"Alana, kamu datang sendiri?" Kalila segera menyambut kedatangan Alana dan langsung mengedarkan mata seperti sedang mencari seseorang.Alana heran dan bingung melihat sikap Kalila yang tidak biasa. Dia pun secara tidak sadar ikut mengedarkan mata seperti yang Kalila lakukan."Kalila, apa yang kamu cari?" tanyanya setelah tidak menemukan apa-apa.Kalila menegakkan tubuh menatap Alana. Sorot matanya memberi sedikit rasa kecewa."Kalila, ada apa?" Alana semakin bingung."Kamu datang sendiri?" tanya Kalila lagi."Ya," jawab Alana masih tidak mengerti."Tidak diantar pacarmu yang tampan itu?""Apa kau juga sama dengan mereka? Menyukai kekasihku?" Alana menatap lekat Kalila dengan tatapan mengintimidasi."Ngacau! Kamu pikir aku pagar makan tanaman?" Kalila memukul lengan Alana. "Meski aku bukan teman yang baik, tapi aku tidak akan pernah mengambil apa yang sudah menjadi milik temanku," sambung Kalila tidak terima dituduh memiliki perasaan suka pada Leo, sama dengan yang lain.Rasanya seper
"Om Leo," panggil Alana setelah memberi tatapan lekat pada Leo."Mmm." Leo pun membalas tatapan Alana. "Katakan! Ada apa?" Alana kembali tampak ragu."Alana?" Leo meletakkan sendok dan garpu di atas piring, menyatukan tangan di bawah dagu dan menunggu Alana mengutarakan alasan yang membuatnya melamun."Om, kalau ada orang yang ingin mengambil milik kita, apakah aku harus diam saja?" tanya Alana ragu.Leo bergeming. Meski terdiam, dia memikirkan pertanyaan Alana. Tidak mungkin keponakannya itu bertanya tanpa ada alasan yang mendasar, terlebih sampai membuatnya melamun."Apa ada yang ingin merebut milikmu?" "Tidak, tidak. Tidak ada." Cepat-cepat Alana menjawab dan meluruskan. Dia tidak mau Leo khawatir."Lalu?" "Emm ... begini-" Alana bingung bagaimana cara mengutarakan dan menjelaskan pada Leo, sedangkan milik yang dimaksud adalah Leo sendiri. Tidak mungkin mengatakan terus terang bila Eris ingin merebut darinya. Rasanya ini sangat konyol dan mungkin saja setelah mendengar penjela
"Alana!"Leo mengetuk serta memanggil Alana. Keponakannya itu mengunci pintu kamar karena marah padanya."Alana, buka pintunya!" teriaknya lagi.Namun, percuma. Panggilan dan ketukan yang dilakukan tidak mendapat jawaban, tapi malah terdengar isak tangis."Alana, maafkan aku. Aku-""Pergi, Om! Aku mau tidur," teriak Alana dari dalam kamar. Suaranya terdengar sedikit serak bercampur tangis."Alana, buka pintunya!" Leo kembali mengetuk.Hingga beberapa saat Leo tidak beranjak dari depan pintu kamar Alana. Dia masih menunggu hingga Alana mau membuka pintu. Ada rasa sesal, ada rasa bersalah. Namun, ada juga perasaan kacau yang tidak bisa dipungkiri. Dia tidak ingin menyakiti Alana, tapi secara tidak sengaja dan tidak langsung Alana telah terluka oleh sikap hati-hati dan keraguannya."Alana, buka pintunya, Sayang. Maafkan aku," ucap Leo frustasi karena tangis Alana masih terdengar.Alana sendiri merasa kacau. Dia juga tidak tau kenapa harus marah dan menangis hanya karena Leo menolak menem
"Apa sudah merasa lega?" Alana mengangguk. Dia memang merasa lega sekarang setelah mengungkap semua perasaannya."Kamu siap mendengar apa pun yang akan aku katakan?" "Aku siap, Om," jawab Alana.Meski ragu dan takut Leo menolak cintanya, bahkan menganggap perasaannya hanyalah rasa yang sesaat saja, tapi dia telah siap. Alana memejamkan mata, menarik napas panjang dan menahannya sesaat, lalu membuka mata seraya menghembuskan panjang udara yang sempat dijebak dalam paru-parunya."Katakan, Om! Aku siap," ucapnya menguatkan hati.Leo tersenyum melihat wajah serius Alana. Dia tau, keponakannya itu hanya menunjukkan wajah tegar dan kuat saja. Namun sebenarnya, di dalam hati ada kerapuhan dan ketakutan yang tergambar jelas pada sorot mata. Meski bias, Leo dapat merasakan.Leo kembali mendekap wajah Alana. Memberinya tatapan lembut dan teduh. Leo juga memberikan kecupan hangat pada pucuk kepala Alana, lalu mengusapnya seperti biasa."Aku tau, keponakanku in
"Asti, ada apa?" "Tuan, apakah Anda tidak ke kantor pagi ini?" Leo mengarahkan pandang pada Alana yang masih malas beranjak dari pelukannya. Bahkan saat mendengar nama Asti dari bibir Leo, wajah yang tadinya ceria, kini ternoda oleh guratan rasa cemburu.Leo tersenyum melihat wajah cemburu Alana. Sebagai pengobat, dia pun mendaratkan satu kecupan kilat pada bibir Alana sehingga peri kecilnya itu tersipu."Apa ada agenda penting hari ini?" Kembali Leo fokus pada Asti yang menghubunginya via phone."Jam sembilan pagi ini, ada pertemuan dengan bagian pemasaran. Jam satu siang ada rapat dengan bagian keuangan," jawab Asti membacakan agenda harian Leo.Leo mengarahkan ekor mata ke arah petunjuk waktu yang tergantung pada dinding di kamar Alana, lalu kembali melihat Alana. Gadisnya itu, meski terdiam, tapi dia menguping pembicaraan mereka."Tiga puluh menit aku sampai. Siapkan semua dokumen yang berkaitan dengan bagian pemasaran!""Baik, Tuan.""Satu
"Om Leo yakin mau ninggalin aku sendirian?"Wajah Alana cemberut mendengar Leo akan pergi ke luar kota dalam beberapa hari karena urusan perkerjaan. "Hanya beberapa hari saja, tidak sampai satu minggu," ucap Leo sembari membereskan pakaian yang akan dibawanya.Leo memilih pakaian dari dalam lemari, lalu memasukkan ke dalam koper, sedangkan Alana duduk bersila di atas ranjang sembari memperhatikan kesibukan Leo mengemasi pakaian. Matanya ikut bergerak seiring arah gerakan Leo. Di saat Leo berdiri di depan lemari, saat itu mata Alana membuka sedikit lebar. Saat Leo berdiri di dekatnya sembari masukkan pakaian di dalam koper, mata Alana otomatis lebih menyipit."Om Leo tidak takut kangen aku?" Alana semakin memberikan wajah cemberut.Leo menghentikan kesibukannya, memberi tatapan lekat pada Alana. Keponakannya itu sedang merajuk dengan wajah cemberut, tapi tubuhnya bergerak maju mundur dengan kedua tangan memengang ujung jari-jari kaki. Leo menghela napas panjang, lalu menghembuskan ka
"Kenapa? Anda tidak yakin?" Leo melihat Dirly dengan lirikan tajam nan lekat.Leo merasa ternganggu saat melihat Dirly menunjukkan rasa cemas dan gelisah. Dia paling tidak suka melihat Dirly kembali meragukan apa yang telah mereka bicarakan dan putuskan.Mendengar pertanyaan Leo, Dilry langsung menegakkan kepala dan membalas tatapan Leo. "Aku hanya merasa cemas. Ini kali pertama mengikuti persaingan sebesar ini," ucap Dirly tidak malu mengakui rasa gugupnya.Leo menepuk salah satu sisi pundak Dirly dengan wajah penuh dukungan dan motivasi."Cemas dan gugup itu wajar, tapi jangan sampai hal ini mengganggu performa dan kualitas Anda!" ucap Leo.Dirly semakin menatap Leo lekat. Dari sorot mata Leo, dia ingin mencari dukungan dan keyakinan untuk menyingkirkan keraguan dan rasa gugupnya. Dari mata Leo juga, akhirnya menemukan apa yang dicarinya. Dirly akhirnya memberanikan diri melengkungkan garis bibirnya dan tersenyum."Aku akan berusaha untuk tidak mengecewakan Anda," ucap Dirly membul
“Buktikan saja!” tantang Ferdi dengan wajah sombongnya.Leo tersenyum semrik menanggapi kesombongan Ferdi. Ini yang dia inginkan. Ferdi menutupi kekurangan dengan kesombongannya. Karena dengan begitu, dia bisa menghancurkan dengan hasil yang menyakitkan.“Kalau Anda bisa membuktikan kecelakaan itu disebabkan oleh produk kami, maka dengan senang hati aku akan menyerahkan proyek ini pada Perusahan Angkasa,” sambung Ferdi. Ekor matanya melihat ke arah Dirly dengan tatapan meremehkan. Dengan tatapan ini, dia mengharapkan keberanian Dirly menciut. Sama saja dia sedang meremehkan dua pria yang sedang duduk bersama Dirly. Leo dan Damian. Padahal dia tau bagaimana kualitas dua orang itu.Di mata Ferdi, Dirly hanyalah anak kecil yang masih ingusan. Baginya Dirly bukanlah saingan yang harus ditakuti. Perusahaannya jauh lebih besar dan memiliki pangsa pasar yang luas sehingga dia pikir semua perusahaan yang menggunakan produknya selama ini tidak akan berpaling.“Anda yakin dengan kata-kata yang