Christian mengembuskan napas pelan. Tanpa banyak bicara, dia langsung keluar dari sana. Pria tampan itu melangkah gagah menyusuri koridor cukup panjang, hingga tiba di depan kamarnya. Christian langsung membuka pintu. Dia berjalan mendekat ke tempat tidur, di mana Laura membaringkan tubuh dengan posisi menyamping.“Apa kau tidur?” tanya Christian, seraya naik ke kasur. Dia menopang tubuh menggunakan siku, dengan posisi yang juga menyamping seperti Laura. Christian mengusap lembut lengan sang istri.Namun, Laura tak bergerak, Tidak juga menanggapi pertanyaan suaminya. Padahal, wanita itu masih dalam kondisi terjaga. Dia hanya malas bicara.“Apa kau marah?” tanya Christian lagi, setelah merasa tak mendapat tanggapan dari sang istri. “Kenapa?”
Christian sudah membuka mulut, hendak memberikan jawaban atas pertanyaan Laura tadi. Namun, ketukan di pintu membuatnya langsung mengalihkan perhatian ke arah sumber suara. Christian yang ragu dengan perasaannya, beranjak dari duduk. Dia berjalan ke dekat pintu, lalu membuka sedikit. “Permisi, Tuan.” Seorang pelayan berdiri di depan kamar. “Ada tamu untuk Anda,” lapor wanita paruh baya itu. “Siapa?” tanya Christian datar. “Orang dari perusahaan yang membawakan beberapa berkas untuk Anda. Dia menunggu di ruang tamu.” Christian mengangguk. “Terima kasih. Kau boleh kembali.” Wanita paruh baya itu mengangguk hormat, sebelum membalikkan badan dan berlalu dari hadapan sang majikan. Sepeninggal pelayan itu, Christian kembali ke dalam kamar. Dia menghampiri Laura yang masih duduk di tempat tidur. “Ada beberapa berkas yang harus kuperiksa. Perbincangan ini kita lanjutkan nanti,” ucapnya. Kali ini, dia mengecup kening Laura terlebih dulu sebelum keluar dari sana. “Ah,” Embusan napas pelan
“Emma?” Laura menyebutkan nama wanita yang datang bersama Jamie. “Apa kabar, Nyonya Lynch?” sapa Jamie penuh wibawa, seraya menyodorkan tangan mengajak Laura bersalaman. “Baik,” jawab Laura agak kikuk. Di sisi lain, hatinya merasa tenang. Itu berarti Jamie sudah membuktikan sendiri tentang apa yang Laura katakan tentang Emma. Laura mengalihkan perhatian pada saudara kembarnya, yang berdiri di sebelah CEO dari SRC Company. “Bagaimana kabarmu dan ibu?” tanya wanita dengan setelan blazer berwarna hijau emerald tersebut. “Ibu sudah jauh lebih tenang. Kami hanya perlu membiasakan diri tanpa kehadiran ayah di rumah,” jawab Emma. Tak seperti biasa, saudara kembar Laura tersebut berbicara dengan nada rendah dan terlihat sangat tenang. Laura mengangguk samar, kemudian mengalihkan perhatian pada Jamie. “Silakan duduk,” ucapnya, sambil mengarahkan tangan ke kursi yang telah disediakan. “Aku tidak tahu kenapa Anda mengajak Emma datang kemari dan mengikuti pertemuan ini.” Laura melayangkan
Laura tertegun, lalu menoleh. Dia menatap pria tampan yang menghampirinya. “Tuan Bellingham?”Lewis tersenyum. Sorot matanya selalu memancarkan cahaya, setiap kali berhadapan dengan Laura. Terlihat jelas bahwa dia memiliki ketertarikan lebih pada istri Christian Lynch tersebut. “Mau ke mana? Kenapa berjalan kaki?” tanyanya heran.Laura menyunggingkan senyum kecil. Wanita itu terdiam sejenak, memikirkan jawaban yang akan diberikan kepada rekan bisnis sang suami. “Anda … kenapa ada di sini?” Laura justru melayangkan pertanyaan konyol. Sesuatu yang segera disadari oleh wanita cantik itu. “Astaga. Maafkan aku.” Laura menggeleng pelan, menyadari kebodohannya.Untunglah, Lewis tak menanggapi serius pertanyaan Laura. Dia tersenyum lebar. “Cuaca
“Tidak usah, Tuan. Aku tidak ingin merepotkan. Anda sudah memberiku terlalu banyak sore ini,” tolak Laura halus. Dia meraih tas, lalu mengangguk samar sebagai tanda pamit. “Terima kasih untuk semuanya.” Setelah berkata demikian, wanita cantik itu berlalu dari hadapan Lewis. Laura melangkah anggun diiringi tatapan sang pengusaha.Tak ingin terlihat bodoh, Lewis bergegas menyusul Laura. “Nyonya Lynch!” panggilnya tidak terlalu nyaring.Laura yang sudah keluar dari cafetaria, langsung menoleh. Namun, dia tak menyahut.“Biar kuantar. Tidak apa-apa. Aku tidak merasa direpotkan,” bujuk Lewis, dengan sikap yang tidak terlihat berlebihan. Namun, sorot matanya menyiratkan harapan besar, agar Laura menerima ajakannya.
“Kenapa kau senang sekali memancingku dengan pertanyaan seperti itu?” Christian mengembuskan napas berat, lalu menyimpan ponsel di saku kemeja. Sepertinya, pria itu terganggu dengan pertanyaan yang diajukan Laura. “Aku hanya ingin tahu karena kau tak pernah menunjukkan secara langsung. Kau mengatakan bahwa hubungan kita mulai membaik. Aku tidak tahu hubungan mana dan seperti apa yang dimaksud.” “Ayolah, Laura. Untuk apa membahas sesuatu yang tidak penting seperti ini?” protes Christian. Dia menghindari kontak mata secara langsung dengan sang istri, yang terus menghujamkan tatapan tajam. “Apakah tidak ada pembahasan lain?” gumam sang pengusaha muda tersebut, tak habis pikir. “Pembahasan lain?” ulang Laura. “Kau suka jika aku bertanya tentang apa saja yang kau lakukan selama seharian ini, dalam merawat dan memberi perhatian lebih pada Chelsea?” Christian tertawa pelan mendengar pertanyan Laura. Dia merasa istrinya kian aneh. Christian tak menjawab. Pria tampan dengan iris gelap te
“Maria adikku. Itu jelas berbeda,” jawab Christian cukup tegas. Dia berusaha tak termakan oleh amarah dalam dada, yang tersulut karena sikap membangkang Laura. “Kau tidak bisa menyamakan seperti apa perasaanku terhadap Maria. Kami tumbuh dan hidup bersama selama bertahun-tahun. Dia sangat istimewa bagiku,” tegas pria itu lagi.“Lalu, apa bedanya? Kebersamaan kita memang baru seumur jagung. Namun, kau sudah mengikatku dengan sumpah di hadapan Tuhan. Walaupun tujuan awalmu adalah membalas sakit hati atas kematian Maria, tetapi kau tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa aku adalah istrimu. Tak bisakah kuminta hakku sebagai Nyonya Lynch?” protes Laura dengan sorot kecewa yang berusaha disembunyikan, meskipun sudah terlambat. Linangan air mata menjadi bukti rasa sakitnya, atas sikap serta pernyataan Christian.&ldquo
Christian menatap lekat sedan hitam yang tak asing lagi baginya, hingga si pemilik kendaraan mewah itu muncul. “Tuan Lynch? Apa ada masalah?” tanya seseorang yang tak lain adalah Lewis. Dia berjalan mendekat ke hadapan Christian dan Laura. “Nyonya Lynch,” sapanya, diiringi senyum kalem menawan penuh makna. Laura membalas senyuman tadi. Tidak ada alasan baginya untuk bersikap tak ramah pada Lewis. Lagi pula, dia yakin itu tak akan membuat Christian cemburu. “Apa kabar, Tuan Bellingham?” Meskipun tak nyaman, tetapi Laura memaksakan diri bersikap hangat pada pengusaha tampan berambut cokelat tembaga tersebut. “Sangat baik, Nyonya.” Lewis terus melayangkan senyumnya. Seperti biasa. Pancaran penuh kekaguman tampak jelas, pada sorot mata pria tiga puluh lima tahun itu. Namun, Lewis segera menguasai diri. Dia tak boleh larut dalam keindahan Laura karena ada Christian di sana. Pengusaha tampan tersebut langsung mengalihkan perhatian. “Kenapa Anda ada di jalanan pada jam seperti ini? Maksud
Semenjak itu, Laura memutuskan kembali menetap di Inggris. Dia membiarkan rumah peninggalan Lewis, meskipun masih sering memantau dengan menghubungi asisten kepercayaannya. Bagaimanapun juga, semua aset peninggalan Lewis merupakan amanat yang harus dijaga. Laura tak ingin mengkhianati pria yang telah begitu baik terhadapnya dan Harper. Dia akan tetap melakukan kewajiban, menjalankan bisnis yang diwariskan Lewis. Setidaknya, itu membuat rasa bersalah sedikit tertutupi karena memilih kembali pada Christian. ********** Waktu terus berlalu. Musim pun, silih berganti. Laura menjalani biduk rumah tangga yang harmonis dengan Christian. Saat ini, dia bahkan tengah mengandung. "Kuharap kau tidak kecewa karena tak jadi memiliki tiga bidadari cantik," ujar Laura, diiringi senyum lembut. Dia menatap penuh cinta pada Christian, yang tengah fokus mengemudi. "Ini sangat menggembirakan. Hidupku terasa begitu sempurna," ucap Christian. Dia tak henti tersenyum. Hasil USG yang sudah dilakukan tadi,
Semenjak malam itu, hubungan Laura dan Christian mulai menghangat. Christian tak sungkan berkunjung, bertemu dan berbincang dengan Grace. Begitu juga Emma dan Jamie, yang akan melangsungkan pernikahan. Hanya tinggal menghitung hari. Momen istimewa yang sudah Jamie nantikan selama bertahun-tahun akan terwujud. Pria itu sudah tak sabar menantikan dirinya dan Emma berdiri di altar, untuk mengucap janji suci pernikahan. Sementara itu, kedekatan antara Harper dan Mairi kian terjalin erat. Mairi yang mengetahui bahwa Harper belum diperbolehkan menari, selalu mengajak putri Laura tersebut melakukan banyak hal menyenangkan. “Kami sangat sibuk hari ini. Kau sudah tahu besok adalah hari pernikahan Emma dengan Jamie,” ucap Laura, saat menjawab panggilan telepon dari Christian. “Sayang sekali karena aku harus menghadiri acara penting sampai sore,” balas Christian, diiringi embusan napas berat. “Bagaimana Mairi? Kuharap dia tak merepotkanmu.” “Oh, tenang s
“Christian …,” desah Laura pelan, merasakan sentuhan lembut menjalari tubuhnya. Dia membiarkan pengusaha tampan itu menurunkan tali kecil dari pundak, hingga bagian atas slip dress yang dikenakannya terbuka lebar.Christian beranjak dari tempat tidur, lalu menarik dress satin merah marun itu. Dia melemparnya sembarang ke lantai. Pria bermata gelap itu terdiam sejenak, memandangi seonggok daging putih mulus yang dulu sering dinikmati kapan saja dirinya inginkan.Perlahan, Christian mencondongkan tubuh. Dia menarik celana dalam Laura. Pelan tapi pasti, segitiga pengaman dengan pinggiran berbahan lace itu terlepas dari kaki kiri Laura dan berhenti di mata kaki sebelah kanan. Christian seperti sengaja melakukannya.“Kau masih secantik dulu,” ucap Christian pelan dan dalam, sera
Laura tersenyum kikuk. Dia berusaha menyembunyikan rasa gugup karena ucapan Christian tadi. Laura mengalihkan semua itu pada anak-anak, yang tengah berbincang asyik. Wanita itu bergabung dengan mereka berdua.Sementara Christian hanya diam memperhatikan interaksi antara Laura dengan kedua gadis kecil itu. Laura tak membeda-bedakan Harper dengan Mairi.Christian teringat pada waktu Laura menyarankan untuk mengambil bayi Chelsea setelah dilahirkan, seakan-akan bersedia merawatnya. Padahal, saat itu dia mengira bayi dalam kandungan Chelsea merupakan darah daging Christian. Oleh karena itulah, kini Laura bersikap baik terhadap Mairi.Malam terus merayap. Jarum jam di arloji Christian telah menunjuk angka sembilan lewat beberapa menit. Setelah berbagai keseruan yang dilakukan, pengusaha tampan tersebut
“Apa? Tapi, kau tahu aku sedang sibuk membantu persiapan pesta pernikahan Bibi Emma. Bukankah itu tujuan kita datang kemari?” Laura menolak ajakan itu secara halus. “Kurasa, kau bisa berkemah lain waktu atau … atau kita bisa melakukannya di sini dengan nenek dan —”“Kau tidak mengizinkanku pergi, Bu?” tanya Harper, menyela ucapan Laura. Gadis kecil itu langsung terlihat murung. Dia menundukkan wajah, kemudian berbalik. Tanpa mengatakan apa pun, Harper meninggalkan Laura dan Christian yang berdiri di ambang pintu.“Harper!” panggil Laura.Namun, gadis kecil itu tak menyahut. Dia bahkan sudah menghilang di balik dinding penyekat ruangan.“Bagus, Laura
Laura tertegun sejenak, lalu menoleh pada Harper yang terbelalak tak percaya. Setelah itu, dia kembali mengalihkan perhatian pada pria tadi, untuk membubuhkan tanda tangan sebagai bukti penerimaan barang kiriman.Sepeninggal kedua pria yang sudah menyelesaikan pekerjaan mereka, Laura menatap aneh putrinya. Dia tak percaya Christian melakukan sesuatu yang dinilai sangat berlebihan. Namun, Laura tak bisa berkomentar apa-apa, melihat antusiasme Harper yang begitu takjub menghadapi setumpuk hadiah bagus.“Ibu tahu kenapa Paman Christian mengirimkan hadiah ini untukku? Apa hari ini aku berulang tahun?” tanya Harper, seraya menoleh pada Laura.“Tidak, Sayang. Ulang tahunmu masih empat bulan lagi,” jawab Laura, diiringi gelengan pelan. Dia mengalihkan pandangan pada Grace, yang memasang
"Ampuni aku, Christian," ucap Laura, di sela isak tangis pelan. Dia menundukkan wajah, tak berani melawan tatapan penasaran yang dilayangkan pria empat puluh tahun di hadapannya."Untuk apa? Kenapa aku harus mengampunimu?" tanya Christian tak mengerti."Aku ... aku sudah melakukan dosa tak termaafkan," sahut Laura, masih terisak pelan.Christian menatap lekat Laura. Pria itu memicingkan mata, mencoba menerka ke mana arah pembicaraan yang Laura maksud. Sesaat kemudian, pengusaha tampan tersebut seperti memahami sesuatu. "Apa ini ada hubungannya dengan Harper?"Laura menghentikan tangisnya, lalu mengangkat wajah. Dia membalas tatapan sang mantan suami. "Aku sangat marah dan membencimu, Christian," ucapnya lirih. "Saat itu, aku tak ingin melihat apalagi sampai bersinggungan denganmu. Tidak. Kau harus kubuang jauh. Sangat jauh. Penolakanmu membuatku terhina dan sakit. Teramat sakit," tuturnya pilu.Christian diam menyimak, tanpa mengalihkan perhatian s
Christian mengembuskan napas pelan. "Aku ingin memaksamu agar bersedia menerimaku lagi. Namun, entah ini jadi ide baik atau sebaliknya," ucap pria itu, tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari paras cantik Laura."Jangan memaksakan kehendak lagi, Christian. Kau tahu itu tak akan berakhir baik," ucap Laura menanggapi."Apakah itu berarti kau bersedia kembali padaku dengan sukarela?"Laura tertawa pelan mendengar pertanyaan konyol Christian. Wanita itu menggeleng, lalu mengalihkan perhatian ke sekeliling. Tatapannya tertuju pada kolam renang berbentuk bulat di ujung ruangan, yang dibatasi kaca tebal di sisi sebelah luar.Laura melangkah ke sana. Dia berdiri di tepi kolam renang, lalu meletakkan gelas berisi anggur yang sedari tadi digenggam. "Apa kau pernah berenang di sini?" tanyanya, seraya menoleh pada Christian.Christian menggeleng, sembari berjalan mendekat. Dia berdiri di sebelah Laura. "Aku ingin kau jadi orang pertama yang berenang
“Apa? Kau memberitahu Paman Christian bahwa kita ada di London?”Harper mengangguk, dengan ekspresi teramat polos. “Aku rindu Mairi, Bu,” ujarnya.Laura tak bisa membantah, bila sudah menyebut nama Mairi. Dia tersenyum lembut. “Memangnya, kapan Mairi akan kemari?” “Terserah Paman Christian,” jawab Harper enteng. Gadis kecil itu merebahkan tubuh. “Selimuti aku, Bu,” pintanya.“Kau mau tidur sekarang?” Laura menaikkan sebelah alis.“Aku lelah dan kekenyangan, Bu,” sahut Harper seraya memejamkan mata.Laura kembali tersenyum. Dia meraih ujung selimut, lalu menariknya hingga me