Tak selang lama, Arga datang dengan membawa makanan yang dia beli, melihat Rangga dan Lalita mengobrol membuat cemburu pria itu datang. "Rangga kamu ngapain kesini?" tanya Arga dengan raut wajah marah. "Menjenguk Lalita dan anak kamu." Jawab Rangga santai. Meskipun Rangga tahu jika Arga kesal tapi pria itu tak menggubris sahabatnya, lagipula Lalita masih sakit mana mungkin dia macam-macam. Arga segera mengambil kursi dan duduk di sisi sebelahnya. "Sayang makan dulu." "Aku sudah kenyang Mas tadi Mas Rangga bawakan makanan." Sahut Lalita dengan tersenyum. "Buat nanti aja ya Mas." Sambungnya. Tangan Arga mengepal, hatinya kesal mendengar panggilan Lalita kepada Rangga. "Sejak kapan kamu memanggil nya Mas?" tanya pria itu. "Sejak tadi Mas." Cicit Lalita takut-takut. Rangga yang melihat Lalita ketakutan turut berkomentar. "Arga sudahlah jangan marah, lagipula kan hanya panggilan saja." Pria hangat itu mencoba menenangkan sahabatnya yang dingin itu. "Iya Mas, kan benar a
Buru-buru Lili bersembunyi di pundak pria di sampingnya sementara Arga dan Lalita menatapnya dengan tajam. Tangan Arga mengepal, ingin sekali dia memberi pelajaran kepada Lili tapi tangan Lalita mencegahnya, banyak ibu-ibu hamil yang ingin kontrol, menegur atau memberi pelajaran Lili di sini bukanlah ide yang baik. "Kita pulang saja Mas, biar dia mendapatkan balasan atas perbuatannya." Ujar Lalita. Di rumah para pelayan menyambut datangnya anggota keluarga Winata yang baru. Pesta kecil pelayan siapkan. Lalita sangat bahagia, kini lengkap sudah kebahagiannya. Ibu Lalita juga turut hadir untuk menyambut cucunya. Sementara itu Damar dan Kania yang baru kembali dari bulan madu juga datang untuk menyambut baby Arcello. "Handle semua pekerjaan di kantor Damar." Pria itu meminta sang asisten untuk menghandle urusan kantor. "Baik Pak." Sahut Damar. Entah berapa banyak pekerjaan yang harus dia kerjakan hari ini. "Bagaimana Bulan madu kalian, sukses kan." Lalita yang baru da
Tak terasa sudah sebulan berlalu, keadaan Lili sudah cukup membaik dan ini membuat Radit tersenyum licik menatapnya. "Keadaan kamu sudah cukup baik Lili sudah waktunya kamu bekerja." Ujar Radit. "Baik, tapi kerja dimana? aku bingung mau kerja dimana." Wanita itu bingung harus kerja dimana sementara dia hanya lulusan D2 saja. "Tidak perlu bingung, aku yang akan atur." Sahut Radit. "Kantor mana? bagian apa aku?" Dengan penasaran wanita itu menetap Radit yang justru kembali tersenyum licik. "Setelah aku bawa kesana kamu akan tahu." Pria itu menenggak minuman yang dia bawa. Lalu kemudian dia dengan berani meminta Lili untuk melayani hasrat biologisnya. Lili yang sudah memendam perasaan lebih mengiyakan kemauan Radit dan bahkan dengan senang hati menyerahkan tubuhnya. Sebulan tinggal bersama tentu Lili masih belum tahu peringai pria itu hingga malam ini jelas semua. Ketika berhubungan Radit sedikit kasar, bahkan tangannya kerap kali memukul wajah Lili. "Radit sakit!" Protes Lili.
Seharian Lili menangis di kamar, wanita itu enggan menjadi wanita penghibur. "Lepaskan aku!" Teriaknya. Sekeras apapun dia berteriak, tidak akan ada yang menolongnya. Sesaat kemudian wanita menor yang lebih dikenal dengan panggilan Mami itu datang. Dia membawa baju untuk Lili. "Mau sampai kapan kamu akan menangis!" Terlihat apabila si Mami marah. "Lepaskan aku." Lili terus meminta untuk dilepaskan. Mami kembali menampar Lili, dia memaksa Lili untuk memakai pakaian yang dia bawa. "Pakai cepat atau lihat saja apa yang akan aku lakukan!!!" Tatapannya sangat tajam membuat Lili ketakutan. Anggukan kecil dia tunjukkan kemudian. "Bagus, kalau begini kan enak. Dengar! Aku tidak butuh tangismu Lili, yang aku butuhkan saat ini adalah uang yang kamu hasilkan dari melayani tamu." Wanita itu kembali memelotot. Ketika Lili melihat pakaian yang dibawa Mami, sontak kepalanya menggeleng. "Ini pakaian apa! aku tidak mau memakainya!" Tolak nya dengan nada tinggi. Wajah Mami sudah merah pada
"Mas aku lelah." Kania yang bekerja malam ini tampak kelelahan. Senyuman licik tersungging di bibir Damar. "Lain kali gibah suami ini maka akan aku hukum tujuh hari tujuh malam." Ujar Damar. Kania tertawa, mana ada hukuman ranjang tujuh hari tujuh malam, baru tiga puluh menit saja kadang udah encok urat dan pegal-pegal. Kini gantian Damar yang bekerja sementara Kania menerima kenikmatan di bawah. Hal yang serupa terjadi di ranjang Lalita dan Arga, wanita itu juga dihukum suaminya untuk memimpin di atas. "Mas kapan aku turun?" Tanya Lalita yang sudah kelelahan. "Baru berapa menit sudah lelah?" Arga melihat jam tangan yang masih dia pakai. "Tapi memang sudah lelah Mas." Sahut Lalita menghentikan aktivitasnya. "Tadi ketika menggibah kalian semangat sekali." Ujar pria itu yang membuat Lalita malu. "Maaf Mas, lagipula sikap kamu dulu emang menyebalkan sekali." Lalita menundukkan kepala. Arga menghela nafas. Kini Arga yang memimpin di atas karena dia akan mengejar pelepasannya.
Baby sitter yang biasanya membantu Lalita mengurus Arcello tiba-tiba pamit pulang kampung, hal itu dikarenakan ibunya di kampung meninggal. Tak tanggung-tanggung cuti yang diajukan sampai empat puluh hari. Awalnya Lalita menolak pengajuan cuti yang lama itu tapi baby sitter itu tidak masalah jika dirinya dipecat karena acara ibunya jauh lebih penting. Berhubung Arcello sudah sangat cocok maka Lalita tidak memiliki pilihan lain selain memberikan cuti. Budaya kematian di desa biasanya akan ada acara selama empat puluh hari ke depan, inilah yang membuat baby sitter itu cuma lama. Hari pertama tanpa baby sitter Lalita agak kewalahan karena Arcello agak rewel. Dari pukul delapan sampai pukul dua belas dia dan Arga harus begadang karena anaknya tidak mau tidur. Arga memutuskan tidur dulu karena besoknya dia harus bekerja. Dua jam berlalu, tapi Arcello masih belum mau tidur. "Sayang ayo tidur, mama mengantuk." Dengan lembut dia meminta Arcello untuk tidur. Bayi itu m
"Aku bayar 1 miliar untuk membeli kebebasan Lili." Revan menatap mucikari itu dengan penuh harap.Mucikari itu diam sambil bergantian menatap Lili dan Revan, Lili adalah bintang disana kalau dilepas maka pendapatannya berkurang. Tapi....Uang sebanyak ini kapan lagi dia dapat.Akhirnya dengan persetujuan yang matang wanita itu menyetujui kemauan Revan."Baiklah, dia milikmu sekarang." Ujarnya tegas.Revan memberikan cek kepada Mucikari lalu membawa Lili pergi dari tempat penuh dosa itu.Sepanjang jalan Lili terdiam, dia mulai berpikir alasan apa yang membuat orang seperti Revan mau menebus wanita hina sepertinya."Apa jangan-jangan dia akan menjualku ke luar negeri? atau memutilasi aku dan menjual organku?" Pikiran negatif berkeliaran di kepala Lili sehingga membuat wanita itu ketakutan sendiri.Kini mereka tiba di sebuah rumah, yang mungkin rumah itu adalah milik Revan."Ayo turun." Suara Revan mengagetkan Lili."Iya."Lalu keduanya turun dari mobil, dan masuk ke dalam rumah."Revan s
Kini Revan, Lili dan Kirana berangkat bersama ke Australia. Meski sakit tapi Kirana juga terpaksa melakukannya. Daripada dia harus kehilangan Revan lebih baik menahan rasa sakit sebentar saja, toh setelah melahirkan nanti Lili akak Revan ceraikan. Di Australia mereka membooking dua kamar, satu kamar Revan dan Kirana satu lagi kamar untuk Lili.Kirana berharap Revan mau sekamar dengan Lili namun pria itu terus menolak dengan alasan tidak bisa menyakiti hati Kirana.Kirana putus asa, karena sejauh ini Revan masih belum bisa menggauli Lili yang artinya kehamilan Lili akan tertunda. Tak ingin terus seperti ini Kirana pun turun tangan. "Mungkin aku yang harus bertindak Mas." Gumam Kirana. Setelah tiga hari di Australia, Kirana memutuskan untuk pulang. Dan sebelum pulang dia berpesan kepada Lili agar tidak memberitahukan kepulangannya. "Tapi Kirana, jika Mas Revan bersikeras menyusulmu dan meninggalkan aku bagaimana? sementara aku tidak tahu apa-apa disini apalagi aku tidak bisa bahasa
"Pak Rangga kenapa anda disini?" Vina nampak terkejut, pikirannya kemana-mana. Apa dia sudah tau jika yang tidur dengannya malam itu adolah Amira? "Tentu mengunjungi calon istri aku." Rangga malas untuk berdrama lagi, dia ingin segera mengungkap semua kebenarannya. "Mas...." Amira mengkode Rangga agar bisa menahan diri tapi pria itu sudah muak pada Vina terlebih Vina telah membunuh calon bayinya. "Apa anda sudah tau semuanya?" Ucap Vina gugup. "Menurutmu!" Sahut Rangga. Wajah Vina menjadi pucat pasi, tak ada harapan lagi akhirnya dia meminta maaf. Wanita itu juga memohon pada Amira agar dimaafkan. "Aku sangat mencintai Pak Rangga Mir mangkanya aku berbohong." Vina memegang tangan Amira. Namun Amira yang sudah kecewa dan sakit hati pada sahabatnya dengan segera melepas tangan Vina. "Amira kita kan sahabat." Vina kembali berekspresi sedih berharap Amira berubah pikiran namun Amira tidak mau tertipu lagi. Mungkin jika dia hanya ingin bersama Rangga tidak masalah tapi
Sore itu sepulang dari kantor, Rangga pergi ke Villa untuk menemui Vina, dia tidak bisa mengulur waktu lagi untuk mengungkap kedok wanita jahat itu. Rencananya dia akan menjebak Vina agar mengakui semua di hadapannya dan Amira. Melihat kedatangan Rangga, Vina sangat senang. Dia langsung menyambut mantan atasannya itu. "Sore Pak Rangga." Sapanya dengan tersenyum manis. Rangga membalas senyuman Vina. meski sebenarnya hatinya enggan bersikap manis terhadap wanita yang telah membunuh calon bayinya. "Sore." Dia duduk lalu menyandarkan kepalanya dia sofa. "Vina, waktu itu di club aku tidak memakai pengaman apa kamu tidak merasakan tanda-tanda kehamilan?" Pertanyaan Rangga membuat Vina berpikir, bagaimana bisa hamil sedangkan yang tidur dengan Rangga adalah Amira. "Memangnya kenapa Pak?" tanya Vina was-was. "Tidak apa-apa, aku ingin mengumumkan pernikhaan secepatnya." Jawaban Rangga membuat Vina senang, saking bahagianya dia segera memeluk CEO itu. "Sudah lepas,
Dari rumah sakit Rangga kembali ke kontrakan Amira lagi, dia mengkonfirmasi Amira terkeit obat penggugur kandungan. Mendengar ucapan Rangga, Amira sangat shock. Bagaimana bisa vitamin menjadi obat penggugur kandungan? "Aku sungguh tidak tahu." Dengan raut wajah sedih Amira menunduk. Sementara Rangga berpikir keras, secara logika tidak mungkin ada dokter yang sengaja memberikan obat penggugur kandungan, pihak farmasi juga tidak mungkin melakukan kelalaian yang fatal jadi permasalahannya di Amira. Apakah obat itu tertukar atau gimana? "Apa ada yang kesini sebelum kamu keguguran?" Tanya Rangga dengan menatap sang wanita. Amira terperangah menatap Rangga, dia baru menyadari kedatangan Vina beberapa hari lalu. "Mas Vina datang kesini, dia menginap juga." Ucapan Amira membuat Rangga mengepalkan tangan, dia yakin Vina lah yang membunuh calon bayinya. "Beraninya dia melenyapkan calon bayiku." Ujar Rangga. Rangga bangkit, dia ingin membuat perhitungan dengan Vina, dia
Amira terus kesakitan, dia mencoba menghubungi Rangga tapi Pria itu tidak mengangkat panggilannya. Berkali-kali Amira menghubungi Rangga tapi tetap sama, Rangga tidak menerima satu pun panggilan darinya. Sakit yang semakin menusuk membuat Amira tak tahan. Saat bersamaan terdengar pintu diketuk. Sambil menahan rasa sakit, wanita itu membukakan pintu. "Andi." Kata Amira pelan. Melihat sahabatnya yang sangat pucat dan kesakitan membuat Andi khawatir, "Kamu kenapa Amira?" tanyanya panik. "Perut aku sakit." Jawabnya. Tak tahan akan sakit di perutnya, Amira lalu pingsan. Andi sempat kebingungan hingga akhirnya dia membawa Amira ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, dengan tangannya Andi membawa tubuh Amira masuk ke dalam. "Dokter Dokter! " Teriak Andi. Beberapa dokter yang mendengar teriakan segera sigap, lalu menggiring Andi ke ruang gawat darurat.Tau jika pasien mengalami keguguran, Dokter segera melakukan tindakan. "Bagaimana keadaannya Dok?" tanya Andi cem
Tatapan Lalita kini mengarah ke Amira, dia tersenyum melihat Rangga datang dengan seorang wanita. "Kekasih kamu ya Mas." Goda Lalita. Rangga tersenyum lalu mengangguk. Lalita cukup senang akhirnya Rangga sudah menemukan wanita. Masih mempertahankan senyumannya Lalita duduk di samping Amira. "Hay, aku Lalita." Dia menyodorkan tangan pada Amira. "Hay, saya Amira." Amira melakukan hal yang sama. Lalita dan Amira mengobrol, dan bersamaan dokter keluar dari ruang operasi. "Bagaimana keadaan istri saya Dok?" Damar segera bertanya. "Baik, kedua bayinya juga sehat." Ucapan Dokter membuat Damar menitikkan air mata, kini statusnya berubah menjadi seorang ayah. Rangga yang melihat teman serta rekan kerjanya bahagia pun turut bahagia, dia dapat merasakan kebahagian Damar. "Selamat atas kelahiran anak kamu." Ujarnya dengan senyuman hangatnya. "Terima kasih Pak Rangga." Pria itu memeluk Rangga. Tak selang lama, dua orang suster keluar membawa dua bayi mungil,
Mual dan muntah semakin parah, hingga Amira ijin tidak masuk karena lemas. "Apa yang kamu perlukan Amira? akan aku belikan." Vina menunjukkan wajah khawatirnya. Bukan khawatir karena sahabatnya sakit tapi dia khawatir jikalau Amira hamil. "Tidak perlu Vin, terima kasih." Ujar Amira. Karena harus kembali ke villa, Vina pun pamit dan sebelum pergi dia bilang jika akan datang lagi. Amira mengangguk, meski dia sedikit heran dengan sikap Vina yang tiba-tiba berubah jadi perhatian. Tak ingin ambil pusing, Amira mengabaikan kecurigaannya.Di sisi lain, Rangga yang mendengar kabar jika Amira sakit jadi panik, dia segera pergi ke kontrakan Amira untuk menjenguk kekasihnya itu. "Pak Rangga." Kedua bola mata Amira membulat melihat kedatangan sang pria. "Masih saya panggil Pak." Rangga menjentikkan jarinya pelan dia dahi sang wanita. Amira menggosok dahinya dengan tangan, meski jentikn tangga Rangga tidak sakit tapi dia sedikit lebay di hadapan CEO itu. "Iya Mas." Ujarnya. Ingat akan
"Sa-saya.... " Belum sempat melanjutkan kata-katanya Rangga sudah menjatuhkan bibirnya, hal ini membuat Amira terkejut lalu mendorong tubuh Rangga. "Pak, jangan seperti ini." Katanya dengan marah. "Kamu telah membohongi aku Amira." Rangga menatap sendu Amira. Melihat tatapan Rangga, Amira nampak iba. Dia tahu dia berbohong tapi mereka tidak ada hubungan apa-apa. "Dimana letak salahnya Pak, kita juga tidak ada hubungan apa-apa." Ujar Amira. Pria itu mematung, memang benar mereka tidak ada hubungan apa-apa tapi apa yang telah dia lakukan seharusnya Amira paham jika itu adalah bentuk dari rasa cintanya. "Meskipun tidak diungkap, seharusnya kamu bisa merasakan gelagatku Amira," ungkap Rangga. "Iya Pak," cicit Amira pelan. Untuk mengikat Amira, akhirnya Rangga mengungkap perasaannya, dia juga mengajak wanita itu untuk melanjutkan ke tahap yang serius mengingat ucapannya dulu jika dia akan bertanggung jawab. #### Hari ini semua bagian desain sangat sibuk, terlebih Moni
"Hubungi Amira suruh datang ke pameran." Titah Rangga. "Tapi kita masih disini Pak." Gilang mencoba protes. Rangga hanya melempar tatapannya. Tak ingin membantah asisten itu menuruti kemauan sang CEO. Niat awalnya, Rangga ingin datang ke Villa untuk mengambil sesuatu tapi setelah melihat Amira dan Andi, pria itu meminta Gilang putar balik dan kembali. Sementara itu, Amira tidak membuka pesan yang Gilang kirim dia juga tidak menerima panggilan dari asisten CEO-nya itu. Setelah susah payah mencari akhirnya Amira dan Andi, berhasil menemukan alamat Vina. "Pantas nggak ketemu," kata andi. Amira segera memencet bel lalu seorang satpam membukakan pagar. Setelah memberi tahu tujuannya, satpam meminta mereka masuk. Di depan rumah, Andi dan Amira menunggu Vina. Tak selang lama Vina keluar. "Kalian!" Mata Vina terbelalak melihat kedua sahabatnya datang. Dengan wajah gugup dia mendekat. "Bagaimana bisa kalian mendapatkan alamat Villa ini?" tanya Vina dengan menatap A
"Masih di atas tempat tidur, Rangga dan Amira berbincang tentang langkah selanjutnya, apa langsung meminta Vina mengaku? atau membuat permainan dan mengikuti alur Vina? " Bagaimana menurut kamu Amira?" tanya Rangga. "Kita lihat saja rencana Vina Pak Rangga setelah Anda tidak bisa menikahinya, tapi anda jangan bilang kalau saya sudah mengakui semua." Pinta Amira. Rangga mengangguk, jika itu yang Amira minta. Kalau sebenarnya dari dia pribadi ingin langsung mengusir Vina. Keesokannya, sepulang dari kerja Andi menemui Amira kembali bahkan kali ini Andi ikut Amira pulang. Di kontrakan, mereka berbincang kembali tentang Vina. "Andi apa Vina pernah dendam atau sakit hati padaku?" Dengan wajah nanar Amira menatap Andi yang duduk di sebelahnya. "Dendam gimana maksud kamu?" tanya Andi. "Barangkali aku pernah menyakitinya sehingga dia pergi dan seolah tidak menganggap aku temannya padahal selama ini kita selalu bersama." Jawab Amira. Andi menggeleng, dia tidak tahu. Selama