga dengan mata berkilat penuh amarah, menerobos masuk ke ruang rapat tanpa peduli tatapan kaget karyawan di sekelilingnya. Fokusnya hanya tertuju pada satu orang: Arya Prasetya.Tanpa basa-basi dan tanpa peduli dengan kehadiran orang lain di ruangan itu, Erlangga mencengkeram kerah kemeja Arya dengan kekuatan yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri."Brengsek kau!" desis Erlangga, giginya bergemeletuk menahan amarah yang sudah di ujung tanduk.Arya, yang biasanya tampil penuh wibawa, kini hanya bisa pasrah. Dia tahu hari ini akan tiba, hari di mana Erlangga akan datang padanya.Begitu berada di luar, Erlangga melepaskan cengkeramannya hanya untuk melayangkan pukulan telak ke wajah Arya. Suara debuman keras terdengar ketika tubuh Arya terhempas ke dinding. Namun, Ar
"Mama, cukup!" teriak Erlangga, suaranya bergetar menahan amarah. "Berhentilah menyakiti Venina dan menghancurkan keluarga saya!"Amita mendengus keras, matanya menyipit penuh kebencian. "Menghancurkan keluargamu? Justru wanita itu yang menghancurkan segalanya!" Dia menunjuk Venina dengan jari gemetar. "Kamu tidak bisa memperlakukan Mama seperti ini hanya karena wanita penghasut seperti dia, Angga!"Erlangga menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. "Mama, please. Hentikan semua ini."Namun Amita seolah kerasukan. Dia melanjutkan dengan suara melengking, "Kamu tidak bisa menjadi anak durhaka hanya karena membela wanita penggoda yang telah membunuh Nathalia dan membuat Erna kehilangan kasih sayang!"Kata-kata itu menjadi pemicu yang menghancurkan pertaha
Mobil melaju dalam keheningan yang mencekam. Venina mencengkeram setir erat, sesekali melirik ke arah Erna yang duduk diam di sampingnya. Putrinya itu tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, matanya kosong menatap jalanan yang bergerak cepat di luar jendela.Venina ingin sekali memecah kesunyian ini, ingin memeluk Erna dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, dia tahu ini bukan saat yang tepat. Luka dan kebencian yang selama ini tertanam di hati gadis itu tidak bisa begitu saja hilang dalam sekejap.Erna, di sisi lain, merasakan pergolakan batin yang hebat. Selama ini dia selalu percaya bahwa ibunya adalah wanita jahat yang telah menghancurkan keluarganya. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, dia melihat sisi lain dari Venina. Sisi seorang ibu yang rela berjuang melawan dunia demi anaknya.Setel
Ketegangan memenuhi ruangan itu seperti listrik statis yang siap meledak. Amita, dengan wajah merah padam dan mata berkilat-kilat penuh amarah, menatap Venina seolah-olah ingin menghancurkannya di tempat."Berani-beraninya kamu datang ke sini!" desis Amita, suaranya penuh kebencian. "Kamu pikir kamu siapa, tiba-tiba muncul dan merusak segalanya?"Venina, yang berdiri tegak di ambang pintu, tak gentar menghadapi tatapan membunuh mertuanya. Matanya terfokus pada Erna yang terbaring pucat di ranjang pemeriksaan."Erna, Sayang," panggil Venina lembut, mengabaikan Amita. "Kamu nggak apa-apa?"Amita mendengus keras. "Jangan pura-pura peduli, dasar wanita jalang! Kamu tidak punya hak atas Erna!"Venina menoleh tajam ke arah Amita, m
Erna meringkuk di sudut kamarnya, tubuhnya gemetar hebat seolah dilanda demam. Matanya yang sembab menatap kosong ke dinding, sementara tangannya tak henti-hentinya mengusap perutnya yang masih rata. Pikirannya berkecamuk, suara-suara dalam kepalanya saling berteriak."Om Arya..." nama itu terucap lirih, penuh kepedihan. Pria beristri itu, yang hanya menghabiskan satu malam bersamanya, kini telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam hidupnya. Erna terisak, "Kenapa? Kenapa harus seperti ini?"Pikirannya terus berkecamuk, bayangan-bayangan mengerikan berkelebat di benaknya. Wajah kecewa papanya, tatapan jijik dari masyarakat, masa depannya yang hancur... tapi kemudian, dia membayangkan senyum seorang bayi, tawa kecil yang mungkin tak akan pernah dia dengar. Air matanya kembali mengalir deras.Suara ketukan pi
Erna merebahkan tubuhnya di atas ranjang, matanya memandang kosong ke arah langit-langit kamar. Kepalanya berdenyut-denyut menahan gejolak emosi yang bergejolak di dalam dirinya.Sepeninggal Om Arya, gadis itu merasa hidupnya seolah runtuh berkeping-keping. Hatinya seakan terkoyak, meninggalkan luka yang mungkin tak akan pernah sembuh. Semua kebahagiaan yang sempat dirasakannya kini berganti dengan rasa sakit yang menyeruak.Tanpa terasa, air mata mulai mengalir di pipinya. Erna menangis dalam diam, tak sanggup lagi menahan gejolak perasaannya. Kenapa Om Arya tega membuangnya begitu saja? Kenapa pria itu begitu keras kepala dengan keputusannya?Erna mengerang frustrasi, menutupi wajahnya dengan bantal, berharap bisa meredam tangisannya. Namun, isak tangisnya tetap lolos, membuat tubuhnya berguncang hebat.
Arya turun dari ranjang, berlutut di samping Erna. Dengan lembut ia mengangkat dagu gadis itu, memaksa Erna menatap matanya. "Dengarkan Om, Erna. Kamu adalah gadis yang luar biasa. Kamu cantik, pintar, dan punya hati yang baik. Suatu hari nanti, kamu akan menemukan pria yang tepat untukmu. Pria yang bisa mencintaimu sepenuhnya, tanpa beban masa lalu atau kewajiban lain.""Tapi aku maunya Om Arya!" Erna berseru frustasi, air matanya mengalir deras. "Apa kurangnya aku, Om? Apa yang harus aku lakukan supaya Om mau sama aku?"Arya menggeleng pelan, matanya menyiratkan kesedihan yang mendalam. "Bukan masalah kurang atau lebih, Erna. Ini masalah benar dan salah. Hubungan kita... ini salah. Harus berakhir di sini.""Nggak! Aku nggak mau!" Erna mencengkeram lengan Arya erat. "Om nggak bisa ninggalin aku gitu aja setelah apa