Kukira setelah kejadian tak menyenangkan kemarin, Rieny bakal jera meminta kami datang. Nyatanya malam ini, di saat aku tengah sibuk berselancar di dunia maya, gawaiku bergetar pelan.Setelah memastikan ID pemanggil, kuhubungkan earphone ke telinga. "Apa kau sedang sibuk?"Suara dari seberang sana, diiringi bunyi ketikan pada keyboard jadi pembuka panggilan mahal ini. "Tidak, kenapa?""Kalau begitu bawa Joyce bertemu Rieny besok.""Ada lagi?" Gumamku menahan kesal."Tidak." Hening sesaat sebelum suara bariton itu, diluar kebiasaan mengatakan kalimat klise lainnya. "Kalau begitu selamat malam. Tidurlah."Setelahnya panggilan pun terputus begitu saja padahal aku belum sempat menguasai rasa kaget. "Dia bilang selamat malam?" Bisikku bagai linglung.Aku termangu-mangu sejenak sebelum akhirnya ingat rasa tak nyaman yang sempat mengganjal pikiranku tadi. Hartono memintaku bertemu Rieny lagi, dan perempuan s
Hari berjalan seperti biasa. Joyce, setelah konsultasi terakhir kali dengan Rieny, memutuskan tak lagi datang ke sana. Katanya, dia risih mesti bercerita masalah pribadi pada orang asing, terlebih waktu psikolog muda itu memintanya dihipnotis, makin besarlah keinginan Joyce untuk menghentikan sesi berikutnya.“Apa kau yakin?” Tanyaku kembali siang ini“Ya, aunty. Aku bisa mengatasinya sendiri.” Dia menyahut mantap. Meski termangu-mangu lantaran jawaban putriku yang kelewat dewasa untuk anak seusianya, kuputuskan mengikuti kemauannya. “Baiklah. Tapi kamu harus janji satu hal. Apapun masalahnya jangan dipendam sendiri, ceritakan sama Aunty.”Mungkin karena nada bicaraku yang tegas tapi membujuk, sikap Joyce agak melunak meski tak menjawab secara gamblang. Sebagai balasan, dia menyahut dengan senyum yang kumaknai sebagai kata setuju. "Kalau begitu, Aunty ke luar dulu. Ada janji temu dengan kawan-kawan." Aku berhenti sejenak mengamati
Begitu pulang dari pertemuan dengan kedua rekanku, rencana balas dendam mulai tersusun dalam benakku. Sambil menyetir aku membayangkan skenario macam apa yang bisa membuat Luki jijik dan melepaskan Vina."Astaga! Bagaimana respon Luki nanti?" Batinku. Membayangkan betapa menarik pertunjukan ini kelak, hatiku berdegup tak karuan.Semangat yang tinggi membuat perjalanan ke rumah terasa singkat. Tak sabar lagi, aku langsung menuju lantai dua, tempat di mana kamarku berada. Begitu memasuki koridor, kulihat pintu kamar Joyce terbuka sedikit. Berjingkat-jingkat aku mengintip dari celah sempit itu. "Jie, kenapa ya Aunty belum pulang?" Suara sedih si bungsu Joan terdengar sayup-sayup. Di dalam kamar, tampak kedua bocah lucu itu sedang bercerita. Joyce menekuni kanvas mini di depannya sedangkan Joan berbaring di lantai sembari menatap langit-langit kamar. "Why? Aunty doesn't owe us anything. Jangan suka mengganggu
Ada yang berbeda hari ini. Jika biasanya kedua bocah yang kupaksa bangun demi berangkat ke sekolah, kali ini aku yang sudah sibuk mematut diri sejak tadi. Berulang kali kutatap cermin demi memastikan tak ada yang salah dengan penampilan, entah pakaian atau aksesoris yang tidak pada tempatnya. Let me tell you something. Pertaruhan dalam hidup dimulai dari penampilan. "Who are you trying to impress Aunty? Daddy aja nggak di sini." Suara serak khas bangun tidur tiba-tiba mengganggu ritual agungku. Mataku menyipit menatap Joan yang seketika menunduk malu. Sepertinya bocah tengil ini masih punya kesadaran diri."Aku berhias untuk mempercantik diri, bukan untuk Daddy kalian."Perlahan kuhampiri dirinya yang berdiri salah tingkah di ambang pintu, sambil terkekeh kujawil pipi tembamnya yang mirip roti sobek. "Makanya belajar yang bener, jangan suka berpikir yang aneh-aneh.""Yes Aunty." Sahutnya lembut sambil memamerkan
Begitu membaca pesan itu, aku cepat-cepat kabur tanpa peduli lirikan Marissa yang penuh arti. Kalau tak salah, pasti dikiranya aku kabur dengan berondong kere seperti yang kerap dia lakukan di belakang suaminya. Sayangnya, begitu jarakku dan lobby sudah dekat, ponsel bergetar lagi. Kali ini cuma pesan singkat dari tuan besar.[Langsung ke parkiran aja]"Sial!" Rutukku dalam hati.Kapan para lelaki ini paham betapa sakitnya kaki harus mengenakan high heels kesana-kemari? Oh, tentu saja jangan memintaku berhenti memakainya. Itu dosa besar! Meski masih menggerutu, kuseret juga langkah yang makin terseok ke parkiran. Untunglah Hartono tak begitu jauh memarkir mobilnya. Begitu kubuka pintu mobil, tampak Joan dan Joyce juga sudah di dalam. "Hai guys..." Sapaku garing. Agak kaget juga melihat muka suami yang sudah hampir seminggu tak kulihat."Hmm,... " Sahutnya datar dan di luar perkiraanku dia berk
Demi mendengar suara mertua yang penuh duri tajam, langkahku sontak berhenti di ambang pintu. Sekilas kutatap Hartono yang berdiri di sisiku. Seperti biasa, dia tetap tenang, tak terpengaruh sedikitpun.Sayang sekali, untuk menantu sepertiku, ini haram hukumnya.Tanpa mengikuti langkah suami yang masuk begitu saja, aku cepat-cepat menghampiri nyonya Lim yang masih duduk di sofa. Tak lupa seulas senyum manis terukir di bibirku."Maaf, Popo. Tadi kami jalan-jalan jadi kelamaan pulang...""Hmph... Aku tak peduli kalian pergi kemana, tapi jangan jadi anak tak tahu etika kayak seseorang." Ketika dilihatnya Hartono tak terpengaruh, nyonya Lim menancapkan durinya lebih dalam. "Hmph, aku yang salah. Apa yang bisa diharap dari laki-laki yang bahkan statusnya saja tak jelas!"Sindiran tajam ini membuat langkah Hartono berhenti seketika.Secara hukum, suamiku memang terdaftar sebagai putra nyonya Lim. Tapi semua orang dalam circle kami
"I don't care, yeeehh, I don't care, yeehhh..." Mulutku bersenandung kecil waktu memasang dasi Hartono pagi ini. Tingkahku yang tak biasa membuatnya tersenyum geli. Sejak pindah kemari, Hartono memang jadi sering pulang ke rumah. Bisa dibilang hampir setiap hari.Yang bikin makin heran, dia juga sudah jarang mengajakku ke dark room. Kalau dulu, minimal sekali dalam sebulan, aku mesti diseret ke tempat dursila itu. Tapi dua bulan belakangan, Hartono terlihat tenang saja.Entah moodnya yang lagi bagus atau pikirannya sedang tersita hingga tak sempat punya hasrat untuk hal selain pekerjaan? Aku juga tak tahu.Yang jelas aku sangat nyaman dengan kehidupan sekarang. Tak kekurangan, tak kesakitan atau pun ketakutan. "Apa yang kau pikirkan?" Cetusnya tiba-tibaSuara Hartono sontak membuyarkan angan yang sempat berkelindap di otakku. "Nothing. Just thinking of how perfect my life is."Dia terkekeh geli dan beruc
Buru-buru aku naik ke atas agar dapat mengagumi semua pemberian Hartono sepuasnya. Aku tak mau reaksiku yang berlebihan jadi mengundang cibiran dari pelayan, terutama Nanny yang sejak awal sudah tampak menolak kehadiranku.Ada tiga compartemen dalam kotak itu dan masing-masing berisi masterpiece yang layak mengundang decak kagum.Kompartemen pertama sekaligus paling besar berisi gaun satin indah berwarna gading dengan kerah V serta bagian belakang yang menampilkan punggung dengan sempurna. Gaun ini terlihat seksi dan elegan secara bersamaan.Bagian bawah gaun dibuat model A-line dengan dua lipatan besar di bagian depan dan belakang.Dan yang tak kalah penting, ribuan rhinestone yang didominasi warna biru tosca dan safir dijahit pada bagian atas gaun menyerupai sosok Phoenix yang sayap dan ekornya menjuntai hingga melewati pinggang."Wow!"Aku berseru takjub sambil menatap pantulan diri di depan cermin.Nuansa hangat
Atas desakan Hartono, hari ini kami pergi ke rumah Shania untuk mengunjungi bapak-mamak serta Alex. Agar orangtuaku tak terkejut, status Hartono kami rahasiakan hingga yang mereka tahu, suamiku cuma karyawan kantoran. Setelah basa-basi sejenak, kutinggalkan Hartono meladeni kedua bapak dan mamak, sementara aku sendiri pergi menemui Alex di kamarnya. 'Tenanglah Shan, anakmu tak akan membencimu. Ujarku berulang-ulang di sepanjang jalan menuju kamar Alex. Rasa takut dan gugup yang melandaku tak terkatakan lagi. Kalau bukan karena didorong keinginan yang kuat, maulah rasanya aku kabur detik ini juga. Begitu daun pintu itu kubuka, tampaklah anak kecil yang wajahnya amat mirip denganku itu sedang menggambar sesuatu di bukunya. "Hai Alex..." Sapaku memulai percakapan. Bocah laki-laki berambut lurus itu menatapku datar, lalu duduk dari posisi telungkupnya. Sikapnya yang dewasa dan teratur, bikin aku makin gugup.
"Maksud Ibu?"Sambil menyendok sesuap bubur ke mulutku, Sumiati berkata lagi. "Kudengar, mereka mesti berenang malam-malam biar nggak terpantau anak buah penjahat itu. Lolos dari air, harus melewati ladang ranjau. Anak buah Hartono saja sampai mati tiga orang."Entah Hartono yang menyuruh ibunya bercerita demi merebut simpatiku, namun fakta bahwa dia bisa saja kehilangan nyawa waktu itu, bikin jantungku ketar-ketir. "Apa dia terluka waktu itu, Bu?""Kalau itu aku kurang tahu. Tapi sesudah kita di mansion, ada dokter bolak-balik masuk ke kamar utama selama tiga hari."Pantas muka Hartono pucat waktu itu. Kurasa ada bagian tubuhnya yang tertembus peluru musuh. Kemungkinan ini bikin ulu hatiku jadi ngilu. Suami yang sudah tega mengumpankan kami pada musuhnya, ternyata hampir meregang nyawa juga waktu menyelamatkan kami. "Shanty, cepat pulih ya Nak. Joan dan Joyce sudah rindu." Ujar Sumiati seraya membereskan peralatan ma
Untuk sesaat kami semua terpaku, terlalu bingung mencerna situasi yang kami hadapi. Hingga pada suatu saat, mataku yang sejak tadi terpusat pada Hartono menyaksikan keanehan. Laki-laki kejam yang selalu memandang angkuh pada dunia itu, tiba-tiba tampak gugup seperti orang ketakutan. Tak cukup sampai disitu, dia pun terduduk lemah dengan kedua tangan menutupi kepala. "Jangan... tolong jangan sakiti aku..." Lolongnya seperti hewan sekarat. Aku berusaha menggapainya, berusaha berteriak agar dia sadar. Namun tenagaku seolah lenyap dari tubuh. Mulutku megap-megap mencari udara yang semakin sukar masuk, namun sia-sia saja. Tak ada yang bisa kulakukan. Edbert yang terkulai tadi, mulai bergerak. Seolah menghabiskan semua sisa tenaga ditubuhnya, secepat kilat dia menyambar pisau yang terletak di sisi tubuh Hartono. Aku menutup mata pasrah. Sebentar lagi jiwaku dan Hartono akan bertemu lagi. Pada saat itu terjadi aku akan memakai lak
Jane tersenyum miring lalu menarasikan bagaimana anak buah Hartono memata-matai Alex hingga dirinya tak berani bertindak gegabah lantaran takut operasi bisnisnya jadi ketahuan.Pula, wanita culas ini bercerita anak buah Hartono sibuk mengawasi ibuku waktu dioperasi di Singapura kemarin makanya mereka tak berani berbuat yang tidak-tidak. "Hahaha, he is doing so much for you and you know nothing. Such a stupid fellow." Pungkasnya seraya menatapku geli. Berbeda dengan Jane yang menganggap konyol tindakan Hartono, aku malah terdiam pilu. Selama ini tak terhitung berapa banyak aku meratapi nasib, menyesali diri, bahkan mengutuki Hartono karena kupikir dia tak pernah peduli padaku.Aku selalu merasa sendirian di dunia yang luas ini. Nyatanya, apa yang dilakukan Hartono di belakang layar menampar semua keyakinan yang kubangun selama ini. Dia melakukan lebih banyak dari yang bisa kubuat untuk keselamatan orang-orang yang kukasihi. "N
"Seems like you put too much drugs in that incense.""Hmph, she's just a weakling."Dua suara saling sahut antara pria dan wanita samar-samar memasuki ruang dengarku. Kucoba membuka mata, namun seperti ada yang menghalangi, tubuhku juga seperti tertimpa beban yang amat berat hingga susah sekali digerakkan. Sepertinya aku mengalami ketindihan yang dalam dunia medis dikenal sebagai sleep paralysis. Suatu kondisi dimana kesadaran otak tidak sinkron dengan tubuh. "Let's wake her up." Suara si wanita kembali terdengar. Sepertinya dia benci betul padaku. "Let her be. Why bother yourself with an unconscious lady.""Hmph, I bet you have fallen for her.""Stop spewing nonsense."" ... "Ketika dua manusia ini sibuk berdebat, aku memaksa diri untuk segera sadar dengan memusatkan pikiran pada hal umum yang terbiasa kulakukan. Mamak kami bilang, ketindihan ini disebabkan ada setan yang menimpa badan wa
Perlahan kukucek mata yang tengah mengantuk berat. Dibangunkan waktu hampir memasuki dunia mimpi, rasanya sangat menyebalkan.Sepertinya Joyce paham perasaanku. Disikutnya Joan yang sedang tersenyum lebar mengamatiku menahan kantuk."Dasar nggak bisa baca situasi." Geramnya lirih. "Sudah, sudah, Aunty nggak ngantuk lagi. Ayo kita makan." Leraiku sebelum perang dunia terjadi lagi. Beriringan kami berjalan ke depan rumah. Ternyata mereka berdua sudah menyiapkan makanan di rumah pohon yang cabangnya menjorok ke arah pantai. Edbert yang suka menyendiri, segera mengambil piring dan meletakkan labu, ubi, dan setengah ekor ikan di atasnya. Setelah itu dia bergegas pergi ke rumah pohon yang satunya. Melihat Hartono bersikap biasa saja, aku pun tak meminta Edbert makan bersama. "Aku mau ikan yang paling besar." Ujar Joan sambil meletakkan potongan ubi dan labu ke piringnya.Tentu saja Hartono tak peduli. Dengan gera
Mengikuti permintaan Hartono yang lebih mirip perintah, aku dan anak-anak akhirnya pasrah dibawa entah kemana. Setelah lelah berkendara sekian lama, mataku pun terpejam. Tak tahu berapa lama lelap dalam buai kantuk, ketika suara bariton yang khas terdengar di telingaku. "Bangun, kita sudah sampai." Suara datar Hartono membangunkanku dari tidur lelap.Masih setengah sadar, kuamati sekeliling sambil mengucek-ucek mata. Ternyata kami ada di bandara yang kelewat sederhana untuk ukuran ibu kota negara."Di mana kita?" Tanyaku tanpa minat."Negara kecil di Oceania, Palau.""Apa? Palau?"Ketidaktahuanku membuat Hartono melengos gusar lalu membangunkan Joan dan Joyce yang masih nyenyak seberang kami.Hartono selalu mendorongku agar punya wawasan luas tapi apa salahku kalau tak pernah dengar soal negara kecil ini? Kurasa banyak yang tak tahu ada negara bernama Palau di muka bumi. Bahkan dalam pelajaran ilmu sosial yang kugeluti sejak SD sampai SMA pun tak pernah nama ini singgah di telingaku.
Besoknya, aku masih meringkuk ketakutan di bawah selimut waktu sebuah pesan masuk dari Shania mengganggu hidupku. [Kak, cepat cek media sosial berita lokal]Sejujurnya aku sedang malas melakukan apapun, kejadian semalam masih menghantui pikiranku seperti mimpi buruk. Aku bahkan tak tahu bagaimana caranya bisa sampai di kamarku semalam. Namun rasa penasaran akan pesan Shania memaksaku membuka media sosial berita terkini di daerah kami. [Gempar! Sindikat perdagangan anak berkedok penitipan akhirnya diringkus polisi]Bukan berita yang terlalu ' wah' mengingat maraknya kejahatan akhir-akhir ini. Yang bikin nafasku nyaris berhenti adalah kenyataan daycare ini tempat aku menitipkan Alex dan kedua keponakanku kemarin. Apa jadinya kalau mereka bertiga jadi korban dari sindikat juga? Cepat-cepat kuhubungi Shania demi memastikan keadaan anak-anak. "Maaf Dek, sumpah aku tak tahu kalau daycare-nya bermasalah." Ujarku penuh peny
Suara kakek Lim menarik kami semua ke alam nyata. Hartono langsung melepaskan cekalannya pada tanganku lalu mengikuti langkah beliau ke dalam. "Istirahat saja di atas kalau sudah capek." Bisiknya di telingaku sesaat sebelum beranjak. Sementara itu Ming Lan langsung membimbing bibi Yue masuk ke dalam untuk mengikuti pembicaraan rahasia lainnya. Tinggallah aku sendiri mengamati segala yang terjadi di sini. "Geser badannya sedikit." Nanny memberi perintah pada Juni yang nampak cekatan membantunya mengangkat tubuh Lin Hua yang sudah kaku ke atas matras tipis yang mereka sulap jadi tandu darurat. "Bu, ayo masuk, tak usah duduk di sini." Samar-samar kudengar suara Nanny mengajak waktu mereka melewatiku. Namun aku terlalu mati rasa untuk merespon. Mataku malah tertuju pada mayat Jaya yang tergeletak menyedihkan di atas lantai yang dingin.Sebuah kehidupan sudah lenyap begitu saja. Baru beberapa menit tadi paman Jaya tertawa-tawa sa