“Usia kandungan Ibu sudah berjalan enam minggu. Tidak ada tanda-tanda yang mengkhawatirkan. Hanya saja, Ibu harus perbanyak istirahat dulu. Mengingat bahwa kondisi kandungan Ibu lemah.”Yura menatap dengan mata berbinar ke arah foto hasil USG yang kini ada di tangannya. “Baik, Dok.”“Hindari stress. Ibu tidak boleh terlalu banyak pikiran karena jika itu dibiarkan, bisa membahayakan kondisi janin.”“Iya, Dok.”“Saya akan meresepkan obat penguat kandungan dan vitamin untuk Ibu. Nanti dikonsumsi sampai habis ya, Bu?”“Baik, Dok. Terima kasih.”Usai memeriksakan kondisinya, Yura melangkah meninggalkan ruang rawat Dokter Padma. Perempuan itu melangkah menyusuri koridor lalu duduk di salah satu bangku rumah sakit dengan senyum lebar terukir di wajahnya. Yura menghela napas panjang. Sesekali dia menoleh ke samping, hari ini dia berjanjian dengan Wulan. Setelah selama tiga hari menghilang, akhirnya Yura memberanikan diri untuk menemui ibunya.“Ra!”Wulan berlari tergopoh-gopoh saat mendengar
YURA diam termenung di antara rintik hujan yang jatuh membasahi bumi dari balik jendela kamarnya. Matanya menatap nanar ke arah luar, entah kenapa dia mendadak cemas lantaran ada sesuatu hal yang dikhawatirkan. Lima jam telah berlalu. Perempuan itu masih mencoba menahan gejolak perutnya yang terasa nyeri, mengingat bahwa Krisna sudah berjanji akan datang ke rumahnya begitu tiba di Jakarta.Berbagai pertanyaan kini muncul di kepalanya. Seperti, apakah penerbangannya lancar? Di luar turun hujan, apakah dia baik-baik saja? Dia terbang dari mana ke mana? Kenapa hampir lima jam lamanya dan tidak ada kabar apapun dari Krisna?Suara ketukan dari luar membuyarkan keterdiaman Yura. Perempuan itu mengerjapkan matanya, lalu bersuara.“Masuk.”Wulan mendorong pintu kamarnya, lalu mengulas senyuman tipis dan melangkah menghampiri perempuan itu.“Ada apa, Ma?” tanyanya tampak gusar.“Ada Abang di bawah, Ra.”Refleks Yura bangkit dari duduknya. Dan dia yakin kekhawatiran di wajahnya tercetak begitu
“Ra, lagi ngapain?”Suara vokal Wulan diiringi dengan langkah yang menghampirinya membuat Yura yang tadinya sibuk, lantas mendongakkan wajahnya.Perempuan itu mengulas senyuman. “Aku lagi mau siapin kejutan buat Abang, Ma.”Satu alis Wulan tertarik ke atas, melihat Yura yang tengah menyiapkan sebuah kotak yang di dalamnya dia menaruh sebuah foto USG, hasil tespek dua garis merah, dan dua kaus kaki mungil berwarna merah muda dan biru.Semua benda-benda itu dia taruh di dalam sebuah kotak. Yura juga menuliskan sebaris kalimat, ‘You're going to be a Dad’ dalam sebuah kertas kecil, dan dia gunakan untuk menutupi benda-benda yang sudah tertata rapi di dalam kotak tersebut.“Aku nggak sabar pengen lihat gimana reaksi Abang, Ma. Kira-kira dia bakalan senang atau nggak, ya?”“Tentu senang dong, Ra. Kalian kan sudah resmi menikah, dan tentu anak itu akan menyempurnakan kebahagiaan kalian berdua.”Yura menundukkan wajah sembari mengusap perutnya masih datar. Entah kenapa beberapa hari terakhir
“Senyam-senyum sendiri kayak news anchor lagi naik gaji lo!”Suara teguran Leon spontan membuat Yura yang tadinya hanya duduk diam termenung, lantas terkekeh.Siang itu mereka memutuskan untuk makan siang bersama di salah satu restoran yang paling dekat dengan kantor mereka.Yura sudah masuk lagi ke kantornya, berjibaku dengan rasa sakit dan luka tidak membuat jiwa dan pikirannya merasa lebih baik. Maka Yura memilih untuk kembali bekerja. Setidaknya dengan bertemu banyak orang, Yura tidak akan terlihat menyedihkan.“Apaan sih, El?”“Lo yang apaan! Jadi tempo lalu Krisna datengin lo di rumah nyokap? Terus, terus? Apa dia bilang?” tanya Leon penasaran.“Ya intinya sih dia nggak ngebelain diri, El. Dia bilang kalau dia menyesal, dia juga mau mengakui kesalahannya. Dia bahkan ngasih hadiah gue kalung ini.” Yura meraih bandul pesawat yang melingkar di lehernya, lalu tersenyum. “Tapi yang bikin gue tersentuh adalah… dia bilang kalau gue yang dia jadikan rumah untuk tempatnya pulang.”Senyum
“Janinnya lemah, Bu. Mohon maaf kami sudah berusaha, hanya saja janinnya belum bisa dipertahankan.” Dokter Padma menghela napas. “Kami akan segera melakukan kuretase setelah ini.”Wulan mendadak limbung saat mendengar perkataan Dokter Padma. Jantungnya seperti baru saja diremas kuat, nyeri hebat memukulnya dari dalam hatinya.“Mbak, gimana kondisinya Yura?”Maura dan Davin berjalan cepat menghampiri Wulan yang saat ini tengah berdiri di depan ruang perawatan. Wulan menggeleng lemah, menatap Maura dan Davin yang baru saja tiba. Sementara Krisna masih dalam perjalanan ke rumah sakit.“Janinnya nggak bisa dipertahankan, Mbak.” Wulan terisak pelan. “Kondisi kandungan Yura terlalu lemah.”Tidak hanya Wulan, bahkan Maura yang mendengar hal itu, tiba-tiba saja dadanya terasa sesak.“Sekarang Dokter Padma sedang melakukan tindakan. Kita hanya perlu menunggu,” ujar Wulan menambahkan.Tak berselang lama, Krisna yang baru saja tiba di sana, berlari tergopoh-gopoh. Ada kepanikan yang kini memanc
“Bang…”Suara teguran Maura seketika menarik Krisna dari lamunannya. Pria itu tengah berdiri bersandar di koridor depan ruang rawat Yura dengan hatinya yang berkecamuk. Matanya terlihat bengkak lantaran sejak tadi pria itu menangis. Namun kini tatapannya kosong dan Maura bisa melihat ada banyak penyesalan yang memancar dari balik matanya.“Bagaimana kondisinya Yura, Ma?”Maura mengulas senyum, lalu mengusap lengan Krisna dengan lembut. Kemudian dia bersuara. “Yura udah dikasih obat penenang, Bang. Dia sekarang lagi istirahat, dan percaya sama Mama kalau dia akan baik-baik saja.”Pria itu menghela napas lega. Setidaknya kondisi Yura sudah tenang sekarang.Krisna menundukkan wajahnya dalam-dalam. Menatap lantai koridor yang terlihat dingin. Merasakan gemuruh hebat di hatinya.Tidak hanya Yura merasa terpukul karena kepergian sang jabang bayi. Pun begitu dengan Krisna yang juga hancur berkeping-keping, terlebih saat dia lah yang menjadi penyebab kehilangannya perempuan itu.Nyatanya, mes
KRISNA berdiri tak jauh dari pusara tempat Awan dimakamkan. Dengan mengenakan pakaian serba hitam dan kacamata hitam yang membingkai di wajahnya, sesekali pria itu menghela napas.Steven yang sejak kemarin sibuk mengurusi segalanya. Kini tengah berjongkok, menatap nanar pada gundukan tanah yang masih basah.Krisna tahu jika Awan tidak memiliki siapapun sekarang. Keluarganya meninggalkannya di panti asuhan, dan dia menolak untuk diadopsi, hingga akhirnya perempuan itu tumbuh menjadi orang sukses dengan karirnya yang meroket sebagai seorang chef celebrity.Krisna sama sekali tidak membenci Awan. Biar bagaimanapun perempuan itu pernah menjadi ‘segalanya’ dalam hidup Krisna di masa lalu. Hingga akhirnya perasaan itu memudar dan tergantikan oleh sosok perempuan lain.Awan pernah menjadi sosok perempuan yang sempat dikagumi Krisna. Dia juga pernah menjadi alasan mengapa Krisna tetap bertahan, disaat dia justru ditinggalkan. Dan kini perasaan ganjil itu terjawab sudah. Meskipun takdir kini
“Ini juga nggak mudah buat Yura, Bang. Tapi sebagai suami yang baik, meskipun Abang pernah melakukan kesalahan, akan alangkah baiknya Abang tetap ada di samping Yura. Jangan nyerah, ya. Mama akan selalu ada di sini buat dukung Abang.”Krisna menghela napas panjang. Dia baru saja tiba di rumah sakit siang itu. Setelah mampir di kediaman Wulan untuk mengambil makanan yang sudah disiapkan mertuanya tadi, dia lantas bergegas menuju rumah sakit.Empat hari telah berlalu, sebanyak itu pula Yura menolak kehadiran Krisna. Meskipun rasanya sangat menyedihkan, tapi Krisna akan berusaha untuk memaklumi.“Titip Yura sebentar ya, Nak Krisna. Mama harus ngasih tau pegawainya Mama karena ada pesanan. Nanti Mama nyusul ke rumah sakit.”Krisna hanya bisa tersenyum getir. Entah hatinya yang sedang sensitif atau memang ibu mertuanya tidak bermaksud mengatakan hal itu.“Yura istrinya Abang, Ma. Mama nggak perlu mengatakan hal itu, Abang sudah pasti menjaganya.”Pandangan Krisna nanar ke arah ruang rawat
Waktu sudah menunjuk angka sebelas siang saat Yura tiba di Bandara Soekarno Hatta yang terlihat ramai. Perempuan itu mengulas senyuman, entah apa yang membuatnya terlihat riang. Yura melangkah anggun menuju pintu kedatangan, menantikan kepulangan Krisna akan baru saja mendarat sempurna di Jakarta.Tiba di pintu kedatangan, Yura berdiri di tempat biasanya dia menunggu. Ingatannya kembali membawanya pada apa yang telah dilakukannya sebelum tiba di bandara tadi.“Saya hamil lagi, Dok?” Yura membelalak.“Iya, Bu Yura. Usia kandungannya baru delapan minggu.”Mendadak Yura merasa pening, pantas saja akhir-akhir ini dia sering mual. Namun, dia juga bahagia. “Apakah nggak masalah kalau saya… hamil lagi, Dok?”“Dilihat dari kesiapan rahimnya, tidak masalah, Bu. Ibu merasa lemas dan morning sickness itu karena disebabkan oleh fluktuasi hormonal. Tapi alangkah baiknya, Bu Yura tetap menjaga kondisi dengan sebaik-baiknya.”“Baik, Dok. Terima kasih banyak.”Percakapan itu masih terasa segar dalam
“Sayang…”Suara vokal Mama Maura sontak membuat Yura menolehkan kepalanya. Perempuan itu mengulas senyuman ke arah ibu mertuanya. Dia tengah duduk di taman belakang dengan bayinya yang ada di atas pangkuan.“Ma, barusan datang, ya?” Yura baru saja hendak bangkit dari duduknya saat Maura sudah lebih dulu mencegahnya.“Eh, Ra. Udah kamu duduk di sana aja. Mama yang ke situ.”Yura tidak jadi bangkit dan kembali duduk di kursinya. Setiap pukul tujuh pagi, Yura memang rutin berjemur bersama bayinya. Mengingat bahwa terpapar sinar matahari pagi sangat baik untuk perkembangan bayi.“Mama sendirian aja? Papa nggak ikut?”Belum sempat Maura menjawabnya, Davin yang baru saja melangkah menghampirinya sudah lebih dulu menarik perhatian mereka. “Pa…”“Gimana, Ra? Kamu sehat?” Davin menepuk bahu Yura, matanya menatap ke arah cucunya yang terlihat nyenyak dalam tidurnya. “Cucunya Opa…”“Alhamdulillah, Pa. Meskipun setiap malam pasti begadangnya, sih. Untungnya ada Abang yang selalu nemenin.”“Syuku
“KRISNA! Thank God!”Joey berhambur memeluk Krisna yang saat ini tengah terbaring di atas brankar rumah sakit, seiring dengan isakan tangisnya yang terdengar memenuhi Leanders Hospitals Bali malam itu.Krisna baru saja sadar dari reaksi obat yang diberikan dokter sebagai upaya penyelamatan pertama. Di kepalanya terlilit perban dan ada beberapa luka lainnya di sana.Setelah insiden tergelincirnya pesawat yang baru saja ditumpanginya, Krisna bersama crew dan penumpang yang mengalami luka-luka dilarikan ke rumah sakit.Joey baru saja tiba di Bali, dan langsung bergegas menuju ke Leander Hospitals untuk memastikan kondisi Krisna dan crew lainnya. Krisna mendapati luka-luka di bagian kepalanya lantaran benturan keras di bagian depan kokpit. Sementara Bima harus dioperasi mengingat bahwa kondisinya yang jauh lebih mengkhawatirkan.“Joey, Bima gimana kondisinya? Dia—”“Stay calm, Kris. Bima baik-baik saja dan operasinya berjalan lancar.” Joey menghapus jejak air matanya, lalu menatap sendu
“Ra, beberapa hari lagi kamu mendekati HPL, kan? Nggak usah ke mana-mana dulu, apalagi nongkrong-nongkrong cantik.”Yura yang tadinya fokus dengan pakaian-pakaian bayinya, lantas menoleh ke arah ibunya. Beberapa hari yang lalu Krisna memborong semua perlengkapan bayi setoko-tokonya hanya untuk menyambut kehadiran bayi perempuannya.“Apaan sih, Ma. Lagian kapan coba aku nongkrong-nongkrong cantik? Orang udah lama banget aku di rumah terus.”“Beneran? Kali aja kamu mangkir waktu Abang lagi nugas, kan?” ujar Wulan tak percaya.“Dih, Ma. Sama anak sendiri kok dituduh macam-macam, sih? Aku nggak pernah keluar rumah tanpa seizin suami, ya! Lagian usia kandunganku udah gede gini, daripada aku jalan-jalan, mending aku rebahan sambil drakoran.”“Ya bagus kalau gitu. Ngomong-ngomong udah nemu nama buat anak kamu belum?”“Kenapa? Mama kepo, ya?” ujar Yura menggodai ibunya. “Ma…”“Iya, Sayang?”“Akhir-akhir ini cuaca lagi buruk, ya? Hujan lebat dan disertai angin.”“Kenapa? Kamu khawatir sama Ab
“Ra, kamu kok nekat jemput Abang ke bandara, sih? Abang kan udah bilang kalau—”Belum puas mengomel pada istrinya, Yura yang tengah berdiri di depan pintu kedatangan lantas mencium pipi suaminya dengan cepat.Rasa rindunya yang membuncah setelah ditinggal selama empat hari bertugas, membuat Yura jadi tak sabar ingin bertemu dengan suaminya.“Kangen, Bang…”“Ck! Pasti ada maunya, kan?” Mata Krisna memicing. “Nitnit lagi apa, Sayang?” Lalu pria itu membungkukan badan, dan mencium perut Yura yang kini sudah terlihat membola.“Abang! Nggak malu apa dilihatin banyak orang!”Krisna mengedikkan bahu. “Nggak. Abang kan kangen sama kesayangan Papa.”Yura mencebikkan bibir. “Jadi nggak kangen sama mamanya, ya?”“Cie, cemburu!” Krisna mengusap puncak kepala Yura dengan lembut, lalu terkekeh pelan.Usia kandungan Yura sudah menginjak bulan keempat, dan Nitnit adalah nama yang disematkan Krisna pada bayi perempuannya. Entah kenapa panggilan itu terlihat lucu, imut, dan menggemaskan seperti yang di
“Kenapa muka lo kayak kurang pelepasan gitu? Kurang jatah, ya?”Suara vokal Leon yang terdengar, seketika membuyarkan keterdiaman Yura. Perempuan itu berdiri di depan lift, lalu tiba-tiba Leon berdiri di sampingnya dengan tangannya yang melingkar di bahu.“Lo baru berangkat? Nggak ada siaran pagi, ya?”“Lo lupa kalau gue pindah program? Kebanyakan mikirin apa sih, lo! Gue jadi diabaikan gitu.” Leon bersungut-sungut. “Lo kenapa lesu gini? Nggak lagi ada masalah sama laki lo, kan?”Yura menggeleng meskipun raut wajahnya sama sekali belum berubah. “Nggak ada, El. Gue cuma kepikiran sama Abang aja. Sekarang dia baru di jalan ke rumahnya Pak Reno buat nemuin ibunya.”“Ibunya? Maksudnya nyokap kandungnya Krisna?”Pintu lift yang ada di hadapannya lantas terbuka, Yura tak langsung menjawab. Keduanya melangkah masuk ke dalam lift untuk menuju lantai ruangannya.“Iya. Dua hari ini gue nggak bisa tidur nyenyak, El. Tempo hari, Abang ketemu sama ibu kandungnya. Seperti yang gue ceritain di-chat
Yura menggeliat di atas tempat tidurnya saat bertepatan dengan alarmnya yang berbunyi. Perempuan itu mengerjap pelan, tangannya hendak meraih ponselnya, bersamaan dengan Krisna yang sudah duduk di tepi ranjang tidurnya.“Bang…”Yura mengubah posisinya menjadi duduk. Pria itu sontak menoleh dan mengusap wajah Yura dengan lembut.“Abang nggak tidur semalaman?” tanyanya ketika kini pria itu sudah mendudukkan dirinya di sampingnya, ada perasaan cemas yang mendadak hadir di hatinya. “Udah, kok. Cuma Abang tadi bangun lebih pagi aja, Ra.”“Abang mimpi buruk lagi, ya?” Tidak heran jika perempuan itu tampak khawatir dengan keadaan suaminya. Mengingat bagaimana Krisna beberapa waktu lalu sudah berhasil membuatnya cemas.Yura tahu bahwa mimpi buruk itu selalu membayangi suaminya hampir setiap harinya. Bahkan sudah tak terhitung lagi bagaimana perempuan itu menyeka wajah Krisna yang basah karena peluh keringat atau sekadar mencoba untuk menenangkan Krisna dengan menarik tubuh pria itu ke dalam
“Ma, maaf udah bikin Mama pagi-pagi datang ke rumah. Semalaman Abang nggak keluar dari ruang kerjanya, Ma. Abang juga nggak mau dibujuk sama aku. Aku khawatir, Ma.”Maura yang baru saja datang, lantas mengangguk. Sejak pertemuan Krisna dan Dinda semalam, Maura tahu jika Krisna tidak akan baik-baik saja. Namun dia tidak menyangka jika dampaknya akan separah ini.“Dia udah tahu semuanya?”Yura mengangguk. “Ya, Ma. Pak Reno memberikan catatan medis milik ibu kandungnya Abang, dan karena itu juga Abang memilih mengurung diri.”“Mama akan mencoba membujuknya, Ra. Kamu nggak usah khawatir, ya?”“Aku siapin buat sarapan ya, Ma. Semoga Abang bisa dibujuk buat makan, karena sejak semalam Abang belum makan apapun, Ma.”“Iya, Sayang. Mama ke atas dulu kalau begitu.”Yura mengangguk sekali lagi, membiarkan Maura naik ke lantai dua untuk menemui Krisna yang sejak semalam mengurung diri di ruangannya. Sementara Yura melangkah menuju dapur. Dengan perasaan berkecamuk, Maura berdiri tepat di depan p
“Ra, lagi di mana?”Yura lantas mengangkat wajahnya saat suara Reno terdengar di seberang sana. Matanya mengedar ke sekitar, seolah tahu jika Reno tengah berada di sekitarnya dan mencari keberadaannya.“Udah di dalam ballroom, Pak. Bapak di mana?”“Krisna?”“Dia ke toilet tadi, Pak. Bapak sudah sampai?”“Oh, oke. Sebentar lagi saya masuk. Sampai ketemu di sana, ya.”Yura lantas bangkit dari duduknya, jantungnya mendadak berdebar kencang. Yura tidak bisa membayangkan bagaimana pertemuan Krisna dan ibu kandungnya kali ini. Riak wajahnya seketika berubah, kepalanya mendadak pening.“Sayang, ada apa?”Maura yang melihat perubahan raut wajah Yura, lantas bangkit dan menghampiri perempuan itu.“Ma…” Yura memang belum menceritakan hal ini kepada Maura sebelumnya. “Abang, Ma…”“Kenapa Abang, Ra? Duduk dulu.” Maura meraih segelas minuman yang ada di atas meja, lalu mengangsurkannya ke arah Yura. “Diminum dulu, Sayang.”Beruntung suasana ballroom malam itu gelap, mengingat bahwa cahaya sengaja