“Apa lagi, Christian? Tes DNA yang mana?” Laura menatap tak suka sang mantan suami.“Tes DNA yang dilakukan dulu di salah satu rumah sakit Boston,” sahut Christian penuh penekanan. Entah mengapa, dia merasa begitu percaya diri. Christian tak mengerti karena tiba-tiba ada dorongan kuat, yang menyuruhnya agar terus maju.“Astaga.” Laura menggeleng pelan, lalu membalikkan badan. Dia bermaksud kembali ke kamar Harper, demi menghindari perbincangan yang hanya akan membuatnya merasa tersudut. Laura tahu betul seperti apa watak Christian. Pria itu tak akan berhenti hanya dengan satu jawaban kata ‘tidak’.Akan tetapi, Christian langsung menahan gerak Laura. Pria tampan tersebut meraih lengan mantan istrinya, lalu menarik cukup kencang hingga Laura mundur dan
“Astaga, Christian!” Laura segera menangkup paras tampan mantan suaminya. Rasa gugup dan takut terpancar jelas dari sorot mata wanita dua puluh sembilan tahun itu, saat melihat darah mengucur dari kening Christian.“Biar kuobati.” Laura membalikkan badan, bermaksud pergi ke lantai bawah untuk mengambil kotak P3K. Namun, niat ibunda Harper tersebut harus terjeda karena Mairi sudah berdiri di belakangnya. “Mairi ….”Mairi menatap Laura dengan sorot aneh. Gadis kecil itu memperlihatkan ekspresi tak suka. Namun, dia tak mengatakan apa pun. Mairi justru mengalihkan perhatian pada Christian, yang tengah menyeka kening karena darah terus mengucur dari luka robek di sana. “Papa ….” Anak itu menghambur ke arah sang ayah.Laura jadi serba salah. Dia ter
“Bagaimana kabarmu, Harper?” sapa Emma, saat melakukan panggilan video call dengan Laura dan Harper.“Aku sudah bisa berjalan tanpa tongkat, Bibi,” sahut Harper, diiringi senyum lebar.“Oh, baguslah. Itu artinya, tak ada alasan bagi ibumu untuk menolak undanganku,” ujar Emma, dengan ekspresi yang menyiratkan banyak hal.“Undangan apa?” Laura menautkan alis, lalu terdiam. Sesaat kemudian, wanita cantik berambut pirang itu tersenyum lebar. “Ah! Apakah itu sesuai dengan yang kupikirkan?” terbaknya.Emma hanya tersenyum. Meski tak mengatakan apa pun, ekspresi wajahnya menyiratkan kebahagiaan tak terkira. “Aku dan ibu sangat berharap kau bisa datang. Ini adalah m
“Apa? Kau memberitahu Paman Christian bahwa kita ada di London?”Harper mengangguk, dengan ekspresi teramat polos. “Aku rindu Mairi, Bu,” ujarnya.Laura tak bisa membantah, bila sudah menyebut nama Mairi. Dia tersenyum lembut. “Memangnya, kapan Mairi akan kemari?” “Terserah Paman Christian,” jawab Harper enteng. Gadis kecil itu merebahkan tubuh. “Selimuti aku, Bu,” pintanya.“Kau mau tidur sekarang?” Laura menaikkan sebelah alis.“Aku lelah dan kekenyangan, Bu,” sahut Harper seraya memejamkan mata.Laura kembali tersenyum. Dia meraih ujung selimut, lalu menariknya hingga me
Christian mengembuskan napas pelan. "Aku ingin memaksamu agar bersedia menerimaku lagi. Namun, entah ini jadi ide baik atau sebaliknya," ucap pria itu, tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari paras cantik Laura."Jangan memaksakan kehendak lagi, Christian. Kau tahu itu tak akan berakhir baik," ucap Laura menanggapi."Apakah itu berarti kau bersedia kembali padaku dengan sukarela?"Laura tertawa pelan mendengar pertanyaan konyol Christian. Wanita itu menggeleng, lalu mengalihkan perhatian ke sekeliling. Tatapannya tertuju pada kolam renang berbentuk bulat di ujung ruangan, yang dibatasi kaca tebal di sisi sebelah luar.Laura melangkah ke sana. Dia berdiri di tepi kolam renang, lalu meletakkan gelas berisi anggur yang sedari tadi digenggam. "Apa kau pernah berenang di sini?" tanyanya, seraya menoleh pada Christian.Christian menggeleng, sembari berjalan mendekat. Dia berdiri di sebelah Laura. "Aku ingin kau jadi orang pertama yang berenang
"Ampuni aku, Christian," ucap Laura, di sela isak tangis pelan. Dia menundukkan wajah, tak berani melawan tatapan penasaran yang dilayangkan pria empat puluh tahun di hadapannya."Untuk apa? Kenapa aku harus mengampunimu?" tanya Christian tak mengerti."Aku ... aku sudah melakukan dosa tak termaafkan," sahut Laura, masih terisak pelan.Christian menatap lekat Laura. Pria itu memicingkan mata, mencoba menerka ke mana arah pembicaraan yang Laura maksud. Sesaat kemudian, pengusaha tampan tersebut seperti memahami sesuatu. "Apa ini ada hubungannya dengan Harper?"Laura menghentikan tangisnya, lalu mengangkat wajah. Dia membalas tatapan sang mantan suami. "Aku sangat marah dan membencimu, Christian," ucapnya lirih. "Saat itu, aku tak ingin melihat apalagi sampai bersinggungan denganmu. Tidak. Kau harus kubuang jauh. Sangat jauh. Penolakanmu membuatku terhina dan sakit. Teramat sakit," tuturnya pilu.Christian diam menyimak, tanpa mengalihkan perhatian s
Laura tertegun sejenak, lalu menoleh pada Harper yang terbelalak tak percaya. Setelah itu, dia kembali mengalihkan perhatian pada pria tadi, untuk membubuhkan tanda tangan sebagai bukti penerimaan barang kiriman.Sepeninggal kedua pria yang sudah menyelesaikan pekerjaan mereka, Laura menatap aneh putrinya. Dia tak percaya Christian melakukan sesuatu yang dinilai sangat berlebihan. Namun, Laura tak bisa berkomentar apa-apa, melihat antusiasme Harper yang begitu takjub menghadapi setumpuk hadiah bagus.“Ibu tahu kenapa Paman Christian mengirimkan hadiah ini untukku? Apa hari ini aku berulang tahun?” tanya Harper, seraya menoleh pada Laura.“Tidak, Sayang. Ulang tahunmu masih empat bulan lagi,” jawab Laura, diiringi gelengan pelan. Dia mengalihkan pandangan pada Grace, yang memasang
“Apa? Tapi, kau tahu aku sedang sibuk membantu persiapan pesta pernikahan Bibi Emma. Bukankah itu tujuan kita datang kemari?” Laura menolak ajakan itu secara halus. “Kurasa, kau bisa berkemah lain waktu atau … atau kita bisa melakukannya di sini dengan nenek dan —”“Kau tidak mengizinkanku pergi, Bu?” tanya Harper, menyela ucapan Laura. Gadis kecil itu langsung terlihat murung. Dia menundukkan wajah, kemudian berbalik. Tanpa mengatakan apa pun, Harper meninggalkan Laura dan Christian yang berdiri di ambang pintu.“Harper!” panggil Laura.Namun, gadis kecil itu tak menyahut. Dia bahkan sudah menghilang di balik dinding penyekat ruangan.“Bagus, Laura