Menit demi menit telah berlalu. Yura menundukkan wajah, sesekali menyesap kopinya dengan perlahan. Semenjak meninggalnya Awan dan dia terbaring di rumah sakit, Steven memang belum sempat menemui Yura lagi.“Gue turut berduka atas kehilangan lo, Ra.” Steven akhirnya bersuara. “Gue tau kalau ini terlambat banget, tapi gue benar-benar baru bisa nemui lo sekarang.”“It's okay, Stev. Urusan lo pasti banyak dan lo pasti sibuk banget.”Steven mengangguk. “Pasti lo cukup terkejut sama kehadiran gue, kan?”“Sedikit.” Yura menyesap kopinya sekali lagi. “Lo mau ngomong apa, Stev?”“Gue mau minta maaf soal… kekacauan yang sempat dilakukan Awan. I know, gue tahu seharusnya yang mengatakan ini bukan gue, melainkan Awan. Cuma… dia udah nggak ada, Ra. Gue tahu kalau nggak seharusnya Awan melakukan semua ini sama lo. Nggak seharusnya dia melukai hati lo.”“She's gone, Stev. Gue udah belajar melepaskan. Gue juga sudah memaafkan dia.”Dan kalimat itu benar-benar nyata adanya. Terlepas dari kehilangan ya
“SAYANG? Udah siap?”Yura menerbitkan senyumannya saat pintu kamarnya baru saja dibuka Krisna. Pria itu baru saja tiba dari mencuci mobil, hari ini mereka berencana untuk mengunjungi rumah Maura.“Lho, Abang udah kelar nyuci mobilnya? Kok cepet?”Yura menoleh sekilas, lalu kembali menoleh ke depan kaca riasnya untuk menyelesaikan riasannya.“Udah, dong. Kan punya kenalan orang dalam.”“Dasar!”Krisna mengayunkan langkahnya mendekati Yura yang tampak sibuk merias wajah di sana. Pria itu mengecup puncak kepala Yura, yang langsung dibalas senyuman perempuan itu lewat pantulan kaca.“Nggak usah cantik-cantik, Ra. Emang ke rumah Mama mau ketemu sama siapa, sih?”“Ketemu sama Mama dong, Bang. Kenapa sih sensi gitu?” jawab Krisna yang dibalas senyuman mengejek Yura. “Bukan Kano, kan?”“Oh, Kano juga adaaaaaa?” ujar Yura semakin ingin membuat panas suaminya.“Ra…”Yura terkekeh, terlihat begitu menikmati bagaimana suaminya kesal saat dia menyebut nama pria lain di hadapannya.“Kita nggak usa
YURA menggeliat di atas tempat tidurnya. Matanya mengerjap menatap langit-langit kamar pagi itu, lalu menoleh ke samping dan tidak mendapati Krisna ada di sampingnya.“Bang…”Yura mengubah posisinya menjadi duduk, lalu mengedarkan matanya ke sekitar. Tidak ada tanda-tanda keberadaan suaminya, padahal semalam dia sangat yakin jika mereka tidur berdampingan.“Dia nggak mungkin ikut ke bandara, kan? Masa iya dia nggak bangunin aku, sih?”Yura menyibak selimutnya, dia berjalan menuju ke kamar mandi untuk sekadar membasuh muka, lalu bergegas keluar dari kamar untuk menemukan keberadaan suaminya.“Bang…” panggilnya sekali lagi.Saat Yura baru saja menuruni anak tangga, aroma yang tercium dari arah dapur seketika menarik perhatiannya. Dia melangkah menuju dapur, lalu terhenyak selama beberapa saat begitu melihat Krisna berdiri di sana.Suasana rumah pagi itu memang terlihat sepi. Semua orang sengaja bangun pagi-pagi untuk mengantar Soraya dan Kano ke bandara, sementara Yura dan Krisna tidak
“Lagi mikirin apa, sih?” tanya Krisna heran, “Masih kepikiran sama yang kepergok Disha tadi?”Yura membelalak, lalu mencubit lengan Krisna dengan cepat. “Abang, ih! Kenapa pakai diingetin lagi, sih? Asli, Bang. Aku malu banget tau, nggak!”Krisna tergelak. “Kenapa pakai malu? Kita kan udah sah jadi suami istri, Ra. Nggak aneh kalau kita melakukan itu, kan?”“Bukan soal aneh atau nggak-nya, Abang. Tapi masalahnya kita melakukannya di dapur Mama. Udah gitu dilihatin sama Disha pula. Untungnya sih Mama nggak lihat, mau ditaruh mana muka aku, Bang.”Krisna lagi-lagi tergelak. “Nggak usah dipikirin. Lama-lama nanti Disha juga bakalan lupa, kok.”Yura masih saja cemberut saat mobil yang dikendarai mereka berbelok menuju pelataran lobi kantornya. “Jangan cemberut gitu dong, Sayang.” Krisna terkekeh. “Padahal Abang suka banget kalau lihat kamu keenakan kayak tadi, lho.”“ABANG!” Dan Krisna kembali tergelak. “Nyebelin! Udah ah, aku turun dulu kalau gitu.”Baru saja Yura hendak membuka pintu d
“Terima kasih banyak, Pak Reno. Saya sangat menghargai tawarannya, tapi saya sudah dijemput sama suami saya nanti.”“Wah, sayang sekali ya, Ra. Padahal saya—”“Sayang?”Suara vokal seseorang membuat Yura dan Reno lantas menoleh begitu mendengar panggilan itu. Yura seketika membelalak, Krisna melangkah menghampirinya.“Abang? Sudah sampai? Sejak kapan? Kok nggak bilang kalau—”“Gimana Abang mau kabarin kamu, kalau kamu sibuk bincang-bincang akrab sama…” Pandangan Krisna tertoleh ke arah Reno.“Saya Reno.” Reno menjulurkan tangannya ke arah Krisna, yang dibalas dengan tatapan malas pria itu. Tangannya refleks melingkar di pinggang Yura dengan posesif.“Krisna. Suaminya Yura, dan saya sudah menjemputnya, jadi Bapak nggak usah repot-repot untuk mengantarnya.”“Ah, maaf, Pak. Saya nggak tau kalau Pak Krisna ada di Jakarta. Istri Bapak bilang kalau suaminya seorang pilot jadi saya pikir Bapak nggak bisa menjemputnya. Jadi saya… menawarkan diri.”“Nggak. Kalaupun saya sedang bertugas dan tid
“Lo jadi honeymoon ke mana emangnya, Ra?”Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Leon, matanya menoleh ke arah form pengajuan cuti yang baru saja diterimanya kembali setelah mendapatkan persetujuan.“Tebak, dong!”“Halah palingan cuma ke Bali? Atau Lombok, maybe? Nggak mungkin ke Maldives, dong?”“Mainstream amat ke Bali. Ke Phi Phi Island, dong!”“Serius lo ke Phi Phi Island? Gue ikut dong, Ra! Di sana tuh surganya para batang-batang gede, Ra. Gue nggak bakalan ganggu lo, deh. Gue—”“Heh! Sadar, El! Menurut ngana aja! Lo kan nggak bisa main cuti gitu aja? Inget ya, jabatan lo sekarang tuh news anchor! Lagian apaan sih, ganggu aja lo!” sungut Yura kesal.Leon mencebikkan bibir, agak kecewa dengan hal itu. Pria itu sadar kalau jadwalnya tidak bisa semudah itu diubah-ubah selayaknya jabatan sebelumnya.“Sialan memang! Udah ah, gue lapar, nih! Katanya mau makan di luar?”Yura bangkit dari duduknya, lalu mulai membereskan meja kerjanya. Setelah memastikan mejanya rapi, mereka lantas men
“Hai, Bang. Udah landing?”“Hai, Sayang. Udah, kok. Maaf Abang baru bisa telepon sekarang. Kamu lagi ngapain?”Yura lantas memasang earphone wearless ke telinga, lalu membiarkan suara Krisna terdengar di seberang sana. “Aku lagi duduk-duduk di dekat kolam, Bang. Ada kerjaan dari kantor yang harus aku kerjain. Abang lagi di mana sekarang? Udah sampai hotel atau masih di bandara?”“Abang barusan sampai hotel. Baru banget, mau mandi masih mager, Ra.” Krisna menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. “Tadi jadi ke dokter, Sayang?”“Jadi, Bang.”“Apa kata dokter? Beneran pergi sendirian?”“Iya. Kata Dokter Padma baik-baik aja, sih. Normal dan nggak ada sesuatu yang aneh dalam rahimku.”“Syukurlah kalau gitu. Harusnya tadi tuh biar ditemenin sama Mama aja, Ra. Mama juga udah bilang mau nemenin, kan? Kan nggak enak kalau pergi sendirian. Paling nggak kalau ada teman, kan ada yang bisa diajak ngobrol gitu.”Yura terkekeh. “Nggak apa-apa kok, Bang. Aku nggak mau ngerepotin aja, sih. Lagian a
YURA ingin mengumpat sejadi-jadinya begitu tiba di bandara. Bagaimana bisa di hari pertamanya mereka akan pergi berbulan madu, Krisna justru harus bertugas sebagai pilot?"Nggak usah senyam-senyum! Nyebelin banget tahu, nggak! Mana ada, Bang, honeymoon di mana-mana tuh, berangkat barengan. Lha, ini aku malah disuruh duduk sendirian, sementara Abang jadi pilotnya!”“Maaf, Ra. Namanya juga urgent, kan? Memang biasanya suka begini, kok.”Yura mencebikkan bibir. “Ya tapi kan, nggak pas kita mau pergi honeymoon, Abanggggggg! Lihat aja, nanti kalau sampai sebelah aku cowok ganteng, jomblo, aku mendingan gandeng dia aja! Sana Abang sana!”“Ya jangan, dong! Kalau kamu gandeng cowok di samping kamu, Abang sama siapa?”“Sana sama Bima sana!” sungut Yura dengan hati dongkol.“Janji, Ra, cuma pas berangkat aja. Cuma lima jam, kok.”“Lima jam? Astaga, Bang. Kalau kamu memang nggak bisa cuti, bilang dong, sejak awal. Kita nggak usah pakai ada rencana honeymoon-honeymoon segala, deh!”Krisna meraih
Waktu sudah menunjuk angka sebelas siang saat Yura tiba di Bandara Soekarno Hatta yang terlihat ramai. Perempuan itu mengulas senyuman, entah apa yang membuatnya terlihat riang. Yura melangkah anggun menuju pintu kedatangan, menantikan kepulangan Krisna akan baru saja mendarat sempurna di Jakarta.Tiba di pintu kedatangan, Yura berdiri di tempat biasanya dia menunggu. Ingatannya kembali membawanya pada apa yang telah dilakukannya sebelum tiba di bandara tadi.“Saya hamil lagi, Dok?” Yura membelalak.“Iya, Bu Yura. Usia kandungannya baru delapan minggu.”Mendadak Yura merasa pening, pantas saja akhir-akhir ini dia sering mual. Namun, dia juga bahagia. “Apakah nggak masalah kalau saya… hamil lagi, Dok?”“Dilihat dari kesiapan rahimnya, tidak masalah, Bu. Ibu merasa lemas dan morning sickness itu karena disebabkan oleh fluktuasi hormonal. Tapi alangkah baiknya, Bu Yura tetap menjaga kondisi dengan sebaik-baiknya.”“Baik, Dok. Terima kasih banyak.”Percakapan itu masih terasa segar dalam
“Sayang…”Suara vokal Mama Maura sontak membuat Yura menolehkan kepalanya. Perempuan itu mengulas senyuman ke arah ibu mertuanya. Dia tengah duduk di taman belakang dengan bayinya yang ada di atas pangkuan.“Ma, barusan datang, ya?” Yura baru saja hendak bangkit dari duduknya saat Maura sudah lebih dulu mencegahnya.“Eh, Ra. Udah kamu duduk di sana aja. Mama yang ke situ.”Yura tidak jadi bangkit dan kembali duduk di kursinya. Setiap pukul tujuh pagi, Yura memang rutin berjemur bersama bayinya. Mengingat bahwa terpapar sinar matahari pagi sangat baik untuk perkembangan bayi.“Mama sendirian aja? Papa nggak ikut?”Belum sempat Maura menjawabnya, Davin yang baru saja melangkah menghampirinya sudah lebih dulu menarik perhatian mereka. “Pa…”“Gimana, Ra? Kamu sehat?” Davin menepuk bahu Yura, matanya menatap ke arah cucunya yang terlihat nyenyak dalam tidurnya. “Cucunya Opa…”“Alhamdulillah, Pa. Meskipun setiap malam pasti begadangnya, sih. Untungnya ada Abang yang selalu nemenin.”“Syuku
“KRISNA! Thank God!”Joey berhambur memeluk Krisna yang saat ini tengah terbaring di atas brankar rumah sakit, seiring dengan isakan tangisnya yang terdengar memenuhi Leanders Hospitals Bali malam itu.Krisna baru saja sadar dari reaksi obat yang diberikan dokter sebagai upaya penyelamatan pertama. Di kepalanya terlilit perban dan ada beberapa luka lainnya di sana.Setelah insiden tergelincirnya pesawat yang baru saja ditumpanginya, Krisna bersama crew dan penumpang yang mengalami luka-luka dilarikan ke rumah sakit.Joey baru saja tiba di Bali, dan langsung bergegas menuju ke Leander Hospitals untuk memastikan kondisi Krisna dan crew lainnya. Krisna mendapati luka-luka di bagian kepalanya lantaran benturan keras di bagian depan kokpit. Sementara Bima harus dioperasi mengingat bahwa kondisinya yang jauh lebih mengkhawatirkan.“Joey, Bima gimana kondisinya? Dia—”“Stay calm, Kris. Bima baik-baik saja dan operasinya berjalan lancar.” Joey menghapus jejak air matanya, lalu menatap sendu
“Ra, beberapa hari lagi kamu mendekati HPL, kan? Nggak usah ke mana-mana dulu, apalagi nongkrong-nongkrong cantik.”Yura yang tadinya fokus dengan pakaian-pakaian bayinya, lantas menoleh ke arah ibunya. Beberapa hari yang lalu Krisna memborong semua perlengkapan bayi setoko-tokonya hanya untuk menyambut kehadiran bayi perempuannya.“Apaan sih, Ma. Lagian kapan coba aku nongkrong-nongkrong cantik? Orang udah lama banget aku di rumah terus.”“Beneran? Kali aja kamu mangkir waktu Abang lagi nugas, kan?” ujar Wulan tak percaya.“Dih, Ma. Sama anak sendiri kok dituduh macam-macam, sih? Aku nggak pernah keluar rumah tanpa seizin suami, ya! Lagian usia kandunganku udah gede gini, daripada aku jalan-jalan, mending aku rebahan sambil drakoran.”“Ya bagus kalau gitu. Ngomong-ngomong udah nemu nama buat anak kamu belum?”“Kenapa? Mama kepo, ya?” ujar Yura menggodai ibunya. “Ma…”“Iya, Sayang?”“Akhir-akhir ini cuaca lagi buruk, ya? Hujan lebat dan disertai angin.”“Kenapa? Kamu khawatir sama Ab
“Ra, kamu kok nekat jemput Abang ke bandara, sih? Abang kan udah bilang kalau—”Belum puas mengomel pada istrinya, Yura yang tengah berdiri di depan pintu kedatangan lantas mencium pipi suaminya dengan cepat.Rasa rindunya yang membuncah setelah ditinggal selama empat hari bertugas, membuat Yura jadi tak sabar ingin bertemu dengan suaminya.“Kangen, Bang…”“Ck! Pasti ada maunya, kan?” Mata Krisna memicing. “Nitnit lagi apa, Sayang?” Lalu pria itu membungkukan badan, dan mencium perut Yura yang kini sudah terlihat membola.“Abang! Nggak malu apa dilihatin banyak orang!”Krisna mengedikkan bahu. “Nggak. Abang kan kangen sama kesayangan Papa.”Yura mencebikkan bibir. “Jadi nggak kangen sama mamanya, ya?”“Cie, cemburu!” Krisna mengusap puncak kepala Yura dengan lembut, lalu terkekeh pelan.Usia kandungan Yura sudah menginjak bulan keempat, dan Nitnit adalah nama yang disematkan Krisna pada bayi perempuannya. Entah kenapa panggilan itu terlihat lucu, imut, dan menggemaskan seperti yang di
“Kenapa muka lo kayak kurang pelepasan gitu? Kurang jatah, ya?”Suara vokal Leon yang terdengar, seketika membuyarkan keterdiaman Yura. Perempuan itu berdiri di depan lift, lalu tiba-tiba Leon berdiri di sampingnya dengan tangannya yang melingkar di bahu.“Lo baru berangkat? Nggak ada siaran pagi, ya?”“Lo lupa kalau gue pindah program? Kebanyakan mikirin apa sih, lo! Gue jadi diabaikan gitu.” Leon bersungut-sungut. “Lo kenapa lesu gini? Nggak lagi ada masalah sama laki lo, kan?”Yura menggeleng meskipun raut wajahnya sama sekali belum berubah. “Nggak ada, El. Gue cuma kepikiran sama Abang aja. Sekarang dia baru di jalan ke rumahnya Pak Reno buat nemuin ibunya.”“Ibunya? Maksudnya nyokap kandungnya Krisna?”Pintu lift yang ada di hadapannya lantas terbuka, Yura tak langsung menjawab. Keduanya melangkah masuk ke dalam lift untuk menuju lantai ruangannya.“Iya. Dua hari ini gue nggak bisa tidur nyenyak, El. Tempo hari, Abang ketemu sama ibu kandungnya. Seperti yang gue ceritain di-chat
Yura menggeliat di atas tempat tidurnya saat bertepatan dengan alarmnya yang berbunyi. Perempuan itu mengerjap pelan, tangannya hendak meraih ponselnya, bersamaan dengan Krisna yang sudah duduk di tepi ranjang tidurnya.“Bang…”Yura mengubah posisinya menjadi duduk. Pria itu sontak menoleh dan mengusap wajah Yura dengan lembut.“Abang nggak tidur semalaman?” tanyanya ketika kini pria itu sudah mendudukkan dirinya di sampingnya, ada perasaan cemas yang mendadak hadir di hatinya. “Udah, kok. Cuma Abang tadi bangun lebih pagi aja, Ra.”“Abang mimpi buruk lagi, ya?” Tidak heran jika perempuan itu tampak khawatir dengan keadaan suaminya. Mengingat bagaimana Krisna beberapa waktu lalu sudah berhasil membuatnya cemas.Yura tahu bahwa mimpi buruk itu selalu membayangi suaminya hampir setiap harinya. Bahkan sudah tak terhitung lagi bagaimana perempuan itu menyeka wajah Krisna yang basah karena peluh keringat atau sekadar mencoba untuk menenangkan Krisna dengan menarik tubuh pria itu ke dalam
“Ma, maaf udah bikin Mama pagi-pagi datang ke rumah. Semalaman Abang nggak keluar dari ruang kerjanya, Ma. Abang juga nggak mau dibujuk sama aku. Aku khawatir, Ma.”Maura yang baru saja datang, lantas mengangguk. Sejak pertemuan Krisna dan Dinda semalam, Maura tahu jika Krisna tidak akan baik-baik saja. Namun dia tidak menyangka jika dampaknya akan separah ini.“Dia udah tahu semuanya?”Yura mengangguk. “Ya, Ma. Pak Reno memberikan catatan medis milik ibu kandungnya Abang, dan karena itu juga Abang memilih mengurung diri.”“Mama akan mencoba membujuknya, Ra. Kamu nggak usah khawatir, ya?”“Aku siapin buat sarapan ya, Ma. Semoga Abang bisa dibujuk buat makan, karena sejak semalam Abang belum makan apapun, Ma.”“Iya, Sayang. Mama ke atas dulu kalau begitu.”Yura mengangguk sekali lagi, membiarkan Maura naik ke lantai dua untuk menemui Krisna yang sejak semalam mengurung diri di ruangannya. Sementara Yura melangkah menuju dapur. Dengan perasaan berkecamuk, Maura berdiri tepat di depan p
“Ra, lagi di mana?”Yura lantas mengangkat wajahnya saat suara Reno terdengar di seberang sana. Matanya mengedar ke sekitar, seolah tahu jika Reno tengah berada di sekitarnya dan mencari keberadaannya.“Udah di dalam ballroom, Pak. Bapak di mana?”“Krisna?”“Dia ke toilet tadi, Pak. Bapak sudah sampai?”“Oh, oke. Sebentar lagi saya masuk. Sampai ketemu di sana, ya.”Yura lantas bangkit dari duduknya, jantungnya mendadak berdebar kencang. Yura tidak bisa membayangkan bagaimana pertemuan Krisna dan ibu kandungnya kali ini. Riak wajahnya seketika berubah, kepalanya mendadak pening.“Sayang, ada apa?”Maura yang melihat perubahan raut wajah Yura, lantas bangkit dan menghampiri perempuan itu.“Ma…” Yura memang belum menceritakan hal ini kepada Maura sebelumnya. “Abang, Ma…”“Kenapa Abang, Ra? Duduk dulu.” Maura meraih segelas minuman yang ada di atas meja, lalu mengangsurkannya ke arah Yura. “Diminum dulu, Sayang.”Beruntung suasana ballroom malam itu gelap, mengingat bahwa cahaya sengaja