"Gak apa, Mur. Mas lihat Ibu sudah melunak sekarang, dia kan sudah jadi nenek. Lagipula ada Bapak juga di rumah, Bapak pasti akam membelamu kalau Ibu atau Mila berulah," kata Mas Dasep, meyakinkanku. "Mas harus terima pekerjaan ini, agar utang kita cepat lunas. Gak baik kan, berutang lama-lama," lanjutnya."Ya, Mas. Aku juga gak tenang kalau punya utang. Semoga saja Ibu memang benar-benar berubah setelah jadi nenek. Entah mengapa, aku jadi was-was begini, Mas, kayak parno gitu. Padahal, biasanya aku bisa tenang," kataku."Mungkin efek melahirkan, ada perubahan hormon atau apa, yang penting jangan banyak pikiran.""Kata orang, mertua hanya akan sayang pada cucunya aja, Mas. Kalau sama menantunya masa bodo," kataku lagi."Huss
"Mila, cepat ambilkan!" Ibu mendesak Mila lagi saat adik iparku itu hanya diam saja."Gak apa, Bu. Aku gak apa-apa kok, aku sudah merasa sehat. Tak pelru minum jamu," kataku.Entah mengapa aku jadi merasa se-parno ini dengan perubahan sikap Ibu Mertua. Jujur, aku berpikiran macan-macam. Aku takut dijahati."Ini jamu khusus untuk perempuan yang baru melahirkan. Mau sehat atau gak sehat, harus minum jamu ini. Ibu juga dulu gitu setelah melahirkan Dasep dan Mila. Sudah, kamu nurut saja, jangan banyak membantah. Ibu lebih pengalaman dari kamu," tegasnya.Tak lama, Mila kembali dari dapur membawa segelas jamu. Ibu Mertua memaksaku untuk meminumnya. Dengan ragu, aku pun menurut. Jamu ini rasanya pahit, bahkan setelah masuk tenggorokanku pun, rasa pahit
"Ini cucu pertamaku, aku ingin mengurusnya." Ibu berkata sambil beranjak pergi ke kamar menggendong bayiku yang mulai menangis.Mas Dasep menyuruhku menyusul ke kamar untuk menyusui bayi. Dan menyuruh Mila membereskan semua piring kotor dan sisa makanan.Sementara Bapak Mertua dan Mas Dasep melanjutkan perbincangan, kudengar mereka merencanakan acara aqiqah sekaligus syukuran rumah baru*Tujuh hari berlalu sejak kelahiran anakku. Kehidupanku berjalan normal, meski ada beberapa bagian dan rutinitas yang berbeda.Mulai dari mengurus bayi, semua dilakukan oleh Ibu Mertua. Dia memperlakukan bayiku seperti anaknya sendiri, aku hanya bertugas menyusui dan tidur dengannya
"Bu RT ngomong sama siapa, sih?" tanya Bi Munah."Ah, enggak kok," jawab Bu RT."Kok, dari nada bicaranya terdengar nyindir gitu?""Aduh, biasa lah ada orang yang mendadak terkenal gara-gara beli rumah baru, terus ngadain acara syukuran. Niatnya mungkin mau sekalian pamer ya, tapi sebenarnya itu rumahnya belum lunas." Bu RT menjawab sambil beranjak pergi, dan pamit pulang duluan.Aku benar-benar jengkel terhadap Bu RT yang satu itu, untunglah dia segera pergi. Sementara ibu-ibu mulai meributkan siapa yang dimaksud oleh Bu RT, sepertinya mereka memang tidak menyadari bahwa barusan Bu RT menyindirku."Eh, sebenernya Bu RT tadi ngomongin siapa sih?" 
"Ibu ini ngomong apa? Sudah, jangan berpikiran macam-macam. Kita tinggal di sini sampai Dasep pulang. Tak usah lah repotkan menantu kita. Lagipula, masih ada Mila yang harus kita urus."Aku mendengar Bapak Mertua menolak usulan Ibu."Apa Bapak lupa ya, waktu itu kan Murni juga ngajakin tinggal bareng," balas Ibu Mertua."Iya, tapi Ibu sudah menolaknya. Lagipula, Bapak tidak mau tinggal di sini malah merepotkan nantinya. Sudah lah jangan mikir macam-macam!"Aku segera menjauh dari depan kamar mertua. Bayiku menangis, aku tidak ingin ketahuan barusan sudah tak sengaja menguping pembicaraan mereka.Entah kenapa bayiku jadi rewel, kugendong dan kuberi asi pun tak m
Gorden rumah Bu RT juga tertutup, sepertinya memang tak ada orang di dalam. Tadinya aku berniat pulang saja, tapi kemudian ujung mataku menangkap seseorang mengintip lewat gorden itu dari dalam.Akhirnya kugedor lagi pintu rumahnya. "Saya tahu ada orang di dalam. Keluar lah, saya ingin bicara!" kataku.Gagang pintu menurun, Pak RT kini berdiri di hadapanku dengan muka masam. Ya, kejadian malam lalu ketika dia bertamu ke rumah, dan juga kabar Mas Dasep akan dipilih untuk menggantikannya, membuat Pak RT terang-terangan memusuhi keluargaku."Saya ingin bertemu dengan Mbak Ayu dan Bu RT," kataku."Mereka sedang tidak ada," jawabnya ketus."Jangan bohong." Aku memaksa.
"Siapa memangnya dia, Bu?"Bukannya menjawab, Ibu Mertua malah semakin kencang menangis. "Pasti dia sudah berbuat macam-macam dengan lelaki itu. Kalau bapak mertuamu sampai tahu, Mila akan disiksa habis-habisan!" katanya.Rasa penasaranku semakin tinggi, namun aku juga tak bisa bertanya karena situasinya tak memungkinkan. Ibu sangat terpukul."Kamu jangan tanya dia siapa. Ibu bahkan tak sudi menyebut namanya!" kata Ibu dengan sedikit berteriak.Dari luar rumah, terdengar suara motor, aku keluar untuk melihat siapa yang datang. Ternyata Mila. Segera aku kembali ke kamar untuk memberitahu Ibu Mertua."Bu, Mila sudah pulang. Ayo kita keluar dari sini. Simpan HP nya di tempat semula," kataku.Kami buru-buru keluar kamar dan menyimpan HP Mila di atas kasur. Dalam keadaan masih terpukul, Ibu sedikit berlari menuju kamarku sambil menarik tanganku."Sana kamu ke warung, tad
"Dia anak lelakiku, yang dikejar-kejar Mila adik iparmu itu! Dasar kecentilan saja tuh si Mila ngebet banget sama Zaki," kata Bu RT.Otomatis aku mati kutu begitu Bu RT bilang seperti itu. Kulihat Zaki melempar senyum padaku, namun entah mengapa aku menangkapnya sebagai ejekan."Kalau kamu mau sebar bukti tentang kami, kami pun akan sebar bukti aib adik iparmu itu! Zaki punya kartu As nya!" celetuk Ayu."Semua foto-foto dan video Mila ada di tangan Zaki. Jadi, kamu jangan macam-macam, Mbak Murni. Ya, kecuali kalau kamu memang ingin keluarga besarmu dipermalukan!" timpal Bu RT.Dugaanku pasti benar, selama berhubungan dengan Zaki lewat HP, Mila pasti banyak mengirimkan foto dan video pribadinya kepada lelaki itu. Astaghfirullah, kelakuannya bikin malu saja. Kalau begini, aku jadi tak bisa menjawab gertakan Ayu dan Bu RT, kan! Rasa malu sudah tergambar jelas di wajahku ini, mulutku pun terkunci
“Enggak, Mas Dasep, Ayu gak sedang pura-pura. Sepertinya dia beneran gak waras!” kata Pak RT dengan nada dan ekspresi terkejut. “Lihat saja!”Pak RT menunjuk wajah Ayu, tatapan biang onar itu memang benar-benar kosong, tak terlihat seperti akting.Mas Dasep mendekat, diikuti semua warga mendekati Ayu yang masih tertawa cekikan tak jelas. Kurasa benar, Ayu tidak sedang berpura-pura.“Aduh, bagaimana ini? Sekarang tersangkanya malah tidak bisa ditanyai,” kata Bapak Mertua seakan bicara pada dirinya sendiri.Bapak dan Pak RT membangunkan Ayu hingga sekarang posisi Ayu berdiri, namun nampaknya Ayu lemas dia hampir terjatuh meskipun beberapa kali Bapak Mertua dan Pak RT membangunkannya.“Gimana nih nasib uang kita kalau tersangkanya gak waras kayak gini? Boro-boro minta ganti rugi, diajak ngobrol aja gak nyambung!” kata warga.“Sudahlah, kita berhenti bicara soal uang dulu. Yang terpenting sekarang bagaimana kita menenangkan Ayu!” jawab Bapak Mertua. “Lihat, dia terus berontak sambil teria
Kulihat Mas Dasep keluar dari arah dapur produksi dan berlari ke arah kerumunan. Refleks kakiku melangkah ke luar warung, mengejar Mas Dasep.“Ada apa ini, Mur? Kok pada bawa golok segala itu?” Rupanya, saking terlalu fokus di dapur produksi, Mas Dasep baru ‘ngeuh’ kalau Ayu sudah tertangkap.“Itu Ayu yang dibonceng Pak RT, Mas! Warga mau menghakiminya!” jawabku tak kalah panik. “Cepat hentikan mereka, Mas!”“Astaghfirulloh!”Mas Dasep langsung menerobos kerumunan hingga kini dia berada diantata Ayu dan Pak RT, menengahi pertikaian mereka dan warga.Satu orang maju mengacungkan tinju pada Ayu dan hendak saja memukulnya, namun ditahan oleh Mas Dasep. Tak berhenti sampai di situ, warga yang lain pun melakukan aksi serupa dan membuat Mas Dasep semakin kewalahan menghadapi mereka, bahkan kulihat Mas Dasep tak sanggup lagi menahan gejolak amarah warga.Tak lama kemudian, aku kesulitan menyaksikan lagi apa yang terjadi di kerumunan sana, karena warga yang berdesakkan dan tak mau diam mengha
"Minta tolong apa, Mbak?""Selama ini saya menghilang karena saya kabur-kaburan, saya dikejar-kejar pihak kepolisian, karena disangka telah membantu menyembunyikan Ayu. Padahal, selama ini saya sendiri tidak tahu kalau Ayu adalah buronan. Saya mengenalnya karena waktu itu tak sengaja bertemu di minimarket, dia minta tolong dicarikan rumah kontrakan dan akhirnya saya bantu. Saya juga lumayan sering mengunjunginya untuk memberinya sedikit makanan, karena kasihan dia mengaku diusir dari kampungnya dan hanya membawa pakaian yang menempel di badan. Saya juga bayarkan rumah kontrakannya yang di belakang minimarket itu," jelas Mbak Widi di telepon dengan panjang lebar."Kalau begitu, Mbak Widi gak perlu merasa takut. Jangan kabur lagi, kalau ditanyai polisi tinggal jelaskan saja seperti yang tadi Mbak jelaskan ke saya. Lagipula, polisi minta keterangan Mbak sebagai saksi, bukan sebagai tersangka," kataku. "Tetap saja, kalau di depan polisi saya pasti gugup. Saya sudah takut duluan, Mbak Mur
"Ya, Mas paham."Satu jawaban yang membuatku tenang. Mas Dasep kemudian membantuku mencetak adonan pentol. Kami menghabiskan waktu menjelang subuh bersama, mengobrol dan bertukar pikiran tentang kejadian-kejadian yang akhir-akhir ini menimpa kampung dan keluargaku."Tapi, bagaimana mereka tahu tentang permasalahan kita dengan Pak Hendar ya, Mas?" tanyaku."Palingan juga dari Mang Sidik. Waktu ngurusin Aminah kan dia lumayan sering bolak-balik rumah kita, mungkin dia tak sengaja mendengar kita membahas Pak Hendar," jawab Mas Dasep."Bisa juga sih. Tapi apa iya Mang Sidik suka nyebar gosip? Rasanya tidak, Mas. Apa jangan-jangan Mang Kosim dan Mang Surya, yang waktu malam kemarin Pak Hendar bertamu ke sini mereka tengah ngobrol dengan Bapak dan Pak RT. Bisa jadi Mang Kosim dan Mang Surya mencuri dengar percakapan kita?""Entah. Sudahlah, tak penting siapa yang menyebar, tak penting orang-orang mau menggosipkanmu. Yang penting aku percaya padmau, iya kan?"Seulas senyum tersungging di bib
"Maaf, Bu Rosita, tolong ulangi sekali lagi perkataan Ibu barusan?" tanyaku dengan hati yang meletup karena kaget."Jangan pura-pura tak mendengar, Mbak Murni. Saya mengatakan dengan jelas, tadi," jawabnya sinis. Delikan matanya menyiratkan persaingan sengit terhadapku.Kucoba mengatur napas, untuk sedikit meredakan emosi yang mulai naik gara-gara pernyataan barusan."Bagaimana bisa Bu Rosita berpikir saya ada macam-macam dengan Pak Hendar, sementara Bu Rosita sendiri tahu saya ini sudah bersuami?" kataku."Memang, sudah bersuami. Tapi, jaman sekarang status perkawinan tidak jadi penghalamg untuk seseorang berbuat serong," balasnya."Maksudnya bicara begitu supaya apa, ya?" tanyaku, masih coba bersabar meladeninya."Supaya Mbak Murni jauh-jauh dari Pak Hendar. Saya sedang dalam proses penjajakan dengannya. Dan saya harap, Mbak Murni jangan jadi penghalang. Keluarlah dari kegiatan, jangan mau diajak jadi pemateri oleh Pak Hendar. Pokoknya, menjauh deh dari kehidupan kami!" jawabnya lan
Tak hanya Mas Dasep, aku pun mencemaskan hal yang sama. Jika Ayu bebas berkeliaran, dia akan semakin leluasa menjalankan misinya."Satu hal yang menjadi pertanyaanku, tentang ambisi Ayu untuk mengganggu kehidupanku. Kenapa dia sampai sejauh ini melakukannya padaku terus-menerus, sejak pertemuan kami yang pertama bahkan hingga saat ini? Dia bilang dendam. Ingin membuatku miskin dan ingin menghancurkan rumahtanggaku. Kenapa dia begitu benci padaku, Bu, Pak? Aku tak pernah sedikitpun menyakitinya." Aku bertanya pada kedua mertuaku yang sepertinya juga tak tahu jawabannya. Tampak Bapak dan Ibu saling melirik sekilas dengan ekspresi yang entah seperti apa, sulit kubaca. Namun, sepertinya mereka teringat sesuatu yang sudah jauh berlalu."Sudah jelas kan, awal mulanya karena saingan warung," jawab Ibu Mertua."Tapi kan semua sudah berlalu. Warung Ayu sudah lama bangkrut. Dia juga sudah pergi dari kampung ini. Tapi kenapa dendamnya masih awet? Kurasa, ada sesuatu yang lain.""Entahlah, Kak M
"Nah, itu orangnya datang, Mur. Cepat selesaikan masalahmu."Ibu Mertua yang telah mengetahui kesalahpahaman dengan Pak Hendar, lantas mengambilalih kukusan dari tanganku dan menyuruhku cepat-cepat ke ruang tamu untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi.Masih ada Pak RT dan tiga orang warga di ruang tamu, kini ditambah Pak Hendar. Aku menyapanya begitu sampai menemuinya.Mas Dasep juga tampak sudah menungguku dan langsung menyuruhku duduk di sampingnya."Tadi saya dikasihtahu tetangga, katanya Mas Dasep ke rumah cari-cari saya, ya? Tadi saya sedang ada seminar, jadi gak ada di rumah. Ada apa kiranya, Mas Dasep?" Pak Hendar mengawali pembicaraan."Begini, Pak Hendar. Sehari yang lalu, istri saya dapat paket berisi sepatu berhak tinggi, tas mahal, dan set make up lengkap dengan kuas-kuasnya. Saya kaget, kok ada yang mengirimi istri saya barang-barang seperti itu, secara istri saya ini kan orangnya tidak suka pakai-pakai begituan, seakan-akan orang yang mengirim ini ingin istri saya
"Ah, jangan iseng, Mur," keluh Mas Dasep, dia kecewa karena menganggapku berbohong."Tapi benar, Mas. Chat nya terhapus," jelasku dengan suara pelan.Lemas sudah rasanya, kecerobohanku berujung ketidakpercayaan dari suamiku. Kedua mataku mulai menghangat, rasanya lelah hati dan pikiran ini menghadapi situasi sekarang. Jika dulu aku banyak menelan fitnah dan tuduhan dari Ayu dan Bu RT tentang dukun penglaris, juga para warga yang sempat tidak percaya pada kejujuranku dalam berdagang, aku dapat menerima itu semua. Tapi, kali ini ketika Mas Dasep mempertanyakan kejujuranku, sungguh tak ada yang lebih menyakitkan daripada tak dipercayai suami sendiri.Rasanya lebih baik aku tak dipercaya orang lain ketimbang tak dipercaya suami."Kamu lagi sensitif, Dasep." Bapak Mertua menimpali."Mas kenapa seperti tak percaya padaku?" tanyaku."Sudahlah, Murni. Mas lelah, ingin istirahat dulu."Mas Dasep beranjak menuju rumah. Dari sikapnya, dia memang tak benar-benar menunjukkan sedang marah padaku.
"Kok ke sini, sih?" gumamku refleks. Tentu aku keberatan jika Aminah tinggal di kampung ini. Meski tak serumah, tapi pasti dia akan jadi biang masalah nantinya."Ya, yang kulihat, Aminah itu merasa aman kalau dekat Dasep," kata Mang Sidik. Rupanya dia mendengar gumamanku barusan."Mang Sidik mengerti kan apa yang saya khawatirkan?""Ngerti kok, Mur. Tapi jangan dulu berpikiran macam-macam. Bisa jadi Aminah hanya membutuhkan rasa aman saja, bukan berarti suka, terus mau mengambil hatinya Dasep.""Tetap saja meresahkan," jawabku. "Pantas saja istri Mang Sidik cemburu, saya bisa rasakan sendiri waktu Aminah menginap di sini.""Lho, memangnya kenapa harus cemburu? Aduh, perempuan suka ada-ada saja kelakuannya. Masa suami gak ngapa-ngapain aja cemburu?" komentar Mang Sidik. "Lagipula belum tentu dia jadi ngontrak di sini. Coba bayangkan, kalau dia ngontrak, siapa yang mau bayar kontrakannya? Aminah kan hanya ibu rumah tangga biasa, dia gak punya pekerjaan."Aku mengambil gelas bekas kopi M