“Bisakah kau sedikit bersabar, Grisse?” Tanya Vidwan dengan nada tidak suka. Vidwan benar-benar kesal karena Grisse terus menanyakan kepastian kapan mereka akan menikah. Jika Vidwan tidak salah menghitung, sepagi ini saja sudah lima kali Grisse menanyakan hal yang sama. Vidwan tahu bahwa Grisse tengah merasa bersalah dengan keputusan yang telah diambilnya. Masih menurut dugaan Vidwan, Grisse juga ketakutan. Ketakutan yang disebabkan oleh rasa khawatir yang terus memenuhi hatinya. Tanpa Grisse sadari, rasa takut yang terus ia pupuk melahirkan keraguan yang justru semakin menyiksa dirinya.
Grisse meragukan kesungguhan Vidwan. Gadis itu akhirnya meyakini satu hal yang tidak menyenangkan bahwa Vidwan tengah berusaha lari dari tanggung jawab. Padahal, seandainya Grisse tahu, tidak pernah sedikit pun terlintas dalam hati juga otak Vidwan bahwa ia akan meninggalkan Grisse. Sungguh Vidwan telah j
Grisse mengempaskan tubuhnya ke atas ranjang berukuran sembilan puluh kali dua ratus sentimeter di kamar asramanya. Gadis itu sengaja berbaring dengan posisi tengkurap karena ingin membenamkan wajahnya sedalam mungkin. Setelah beberapa saat, tangan Grisse meraba-raba area di atas kepalanya. Begitu telapak tangannya menyentuh bantal yang letaknya tidak terlalu jauh dari atas kepalanya, Grisse kemudian meraih bantal itu. Ia pun kemudian mengubah posisi tidurnya menjadi telentang. Diletakkannya bantal tepat di bawah kepalanya. mata Grisse menatap nanar langit-langit kamar asramanya yang berwarna putih kusam.Lama Grisse menatap langit-langit kamar sambil sesekali mengedipkan matanya. Lambat laun, kedipan mata Grisse semakin cepat. Gadis itu berusaha menahan titik-titik air yang telah menggenangi kelopak matanya. Air mata pun meluncur cepat ke arah samping. Beberapa di antaranya terkumpul di cekungan daun teli
Lagi-lagi bibir Grisse mengulas senyum ketika ingatannya kembali diputar ke kejadian beberapa waktu lalu. Vidwan datang ke kamarnya untuk meminta maaf padanya. Bukannya menjawab permintaan maaf yang dilontarkan Vidwan, Grisse justru tergoda hingga akhirnya ia kembali bercinta dengan gurunya. Bagaimana tidak tergoda, jika Vidwan begitu agresif menyentuhnya di titik-titik paling sensitif dirinya. Kini otak Grisse sibuk mengingat bahwa sentuhan tanpa menggunakan tangan lebih berbahaya. Sentuhan tanpa menggunakan tangan mampu membius objek yang disentuh. Ia begitu melenakan dan mengecewakan bila buru-buru disudahi.“Hey, kau masih terjaga?” Tanya Vidwan masih dengan mata terpejam. Grisse menoleh ke samping kanannya. Sang dosen terlihat seperti sedang tidur, namun ia tahu bahwa laki-laki itu terjaga. Laki-laki itu tengah berpura-pura tidur.“Aku ti
Grisse mengerutkan keningnya ketika rongga mulutnya tetiba dipenuhi oleh cairan kental dengan rasa yang sulit digambarkan. Rasa yang sangat asing dan… aneh. Detik berikutnya, Grisse buru-buru menggunakan paha Vidwan sebagai tumpuan kedua tangannya agar ia bisa bergegas berdiri. Grisse cepat-cepat menjauhkan mulutnya dari kemaluan Vidwan. Rasa mual yang hebat membuat Grisse berlari menuju wastafel dan sesampainya di depan wastafel, tanpa menunda lagi Grisse pun….Hoek!Grisse memuntahkan seluruh cairan yang tertahan di mulutnya. Perutnya seperti diaduk-aduk dengan cepat tatkala otaknya kembali mengingat rasa yang ditangkap oleh saraf lidahnya.Vidwan bangkit dari duduknya kemudian bergegas mendekati Grisse. Meski terlihat enggan, Vidwan terpaksa harus mengenyahkan sensasi nikmat akibat klimaks yang dialaminya. Untuk saat ini, Grisse lebih penting. Gadis itu terlihat lemas dan sangat menderita di depan wastafel. Vidwan memijit
Grisse mengerjap beberapa kali sambil berusaha mengumpulkan kembali ingatannya tentang apa yang baru saja ia lalui. Grisse ingat bahwa ia tidak sedang berada di apartemen Vidwan, melainkan di kamarnya sendiri. Namun, Grisse tersentak begitu mengingat nama Vidwan. Vidwan. Ya, Vidwan datang ke kamarnya sambil membawa hadiah. Hadiah? Hadiah apa? Saree. Saree pernikahan. Ya Tuhan…. Grisse membekap mulutnya sendiri. Vidwan mencoba meminta maaf padanya dengan membawakannya saree. Vidwan tahu bahwa Grisse sangat ingin memakai saree. Dan tadi, sebelum mereka kembali bercinta sebagai bentuk permintaan maaf, Grisse sempat melihat saree itu. Saree indah dengan dominan warna merah dan emas. Grisse menoleh ke samping kanannya. Vidwan masih tertidur pulas dengan posisi miring menghadap dirinya. Bagaimana laki-laki itu bisa tidur dengan sangat nyenyak, padahal sebentar lagi mereka ada kelas. Grisse ingin membangunkan Vidwan, namun ket
Grisse tiba di kampus lebih awal. Ia pun memutuskan untuk segera masuk ke ruang kelas karena tidak ada yang bisa dilakukannya di jam tanggung seperti sekarang. Sesampainya di dalam kelas, ternyata ruangan masih kosong dan sunyi. Grisse menatap bangku di deretan paling depan. Sebelumnya, ia selalu menjadi pemilik salah satu bangku di sana, bangku yang tepat berhadapan dengan meja dosen. Kali ini Grisse enggan duduk di sana. Ia kemudian mengedarkan pandang, melihat setiap barisan bangku. Lama berpikir, akhirnya Grisse berhasil membuat keputusan. Ia memilih untuk duduk di salah satu bangku paling belakang, yang dekat dengan jendela. Tepat ketika Grisse menarik kursi kemudian duduk di bangku yang telah dipilihnya, satu per satu mahasiswa yang mengambil kelas Bahasa Sansekerta datang. Grisse memperhatikan satu demi satu teman-temannya yang masuk melalui satu-satunya pintu di ruangan itu kemudian menyebar untuk mencari bangku yang akan mereka duduki. Grace
“Grace tidak ada dalam hubungan kita. Dia tidak membawa pengaruh apa pun.” Vidwan ingat betul seperti itulah kalimat yang dikatakannya pada Grisse sebelum gadis itu pergi. “Anda salah, Sir. Keberadaan Grace sangat mempengaruhi hubungan kita.” Bantah Grisse sambil berbisik ketika mengucapkan kata hubungan. “Grace menyukai Anda dan dia tidak menyukai saya dekat dengan Anda, Sir.” Imbuh Grisse sambil menekankan suaranya pada setiap kata yang diucapkannya. “Jangan pedulikan Grace.” Vidwan dengan tegas meminta Grisse untuk mengabaikan Grace. “Tidak bisa, Sir. Karena sikap Anda di kelas, maksud saya, dengan memberi saya hadiah, Grace secara terang-terangan menuduh saya merayu Anda.” Grisse tetap bersikukuh dengan keyakinannya. Vidwan berbalik, tidak menghadap Grisse, karen
“Grisse!” Panggil Vidwan begitu pintu apartemennya terbuka. Hening, tidak ada jawaban. Ruangan apartemen Vidwan pun gelap. Artinya Grisse tidak kembali ke apartemennya. Gadis itu lebih memilih kembali ke kamarnya di asrama. Vidwan memasuki apartemennya kemudian menutup pintunya perlahan. Ia menyalakan saklar lampu kemudian mendesah pelan.Jika sudah begini, maka mau tidak mau Vidwan harus berkunjung ke kamar Grisse lagi. Namun, tentu saja Vidwan tidak bisa dengan mudah menuju ke sana. Terlebih, ia tidak mau jika sampai terpergok Grace. Bisa-bisa Grisse tidak hanya menjadi bulan-bulanan Grace, tapi juga seluruh mahasiswa.Vidwan mengempaskan tubuhnya ke sofa yang berada di depan televisi. Rasa-rasanya Vidwan seperti melihat Grisse duduk di sampingnya. Ah, kenapa di setiap sudut apartemennya, Vidwan seolah melihat Grisse.
“Apa kau sudah siap, hmm?” Tanya Vidwan yang tiba-tiba muncul di belakang Grisse ketika gadis itu masih mematut diri di depan cermin. Grisse tersenyum sambil mengangguk perlahan. Begitu Vidwan melingkarkan tangannya di pinggang Grisse yang terbuka, gadis itu pun berjengit kaget. Kemudian Grisse merasakan area sekitar perutnya seperti terdapat barisan semut yang melintas: sangat geli, tapi menyenangkan.“Kau cantik sekali.” Puji Vidwan sambil menyasar leher jenjang Grisse yang wangi. Vidwan sangat menyukai aroma parfum yang dipakai Grisse. Perpaduan aroma mawar yang lembut dengan kombinasi jeruk citrus yang segar. Hidung Vidwan yang menempel di leher Grisse kini diikuti ujung lidah yang bergerak sangat perlahan. Grisse refleks menutup kedua matanya. Sapuan lidah Vidwan membuat rambut-rambut halus di area leher Grisse meremang. Tak ayal, Grisse mendesah panjang sambil menggeliat. 
“Pagi!” Sapa Krish ketika Grisse membuka kedua matanya perlahan. Grisse menjawab kemudian menggeliat, mencoba meregangkan tubuhnya yang terasa pegal luar biasa. “Kau pasti kelelahan.” Imbuh Krish sambil memandang penuh ketertarikan pada wajah Grisse. Satu tangan laki-laki itu bergerak perlahan, menyingkirkan anak rambut dari wajah khas bangun tidur sang kekasih. Grisse tersenyum kemudian mengangguk. Bagaimana tidak kelelahan jika sepanjang malam mereka sibuk bergulat di atas ranjang. Bagi Grisse, Krish seperti menggila tadi malam. Stamina laki-laki itu mendadak menjadi luar biasa. Padahal Grisse seratus persen yakin bahwa Krish tidak mengonsumsi apa pun sebelumnya. Tidak ada jenis makanan afrodisiak dalam menu makan malam mereka kemarin. Krish juga terkesan enggan membiarkan waktu berlalu begitu saja, terbuang percuma istilahnya. Dan yang terpenting dari semuanya, dari semua kenangan indah yang diciptakannya bersama Krish tadi malam adalah perasaan Grisse. Ya, Grisse merasa senang b
Grisse menatap sedih bangunan rumah Krish yang setiap sudutnya dikenalnya dengan baik. Tidak, bukan hanya baik tapi bisa dikatakan sangat baik. Rumah Krish telah menjelma menjadi tempat terfavorit bagi Grisse sehingga ada rasa tidak rela ketika ia mendapati kenyataan bahwa dirinya akan segera meninggalkan rumah itu.Krish yang telah melepas sabuk pengamannya, melihat ke arah Grisse yang sedari tadi sangat irit bicara. Gadis di sampingnya itu terlihat lebih pendiam dari biasanya. Sangat kentara jika pikirannya tengah berkecamuk saat ini. “Ada apa?” Pertanyaan Krish membuat Grisse menoleh. Gadis itu mengerjap beberapa kali, berusaha menahan bulir bening yang telah menggenang di kelopak matanya, sebelum akhirnya menggeleng. Krish ingin kembali bersuara, tapi urung ketika Grisse dengan gerakan cepat melepas sabuk pengaman lalu membuka pintu mobil.“Kurasa kopermu tidak perlu diturunkan.” Saran Krish ketika tangan Grisse telah menyentuh pintu bagasi. “Aku membutuhkan beberapa pakaian unt
Grisse tidak menggubris pertanyaan Krish. Gadis itu lebih memilih mengepak barang-barangnya dengan cepat. Beruntung, barang yang dimiliki Grisse tidak terlalu banyak. Sejak awal sebelum berangkat, Grisse memang bertekad untuk tidak membawa terlalu banyak barang. Ia berusaha seefisien mungkin. Berusaha menyediakan seluas mungkin ruang kosong dalam kopernya. Semua itu dilakukan Grisse agar ia bisa membawa buku-buku yang dibelinya selama menjadi peserta program pertukaran mahasiswa. Sementara Krish, laki-laki itu yang sangat tahu jika dirinya diabaikan oleh Grisse, akhirnya lebih memilih untuk mengamati Grisse berkemas. Diam-diam, Krish memuji kepiawaian Grisse dalam mengepak barang-barangnya yang bisa muat dalam satu koper besar. Krish menjadi sangat tertarik ketika Grisse melipat kaos-kaosnya menjadi super kecil hingga kemudian dijejalkan di sela-sela barang lainnya. Krish sempat menahan napas ketika dengan susah payah Grisse akhirnya berhasil menutup koper dan menguncinya.“Hah….” Hel
Grisse masih bergeming. Pertanyaan Aditi jelas membuatnya tersudut. Di saat seperti ini, Grisse sangat berharap Vidwan buka suara untuk mengklarifikasi semuanya. "Grisse…." Hati-hati, Aditi memanggil nama Grisse sambil menyentuh punggung tangan gadis itu lembut. Aditi terlihat sangat tegang. Sangat kentara jika Aditi sebenarnya juga takut mendengar jawaban Grisse. Antara takut dan tidak siap, tepatnya."Oh, itu…." Grisse berusaha menjawab dengan suara sejernih mungkin. Sedikit saja terdengar getar dalam suaranya akan membuat Aditi curiga. Grisse sengaja menggantung kalimatnya, berusaha mengulur waktu. Gadis itu sibuk memutar otak untuk menemukan jawaban yang menurutnya terbaik."Aku tidak tahu. Aku hanya diminta mengantarkannya ke kantor Pencatatan Pernikahan." Tanpa Grisse dan Aditi duga, Vidwan akhirnya buka suara. Sayangnya, Grisse justru tidak suka mendengar jawaban Vidwan.Sialan!Berengsek!Serta berbagai kata makian lainnya, Grisse tujukan pada Vidwan meskipun dalam hati.Adit
“Krish… kau sudah siap?” Tanya Grisse dari arah meja makan. Gadis itu sudah rapi dalam balutan kemeja warna putih dengan rok pensil berwarna hitam sebatas lutut. Sebuah blazer berwarna senada dengan rok diletakkan Grisse pada salah satu sandaran kursi makan. Krish menyahut sambil menuruni anak tangan dengan setengah berlari.“Kemeja dan dasi?” Tanya Grisse keheranan melihat penampilan Krish. Tidak biasanya Krish bekerja dengan “kostum” seperti ini: Kemeja lengan panjang polos berwarna putih tulang yang terlihat serasi dengan dasi motif garis dengan warna dasar abu tua. Celana hitam dari bahan kain dengan bekas lipatan berupa garis vertikal di bagian depan celana membuat penampilan Krish sempurna. Penampilan Krish ini tentu saja berbanding terbalik dengan kebiasaan laki-laki itu. Andalan Krish, untuk urusan pakaian kerja, biasanya adalah kaos hitam dipadu dengan kemeja motif kotak dari bahan flanel yang tidak dikancingkan serta celana jin.“Ada apa dengan… penampilanmu, Krish?” Pertany
“Hey, kau sudah bangun?” Sapa Krish, tepat ketika Grisse menyandarkan punggungnya pada kepala tempat tidur. Grisse menjawab pertanyaan Krish dengan senyuman disertai anggukan pelan.“Hai, Krish.” Balas Grisse sambil menatap sosok Krish yang sedikit berkeringat. Bulir-bulir keringat tampak meleleh dari kening Krish.“Selamat pagi, Sayang.” Sapa Krish. Laki-laki itu kemudian menyeka peluh di keningnya dengan punggung tangan. “Selamat pagi. Ke marilah, Krish.” Pinta Grisse sambil menepuk sisi kanan tubuhnya. Krish menurut. Perlahan, ia melangkah mendekat ke arah Grisse. Ekspresi wajah Krish penuh tanya. Ia memang penasaran dengan permintaan Grisse untuk mendekat pada gadis itu.“Beri aku pelukan selamat pagi, Krish.” Lanjut Grisse sambil merentangkan kedua lengannya, menyambut Krish ke dalam pelukannya. “Tentu, tapi maaf aku sangat berkeringat.” Balas Krish sambil membungkuk sekaligus mencondongkan tubuhnya.“Tidak masalah. Aku juga baru bangun tidur. Tubuhku pun masih bau.” Grisse ber
Grisse memperlihatkan kekecewaan di wajahnya dengan teramat jelas. Pertanyaan yang baru saya ia lontarkan hanya dijawab dengan gelengan cepat Krish. Laki-laki itu memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Grisse. Krish lebih suka menyimpan semuanya sendiri, menjadikannya rahasia yang akan dijaganya sampai batas waktu yang tidak Grisse ketahui.“Krish….” Desis Grisse sambil mencoba peruntungannya satu kali lagi. Dan sayangnya, Krish juga masih teguh dengan pendiriannya.“Aku tidak merencanakan apa pun.”Bohong! Kau pasti merencanakan sesuatu, Krish!Napas Grisse berubah tersengal. Ia seolah baru selesai melontarkan kalimat makian pada Krish. Padahal kenyataannya, kemarahan Grisse tidak pernah ia luapkan. Grisse hanya mampu marah dalam hati. Sudut terkecil hatinya mengatakan bahwa Krish pasti punya alasan untuk tidak mengatakan apa pun. Kejutankah?Krish pasti tahu bahwa Grisse sangat menyukai kejutan, tapi kejutan seperti apa yang akan diberikan Krish kali ini? Seandainya memang benar
“Mencariku?” Tanya Grisse dengan wajah semringah. Sepasang bibir gadis itu membentuk lengkung sempurna. Melukiskan senyum yang secara instan membuat wajah manisnya terlihat semakin manis. Laki-laki yang disapa Grisse dengan sebuah pertanyaan singkat itu sontak menoleh ke arahnya. “Tentu saja!” Jawab Krish lantang. Seolah enggan didahului detik yang akan berlalu, Krish segera mendekati Grisse yang berdiri tidak jauh darinya.“Bagaimana, apa jadwal presentasimu sudah keluar?” Tanya Krish sambil melingkarkan lengannya ke pinggang Grisse. Grisse memandangi tangan Krish yang telah mendarat di pinggangnya. Gadis itu kemudian meraih tangan Krish lalu menyingkirkannya dari tempatnya semula.“Kita di tempat umum, Krish.” Bisik Grisse dengan suara lembut namun tegas. Krish hanya nyengir kuda. “Aku tidak peduli. Justru aku ingin mereka tahu tentang hubungan kita.” “Jangan konyol, Krish. Aku tidak ingin membuat seluruh kampus heboh.” Grisse mulai menekuk wajahnya. Gadis itu kesal. Grisse tidak
"Aku harus bertemu Vidwan!" Ujar Grisse dalam gerakan bibir yang teramat samar. Gadis itu kemudian membawa langkahnya menyusuri koridor yang menghubungkan seluruh ruangan dalam gedung kampus tersebut. Langkahnya mantap, semantap pendiriannya untuk menuntaskan apa yang mengganjal dalam hatinya setelah mendengar percakapan Krish dengan Vidwan tadi. Sebelumnya, Grisse memang sudah bertekad untuk mengakhiri semua hal yang berhubungan dengan Vidwan. Ia merasa harus menyudahi semua kisah yang melibatkan Vidwan di dalamnya. Grisse hanya tidak ingin bayangan Vidwan akan mengikutinya terus hingga ia tiba di negara asalnya.Ya, Grisse akan segera meninggalkan negara ini dalam waktu dekat. Program yang diikutinya hampir berakhir dan tidak lama setelahnya izin tinggalnya juga akan habis masa berlakunya. Hal-hal itulah yang membuat Grisse membulatkan tekadnya untuk menemui Vidwan. Kau adalah masa lalu! Kalimat itu terus-menerus didengungkan oleh Grisse. Sudah seperti merapal mantra saja bagi Gri