“Maria adikku. Itu jelas berbeda,” jawab Christian cukup tegas. Dia berusaha tak termakan oleh amarah dalam dada, yang tersulut karena sikap membangkang Laura. “Kau tidak bisa menyamakan seperti apa perasaanku terhadap Maria. Kami tumbuh dan hidup bersama selama bertahun-tahun. Dia sangat istimewa bagiku,” tegas pria itu lagi.“Lalu, apa bedanya? Kebersamaan kita memang baru seumur jagung. Namun, kau sudah mengikatku dengan sumpah di hadapan Tuhan. Walaupun tujuan awalmu adalah membalas sakit hati atas kematian Maria, tetapi kau tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa aku adalah istrimu. Tak bisakah kuminta hakku sebagai Nyonya Lynch?” protes Laura dengan sorot kecewa yang berusaha disembunyikan, meskipun sudah terlambat. Linangan air mata menjadi bukti rasa sakitnya, atas sikap serta pernyataan Christian.&ldquo
Christian menatap lekat sedan hitam yang tak asing lagi baginya, hingga si pemilik kendaraan mewah itu muncul. “Tuan Lynch? Apa ada masalah?” tanya seseorang yang tak lain adalah Lewis. Dia berjalan mendekat ke hadapan Christian dan Laura. “Nyonya Lynch,” sapanya, diiringi senyum kalem menawan penuh makna. Laura membalas senyuman tadi. Tidak ada alasan baginya untuk bersikap tak ramah pada Lewis. Lagi pula, dia yakin itu tak akan membuat Christian cemburu. “Apa kabar, Tuan Bellingham?” Meskipun tak nyaman, tetapi Laura memaksakan diri bersikap hangat pada pengusaha tampan berambut cokelat tembaga tersebut. “Sangat baik, Nyonya.” Lewis terus melayangkan senyumnya. Seperti biasa. Pancaran penuh kekaguman tampak jelas, pada sorot mata pria tiga puluh lima tahun itu. Namun, Lewis segera menguasai diri. Dia tak boleh larut dalam keindahan Laura karena ada Christian di sana. Pengusaha tampan tersebut langsung mengalihkan perhatian. “Kenapa Anda ada di jalanan pada jam seperti ini? Maksud
Christian hendak menanggapi sanjungan Lewis. Namun, hal itu dia urungkan karena Wayne lebih dulu tiba di sana. Pengusaha tampan tiga puluh lima tahun tersebut akhirnya dapat mengembuskan napas lega.“Maaf terlambat, Tuan,” ucap Wayne sopan, setelah berdiri di hadapan sang majikan.“Tidak apa-apa,” balas Christian datar, kemudian mengalihkan perhatian pada Laura. “Ayo, pulang,” ajaknya, seraya meraih tangan sang istri.Laura mengangguk. Sebelum masuk ke mobil, dia sempat berpamitan pada Lewis. “Terima kasih sudah menemani kami di sini, Tuan Bellingham. Terima kasih juga atas undangannya.”“Sama-sana, Nyonya. Kutunggu kedatangan Anda dan Tuan Lynch.” Lagi-lagi, Lewis memperlihatkan senyum k
Laura dan Chelsea sama-sama tersentak, mendengar Christian meninggikan suara secara tiba-tiba. Terlebih, Laura. Wanita itu langsung mundur dengan tatapan tak percaya.Ini bukan bentakan pertama yang dia terima dari Christian. Sejak awal pernikahan, dirinya sudah mendapat perlakuan tak baik seperti itu. Namun, seiring berjalannya waktu, Laura tak lagi menerima tindakan atau kata-kata buruk. Dia justru merasa bahwa Christian mulai berubah, meskipun tak pernah menyatakan cinta secara gamblang.Laura membalikkan badan. Dia melangkah gontai meninggalkan ruang makan. Laura langsung kembali ke kamar, lalu masuk ke kamar mandi. Setelah menanggalkan seluruh pakaian, wanita cantik berperawakan semampai itu berdiri di bawah shower.Lagi. Hati Laura kembali tersakiti. Dia yang
Laura menghadapkan tubuh ke jalan. Dia mencari taksi yang bisa mengantar ke Cotswolds. Akan tetapi, yang berhenti di hadapannya justru kendaraan lain. “Ya, Tuhan,” gumam Laura dalam hati. “Nyonya Lynch,” sapa si pemilik kendaraan yang tak lain adalah Lewis. “Kenapa Anda senang sekali —”‘Kuharap Anda bukan seorang penguntit, Tuan Bellingham,” sela Laura.Lewis yang sudah berdiri di hadapan Laura, menatap heran. Pria tampan itu menautkan alis karen tak mengerti. “Maksud Anda?” tanyanya. “Kenapa Anda selalu muncul di hadapanku?” Laura tampak begitu resah. Dia tak mampu menyembunyikan perasaannya. “Apa yang terjadi?” Lewis mengabaikan pertanyaan Laura. Dia lebih fokus pada ekspresi yang diperlihatkan wanita itu. Tanpa berpikir panjang, Lewis segera membukakan pintu mobil. “Masuklah dulu.”“Tidak,” tolak Laura, seraya bergerak mundur. “Tidak apa-apa, Nyonya. Masuklah. Tak baik berada di luar dalam cuaca seperti ini,” desaknya. Dia memberi isyarat, agar Laura menuruti ucapannya. Terleb
Selagi Laura tengah menikmati waktu dengan ratusan buku dalam rak khusus, Christian justru dilanda kegalauan luar biasa. Dia tak mengurung diri di kamar, tapi tetap membawa kegundahan ke ruang kerja. Alhasil, seluruh berkas yang seharusnya diselesaikan dalam waktu cepat jadi terbengkalaiChristian tak dapat berkonsentrasi. Pertengkaran dengan Laura pada pagi ini, berhasil membuat perasaan serta pikirannya jadi tak karuan. Belum pernah dirinya begitu kalut, setelah berselisih dengan seorang wanita, bahkan Chelsea sekalipun.“Apa-apaan kau, Laura?” gumam Christian, diiringi gelengan pelan. Dia tak mengerti dengan apa yang terjadi. “Aku tidak peduli padamu atau wanita manapun. Tidak.” Christian kembali menggeleng.Bersamaan dengan itu, terdengar ketukan di pintu. Alfred membukanya, l
Christian melangkah gagah menuju kamar. Dia mengabaikan rasa lapar. Setibanya di ruangan yang dituju, pria itu langsung meraih telepon genggam dari meja sebelah tempat tidur.Setelah membuka layar ponsel, Christian mencari nomor kontak Laura. Sebelum memutuskan menghubungi sang istri, pria tampan tersebut beberapa kali mengembuskan napas berat. Dia seperti ragu untuk sekadar menanyakan keberadaan istrinya.“Ah! Persetan dengan apa pun yang akan kau lakukan, Laura!” Christian meletakkan telepon genggam di kasur. Dia termenung beberapa saat, sebelum mengambil kembali alat komunikasi canggih tadi. Mau tak mau, Christian harus melawan rasa angkuh dalam diri karena penasaran dengan keberadaan Laura.Akhirnya, Christian mengalah. Namun, setelah beberapa detik berlalu, panggilan itu tak tersam
“Ta-tapi —”“Permisi, Tuan. Ada tamu untuk Anda.” Seorang pelayan menyela perbincangan Laura dengan Lewis. Lewis menoleh. Dia tak bertanya, berhubung sudah tahu siapa tamu yang datang malam itu. “Terima kasih. Kau boleh kembali.” Sepeninggal pelayan, Lewis kembali mengalihkan perhatian pada Laura. “Jangan keluar dari kamar. Aku akan menemui Tuan Lynch dulu,” pesannya. Pria tampan itu menatap sejenak, lalu tersenyum hangat. Tanpa banyak bicara, dia berlalu dari hadapan wanita cantik berambut pirang itu. Laura terus memperhatikan Lewis yang terus berjalan menjauh, hingga tak terlihat lagi. Dia ingat dengan pesan Lewis, yang mengatakan agar jangan keluar kamar. Namun, seperti ada dorongan kuat dalam diri wanita cantik dua puluh tiga tahun itu. Menggerakkan kakinya perlahan keluar dari kamar, hingga tiba di ujung koridor. Laura bersembunyi di balik dinding penyekat ruangan. Dari sana, dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Namun, tak terlihat sosok Lewis ataupun Christian. “Mereka t
Semenjak itu, Laura memutuskan kembali menetap di Inggris. Dia membiarkan rumah peninggalan Lewis, meskipun masih sering memantau dengan menghubungi asisten kepercayaannya. Bagaimanapun juga, semua aset peninggalan Lewis merupakan amanat yang harus dijaga. Laura tak ingin mengkhianati pria yang telah begitu baik terhadapnya dan Harper. Dia akan tetap melakukan kewajiban, menjalankan bisnis yang diwariskan Lewis. Setidaknya, itu membuat rasa bersalah sedikit tertutupi karena memilih kembali pada Christian. ********** Waktu terus berlalu. Musim pun, silih berganti. Laura menjalani biduk rumah tangga yang harmonis dengan Christian. Saat ini, dia bahkan tengah mengandung. "Kuharap kau tidak kecewa karena tak jadi memiliki tiga bidadari cantik," ujar Laura, diiringi senyum lembut. Dia menatap penuh cinta pada Christian, yang tengah fokus mengemudi. "Ini sangat menggembirakan. Hidupku terasa begitu sempurna," ucap Christian. Dia tak henti tersenyum. Hasil USG yang sudah dilakukan tadi,
Semenjak malam itu, hubungan Laura dan Christian mulai menghangat. Christian tak sungkan berkunjung, bertemu dan berbincang dengan Grace. Begitu juga Emma dan Jamie, yang akan melangsungkan pernikahan. Hanya tinggal menghitung hari. Momen istimewa yang sudah Jamie nantikan selama bertahun-tahun akan terwujud. Pria itu sudah tak sabar menantikan dirinya dan Emma berdiri di altar, untuk mengucap janji suci pernikahan. Sementara itu, kedekatan antara Harper dan Mairi kian terjalin erat. Mairi yang mengetahui bahwa Harper belum diperbolehkan menari, selalu mengajak putri Laura tersebut melakukan banyak hal menyenangkan. “Kami sangat sibuk hari ini. Kau sudah tahu besok adalah hari pernikahan Emma dengan Jamie,” ucap Laura, saat menjawab panggilan telepon dari Christian. “Sayang sekali karena aku harus menghadiri acara penting sampai sore,” balas Christian, diiringi embusan napas berat. “Bagaimana Mairi? Kuharap dia tak merepotkanmu.” “Oh, tenang s
“Christian …,” desah Laura pelan, merasakan sentuhan lembut menjalari tubuhnya. Dia membiarkan pengusaha tampan itu menurunkan tali kecil dari pundak, hingga bagian atas slip dress yang dikenakannya terbuka lebar.Christian beranjak dari tempat tidur, lalu menarik dress satin merah marun itu. Dia melemparnya sembarang ke lantai. Pria bermata gelap itu terdiam sejenak, memandangi seonggok daging putih mulus yang dulu sering dinikmati kapan saja dirinya inginkan.Perlahan, Christian mencondongkan tubuh. Dia menarik celana dalam Laura. Pelan tapi pasti, segitiga pengaman dengan pinggiran berbahan lace itu terlepas dari kaki kiri Laura dan berhenti di mata kaki sebelah kanan. Christian seperti sengaja melakukannya.“Kau masih secantik dulu,” ucap Christian pelan dan dalam, sera
Laura tersenyum kikuk. Dia berusaha menyembunyikan rasa gugup karena ucapan Christian tadi. Laura mengalihkan semua itu pada anak-anak, yang tengah berbincang asyik. Wanita itu bergabung dengan mereka berdua.Sementara Christian hanya diam memperhatikan interaksi antara Laura dengan kedua gadis kecil itu. Laura tak membeda-bedakan Harper dengan Mairi.Christian teringat pada waktu Laura menyarankan untuk mengambil bayi Chelsea setelah dilahirkan, seakan-akan bersedia merawatnya. Padahal, saat itu dia mengira bayi dalam kandungan Chelsea merupakan darah daging Christian. Oleh karena itulah, kini Laura bersikap baik terhadap Mairi.Malam terus merayap. Jarum jam di arloji Christian telah menunjuk angka sembilan lewat beberapa menit. Setelah berbagai keseruan yang dilakukan, pengusaha tampan tersebut
“Apa? Tapi, kau tahu aku sedang sibuk membantu persiapan pesta pernikahan Bibi Emma. Bukankah itu tujuan kita datang kemari?” Laura menolak ajakan itu secara halus. “Kurasa, kau bisa berkemah lain waktu atau … atau kita bisa melakukannya di sini dengan nenek dan —”“Kau tidak mengizinkanku pergi, Bu?” tanya Harper, menyela ucapan Laura. Gadis kecil itu langsung terlihat murung. Dia menundukkan wajah, kemudian berbalik. Tanpa mengatakan apa pun, Harper meninggalkan Laura dan Christian yang berdiri di ambang pintu.“Harper!” panggil Laura.Namun, gadis kecil itu tak menyahut. Dia bahkan sudah menghilang di balik dinding penyekat ruangan.“Bagus, Laura
Laura tertegun sejenak, lalu menoleh pada Harper yang terbelalak tak percaya. Setelah itu, dia kembali mengalihkan perhatian pada pria tadi, untuk membubuhkan tanda tangan sebagai bukti penerimaan barang kiriman.Sepeninggal kedua pria yang sudah menyelesaikan pekerjaan mereka, Laura menatap aneh putrinya. Dia tak percaya Christian melakukan sesuatu yang dinilai sangat berlebihan. Namun, Laura tak bisa berkomentar apa-apa, melihat antusiasme Harper yang begitu takjub menghadapi setumpuk hadiah bagus.“Ibu tahu kenapa Paman Christian mengirimkan hadiah ini untukku? Apa hari ini aku berulang tahun?” tanya Harper, seraya menoleh pada Laura.“Tidak, Sayang. Ulang tahunmu masih empat bulan lagi,” jawab Laura, diiringi gelengan pelan. Dia mengalihkan pandangan pada Grace, yang memasang
"Ampuni aku, Christian," ucap Laura, di sela isak tangis pelan. Dia menundukkan wajah, tak berani melawan tatapan penasaran yang dilayangkan pria empat puluh tahun di hadapannya."Untuk apa? Kenapa aku harus mengampunimu?" tanya Christian tak mengerti."Aku ... aku sudah melakukan dosa tak termaafkan," sahut Laura, masih terisak pelan.Christian menatap lekat Laura. Pria itu memicingkan mata, mencoba menerka ke mana arah pembicaraan yang Laura maksud. Sesaat kemudian, pengusaha tampan tersebut seperti memahami sesuatu. "Apa ini ada hubungannya dengan Harper?"Laura menghentikan tangisnya, lalu mengangkat wajah. Dia membalas tatapan sang mantan suami. "Aku sangat marah dan membencimu, Christian," ucapnya lirih. "Saat itu, aku tak ingin melihat apalagi sampai bersinggungan denganmu. Tidak. Kau harus kubuang jauh. Sangat jauh. Penolakanmu membuatku terhina dan sakit. Teramat sakit," tuturnya pilu.Christian diam menyimak, tanpa mengalihkan perhatian s
Christian mengembuskan napas pelan. "Aku ingin memaksamu agar bersedia menerimaku lagi. Namun, entah ini jadi ide baik atau sebaliknya," ucap pria itu, tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari paras cantik Laura."Jangan memaksakan kehendak lagi, Christian. Kau tahu itu tak akan berakhir baik," ucap Laura menanggapi."Apakah itu berarti kau bersedia kembali padaku dengan sukarela?"Laura tertawa pelan mendengar pertanyaan konyol Christian. Wanita itu menggeleng, lalu mengalihkan perhatian ke sekeliling. Tatapannya tertuju pada kolam renang berbentuk bulat di ujung ruangan, yang dibatasi kaca tebal di sisi sebelah luar.Laura melangkah ke sana. Dia berdiri di tepi kolam renang, lalu meletakkan gelas berisi anggur yang sedari tadi digenggam. "Apa kau pernah berenang di sini?" tanyanya, seraya menoleh pada Christian.Christian menggeleng, sembari berjalan mendekat. Dia berdiri di sebelah Laura. "Aku ingin kau jadi orang pertama yang berenang
“Apa? Kau memberitahu Paman Christian bahwa kita ada di London?”Harper mengangguk, dengan ekspresi teramat polos. “Aku rindu Mairi, Bu,” ujarnya.Laura tak bisa membantah, bila sudah menyebut nama Mairi. Dia tersenyum lembut. “Memangnya, kapan Mairi akan kemari?” “Terserah Paman Christian,” jawab Harper enteng. Gadis kecil itu merebahkan tubuh. “Selimuti aku, Bu,” pintanya.“Kau mau tidur sekarang?” Laura menaikkan sebelah alis.“Aku lelah dan kekenyangan, Bu,” sahut Harper seraya memejamkan mata.Laura kembali tersenyum. Dia meraih ujung selimut, lalu menariknya hingga me