Christian mengangguk. Dia kembali ke dalam kamar untuk mengambil trench coat serta ponselnya. Sebelum keluar dari sana, pria tampan itu sempat menoleh pada nampan berisi makanan. Christian tak sempat menyentuhnya. Pria itu memilih tak peduli dan segera berlalu menuju lantai satu.
“Apa Anda sudah sarapan, Tuan?” tanya Delila, saat melihat Christian telah bersiap pergi.“Belum,” jawab Christian datar.“Nyonya sudah membawakan Anda sarapan ke kamar. Sebaiknya, Anda mengisi perut terlebih dulu sebelum kembali ke London,” saran Delila lembut dan teramat sopan.Christian tak langsung menanggapi. Pria itu terpaku beberapa saat. “Tolong ambilkan, Delila,” pintanya, seraya berjalan ke meja makan. Christian duduk tenang penuh wibawa di salah satu kursi kayu yang berjumlah empat buah.Belum sempat Delila kembali dari kamar, Laura lebih dulu muncul membawa beberapa tangkai bunga yang baru dia petik. Dia melangkah tenang, tanpa menghiraukan keber“Apa maksudmu?” Christian menatap lekat Chelsea yang baru datang. “Kau bisa saja pulang dengan Wayne kemarin. Kenapa justru memilih menginap di Cotswolds?” protes Chelsea teramat kecewa. “Sudahlah, Chelsea. Aku sangat lelah dan sakit kepala.” Christian yang malas meladeni sang kekasih, segera membalikkan badan. Namun, Chelsea langsung menahannya. Dia tak puas dengan jawaban sang kekasih. “Kita belum selesai bicara, Christian!” . Christian mengembuskan napas berat, serayakembali menoleh pada Chelsea. “Apa lagi yang harus kita bicarakan? Mobilku bermasalah. Aku tidak bisa kembali ke London sehingga memutuskan menginap di Cotswolds,” jelas Christian, meskipun malas. “Kenapa tidak pulang bersama Wayne?” “Aku tidak suka menumpang mobil orang lain,” sahut Christian enteng, berusaha tak terpancing. “Alasanmu sangat konyol!" “Terserah kau.” Christian membalikkan badan. Namun, lagi-lagi Chelsea menahannya. “Ayolah, Chelsea. Kau sudah menguji kesabaranku.” “Kau sudah mengecewakanku, Ch
“Berita apa yang Anda bawa untukku, Detektif Mount?” tanya Christian sambil menyilangkan kaki. Seperti biasa, dia selalu menunjukkan wibawa serta kharismanya di hadapan setiap orang. “Ini tentang Nona Pearson, Tuan,” jawab Gareth sambil mengeluarkan amplop dari dalam mantelnya. “Aku sudah mengikuti Nona Emilia Patricia Pearson selama rentang waktu beberapa hari. Dalam dua hari terakhir, dia sempat menemui seseorang di sebuah apartemen pusat kota. Setelah kuselidiki, ternyata pemilik unit apartemen itu bernama Jeremy Carson. Aku tidak tahu apa hubungannya dengan pria tersebut,” tutur Gareth.“Keesokannya, aku melihat Nona Pearson menemui seorang tunawisma. Dia bahkan berbincang lama dengan tunawisma itu."“Di mana?” tanya Christian penasaran.“Tunawisma itu berada tak jauh dari Trafalgar Square. Terus terang saja, aku tidak mengira bahwa Nona Pearson memiliki hati yang sangat dermawan,” tutur Gareth lagi. “Maksud Anda?” Christian memicingkan mata,
Keesokan harinya, Emma datang seorang diri ke kediaman milik Christian. Tepat pukul sepuluh pagi, saudara kembar Laura tersebut sudah tiba dan disambut langsung oleh Alfred. Emma dipersilakan agar menunggu di ruang tamu. Tak berselang lama, Christian muncul di sana. Seperti biasa, pria itu selalu terlihat penuh kharisma, meskipun bukan dalam penampilan rapi seperti biasanya. “Apa kabar, Christian?” sapa Emma dengan senyum lebar, saat menyambut kehadiran sang pemilik kediaman mewah itu. “Baik. Kau sendiri?” Christian balik bertanya. “Sangat baik,” jawab Emma seraya duduk, setelah Christian mempersilakannya. “Aku cukup terkejut karena kau mengundangku datang kemari. Apakah ada sesuatu yang penting?” tanya saudara kembar Laura tersebut. Christian tak segera memberikan jawaban. Seulas senyuman terbit di bibir pengusaha tiga puluh lima tahun tersebut. Entah apa yang tengah direncanakannya kali ini. “Terima kasih karena kau telah meluangka
Sekuat tenaga, Chelsea menjauhkan Christian dari Emma. Setelah pria itu mundur, dia langsung menarik rambut saudara kembar Laura tersebut hingga berdiri. “Dasar jalang sialan!” maki Chelsea sambil menjambak Emma dengan beringas. “Siapa kau? Wanita tak tahu diri!” balas Emma. Dia tak tinggal diam mendapat serangan mendadak dari Chelsea. Kedua wanita itu akhirnya saling mencakar dan menjambak.Sementara Christian, awalnya hanya memperhatikan sambil menggeleng samar. Namun, pria itu akhirnya tak tinggal diam. Dia melerai kedua wanita tadi dengan sangat mudah. Terlebih karena Alfred datang ke sana, setelah mendengar keributan. “Kalian berdua sangat memalukan,” ujar Christian dingin. “Aku tidak suka melihatmu berdekatan dengan pelacur ini, Christian! Kenapa kau membawanya kemari?” Chelsea berusaha melepaskan diri dari Christian, yang memegangi kedua lengannya. Wanita yang berprofesi sebagai model tersebut belum puas menyerang Emma. “Ayo! K
“Kalian benar-benar bercinta? Kau tidur dengannya, Christian?” Chelsea makin tak terkendali. Dia mulai histeris. “Ya! Kami bercinta. Apa kau puas?” Christian yang sudah muak dengan sikap kekasihnya, tak kuasa mengendalikan diri lagi. Dia menatap tajam Chelsea. Napasnya pun kian memburu dengan wajah memerah menahan amarah, agar tak sepenuhnya terlampiaskan. Bagaimanapun juga, Christian sadar bahwa dirinya sedang berhadapan dengan wanita yang telah menemani selama kurang lebih satu tahun. “Kau keterlaluan, Christian Lynch!” Chelsea yang tak dapat mengendalikan diri, mengangkat tangan. Dia bermaksud hendak menampar Christian. Namun, Christian segera menahannya. Pria itu mencengkram erat pergelangan tangan sang kekasih. “Bukankah kau sudah mengenalku dengan baik? Itu artinya kau tahu siapa Christian Lynch. Jangan pernah berani menantang apalagi membuatku marah. Kau tak akan menyukainya.” Christian berkata dengan penuh penekanan.“Hanya karena berci
Chelsea yang sengaja mengikuti Christian ke Cotswolds, tak mengira akan mendapat kejutan seperti tadi. Wanita cantik berambut cokelat itu memegang erat kemudi, demi menahan perasaan tak menentu dalam dada. Sakit. Cemburu serta kecewa bercampur dalam hati si pemilik mata hazel itu. Namun, Chelsea terlalu lemah. Cinta yang teramat besar untuk Christian, membuatnya tak bisa bertindak lebih tegas. Dia sadar bahwa pria itu pasti akan menyingkirkan dirinya, jika terlalu banyak berulah dan membuat sang pengusaha muda tersebut menjadi kesal. “Kau benar-benar keterlaluan, Christian,” ucap Chelsea lirih. Hanya itu yang mampu dia katakan, demi menghalau perasaan sakit yang terus menyeruak hebat. “Kau sudah berpaling pada Laura. Ini tidak mungkin.” Chelsea menggeleng kencang. Dia menutupi wajah menggunakan kedua telapak tangan, sambil menangis tersedu-sedu. Beberapa saat kemudian, Chelsea berusaha kembali menenangkan diri. Dia menyeka sisa air mata di pip
Selagi Christian menikmati percintaan panasnya dengan Laura, kondisi berbeda justru dialami Chelsea. Wanita itu menangis seorang diri, meratapi kehancuran hati yang terkhianati. Jangankan untuk tidur, Chelsea bahkan tak beranjak dari sofa. Dia terus duduk meringkuk, sambil berusaha menghubungi Christian yang tak juga menjawab panggilannya. Tentu saja. Christian akan mengabaikan segala hal, ketika sedang menikmati indahnya surga dunia. Tak ada apa pun yang bisa mengganggunya kali ini. Dia hanya ingin menuntaskan segala rasa penasaran atas diri Laura. Pria itu berusaha mencari jawaban, dari segala hal tak biasa yang tiba-tiba mengusik nalurinya. Jarum jam sudah menunjuk di angka sepuluh, ketika dua insan tadi mengakhiri pergumulan panas mereka dengan ciuman mesra. Keduanya terengah karena lelah. Namun, rasa puas terpancar jelas dari senyum di bibir sepasang suami-istri tersebut. “Tidurlah,” ucap Christian pelan, setelah mengecup lembut kening Laura.
“Apa? Percobaan bunuh diri? Yang benar saja.” Christian menggeleng tak percaya. “Apa yang ada dalam pikiran wanita itu?” Christian begitu gemas dengan ulah Chelsea, yang dianggap mencari perhatian darinya. Sesaat kemudian, Christian tersadar bahwa dirinya berbicara di hadapan Laura. Sang pengusaha tampan berdecak pelan. “Baiklah, Alfred. Aku akan kembali ke London hari ini,” putus Christian setelah beberapa saat berpikir. Tanpa banyak bicara, dia segera menutup sambungan telepon. “Apa ada masalah penting?” tanya Laura ingin tahu. “Siapa yang melakukan percobaan bunuh diri?” Christian tak langsung memberikan jawaban. Dia menyibakkan selimut, lalu turun dari tempat tidur. Christian meraih celana panjangnya. Pria itu seperti tak peduli dengan raut penasaran yang ditunjukkan Laura. “Temani aku mandi,” ucap sang pemilik perusahaan IT ternama di Inggris tersebut. Bukannya memberikan jawaban, si pemilik rambut gelap itu justru mengatakan sesuatu yang tak ada h
Semenjak itu, Laura memutuskan kembali menetap di Inggris. Dia membiarkan rumah peninggalan Lewis, meskipun masih sering memantau dengan menghubungi asisten kepercayaannya. Bagaimanapun juga, semua aset peninggalan Lewis merupakan amanat yang harus dijaga. Laura tak ingin mengkhianati pria yang telah begitu baik terhadapnya dan Harper. Dia akan tetap melakukan kewajiban, menjalankan bisnis yang diwariskan Lewis. Setidaknya, itu membuat rasa bersalah sedikit tertutupi karena memilih kembali pada Christian. ********** Waktu terus berlalu. Musim pun, silih berganti. Laura menjalani biduk rumah tangga yang harmonis dengan Christian. Saat ini, dia bahkan tengah mengandung. "Kuharap kau tidak kecewa karena tak jadi memiliki tiga bidadari cantik," ujar Laura, diiringi senyum lembut. Dia menatap penuh cinta pada Christian, yang tengah fokus mengemudi. "Ini sangat menggembirakan. Hidupku terasa begitu sempurna," ucap Christian. Dia tak henti tersenyum. Hasil USG yang sudah dilakukan tadi,
Semenjak malam itu, hubungan Laura dan Christian mulai menghangat. Christian tak sungkan berkunjung, bertemu dan berbincang dengan Grace. Begitu juga Emma dan Jamie, yang akan melangsungkan pernikahan. Hanya tinggal menghitung hari. Momen istimewa yang sudah Jamie nantikan selama bertahun-tahun akan terwujud. Pria itu sudah tak sabar menantikan dirinya dan Emma berdiri di altar, untuk mengucap janji suci pernikahan. Sementara itu, kedekatan antara Harper dan Mairi kian terjalin erat. Mairi yang mengetahui bahwa Harper belum diperbolehkan menari, selalu mengajak putri Laura tersebut melakukan banyak hal menyenangkan. “Kami sangat sibuk hari ini. Kau sudah tahu besok adalah hari pernikahan Emma dengan Jamie,” ucap Laura, saat menjawab panggilan telepon dari Christian. “Sayang sekali karena aku harus menghadiri acara penting sampai sore,” balas Christian, diiringi embusan napas berat. “Bagaimana Mairi? Kuharap dia tak merepotkanmu.” “Oh, tenang s
“Christian …,” desah Laura pelan, merasakan sentuhan lembut menjalari tubuhnya. Dia membiarkan pengusaha tampan itu menurunkan tali kecil dari pundak, hingga bagian atas slip dress yang dikenakannya terbuka lebar.Christian beranjak dari tempat tidur, lalu menarik dress satin merah marun itu. Dia melemparnya sembarang ke lantai. Pria bermata gelap itu terdiam sejenak, memandangi seonggok daging putih mulus yang dulu sering dinikmati kapan saja dirinya inginkan.Perlahan, Christian mencondongkan tubuh. Dia menarik celana dalam Laura. Pelan tapi pasti, segitiga pengaman dengan pinggiran berbahan lace itu terlepas dari kaki kiri Laura dan berhenti di mata kaki sebelah kanan. Christian seperti sengaja melakukannya.“Kau masih secantik dulu,” ucap Christian pelan dan dalam, sera
Laura tersenyum kikuk. Dia berusaha menyembunyikan rasa gugup karena ucapan Christian tadi. Laura mengalihkan semua itu pada anak-anak, yang tengah berbincang asyik. Wanita itu bergabung dengan mereka berdua.Sementara Christian hanya diam memperhatikan interaksi antara Laura dengan kedua gadis kecil itu. Laura tak membeda-bedakan Harper dengan Mairi.Christian teringat pada waktu Laura menyarankan untuk mengambil bayi Chelsea setelah dilahirkan, seakan-akan bersedia merawatnya. Padahal, saat itu dia mengira bayi dalam kandungan Chelsea merupakan darah daging Christian. Oleh karena itulah, kini Laura bersikap baik terhadap Mairi.Malam terus merayap. Jarum jam di arloji Christian telah menunjuk angka sembilan lewat beberapa menit. Setelah berbagai keseruan yang dilakukan, pengusaha tampan tersebut
“Apa? Tapi, kau tahu aku sedang sibuk membantu persiapan pesta pernikahan Bibi Emma. Bukankah itu tujuan kita datang kemari?” Laura menolak ajakan itu secara halus. “Kurasa, kau bisa berkemah lain waktu atau … atau kita bisa melakukannya di sini dengan nenek dan —”“Kau tidak mengizinkanku pergi, Bu?” tanya Harper, menyela ucapan Laura. Gadis kecil itu langsung terlihat murung. Dia menundukkan wajah, kemudian berbalik. Tanpa mengatakan apa pun, Harper meninggalkan Laura dan Christian yang berdiri di ambang pintu.“Harper!” panggil Laura.Namun, gadis kecil itu tak menyahut. Dia bahkan sudah menghilang di balik dinding penyekat ruangan.“Bagus, Laura
Laura tertegun sejenak, lalu menoleh pada Harper yang terbelalak tak percaya. Setelah itu, dia kembali mengalihkan perhatian pada pria tadi, untuk membubuhkan tanda tangan sebagai bukti penerimaan barang kiriman.Sepeninggal kedua pria yang sudah menyelesaikan pekerjaan mereka, Laura menatap aneh putrinya. Dia tak percaya Christian melakukan sesuatu yang dinilai sangat berlebihan. Namun, Laura tak bisa berkomentar apa-apa, melihat antusiasme Harper yang begitu takjub menghadapi setumpuk hadiah bagus.“Ibu tahu kenapa Paman Christian mengirimkan hadiah ini untukku? Apa hari ini aku berulang tahun?” tanya Harper, seraya menoleh pada Laura.“Tidak, Sayang. Ulang tahunmu masih empat bulan lagi,” jawab Laura, diiringi gelengan pelan. Dia mengalihkan pandangan pada Grace, yang memasang
"Ampuni aku, Christian," ucap Laura, di sela isak tangis pelan. Dia menundukkan wajah, tak berani melawan tatapan penasaran yang dilayangkan pria empat puluh tahun di hadapannya."Untuk apa? Kenapa aku harus mengampunimu?" tanya Christian tak mengerti."Aku ... aku sudah melakukan dosa tak termaafkan," sahut Laura, masih terisak pelan.Christian menatap lekat Laura. Pria itu memicingkan mata, mencoba menerka ke mana arah pembicaraan yang Laura maksud. Sesaat kemudian, pengusaha tampan tersebut seperti memahami sesuatu. "Apa ini ada hubungannya dengan Harper?"Laura menghentikan tangisnya, lalu mengangkat wajah. Dia membalas tatapan sang mantan suami. "Aku sangat marah dan membencimu, Christian," ucapnya lirih. "Saat itu, aku tak ingin melihat apalagi sampai bersinggungan denganmu. Tidak. Kau harus kubuang jauh. Sangat jauh. Penolakanmu membuatku terhina dan sakit. Teramat sakit," tuturnya pilu.Christian diam menyimak, tanpa mengalihkan perhatian s
Christian mengembuskan napas pelan. "Aku ingin memaksamu agar bersedia menerimaku lagi. Namun, entah ini jadi ide baik atau sebaliknya," ucap pria itu, tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari paras cantik Laura."Jangan memaksakan kehendak lagi, Christian. Kau tahu itu tak akan berakhir baik," ucap Laura menanggapi."Apakah itu berarti kau bersedia kembali padaku dengan sukarela?"Laura tertawa pelan mendengar pertanyaan konyol Christian. Wanita itu menggeleng, lalu mengalihkan perhatian ke sekeliling. Tatapannya tertuju pada kolam renang berbentuk bulat di ujung ruangan, yang dibatasi kaca tebal di sisi sebelah luar.Laura melangkah ke sana. Dia berdiri di tepi kolam renang, lalu meletakkan gelas berisi anggur yang sedari tadi digenggam. "Apa kau pernah berenang di sini?" tanyanya, seraya menoleh pada Christian.Christian menggeleng, sembari berjalan mendekat. Dia berdiri di sebelah Laura. "Aku ingin kau jadi orang pertama yang berenang
“Apa? Kau memberitahu Paman Christian bahwa kita ada di London?”Harper mengangguk, dengan ekspresi teramat polos. “Aku rindu Mairi, Bu,” ujarnya.Laura tak bisa membantah, bila sudah menyebut nama Mairi. Dia tersenyum lembut. “Memangnya, kapan Mairi akan kemari?” “Terserah Paman Christian,” jawab Harper enteng. Gadis kecil itu merebahkan tubuh. “Selimuti aku, Bu,” pintanya.“Kau mau tidur sekarang?” Laura menaikkan sebelah alis.“Aku lelah dan kekenyangan, Bu,” sahut Harper seraya memejamkan mata.Laura kembali tersenyum. Dia meraih ujung selimut, lalu menariknya hingga me