Revan membawaku datang ke rumahnya. Rumahnya tampak megah dan besar. Aku tak menyangka Revan adalah anak dari orang kaya. Tapi gaya hidup Revan lebih cenderung sederhana."Minum apa El?" Revan menawarkan minuman padaku."Oh nggak usah repot - repot Rev!" Ucapku yang menolak tawaran Revan."Baiklah El! Tapi kalau kamu haus atau lapar, nanti bilang ke aku! Aku akan meminta Bibi membuatkan makanan untuk mu!" Ucap Revan yang di balas dengan senyuman ku."Aku mau mandi bentar ya dan ganti baju dulu! Gerah nih El! Kamu tunggu di sini! Aku hanya sebentar kok!" Ucap Revan."Ok. Kamu tenang saja Rev! Aku kelihatannya betah kok di sini!" Balasku dengan senyuman.Revan kemudian pergi ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya sendiri. Sedangkan aku menunggu di dalam kamar Revan yang besar ini. Kamar Revan sangat bersih dan rapi, serta dengan pemandangan dari jendela yang indah. Langsung menghadap ke luar rumah.Aku melihat - lihat semua barang yang ada di kamar Revan. Kamar yang sangat khas deng
Aku melihat keluguan Revan yang gemetaran ketika akan memijat punggungku. Saking groginya Revan memilih untuk pergi dengan berpura - pura untuk mengambil air minum. Padahal sebenarnya Revan sudah on."Ambilin aku juga ya Rev! Aku juga haus!" Pintaku pada Revan yang ingin mengambil air minum."Ok El!" Ucap Revan yang kemudian pergi meninggalkan ku di kamarnya untuk mengambil minuman.Aku menunggu Revan yang pergi ke dapur. Sambil menonton film yang diputar Revan, aku menunggunya untuk kembali. Revan cukup lama untuk lama. Aku tak tahu entah apa yang dibuatnya di belakang. Hampir lima belas menit aku menunggunya di kamar Revan."Revan lagi ngapain sih? Kok lama ya?" Tanya ku dalam hati. Aku masih ingin melihat kelakuan Revan yang grogi karena bersamaku. Lagian Revan belum selesai memijat pinggangku. Pinggangku masih merasa sakit - sakit.Setelah lama menunggu, akhirnya Revan datang dengan membawa dua gelas jus dan cemilan. Dengan senyum semeringah Revan membawanya dan menaruh di depanku
Aku melihat keluguan Revan yang gemetaran ketika akan memijat punggungku. Saking groginya Revan memilih untuk pergi dengan berpura - pura untuk mengambil air minum. Padahal sebenarnya Revan sudah on."Ambilin aku juga ya Rev! Aku juga haus!" Pintaku pada Revan yang ingin mengambil air minum."Ok El!" Ucap Revan yang kemudian pergi meninggalkan ku di kamarnya untuk mengambil minuman.Aku menunggu Revan yang pergi ke dapur. Sambil menonton film yang diputar Revan, aku menunggunya untuk kembali. Revan cukup lama untuk lama. Aku tak tahu entah apa yang dibuatnya di belakang. Hampir lima belas menit aku menunggunya di kamar Revan."Revan lagi ngapain sih? Kok lama ya?" Tanya ku dalam hati. Aku masih ingin melihat kelakuan Revan yang grogi karena bersamaku. Lagian Revan belum selesai memijat pinggangku. Pinggangku masih merasa sakit - sakit.Setelah lama menunggu, akhirnya Revan datang dengan membawa dua gelas jus dan cemilan. Dengan senyum semeringah Revan membawanya dan menaruh di depanku
Mbak Lara kelihatan sangat panik dengan perginya mas Dika dari rumah. Aku juga tak menyangka kenapa mas Dika memilih untuk pergi. Aku tahu mas Dika mungkin merasa sudah tak tahan dengan kondisi rumah tangganya yang kacau. Tapi tidak seharusnya mas Dika pergi begini."El! Tolong Mbak El! Kita cari mas Dika El! Mbak nggak mau kalau mas Dika meninggalkan Mbak El!" Ucap mbak Lara. Mbak Lara terus menangis, dia tidak rela mas Dika pergi."Mbak sudah pernah menelpon mas Dika Mbak?" Tanyaku pada mbak Lara."Sudah El! Tapi mas Dika ponselnya mati!" Jawab mbak Lara."Terus, apa Mbak sudah pernah menghubungi keluarga mas Dika Mbak? Mungkin saja mas Dik kembali ke kampungnya!" Tanya aku kembali."Baik El! Mbak akan coba menghubungi Ibunya di kampung. Mungkin benar saja mas Dika pulang El!" Jawab mbak Lara. Mbak Lara segera mengambil ponselnya dan mencari nomor telepon orang tua mas Dika yang ada di kampung. Setelah menemukannya, mbak Lara langsung menghubungi nomor tersebut. Dan tak lama kemudia
Ditengah keterpurukan mbak Lara yang hampir putus asa mencari mas Dika yang menghilang. Kini mbak Lara hanya banyak melamun seorang diri. Aku merasa sangat kasihan dengan keadaannya yang sekarang. Bahkan mbak Lara sudah beberapa hari ini tidak masuk kerja. Dia mengatakan kalau dia tidak bisa fokus untuk melakukan pekerjaannya saat ini. Maka dari itu ia mengambil cuti untuk beberapa hari ke depan."Sabar Mbak! Mbak jangan seperti ini terus dong! Nanti Mbak bisa sakit Mbak!" Ucapku menasehati mbak Lara. Tapi Mbak seakan tak memperdulikan ku."Memang Mbak! Penyesalan itu datangnya belakangan! Mbak boleh merasa bersalah! Tapi Mbak jangan seperti ini! Lebih baik Mbak perbaiki semua ini kedepannya. Dan biarkan mas Dika pergi dulu untuk sementara! Mungkin dia butuh waktu untuk menenangkan diri Mbak! Kalau mas Dika sudah merasa baikan, ia akan datang kembali Mbak! Yang penting Mbak sabar dan terus berdoa! Agar mas Dika dibukakan pintu hatinya untuk memaafkan Mbak! Dan kembali lagi bersama Mba
Kurang lebih jam empat sore kami sudah sampai ke kampung mas Dika. Aku segera memakirkan kendaraan kami tepat di depan rumah mas Dika. Suasana kampung sangat terasa sekali di sini. Banyak pemandangan - pemandangan yang memanjakan mata di kampung ini. "Assalamualaikum Ibuk.... Ucap mbak Lara yang langsung masuk ke dalam rumah dan menyalami Ibu mas Dika dan juga Bapaknya. Akupun ikut menyalami mereka berdua. Aku juga memang merasa cukup dekat dengan mereka. Karena setiap mas Dika dan mbak Lara pulang kampung. Aku akan selalu ikut. Tak pernah mereka meninggalkanku sendiri kala mereka pulang kampung. "Waalaikumsalam..." Balas Ibu mas Dika. "Duduk dulu Nak! Perintah Ibu mas Dika. Aku dan mbak Lara kemudian duduk di ruang tamu rumahnya Ibu mas Dika. "Iya Buk!" Jawab mbak Lara. Setelah beberapa saat, mbak Lara kemudian menanyakan dimana mas Dika sekarang. "Mas Dika mana Buk? Kok Lara nggak lihat!" Tanya mbak Lara yang sudah tidak sabar untuk ketemu mas Dika. "Dika nya sedang di belakang
"Oouuhh Maaasshh lebih dalam lagi Maas!" Enak Mas! Yang mentok Maass!" Ucap mbak Lara sambil menahan agar tidak terlalu bersuara. Otak ku jadi ngebleng mendengar rintihan mbak Lara. Mereka benar - benar tidak bisa menahan diri untuk menunda dulu sampai balik lagi ke rumah. Bahkan ketika ada aku yang di dekat merekapun, mereka bergenjotan berdua. Telinga dan mataku pun tak bisa aku ajak kompromi. Panca indra ku seakan makin peka mendengar keduanya mengerang."Duh sial! Kenapa aku harus terjebak di situasi seperti ini?" Ucapku dalam hati yang tidak bisa tidur karena mbak Lara dan mas Dika. Mereka berdua bersetubuh disaat aku ada bersamanya. Mereka bahkan sama sekali tidak memikirkan ku. Erangan mbak Lara makin lama makin kuat. Dia seakan tak bisa menahan suaranya agar tidak keluar. Mas Dika juga tidak memikirkanku yang ada di dekatnya."Eeuuhhh Massss... Enaaakk Mass! Lebih kuat Mas! Lebih dalam! Yang enak Mas!" Ucap mbak Lara sambil ngos - ngosan. Aku yang lama - kelamaan mendengar set
Mas Dika melajukan mobilnya perlahan - lahan. Karena kondisi jalan yang tidak bagus. Aku menghadap keluar kaca mobil. Aku tak berani memulai pembicaraan. Sepertinya mas Dika juga sama, dia tak banyak bicara. Kami seakan seperti dua orang yang lagi marahan dan tak saling tegur sapa. Entah kemana mas Dika akan membawaku, yang jelas aku sungguh sama tak peduli lagi dengan pemandangan di kampung itu. Walau pemandangan perkampungan ini sangatlah indah."El!" Sapa mas Dika yang memulai pembicaraan diantara kami. Dengan perasaan canggung, aku menoleh melihat mas Dika. Mas Dika benar - benar sudah membuatku jatuh hati. Wajahnya yang rupawan dan perawakannya yang dewasa. Membuat aku tak bisa berpikir panjang kalau yang ada bersamaku saat ini adalah suami dari kakakku sendiri."Ya Mas!" Balasku dengan suara lirih. Tapi kami kembali dan tak melanjutkan pembicaraan. Kami tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana. Hingga aku dan mas Dika kembali diam - diaman. Karena suasana yang sunyi sepi s