“Sayang, yang berat-berat nggak usah diangkat. Nanti biar Abang aja, okay?”“Iya, Bang. Ini nggak berat, kok.” Yura kembali tertoleh ke arah lemari pakaian Krisna. “Kalau kita pindah ke rumah, terus apartemen ini mau dijual atau gimana, Bang?”Krisna tampak berpikir sejenak. “Sebenarnya sayang kalau mau dijual, Ra. Apartemen ini jadi saksi hidup Abang waktu berjuang jadi pilot awal-awal dulu.”“Ya kalau gitu nggak usah dijual, Bang. Biar bagaimanapun tempat ini pasti menyimpan kenangan tersendiri buat Abang, kan?”Krisna mengangguk. Membenarkan hal itu. Namun tidak hanya itu saja, tapi kenangannya bersama Awan juga ada di sini. Krisna tidak ingin kembali mengingatnya karena dia sadar jika masa depannya kini sudah ada Yura dan dia tidak ingin melukai hati istrinya.“Bang, ini apa?”Lamunan Krisna tiba-tiba terbuyar, pria itu mengerjap lalu menoleh ke arah Yura yang tampak sibuk membereskan barang-barangnya.“Apa, sih?”Lalu langkah Krisna terpaku saat pandangannya tertuju pada Yura yan
“Good morning, Sayang. Baunya enak banget, sih? Istrinya Abang masak apa, sih?”Yura yang tengah sibuk di dapur lantas menoleh dan mendapati Krisna baru saja kembali dari jogging pagi. Pria itu lantas mencium pipi Yura dengan cepat, lalu melangkah menuju lemari pendingin untuk mengambil minuman dingin di sana.“ABANG!” Yura bersungut-sungut. “Abang keringetan gitu, mandi dulu, gih.”“Kenapa? Nggak mau dicium sama suami yang keringetan, ya?”“Nggak gitu! Tapi kan—”“Apa?” Krisna dengan cepat menarik tangan Yura agar menjauh dari kompor—yang untungnya kompor itu sudah dimatikan, lalu mengurung tubuh perempuan itu dengan kedua tangannya.“Coba buktiin kalau sayang sama Abang. Cium dulu, coba?” Krisna menelengkan wajahnya, jari telunjuknya menyentuh pipinya yang masih basah karena keringat. “Buktiin dong, kalau kamu—”Namun belum Krisna melanjutkan ucapannya, perempuan dia sudah lebih dulu menangkup wajah suaminya yang basah karena keringat, lalu mulai mendekatkan wajahnya. Tapi secepat i
“Ra barang-barangnya udah semua?”Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Krisna yang baru saja keluar dari kamar mandi. Handuk putih masih melilit di pinggangnya, sementara wajahnya masih sedikit basah. Dan entah mengapa Yura menatapnya tanpa berkedip.Hentikan!Yura lantas mengerjap. “Udah kok, Bang. Lagian nggak banyak barang-barang yang dibawa, kan?”“Lingerie-nya nggak lupa dibawa kan, Ra?” sahut Krisna mengerling jahil ke Yura.“Kalau Abang cuma mau ngajak goyang doang, nggak usah jauh-jauh ke Maldives, Bang. Ayo sekarang!”Tadinya Yura hanya berniat menggoda suaminya, namun saat Krisna tiba-tiba melangkah mendekatinya, sementara handuk yang tadinya melilit di pinggangnya kini sudah luruh ke lantai. Yura sontak membelalak.“Abang mau ngapain?” tanyanya panik.“Bercintalah, mau ngapain lagi?”Yura sontak membelalak. Tapi dia sama sekali tidak memberontak saat tiba-tiba Krisna menggendongnya dan membantingnya pelan di atas ranjang tidurnya.Ingin rasanya Yura menghentikan apa yan
MOBIL yang dikendarai mereka akhirnya berbelok menuju pelataran parkir Leanders Hospitals. Dengan langkah sedikit tergesa, Krisna menggandeng Yura dengan posesif dan langsung menuju ruang operasi saat Maura memberikan kabar melalui pesan.“Semoga Steven sama Awan nggak apa-apa ya, Bang.”“Hm-mm. Setau Abang, Steven nggak akan seceroboh itu sampai-sampai mereka kecelakaan begini.”“Dia pasti baik-baik saja.”Begitu tiba di depan ruang operasi. Maura yang tadinya berbincang dengan salah satu perawat, terpaksa menghentikan percakapannya. Perempuan paruh baya itu lantas menghampiri Krisna dan Yura, lalu dia bersuara.“Abang, Ra…”“Ma, gimana kondisinya Steven sama Awan?”“Steven sedang dioperasi, Bang. Benturan keras di kepalanya membuat Steven mengalami cedera yang cukup mengkhawatirkan. Mau tidak mau dia harus dioperasi.”“Lalu bagaimana dengan Awan, Ma?” tanya Yura ikut menyahuti.“Awan baik-baik saja. Dia hanya mengalami luka ringan di kepalanya. Menurut saksi mata, bagian mobil yang
BARU empat hari masa cutinya berlangsung, tapi Yura memutuskan berangkat ke kantor. Sementara Krisna masih sering bolak-balik ke rumah dan ke rumah sakit.Perempuan itu menghela napas panjang. Dia masih mengingat jelas bagaimana Awan meminta Krisna secara terang-terangan untuk menemaninya di depan mertuanya.“Kalau seandainya diizinkan, saya pengen Krisna yang menemani saya, Tante. Saya nggak mungkin minta Tante Soraya buat jagain Steven. Apalagi kesehatannya kemarin sempat drop. Sementara Kano sudah sibuk dengan pekerjaannya.”Maura yang mendapatkan pertanyaan itu, lantas menoleh ke arah Krisna dan Yura secara bergantian.“Ya kalau soal itu, bukankah seharusnya kamu izin sama istrinya, Wan? Tante bukannya mau melarang atau bagaimana. Tapi Abang juga punya tanggung jawab lain. Dia punya istri juga sekarang.”Awan dengan wajahnya yang pucat lantas menoleh ke arah Yura yang tengah duduk di seberang Maura. Tidak hanya Soraya saja yang kesehatannya menurun, tapi juga dirinya.“Ra, boleh?
[Abang masih di rumah sakit, Ra. Tante Soraya belum balik dari luar tadi. Kamu jadi ke rumah Mama, kan? Nanti aku jemput di sana, okay? I love you.]Setelah mengirimkan pesan itu, Krisna kembali menyimpan ponselnya. Dia mendorong pintu yang ada di hadapannya, menatap lurus ke arah sepupunya yang kini tengah terbaring koma.Sudah empat hari berlalu dan tidak ada tanda-tanda Steven terbangun. Padahal dokter yang merawatnya sempat mengatakan kondisinya baik-baik saja.Dengan langkah hati-hati pria itu melangkah mendekati ranjang tidur Steven, lalu mendesah pelan.“Stev, bangun. Lo dokter, Stev. Kalau lo sakit, siapa yang merawat pasien-pasien lo, hah? Lo nggak mungkin—”Namun belum Krisna melanjutkan ucapannya, kelopak mata Steven yang bergerak-gerak seketika membuat pria itu mematung di tempatnya.“Stev, lo bangun?” Krisna terlihat panik—antara masih belum percaya jika Steven telah membuka matanya atau dia harus memanggil dokter. “Gue panggilkan dokter dulu, okay? Lo—” Namun Steven suda
YURA melenguh pelan saat dia merasakan kepalanya terasa pening luar biasa. Perempuan itu memaksakan diri untuk membuka kelopak matanya, lalu pandangannya mengedar ke sekitar.“Lo pingsan tadi.”Suara Kano membuat Yura lantas mengalihkan pandangannya ke samping dengan cepat. Pria itu berdiri di sudut ruangan dengan tatapan cemas.“Gue bawa lo ke IGD tadi. Tapi lo tenang aja, gue pastikan si Bangsat itu nggak tahu kalau lo ada di sini.”Yura masih belum mengatakan apa-apa. Masih segar ingatannya, bayang-bayang bagaimana Krisna dan Awan yang tengah berciuman tadi kembali berputar di kepalanya.“Take your time.” Kano menghela napas, menatap iba ke arah Yura. “Lo nggak boleh drop karena… kata dokter lo hamil.”Entah apakah berita yang baru saja dikatakan Kano adalah berita membahagiakan atau justru sebaliknya. Yura bahkan tidak tahu apa yang tengah dirasakan sekarang. Hatinya terasa kebas.“Gue keluar, ya? Lo mau gue belikan sesuatu? Atau lo mau makan sesuatu?”Yura masih diam. Dan Kano ke
“Lo bawa bini gue ke mana, Brengsek!”Krisna berjalan cepat menghampiri Kano yang baru saja turun dari mobilnya. Tapi rupanya Kano sudah lebih dulu mempersiapkan segalanya. Seperti melayangkan pukulan keras tepat di wajah Krisna.“Ini buat suami bajingan kayak lo!”Krisna tersungkur di paving block depan teras rumah. Semua mata membelalak, Maura dan Soraya yang melihatnya lantas berteriak bersamaan.Krisna memutar badannya dan langsung bangkit berdiri. Darah segar mengucur dari sudut bibirnya, lalu tatapannya nyalang ke arah Kano.“Maksud lo apaan, Bangsat! Di mana bini gue!”Alih-alih menjawab. Lagi-lagi Kano melayangkan pukulan tepat di rahang Krisna. Kali ini berkali-kali, hingga darah segar lagi-lagi mengucur dari hidung dan bibirnya.Pun begitu dengan Krisna yang langsung membalasnya. Keduanya saling melayangkan pukulan. Bahkan darah segar yang entah siapa pemiliknya mulai bercucuran ke tanah.Persetan dengan persaudaraan yang dimiliki mereka. Yang ingin dilakukan Kano sekarang h
Waktu sudah menunjuk angka sebelas siang saat Yura tiba di Bandara Soekarno Hatta yang terlihat ramai. Perempuan itu mengulas senyuman, entah apa yang membuatnya terlihat riang. Yura melangkah anggun menuju pintu kedatangan, menantikan kepulangan Krisna akan baru saja mendarat sempurna di Jakarta.Tiba di pintu kedatangan, Yura berdiri di tempat biasanya dia menunggu. Ingatannya kembali membawanya pada apa yang telah dilakukannya sebelum tiba di bandara tadi.“Saya hamil lagi, Dok?” Yura membelalak.“Iya, Bu Yura. Usia kandungannya baru delapan minggu.”Mendadak Yura merasa pening, pantas saja akhir-akhir ini dia sering mual. Namun, dia juga bahagia. “Apakah nggak masalah kalau saya… hamil lagi, Dok?”“Dilihat dari kesiapan rahimnya, tidak masalah, Bu. Ibu merasa lemas dan morning sickness itu karena disebabkan oleh fluktuasi hormonal. Tapi alangkah baiknya, Bu Yura tetap menjaga kondisi dengan sebaik-baiknya.”“Baik, Dok. Terima kasih banyak.”Percakapan itu masih terasa segar dalam
“Sayang…”Suara vokal Mama Maura sontak membuat Yura menolehkan kepalanya. Perempuan itu mengulas senyuman ke arah ibu mertuanya. Dia tengah duduk di taman belakang dengan bayinya yang ada di atas pangkuan.“Ma, barusan datang, ya?” Yura baru saja hendak bangkit dari duduknya saat Maura sudah lebih dulu mencegahnya.“Eh, Ra. Udah kamu duduk di sana aja. Mama yang ke situ.”Yura tidak jadi bangkit dan kembali duduk di kursinya. Setiap pukul tujuh pagi, Yura memang rutin berjemur bersama bayinya. Mengingat bahwa terpapar sinar matahari pagi sangat baik untuk perkembangan bayi.“Mama sendirian aja? Papa nggak ikut?”Belum sempat Maura menjawabnya, Davin yang baru saja melangkah menghampirinya sudah lebih dulu menarik perhatian mereka. “Pa…”“Gimana, Ra? Kamu sehat?” Davin menepuk bahu Yura, matanya menatap ke arah cucunya yang terlihat nyenyak dalam tidurnya. “Cucunya Opa…”“Alhamdulillah, Pa. Meskipun setiap malam pasti begadangnya, sih. Untungnya ada Abang yang selalu nemenin.”“Syuku
“KRISNA! Thank God!”Joey berhambur memeluk Krisna yang saat ini tengah terbaring di atas brankar rumah sakit, seiring dengan isakan tangisnya yang terdengar memenuhi Leanders Hospitals Bali malam itu.Krisna baru saja sadar dari reaksi obat yang diberikan dokter sebagai upaya penyelamatan pertama. Di kepalanya terlilit perban dan ada beberapa luka lainnya di sana.Setelah insiden tergelincirnya pesawat yang baru saja ditumpanginya, Krisna bersama crew dan penumpang yang mengalami luka-luka dilarikan ke rumah sakit.Joey baru saja tiba di Bali, dan langsung bergegas menuju ke Leander Hospitals untuk memastikan kondisi Krisna dan crew lainnya. Krisna mendapati luka-luka di bagian kepalanya lantaran benturan keras di bagian depan kokpit. Sementara Bima harus dioperasi mengingat bahwa kondisinya yang jauh lebih mengkhawatirkan.“Joey, Bima gimana kondisinya? Dia—”“Stay calm, Kris. Bima baik-baik saja dan operasinya berjalan lancar.” Joey menghapus jejak air matanya, lalu menatap sendu
“Ra, beberapa hari lagi kamu mendekati HPL, kan? Nggak usah ke mana-mana dulu, apalagi nongkrong-nongkrong cantik.”Yura yang tadinya fokus dengan pakaian-pakaian bayinya, lantas menoleh ke arah ibunya. Beberapa hari yang lalu Krisna memborong semua perlengkapan bayi setoko-tokonya hanya untuk menyambut kehadiran bayi perempuannya.“Apaan sih, Ma. Lagian kapan coba aku nongkrong-nongkrong cantik? Orang udah lama banget aku di rumah terus.”“Beneran? Kali aja kamu mangkir waktu Abang lagi nugas, kan?” ujar Wulan tak percaya.“Dih, Ma. Sama anak sendiri kok dituduh macam-macam, sih? Aku nggak pernah keluar rumah tanpa seizin suami, ya! Lagian usia kandunganku udah gede gini, daripada aku jalan-jalan, mending aku rebahan sambil drakoran.”“Ya bagus kalau gitu. Ngomong-ngomong udah nemu nama buat anak kamu belum?”“Kenapa? Mama kepo, ya?” ujar Yura menggodai ibunya. “Ma…”“Iya, Sayang?”“Akhir-akhir ini cuaca lagi buruk, ya? Hujan lebat dan disertai angin.”“Kenapa? Kamu khawatir sama Ab
“Ra, kamu kok nekat jemput Abang ke bandara, sih? Abang kan udah bilang kalau—”Belum puas mengomel pada istrinya, Yura yang tengah berdiri di depan pintu kedatangan lantas mencium pipi suaminya dengan cepat.Rasa rindunya yang membuncah setelah ditinggal selama empat hari bertugas, membuat Yura jadi tak sabar ingin bertemu dengan suaminya.“Kangen, Bang…”“Ck! Pasti ada maunya, kan?” Mata Krisna memicing. “Nitnit lagi apa, Sayang?” Lalu pria itu membungkukan badan, dan mencium perut Yura yang kini sudah terlihat membola.“Abang! Nggak malu apa dilihatin banyak orang!”Krisna mengedikkan bahu. “Nggak. Abang kan kangen sama kesayangan Papa.”Yura mencebikkan bibir. “Jadi nggak kangen sama mamanya, ya?”“Cie, cemburu!” Krisna mengusap puncak kepala Yura dengan lembut, lalu terkekeh pelan.Usia kandungan Yura sudah menginjak bulan keempat, dan Nitnit adalah nama yang disematkan Krisna pada bayi perempuannya. Entah kenapa panggilan itu terlihat lucu, imut, dan menggemaskan seperti yang di
“Kenapa muka lo kayak kurang pelepasan gitu? Kurang jatah, ya?”Suara vokal Leon yang terdengar, seketika membuyarkan keterdiaman Yura. Perempuan itu berdiri di depan lift, lalu tiba-tiba Leon berdiri di sampingnya dengan tangannya yang melingkar di bahu.“Lo baru berangkat? Nggak ada siaran pagi, ya?”“Lo lupa kalau gue pindah program? Kebanyakan mikirin apa sih, lo! Gue jadi diabaikan gitu.” Leon bersungut-sungut. “Lo kenapa lesu gini? Nggak lagi ada masalah sama laki lo, kan?”Yura menggeleng meskipun raut wajahnya sama sekali belum berubah. “Nggak ada, El. Gue cuma kepikiran sama Abang aja. Sekarang dia baru di jalan ke rumahnya Pak Reno buat nemuin ibunya.”“Ibunya? Maksudnya nyokap kandungnya Krisna?”Pintu lift yang ada di hadapannya lantas terbuka, Yura tak langsung menjawab. Keduanya melangkah masuk ke dalam lift untuk menuju lantai ruangannya.“Iya. Dua hari ini gue nggak bisa tidur nyenyak, El. Tempo hari, Abang ketemu sama ibu kandungnya. Seperti yang gue ceritain di-chat
Yura menggeliat di atas tempat tidurnya saat bertepatan dengan alarmnya yang berbunyi. Perempuan itu mengerjap pelan, tangannya hendak meraih ponselnya, bersamaan dengan Krisna yang sudah duduk di tepi ranjang tidurnya.“Bang…”Yura mengubah posisinya menjadi duduk. Pria itu sontak menoleh dan mengusap wajah Yura dengan lembut.“Abang nggak tidur semalaman?” tanyanya ketika kini pria itu sudah mendudukkan dirinya di sampingnya, ada perasaan cemas yang mendadak hadir di hatinya. “Udah, kok. Cuma Abang tadi bangun lebih pagi aja, Ra.”“Abang mimpi buruk lagi, ya?” Tidak heran jika perempuan itu tampak khawatir dengan keadaan suaminya. Mengingat bagaimana Krisna beberapa waktu lalu sudah berhasil membuatnya cemas.Yura tahu bahwa mimpi buruk itu selalu membayangi suaminya hampir setiap harinya. Bahkan sudah tak terhitung lagi bagaimana perempuan itu menyeka wajah Krisna yang basah karena peluh keringat atau sekadar mencoba untuk menenangkan Krisna dengan menarik tubuh pria itu ke dalam
“Ma, maaf udah bikin Mama pagi-pagi datang ke rumah. Semalaman Abang nggak keluar dari ruang kerjanya, Ma. Abang juga nggak mau dibujuk sama aku. Aku khawatir, Ma.”Maura yang baru saja datang, lantas mengangguk. Sejak pertemuan Krisna dan Dinda semalam, Maura tahu jika Krisna tidak akan baik-baik saja. Namun dia tidak menyangka jika dampaknya akan separah ini.“Dia udah tahu semuanya?”Yura mengangguk. “Ya, Ma. Pak Reno memberikan catatan medis milik ibu kandungnya Abang, dan karena itu juga Abang memilih mengurung diri.”“Mama akan mencoba membujuknya, Ra. Kamu nggak usah khawatir, ya?”“Aku siapin buat sarapan ya, Ma. Semoga Abang bisa dibujuk buat makan, karena sejak semalam Abang belum makan apapun, Ma.”“Iya, Sayang. Mama ke atas dulu kalau begitu.”Yura mengangguk sekali lagi, membiarkan Maura naik ke lantai dua untuk menemui Krisna yang sejak semalam mengurung diri di ruangannya. Sementara Yura melangkah menuju dapur. Dengan perasaan berkecamuk, Maura berdiri tepat di depan p
“Ra, lagi di mana?”Yura lantas mengangkat wajahnya saat suara Reno terdengar di seberang sana. Matanya mengedar ke sekitar, seolah tahu jika Reno tengah berada di sekitarnya dan mencari keberadaannya.“Udah di dalam ballroom, Pak. Bapak di mana?”“Krisna?”“Dia ke toilet tadi, Pak. Bapak sudah sampai?”“Oh, oke. Sebentar lagi saya masuk. Sampai ketemu di sana, ya.”Yura lantas bangkit dari duduknya, jantungnya mendadak berdebar kencang. Yura tidak bisa membayangkan bagaimana pertemuan Krisna dan ibu kandungnya kali ini. Riak wajahnya seketika berubah, kepalanya mendadak pening.“Sayang, ada apa?”Maura yang melihat perubahan raut wajah Yura, lantas bangkit dan menghampiri perempuan itu.“Ma…” Yura memang belum menceritakan hal ini kepada Maura sebelumnya. “Abang, Ma…”“Kenapa Abang, Ra? Duduk dulu.” Maura meraih segelas minuman yang ada di atas meja, lalu mengangsurkannya ke arah Yura. “Diminum dulu, Sayang.”Beruntung suasana ballroom malam itu gelap, mengingat bahwa cahaya sengaja