Malam itu, Erlangga membawa Venina ke salah satu villa di puncak. Begitu mobil mereka masuk ke dalam garasi, Venina sudah bisa merasakan aura kekosongan dan kesunyian yang menghantui villa itu. Cahaya redup dari lampu yang menyala hanya sebagian membuat suasana semakin mencekam.
Venina merapatkan tubuhnya yang terasa dingin ke arah Erlangga. Diikutinya langkah pria itu yang terasa sangat terburu-buru, seperti ada orang yang mengejarnya.
“Kenapa kita ke sini, Mas?” tanya Venina dengan gemetar sesaat setelah Erlangga melepaskan genggamannya ketika mereka sudah berada di ruang tengah.
Tetapi Erlangga tidak menjawab. Matanya tampak redup, tanpa secercah emosi yang bisa terbaca. Ketidaksabaran Venina semakin bertambah, kecemasannya mulai meluap tak terkendali.
Venina merasa nyeri di setiap bagian tubuhnya saat dia membuka mata, dan langit-langit kamar yang tidak akrab itu hanya menambah rasa kebingungannya. Kenapa dia bisa berada di sini sendiri? Dan di mana Erlangga?Jam di samping ranjang menunjukkan pukul 1 siang, membuat Venina tersentak. Dia tidak memberi kabar pada ibunya. Rasanya jantungnya ingin melompat keluar dari dadanya saat menyadari betapa paniknya ibunya saat ini karena dia tidak ada di rumah.Dengan gerakan tertatih, Venina bangkit dari ranjangnya, meraih jubah tidur dan melangkah keluar. Setiap gerakan menimbulkan rasa sakit yang semakin nyata. Dia memanggil nama Erlangga berulang kali, tetapi tak ada jawaban yang terdengar.“Mas Angga…!” panggil Venina dengan serak. Dia melanjutkan langkahnya sampai ke halaman depan.
Nadia merasa seperti dunia ini runtuh di hadapannya saat dia melihat banyaknya tanda percintaan di tubuh putrinya. Dengan perasaan yang hancur, dia menyiram seluruh tubuh Venina, mencoba membersihkan setiap jejak dari pria yang telah mencoreng kehormatan putrinya. Hatinya terasa begitu sakit. Dia tidak pernah membayangkan putri yang dijaganya dengan penuh kasih sayang akan menghancurkan kepercayaannya seperti ini. “Kenapa, Nina? Kenapa kamu melakukannya?” gumam Nadia lagi dengan suara penuh kesedihan. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa putrinya telah memberikan segalanya pada pria yang tidak pantas bersamanya. Venina hanya bisa menundukkan kepala, tak sanggup bertatapan dengan ibunya. Air matanya mengalir deras, mengungkapkan betapa dalamnya penyesalan yang dia rasakan. “Kalau kamu masih benar-benar menyayangi Ibu, akhiri hubunganmu dengannya,” pintanya dengan suara pilu. Dia merasa begitu kecewa dan terluka melihat putrinya terjerumus begitu dalam dalam kesalahannya. Namun,
Ketika Erlangga pergi, kesunyian terasa semakin menusuk hati Venina. Dia duduk di tepi sofa dengan tubuh yang lemas, menyimpan kekecewaan dan penyesalan yang begitu dalam. Air matanya sudah habis, tapi rasa sakit di hatinya masih begitu terasa.Sementara ibunya berdiri di depannya dengan tatapan yang penuh dengan campuran emosi: kekecewaan, kemarahan, dan kepedihan.“Sekarang kamu lihat sendiri kan, Nina? Kamu hanya membuang-buang waktumu untuk mencintai pria yang hanya memanfaatkan tubuhmu,” ujar Nadia dengan suara yang penuh dengan kepedihan. Kata-katanya menusuk hati Venina seperti belati yang tajam.“Nina capek, Bu. Tolong jangan sekarang,” kata Venina dengan suara lemah, mencoba menahan rasa sakit dan keputusasaan yang menghimpitnya.&l
Setelah seminggu tidak bertemu dan menjalin kontak, Venina akhirnya kembali ke kantor. Wajahnya terlihat tegang ketika dia melangkah menuju ruangannya. Selama ini dia menghabiskan waktunya untuk menenangkan diri dan mencoba meredakan kekhawatirannya yang semakin memuncak. Erlangga, yang sejak hari itu tidak pernah berhasil menghubunginya, tampak sudah menunggu di depan mejanya. Ekspresinya tegang, memperlihatkan betapa gelisahnya pria itu selama seminggu ini. "Kita perlu bicara, Nina!" seru Erlangga dengan nada yang tegas, tanpa menyisakan ruang untuk penolakan. Namun, Venina tidak langsung menanggapi ucapan Erlangga. Dia memilih untuk melewatinya dan bergerak menuju ke tempatnya. Hatinya masih terluka oleh semua yang terjadi, dan dia belum siap untuk berbicara dengan Erlangga. “Maaf, Pak. Ada hal yang lebih penting yang harus saya kerjakan,” kata Venina dengan sopan, mencoba menghindari pertemuan dengan Erlangga. “Kamu tidak bisa menghindar terus seperti ini, Nina!” sergah Erlang
“Hari ini katanya Rio mau datang, Nina. Lebih baik sekarang kamu mandi dan berhias yang cantik,” ujar Nadia dengan semangat yang menggelora. Matanya bersinar cerah saat menyebut nama Rio, seolah-olah menyiratkan harapan besar dalam kehadiran pria itu.Venina memandang ibunya dengan keraguan yang tersembunyi di balik ekspresi wajahnya. Dia tak bisa menghindari kecemasan yang merayap di dadanya. Setelah putus dengan Erlangga, dia merasa belum siap untuk membuka hatinya kepada orang lain. Tetapi, melihat betapa bahagianya ibunya, Venina tak kuasa menolak permintaannya. Meski enggan, dia akhirnya menerima saja semua yang diinginkan ibunya.“Kenapa malah bengong? Sudah sana mandi!” perintah Nadia lagi sambil menepuk pundak putrinya, mengalihkan perhatian Venina dari lamunan yang merajai pikirannya.“Iya, Bu,” jawab Venina singkat sebelum masuk ke dalam kamar mandi. Tak lama kemudian, Venina keluar dari kamar mandi dan melihat beberapa gaun berjejer rapi di atas ranjangnya. Matanya memand
Rio duduk di sofa, matanya melintas dari Venina ke gadis yang berdiri di dekatnya yang terlihat sedang asyik dengan dunianya sendiri. "Aku tidak tahu kamu punya adik," ujarnya, sedikit terkejut.Venina menatap adiknya dengan tatapan lembut, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang tersembunyi di balik senyumnya. "Ibu sedang mengandung Gina saat kita pindah," jelasnya dengan suara pelan, namun kata-katanya menggambarkan betapa sulitnya momen itu baginya."Aku kaget sekali saat tahu kamu dan ibumu pergi. Tidak menyangka kita akan berpisah begitu saja," ujar Rio sambil memandang wajah Venina.Venina mencoba tersenyum, mencoba mengubah suasana menjadi lebih ringan. "Aku pikir kamu senang kalau aku pindah," candanya, mencoba menyembunyikan perasaan sedihnya di balik senyumnya.
“Bagaimana? Dia semakin tampan, kan?” suara Nadia terdengar sangat antusias ketika melihat putrinya masuk ke dapur.Venina mendengus, menyadari bahwa ibunya sedang mempermainkan peranannya. "Ibu kenapa nggak keluar, sih? Kenapa malah sembunyi di sini?" balasnya, seolah tidak mendengar pertanyaan ibunya.Nadia tersenyum, mencoba menyembunyikan kegembiraannya. "Ibu nggak mau mengganggu waktu kalian. Kalau Rio tanya, bilang saja ibu lagi sibuk," jawabnya dengan santai, mencoba menutupi semangatnya yang meledak-ledak.Venina memiringkan kepalanya dengan rasa tak percaya. Baru kali ini dia melihat ibunya sebegitu bersemangatnya saat memperkenalkannya pada Rio.“Padahal tadi Nina bilang sama dia kalau Ibu sudah sangat-sangat menunggu kedatangannya Rio Pandega
Sudah hampir seminggu sejak Venina dan Rio semakin dekat. Setiap hari, Rio selalu menyempatkan diri untuk mengantar dan menjemput Venina ke kantor, meskipun jarak ke tempat kerja mereka berlawanan arah. Namun, Rio seolah tidak peduli dengan hal itu.“Kamu nggak capek apa antar jemput aku setiap hari?” tanya Venina, ketika sore itu pria itu datang menjemputnya seperti biasa saat jam pulang kantor.“Nggak kerasa tuh capeknya. Soalnya aku senang bisa antar dan jemput wanita secantik kamu,” jawab Rio sambil tersenyum, tatapan hangatnya menyapu wajah Venina.Venina memukul lengan Rio dengan gemas, tetapi senyum kecil tak terelakkan muncul di wajahnya. “Kenapa sih kamu nggak pernah serius?”“Loh, aku serius, kok. Kamu memang cantik, Nina,” balas Rio, senyumnya semakin lebar saat melihat wajah Venina mulai memerah.Venina merasa canggung dengan pujian Rio. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lain, mencoba menyembunyikan ekspresinya. Tiba-tiba saja dia kembali teringat pada Erlangga. Karena
Venina sedang menyiapkan teh di dapur ketika Erlangga menghampirinya dengan wajah serius. "Nina, kita harus bicara soal Erna," ujarnya dengan nada tegas.Venina menghela napas panjang, sudah menduga arah pembicaraan ini. "Ada apa lagi, Mas?""Saya rasa kita harus lebih tegas. Erna harus menggugurkan kandungannya," Erlangga berkata tanpa basa-basi.Cangkir teh di tangan Venina hampir terlepas. Dia menatap suaminya dengan tatapan tak percaya. "Apa? Mas bercanda, kan?""Saya serius, Nina. Ini demi masa depan Erna. Dia masih terlalu muda, belum siap jadi ibu," Erlangga bersikeras.Venina menatap suaminya dengan tajam, "Mas, aku nggak nyangka kamu bisa ngomong kayak gitu. Erna itu anak kita, darah daging kita sendiri. Gimana bisa
Erlangga berdiri kaku di depan ruang pemeriksaan, matanya tak lepas dari pintu yang tertutup rapat, seolah-olah bisa menembus dinding untuk melihat keadaan putrinya. Kekhawatiran terukir jelas di wajahnya, campuran antara rasa takut akan kondisi Erna dan amarah yang masih bergolak dalam dadanya.“Erna…," bisiknya berulang-ulang, suaranya serak oleh emosi yang tak terbendung. Tangannya mengepal dan mengendur secara bergantian, menunjukkan pergulatan batin yang hebat di dalam dirinya.Venina berdiri di sampingnya, berusaha menenangkan suaminya dengan kata-kata lembut di tengah kecemasannya sendiri. "Erna akan baik-baik saja, Mas. Dia gadis yang kuat."Erlangga menoleh tajam, rahangnya mengeras. Dia masih belum bisa memaafkan Venina yang telah menyembunyikan kehamilan Erna darinya. "Baik-baik saja?" desisn
Erlangga dengan mata berkilat penuh amarah, menerobos masuk ke ruang rapat tanpa peduli tatapan kaget karyawan di sekelilingnya. Fokusnya hanya tertuju pada satu orang: Arya Prasetya.Tanpa basa-basi dan tanpa peduli dengan kehadiran orang lain di ruangan itu, Erlangga mencengkeram kerah kemeja Arya dengan kekuatan yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri."Brengsek kau!" desis Erlangga, giginya bergemeletuk menahan amarah yang sudah di ujung tanduk.Arya, yang biasanya tampil penuh wibawa, kini hanya bisa pasrah. Dia tahu hari ini akan tiba, hari di mana Erlangga akan datang padanya.Begitu berada di luar, Erlangga melepaskan cengkeramannya hanya untuk melayangkan pukulan telak ke wajah Arya. Suara debuman keras terdengar ketika tubuh Arya terhempas ke dinding. Namun, Ar
"Mama, cukup!" teriak Erlangga, suaranya bergetar menahan amarah. "Berhentilah menyakiti Venina dan menghancurkan keluarga saya!"Amita mendengus keras, matanya menyipit penuh kebencian. "Menghancurkan keluargamu? Justru wanita itu yang menghancurkan segalanya!" Dia menunjuk Venina dengan jari gemetar. "Kamu tidak bisa memperlakukan Mama seperti ini hanya karena wanita penghasut seperti dia, Angga!"Erlangga menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. "Mama, please. Hentikan semua ini."Namun Amita seolah kerasukan. Dia melanjutkan dengan suara melengking, "Kamu tidak bisa menjadi anak durhaka hanya karena membela wanita penggoda yang telah membunuh Nathalia dan membuat Erna kehilangan kasih sayang!"Kata-kata itu menjadi pemicu yang menghancurkan pertaha
Mobil melaju dalam keheningan yang mencekam. Venina mencengkeram setir erat, sesekali melirik ke arah Erna yang duduk diam di sampingnya. Putrinya itu tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, matanya kosong menatap jalanan yang bergerak cepat di luar jendela.Venina ingin sekali memecah kesunyian ini, ingin memeluk Erna dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, dia tahu ini bukan saat yang tepat. Luka dan kebencian yang selama ini tertanam di hati gadis itu tidak bisa begitu saja hilang dalam sekejap.Erna, di sisi lain, merasakan pergolakan batin yang hebat. Selama ini dia selalu percaya bahwa ibunya adalah wanita jahat yang telah menghancurkan keluarganya. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, dia melihat sisi lain dari Venina. Sisi seorang ibu yang rela berjuang melawan dunia demi anaknya.Setel
Ketegangan memenuhi ruangan itu seperti listrik statis yang siap meledak. Amita, dengan wajah merah padam dan mata berkilat-kilat penuh amarah, menatap Venina seolah-olah ingin menghancurkannya di tempat."Berani-beraninya kamu datang ke sini!" desis Amita, suaranya penuh kebencian. "Kamu pikir kamu siapa, tiba-tiba muncul dan merusak segalanya?"Venina, yang berdiri tegak di ambang pintu, tak gentar menghadapi tatapan membunuh mertuanya. Matanya terfokus pada Erna yang terbaring pucat di ranjang pemeriksaan."Erna, Sayang," panggil Venina lembut, mengabaikan Amita. "Kamu nggak apa-apa?"Amita mendengus keras. "Jangan pura-pura peduli, dasar wanita jalang! Kamu tidak punya hak atas Erna!"Venina menoleh tajam ke arah Amita, m
Erna meringkuk di sudut kamarnya, tubuhnya gemetar hebat seolah dilanda demam. Matanya yang sembab menatap kosong ke dinding, sementara tangannya tak henti-hentinya mengusap perutnya yang masih rata. Pikirannya berkecamuk, suara-suara dalam kepalanya saling berteriak."Om Arya..." nama itu terucap lirih, penuh kepedihan. Pria beristri itu, yang hanya menghabiskan satu malam bersamanya, kini telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam hidupnya. Erna terisak, "Kenapa? Kenapa harus seperti ini?"Pikirannya terus berkecamuk, bayangan-bayangan mengerikan berkelebat di benaknya. Wajah kecewa papanya, tatapan jijik dari masyarakat, masa depannya yang hancur... tapi kemudian, dia membayangkan senyum seorang bayi, tawa kecil yang mungkin tak akan pernah dia dengar. Air matanya kembali mengalir deras.Suara ketukan pi
Erna merebahkan tubuhnya di atas ranjang, matanya memandang kosong ke arah langit-langit kamar. Kepalanya berdenyut-denyut menahan gejolak emosi yang bergejolak di dalam dirinya.Sepeninggal Om Arya, gadis itu merasa hidupnya seolah runtuh berkeping-keping. Hatinya seakan terkoyak, meninggalkan luka yang mungkin tak akan pernah sembuh. Semua kebahagiaan yang sempat dirasakannya kini berganti dengan rasa sakit yang menyeruak.Tanpa terasa, air mata mulai mengalir di pipinya. Erna menangis dalam diam, tak sanggup lagi menahan gejolak perasaannya. Kenapa Om Arya tega membuangnya begitu saja? Kenapa pria itu begitu keras kepala dengan keputusannya?Erna mengerang frustrasi, menutupi wajahnya dengan bantal, berharap bisa meredam tangisannya. Namun, isak tangisnya tetap lolos, membuat tubuhnya berguncang hebat.
Arya turun dari ranjang, berlutut di samping Erna. Dengan lembut ia mengangkat dagu gadis itu, memaksa Erna menatap matanya. "Dengarkan Om, Erna. Kamu adalah gadis yang luar biasa. Kamu cantik, pintar, dan punya hati yang baik. Suatu hari nanti, kamu akan menemukan pria yang tepat untukmu. Pria yang bisa mencintaimu sepenuhnya, tanpa beban masa lalu atau kewajiban lain.""Tapi aku maunya Om Arya!" Erna berseru frustasi, air matanya mengalir deras. "Apa kurangnya aku, Om? Apa yang harus aku lakukan supaya Om mau sama aku?"Arya menggeleng pelan, matanya menyiratkan kesedihan yang mendalam. "Bukan masalah kurang atau lebih, Erna. Ini masalah benar dan salah. Hubungan kita... ini salah. Harus berakhir di sini.""Nggak! Aku nggak mau!" Erna mencengkeram lengan Arya erat. "Om nggak bisa ninggalin aku gitu aja setelah apa