Christian melangkah gagah menuju kamar. Dia mengabaikan rasa lapar. Setibanya di ruangan yang dituju, pria itu langsung meraih telepon genggam dari meja sebelah tempat tidur.
Setelah membuka layar ponsel, Christian mencari nomor kontak Laura. Sebelum memutuskan menghubungi sang istri, pria tampan tersebut beberapa kali mengembuskan napas berat. Dia seperti ragu untuk sekadar menanyakan keberadaan istrinya.
“Ah! Persetan dengan apa pun yang akan kau lakukan, Laura!” Christian meletakkan telepon genggam di kasur. Dia termenung beberapa saat, sebelum mengambil kembali alat komunikasi canggih tadi. Mau tak mau, Christian harus melawan rasa angkuh dalam diri karena penasaran dengan keberadaan Laura.
Akhirnya, Christian mengalah. Namun, setelah beberapa detik berlalu, panggilan itu tak tersam
“Ta-tapi —”“Permisi, Tuan. Ada tamu untuk Anda.” Seorang pelayan menyela perbincangan Laura dengan Lewis. Lewis menoleh. Dia tak bertanya, berhubung sudah tahu siapa tamu yang datang malam itu. “Terima kasih. Kau boleh kembali.” Sepeninggal pelayan, Lewis kembali mengalihkan perhatian pada Laura. “Jangan keluar dari kamar. Aku akan menemui Tuan Lynch dulu,” pesannya. Pria tampan itu menatap sejenak, lalu tersenyum hangat. Tanpa banyak bicara, dia berlalu dari hadapan wanita cantik berambut pirang itu. Laura terus memperhatikan Lewis yang terus berjalan menjauh, hingga tak terlihat lagi. Dia ingat dengan pesan Lewis, yang mengatakan agar jangan keluar kamar. Namun, seperti ada dorongan kuat dalam diri wanita cantik dua puluh tiga tahun itu. Menggerakkan kakinya perlahan keluar dari kamar, hingga tiba di ujung koridor. Laura bersembunyi di balik dinding penyekat ruangan. Dari sana, dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Namun, tak terlihat sosok Lewis ataupun Christian. “Mereka t
Christian tersenyum simpul. “Apakah karena itu Anda mengirimkan buku pada pagi-pagi buta untuk istriku?” Pertanyaan yang dilayangkan Christian terdengar santai, tetapi menghujam langsung ke jantung Lewis. Membuat ekspresi pengusaha retail dan smartphone tersebut langsung berubah.Namun, Lewis pintar menguasai diri. Pria tampan berambut cokelat tembaga itu menanggapi dengan senyum kalem. “Saat bangun tidur, aku langsung teringat pada buku-buku yang disukai Nyonya Lynch. Daripada lupa, lebih baik segera kukirimkan. Semoga istri Anda menyukainya.”“Laura pasti suka. Jangan khawatir,” ucap Christian berusaha tetap terlihat tenang. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. “Boleh kutahu ada berapa kamar di sini?” tanyanya.“Satu kamar utama dan delapa
Laura terperanjat mendengar penawaran dari Lewis. “Aku sudah menikah,” ucap wanita itu pelan, diiringi tatapan tak mengerti.“Tentu. Namun, tak ada salahnya hanya menerima undangan makan malam. Lagi pula, kurasa Tuan Lynch tidak akan keberatan.” Lewis membalas tatapan Laura, dengan sorot penuh cinta.“Bagaimana Anda bisa berpikir demikian?”Lewis tidak segera menjawab. Dia tersenyum kalem. Setelah beberapa saat, barulah dirinya berkata, “Aku seorang pria, Nyonya. Aku bisa menelaah sikap pria lain dari bahasa tubuhnya. Apa yang kulihat dari Tuan Lynch, sepertinya tak jauh dari yang ada dalam pikiranku. Jawaban lebih pasti, ada dalam hati Anda. Hati tak pernah bohong, meskipun Anda tak ingin mengakui.”
“Chelsea?” Christian menaikkan sebelah alis. “Ya. Dia sedang mengandung darah dagingmu. Wajar jika kau akan lebih memprioritaskan wanita itu dan … ya, kalian adalah sepasang kekasih.” Laura segera mengambil dress yang sudah disiapkan tadi, lalu memakainya. Dia bergegas keluar dari walk in closet, meninggalkan Christian yang masih terpaku. Christian mengembuskan napas dalam-dalam. Dia mengepalkan tangan, menahan rasa berkecamuk dalam dada. Ada sebuah ganjalan di hatinya. Namun, pria itu tak tahu dan tak bisa mencerna dengan jelas. Tak ingin larut dalam kegalauan seorang diri, Christian mengikuti Laura keluar dari walk in closet, bersamaan dengan sang istri yang baru muncul dari kamar mandi. Christian langsung meraih lengan Laura. Menariknya cukup kencang, hingga wanita cantik itu membalikkan badan. “Kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Di mana dirimu tidur semalam?” Christian bertanya dengan penuh penekanan, sambil mencengkram erat lengan sang istri. “Lepas, Christian. Kau menyak
Laura berjalan sambil mengendap-endap menyusuri koridor, hingga tiba di salah satu ruangan. Dia melihat sekeliling, memastikan tak ada siapa pun yang melihatnya. Wanita itu lupa bahwa di sudut ruangan tadi terpasang kamera pengawas, yang siap mengintai setiap pergerakan.Merasa situasi aman, Laura melanjutkan langkah ke pintu depan. Kali ini dia berjalan dengan tergesa-gesa menuju pintu gerbang samping, yang dikhususkan untuk orang. Dia berusaha membuka, tetapi pagar besi berukuran tidak terlalu lebar itu dalam kondisi terkunci.Laura sempat berpikir sejenak. Dia tak mungkin meminta penjaga keamanan membukakan kunci. Walaupun sejak tadi pergerakannya tertangkap kamera pengawas, setidaknya bukan mata manusia secara langsung yang menyaksikan.“Oh, astaga.” Laura mengeluh pelan. Dia mendongak. P
“Tentang apa?” tanya Henry penasaran. “Aku tidak berwenang memberitahukan itu padamu. Kau bermain api dengan saudara kembarku. Kelakuan laknat kalian telah membuat hidup banyak orang jadi hancur dan … betapa bodohnya dirimu,” cerca Laura. Henry terdiam menatap wanita cantik berambut pirang itu. Seseorang yang sangat mirip dengan wanita dari masa lalunya. Namun, secara karakter terasa begitu berbeda. “Kau sudah diberi kesempatan menikahi adik dari pengusaha besar dengan kekayaan melimpah. Harga dirimu terangkat karenanya. Namun, kau terlalu serakah dan tak tahu diri! Lihatlah nasibmu sekarang! Kau memang pantas menjadi gelandangan —”“Tutup mulutmu!” Henry mengangkat tangan, bermaksud hendak menampar Laura. Namun, gerak pria itu tertahan oleh seseorang yang memegangi pergelangannya dari belakang. Henry bahkan memekik cukup nyaring sehingga mengundang perhatian beberapa orang yang melintas di dekat mereka. “Akhirnya, kau kutemukan juga,” ucap seorang pria yang tak lain adalah Christ
Laura terus berjalan menyusuri trotoar, dalam cuaca yang terasa makin menusuk. Dia tak tahu akan tidur di mana malam ini. Padahal, suasana sudah beranjak sepi. Hanya ada satu, dua orang yang masih berkeliaran di jalan. “Ya, Tuhan,” ucap Laura lirih. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Laura sudah merasa lelah. Kakinya terasa pegal. Begitu pula dengan telapak tangan yang kedinginan, meskipun dimasukkan ke saku mantel. Embusan napas pelan meluncur dari bibir wanita dua puluh tiga tahun itu. Ini adalah pertama kali dalam hidupnya, berada di luar dalam waktu selarut seperti sekarang. Laura merasa takut. Dia sadar betul bahwa dunia malam jauh lebih berbahaya. Terlebih, bagi dirinya yang tak terbiasa. Berhubung sudah terlalu lelah, Laura memutuskan duduk di tangga sebuah bangunan beberapa lantai, sambil memeluk tubuh sendiri. Entah akan aman atau tidak dengan berada di sana, tetapi Laura tak memiliki pilihan. Dia bersandar pada pegangan besi pinggiran undakan anak tangga, menuju pin
Laura meletakkan sendok dan garpu di piring yang sudah kosong. Wanita itu terdiam sejenak, sebelum tersenyum pada Kenneth. “Aku hanya sedang mengalami hari yang buruk,” jawabnya, berusaha terlihat tenang.“Apa kau melarikan diri dari rumah?” tanya Kenneth santai.“Anggap saja begitu,” jawab Laura enteng. Dia berdiri, lalu membawa peralatan makan yang kotor ke dekat bak pencuci piring. Tanpa sungkan, wanita berambut pirang itu membersihkannya.Sementara Kenneth berdiri memperhatikan.“Omong-omong, terima kasih untuk makanan tadi. Rasanya sungguh luar biasa. Aku benar-benar tulus mengatakan itu.” Laura tersenyum hangat dan akrab, sambil mengeringkan tangan.K
Semenjak itu, Laura memutuskan kembali menetap di Inggris. Dia membiarkan rumah peninggalan Lewis, meskipun masih sering memantau dengan menghubungi asisten kepercayaannya. Bagaimanapun juga, semua aset peninggalan Lewis merupakan amanat yang harus dijaga. Laura tak ingin mengkhianati pria yang telah begitu baik terhadapnya dan Harper. Dia akan tetap melakukan kewajiban, menjalankan bisnis yang diwariskan Lewis. Setidaknya, itu membuat rasa bersalah sedikit tertutupi karena memilih kembali pada Christian. ********** Waktu terus berlalu. Musim pun, silih berganti. Laura menjalani biduk rumah tangga yang harmonis dengan Christian. Saat ini, dia bahkan tengah mengandung. "Kuharap kau tidak kecewa karena tak jadi memiliki tiga bidadari cantik," ujar Laura, diiringi senyum lembut. Dia menatap penuh cinta pada Christian, yang tengah fokus mengemudi. "Ini sangat menggembirakan. Hidupku terasa begitu sempurna," ucap Christian. Dia tak henti tersenyum. Hasil USG yang sudah dilakukan tadi,
Semenjak malam itu, hubungan Laura dan Christian mulai menghangat. Christian tak sungkan berkunjung, bertemu dan berbincang dengan Grace. Begitu juga Emma dan Jamie, yang akan melangsungkan pernikahan. Hanya tinggal menghitung hari. Momen istimewa yang sudah Jamie nantikan selama bertahun-tahun akan terwujud. Pria itu sudah tak sabar menantikan dirinya dan Emma berdiri di altar, untuk mengucap janji suci pernikahan. Sementara itu, kedekatan antara Harper dan Mairi kian terjalin erat. Mairi yang mengetahui bahwa Harper belum diperbolehkan menari, selalu mengajak putri Laura tersebut melakukan banyak hal menyenangkan. “Kami sangat sibuk hari ini. Kau sudah tahu besok adalah hari pernikahan Emma dengan Jamie,” ucap Laura, saat menjawab panggilan telepon dari Christian. “Sayang sekali karena aku harus menghadiri acara penting sampai sore,” balas Christian, diiringi embusan napas berat. “Bagaimana Mairi? Kuharap dia tak merepotkanmu.” “Oh, tenang s
“Christian …,” desah Laura pelan, merasakan sentuhan lembut menjalari tubuhnya. Dia membiarkan pengusaha tampan itu menurunkan tali kecil dari pundak, hingga bagian atas slip dress yang dikenakannya terbuka lebar.Christian beranjak dari tempat tidur, lalu menarik dress satin merah marun itu. Dia melemparnya sembarang ke lantai. Pria bermata gelap itu terdiam sejenak, memandangi seonggok daging putih mulus yang dulu sering dinikmati kapan saja dirinya inginkan.Perlahan, Christian mencondongkan tubuh. Dia menarik celana dalam Laura. Pelan tapi pasti, segitiga pengaman dengan pinggiran berbahan lace itu terlepas dari kaki kiri Laura dan berhenti di mata kaki sebelah kanan. Christian seperti sengaja melakukannya.“Kau masih secantik dulu,” ucap Christian pelan dan dalam, sera
Laura tersenyum kikuk. Dia berusaha menyembunyikan rasa gugup karena ucapan Christian tadi. Laura mengalihkan semua itu pada anak-anak, yang tengah berbincang asyik. Wanita itu bergabung dengan mereka berdua.Sementara Christian hanya diam memperhatikan interaksi antara Laura dengan kedua gadis kecil itu. Laura tak membeda-bedakan Harper dengan Mairi.Christian teringat pada waktu Laura menyarankan untuk mengambil bayi Chelsea setelah dilahirkan, seakan-akan bersedia merawatnya. Padahal, saat itu dia mengira bayi dalam kandungan Chelsea merupakan darah daging Christian. Oleh karena itulah, kini Laura bersikap baik terhadap Mairi.Malam terus merayap. Jarum jam di arloji Christian telah menunjuk angka sembilan lewat beberapa menit. Setelah berbagai keseruan yang dilakukan, pengusaha tampan tersebut
“Apa? Tapi, kau tahu aku sedang sibuk membantu persiapan pesta pernikahan Bibi Emma. Bukankah itu tujuan kita datang kemari?” Laura menolak ajakan itu secara halus. “Kurasa, kau bisa berkemah lain waktu atau … atau kita bisa melakukannya di sini dengan nenek dan —”“Kau tidak mengizinkanku pergi, Bu?” tanya Harper, menyela ucapan Laura. Gadis kecil itu langsung terlihat murung. Dia menundukkan wajah, kemudian berbalik. Tanpa mengatakan apa pun, Harper meninggalkan Laura dan Christian yang berdiri di ambang pintu.“Harper!” panggil Laura.Namun, gadis kecil itu tak menyahut. Dia bahkan sudah menghilang di balik dinding penyekat ruangan.“Bagus, Laura
Laura tertegun sejenak, lalu menoleh pada Harper yang terbelalak tak percaya. Setelah itu, dia kembali mengalihkan perhatian pada pria tadi, untuk membubuhkan tanda tangan sebagai bukti penerimaan barang kiriman.Sepeninggal kedua pria yang sudah menyelesaikan pekerjaan mereka, Laura menatap aneh putrinya. Dia tak percaya Christian melakukan sesuatu yang dinilai sangat berlebihan. Namun, Laura tak bisa berkomentar apa-apa, melihat antusiasme Harper yang begitu takjub menghadapi setumpuk hadiah bagus.“Ibu tahu kenapa Paman Christian mengirimkan hadiah ini untukku? Apa hari ini aku berulang tahun?” tanya Harper, seraya menoleh pada Laura.“Tidak, Sayang. Ulang tahunmu masih empat bulan lagi,” jawab Laura, diiringi gelengan pelan. Dia mengalihkan pandangan pada Grace, yang memasang
"Ampuni aku, Christian," ucap Laura, di sela isak tangis pelan. Dia menundukkan wajah, tak berani melawan tatapan penasaran yang dilayangkan pria empat puluh tahun di hadapannya."Untuk apa? Kenapa aku harus mengampunimu?" tanya Christian tak mengerti."Aku ... aku sudah melakukan dosa tak termaafkan," sahut Laura, masih terisak pelan.Christian menatap lekat Laura. Pria itu memicingkan mata, mencoba menerka ke mana arah pembicaraan yang Laura maksud. Sesaat kemudian, pengusaha tampan tersebut seperti memahami sesuatu. "Apa ini ada hubungannya dengan Harper?"Laura menghentikan tangisnya, lalu mengangkat wajah. Dia membalas tatapan sang mantan suami. "Aku sangat marah dan membencimu, Christian," ucapnya lirih. "Saat itu, aku tak ingin melihat apalagi sampai bersinggungan denganmu. Tidak. Kau harus kubuang jauh. Sangat jauh. Penolakanmu membuatku terhina dan sakit. Teramat sakit," tuturnya pilu.Christian diam menyimak, tanpa mengalihkan perhatian s
Christian mengembuskan napas pelan. "Aku ingin memaksamu agar bersedia menerimaku lagi. Namun, entah ini jadi ide baik atau sebaliknya," ucap pria itu, tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari paras cantik Laura."Jangan memaksakan kehendak lagi, Christian. Kau tahu itu tak akan berakhir baik," ucap Laura menanggapi."Apakah itu berarti kau bersedia kembali padaku dengan sukarela?"Laura tertawa pelan mendengar pertanyaan konyol Christian. Wanita itu menggeleng, lalu mengalihkan perhatian ke sekeliling. Tatapannya tertuju pada kolam renang berbentuk bulat di ujung ruangan, yang dibatasi kaca tebal di sisi sebelah luar.Laura melangkah ke sana. Dia berdiri di tepi kolam renang, lalu meletakkan gelas berisi anggur yang sedari tadi digenggam. "Apa kau pernah berenang di sini?" tanyanya, seraya menoleh pada Christian.Christian menggeleng, sembari berjalan mendekat. Dia berdiri di sebelah Laura. "Aku ingin kau jadi orang pertama yang berenang
“Apa? Kau memberitahu Paman Christian bahwa kita ada di London?”Harper mengangguk, dengan ekspresi teramat polos. “Aku rindu Mairi, Bu,” ujarnya.Laura tak bisa membantah, bila sudah menyebut nama Mairi. Dia tersenyum lembut. “Memangnya, kapan Mairi akan kemari?” “Terserah Paman Christian,” jawab Harper enteng. Gadis kecil itu merebahkan tubuh. “Selimuti aku, Bu,” pintanya.“Kau mau tidur sekarang?” Laura menaikkan sebelah alis.“Aku lelah dan kekenyangan, Bu,” sahut Harper seraya memejamkan mata.Laura kembali tersenyum. Dia meraih ujung selimut, lalu menariknya hingga me