Aku terpekik, ketika melihat ada lelaki tampan di hadapanku. Menatapku dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
"Apakah ini surga?" tanyaku dengan menelusuri setiap inci wajah leleki di depanku.
Lelaki itu menggelengkan kepalanya, lalu tersenyum manis sekali.
"Jika ini bukan surga, lalu apa? Begitu sempurnanya ciptamu, ya Allah!" ujarku memuji.
Lelaki itu terpana sejenak atas apa yang aku ucapkan, mungkin dia berpikir jika aku sudah gila. Mau bagaimana lagi, tampannya itu loh, MasyaaAllah.
"Maaf, Tuan." Suara seorang wanita yang terdengar serak di telingaku, lalu dai mendekat dan berbisik.
Kemudian, dia menjauh sejenak dan berdiri mematung. Aku hanya diam memperhatikan mereka dan mataku terus mengagumi desain ruangan ini. Aku sadar, jika ini bukanlah negeri impianku. Akan tetapi, dunia yang belum pernah aku temui selama hidupku.
"Ma--maaf!" ujarku lirih, ketika lelaki itu fokus menatapku. Aku berusaha duduk dan membenarkan posisi infus yang terpasang di tanganku.
"Tidak apa-apa!" jawabnya formal.
Aku kembali melihat sekitar, mataku benar-benar terpesona. Bangunan yang sangat indah dan megah. Ukiran di dinding membuatku terpesona, warna cat yang dominant cream membuat kesan sangat mewah. Tidak salah, jika aku merasa aku sedang berada di surga yang dirindukan oleh banyak manusia.
"Maaf, Pak. Eh, Tuan. Saya di mana?" tanyaku sesopan mungkin.
"Di rumah saya!" jawabnya dingin.
Aku menaikan alis, lalu mengerucutkan bibirku yang seksi menurut Mas Yunus. Lalu, melihat ke arah wanita yang memakai seragam batik. Dia diam dan hanya memperhatikanku, sesekali dia menyunggingkan senyum kaku.
"Terima kasih sudah memberikan tumpangan untuk saya di sini. Saya rasa, saya tidak akan bisa membalas budi anda. Karena saya harus kembali ke rumah saya dan anak-anak saya! Pastinya mereka mengkhawatirkan saya!" ujarku dengan nada naik turun, karena bingung melihat keadaan.
Lelaki itu memandang tajam ke arahku, lalu dia menatap ke arah wanita yang sejak tadi tidak bersuara. Wanita itu mengangguk, lalu keluar dari ruangan dan kembali dengan cepat.
"Tuan," Dia memberikan sebuah map amplop berwarna merah pada lelaki di depanku.
"Kamu tertidur terlalu lama, sepertinya kamu lebih suka tertidur dari pada menghadapi kenyataan!" ketusnya.
Aku seperti orang bodoh ketika mendengar ucapannya yang terasa menyudutkanku. Alis sebelah kiriku naik dan mulutku membulat membentuk huruf O,
"Maksudnya, Pak?" tanyaku, yang di jawab dengan tatapan tajam darinya, "Eh, tuan!" sambungku.
"Reinald!" ujarnya, "Reinald Kusumadi!" lanjutnya memperkenalkan dirinya sendiri dan tidak kutanggapi, hanya memberikannya senyuman.
Lelaki yang bernama Reinald itu, menyodorkan map amplop yang dia pegang padaku dan memintaku untuk membukanya. tanpa berpikir, aku membukanya. Betapa lemasnya diriku ketika melihat, suami yang selalu kuhormati menikah saat dia tidak mengetahui keberadaanku.
"Terima kasih, Pak. Saya harus pulang ke rumah, bagaimanapun dia tetap suami saya dan ada anak-anak yang harus saya jaga!" Aku mencabut selang infus di tanganku dan berpamitan padanya, "saya tidak tahu berapa banyak uang yang anda keluarkan untuk menyelamatkan saya, dan jujur, saya tidak akan bisa membayarnya. Saya mohon ikhlaskan," imbuhku dengan memohon.
Lelaki itu tertawa, bahkan membuat wanita tua itu teperangah.
"Kamu pikir saya miskin?"
"Bukan anda yang miskin, tapi saya. Saya meminta anda menghikhlaskannya, agar ke depannya tidak jadi beban untuk saya!" ujarku.
Lelaki itu mendekat dan mengikis jarak antara kami, membuat napasku terasa sesak dan tercekat. Sontak aku memundurkan wajahku dari hadapannya.
"Baru kali ini, ada yang berani membantah ucapanku!" ujarnya dengan tawa puas.
Kemudian dia duduk di tepi ranjang, memainkan isi di dalam gelas yang sejak aku membuka mata sudah ada di tangannya. Lalu, dia menyesapnya secara perlahan, menikmati setiap tetes yang masuk di tenggorokannya.
Aku turun dari ranjang dan berdiri di depannya, memegang tengkukku yang mulai tidak nyaman. Lalu, menanyakan pakaian yang kukenakan sebelum berada di sini. Wanita tua itu merasa ragu ketika akan berbicara, berkali-kali dia melihat ke arah lelaki muda yang tengah asik memainkan gelasnya.
Bukan tidak sopan, aku merasa tubuhku kaku. Jadi, aku menggeser tubuhku untuk melakukan perenggangan. Tidak menyadari keberadaan lelaki itu di sampingku, membuat tanganku menggamparnya.
"Maa-maaf! Maaf!" Aku bingung harus bersikap seperti apa.
Terbiasa hidup di dunia yang sederhana, harus berhadapan dengan orang yang super kaya raya dan orang yang dingin. Sama seperti CEO yang sering aku baca di novel-novel. Aku tersenyum sendiri, ketika mengingat kebiasaanku membaca sampai kadang lupa waktu saat malam hari.
"Sepertinya, benturan kemarin membuat kepalanya retak!" ujar Reinald, yang usianya di bawahku, "tolong panggil dokter Andi!" perintahnya kemudian kepada wanita tua yang ada di depannya dan wanita itu langsung mengangkat ponselnya menghubungi seseorang yang bernama Andi.
"Pak, Eh, Tuan, saya sudah sehat! Saya hanya ingin pulang! Tapi, tidak bisa mengembalikan biaya yang sudah anda keluarkan!" sungutku.
"Eh, perempuan! Kamu tau suami kamu sudah punya istri lagi, apa yang kamu harapkan?" tanyanya.
"Anak!"
"Kamu bisa menikah lagi dan mempunyai anak!" bantahnya.
"Bu, tolong hubungi psikiater! Sepertinya tuan ini otaknya enggak beres!" kesalku.
Lelaki dan wanita tua itu menatapku tidak berkedip, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan. Jangankan mereka aku pun tidak tahu apa yang sedang aku katakan.
"Aduh, Tuan! Saya cuma ingin pulang, bukan ingin berdebat!" ucapku kesal.
Lelaki itu tidak menjawab, dia malah pergi dan menarik baju waita tua itu. Kemudian, memintanya mengawasiku sebelum dokter yang di panggil datang. Aku hanya bisa menghembuskan napas panjang, 'kenapa nasibku apes sekali,' batinku.
Aku memutuskan keluar dari ruangan ini, dan kembali ke rumah. Memeluk anakku Emil dan menghujaninya dengan ciuman manja. Setelah meregangkan otot-otot yang kaku, aku mengendap-endap. Lutut ini seketika lemas dan tidak bertenaga, tangan langsung menggaruk kepala yang masih tertutup hijab.
"Apa ini!"
"Wooow!" kata pertama yang kuucapkan, ketika melihat ruangan yang tidak pernah kubayangkan, "sepertinya, mereka bukan manusia!" imbuh ku, bergumam. Berkali-kali, mata kukedip-kedipkan. Lalu, menggelengkan kepala. Masih tidak yakin dengan diri ini. Kuturuni anak tangga, dengan tangan bertumpu pada dinding bercat metalik. Berhenti sejenak, memandang lukisan berukuran besar yang menempel cantik di dinding yang agak rendah. "Non, kenapa keluar kamar?" tanya seseorang yang membuatku terkejut, "oya, perkenalkan, saya Siti Lestari. Kepala asisten di rumah ini. "Iya, Bu, " jawabku asal. "Panggil saja, Siti!" ujarnya merendah. Aku mendekati wanita paruh baya itu, yang rambutnya tertata rapih dan mengambil tangannya yang dia tumpuk di depan pinggang. "Ibu lebih tua dari saya, masa harus saya panggil nama!" ujarku lirih. Kulihat matanya berbinar namun, dia mencoba menepisnnya dengan
Lelaki berpakaian dokter itu pergi meninggalkan kamar ini, dan membiarkanku untuk istirahat. Katanya, aku hanya perlu istirahat beberapa hari saja. Nantinya, dia akan mengirimkan suster untuk menjagaku. Meski di tolak, lelaki itu tidak peduli."Di istana ini, apa semua orangnya aneh?" ocehku, tanpa ingin di jawab oleh siapapun."Non, ini rumah Tuan Renald. Dia pengusaha sukses termuda di Asia dan juga orang terkaya kedua untuk orang seusianya," terang wanita tua di sampingku. Padahal, aku tidak berharap mengetahui hal yang tidak perlu aku ketahui."Bu, aku hanya ingin pulang, itu saja!" keluhku, "katanya enggak miskin, tapi untuk apa dia menahanku?" lanjutku.Wanita itu ijin keluar sebentar dan memperingatiku, untuk tidak mencoba kabur karena semua akan sia-sia.Mengusir kebosanan, aku berdiri di depan jendela berukuran besar dan daun jendelanya sudah terbuka. Melihat ke bawah, ada Teman-teman yang tertata sangat canti
"Tuan!" Wanita tua itu memanggil Renald yang membelakangiku, dan dia bergegas membantuku untuk duduk.Renald masih tidak berbalik, dia malah menyilangkan tangannya di belakang pinggangnya dan berjalan menuju pintu dengan langkah gontai. Aku hanya bisa meringis, kenapa bisa di perlakuan seperti ini. Kami tidak saling kenal."Tuan, Nona Gita!" ujar Bu Siti.Lelaki itu masih diam, dan mencoba membuang napas kasar. Aku masih dapat mendengarnya. Aku tidak tahu, dia kesal denganku karena apa.Bu Siti menyeka darahku dengan sapu tangan miliknya dan berjalan menuju Renald yang akan keluar, terlihat Renald tidak peduli dan sudah hampir sampai diambang pintu.Lelaki itu langsung berlari ke arahku dan terlihat panik ketika melihat sapu tangan milik Bu Siti. Dia ingin menyentuhku namun, diurungkan."Panggil, Bik Sumi!" perintah Renald.Bu Siti kembali mendekat dan mencoba menahan lukaku. Sedangkan Renald
Cukup lama aku tertidur namun, rasa sakit ini teramat sangat mengganggu. Ketika, mencoba menggeliat. tubuhku terasa sakit. Terutama daerah pundak, rasanya sungguh luar biasa."Non, sudah bangun?" Suara Bu Siti, tertangkap oleh pendengaranku.Aku mencoba membuka mata yang masih terasa berat untuk terbuka. Dengan sedikit memaksa, akhirnya aku bisa melihat Bu Siti. Terpancar kekhawatiran dari wajahnya yang telah menua, ada rasa bahagia karena dia begitu mengkhawatirkanku. Tapi, aku cukup kesal mengingat perlakuan lelaki aneh seperti Renald."Bu, saya mau pulang!" pintaku.Bu Siti memelukku tiba-tiba, dan tanpa kusadari air mata ini menetes. Betapa hangat pelukan seorang ibu yang sudah tidak pernah aku rasakan sejak menginjak masa remaja.."Bu, anak saya pastii merindukan pelukan seperti ini!" bisikku. "Saya tidak ingin Emil merindu terlalu lama dan saya takut dia akan melupakan saya seperti suami!" sambungku.Bu Siti merenggangkan pelukannya, d
Suara tawa terdengar dari arah belakang, tentu mengalihkan perhatianku. "Eh, Tuan sombong!" makiku, tanpa melihat siapa yang datang. Mataku melotot sempurna ketika melihat lelaki yang baru saja masuk, dan menertawaiku. Dia berjalan dan mendekati, tanpa ragu mengambil gunting yang ada di tanganku. "Kamu!" sapaku. "Kenapa?" tanyanya. "Apa kamu mengharapkan Renald yang datang?" tambahnya membuatku kesal. "Maaf, ya tuan, atau siapalah! Saya itu mau pergi dari sini dan pulang ke rumah!" ujarku pongah. "Kalau mau pergi, ya pergi aja! Kenapa harus nodong orang!" balasnya. Rasa kesal tentu saja terpancar di wajahku, bukan hanya karena rasa sakit ini, tapi karena keangkuhan penghuni rumah yang baru kukenal. Dengan menggerutu, aku menghentakkan kaki dan berlalu pergi. Meski tidak tahu jalan, aku yakin akan menemukan jalan keluarnya. 'Dasar orang-orang aneh! Harusnya, kan kalau sudah menolong orang dan diobati, dipersilahk
"Apa maksudmu mencegah Emil, menemuiku?" tanyaku penuh emosi.Wanita itu menukir senyum smirk di wajahnya, membuat emosiku memuncak."Dia anakku! Bukan anakmu!" tegasnya.Bibirku gemetar, ketika dia mengatakan hal itu. Apakah karena dia menikahi Mas Yunus, maka dia berhak atas semuanya termasuk Emil."Kamu pikir, aku melamar Mas Yunus hanya sekedar nafsu saja! Lebih dari itu!" tambahnya membuat mataku membelalak.Apalagi maksud wanita ular ini. Apa yang tidak kuketahui, sehingga dia berani mengatakan hal itu."Sekali pelakor, tetap pelakor! Akan menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Ambil, Mas Yunus yang tidak bisa menepati janjinya, tapi ...!" ucapku terhenti."Aku bukan pelakor!" pekiknya.Santi, melepaskan pegangan tangannya pada Emil. Membuatku leluasa menggapainya, tentu saja Santi mengamuk dan ingin mengambil alih Emil dariku."Jangan berani-beraninya mengambil anakku! Dan jangan pernah m
"Wanita murahan!" maki Santi.Wanita di depanku seperti seseorang yang tertindas olehku, padahal dialah yang menindas dan mengambil kebahagianku. Bahkan, baru beberapa hari, Mas Yunus bersamanya sudah sangat berubah. Aku sudah tidak mengenalinya lagi, meskipun sedang berhadapan dengannya,"Aku tidak ingin berdebat!" ujarku. "Sepertinya, kamu tidak butuh istri murahan sepertiku. Ada baiknya kamu ceraikan aku, Mas! Tapi jangan berani-beraninya mengambil anakku!""Dia akan menceraikanmu! Wanita tidak berguna dan murahan!" hina Santi."Aku akan sujud syukur! Aku tunggu surat cerainya!' tantangku."Tidak ... Tidak akan ada perceraian antara kita! Dek, tolong kembali ke rumah!" pinta Mas Yunus.Entah mengapa dia melunak seperti itu, mungkin merasa iba denganku. Atau ingin menyiksaku dengan cara berpoligami."Terimakasih, Mas! Tapi, apa kamu mau meninggalkan wanita itu?" tanyaku mengejek.Mas Yunus menhela napas berat dan menata
Seminggu berlalu, aku kini berada di rumah megah yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Menunggu Emil membaik. Aku hanya bisa termenung setiap harinya, memikirkan cara bagaimana setelah ini. "Saya sudah membantu kamu mendaftarkan perceraian kalian!" Suara itu mengejutkanku. "Maksudnya?" tanyaku bingung. Pikiranku, mulai tidak fokus. sehingga tidak langsung menangkap apa yang di maksud oleh lelaki itu. "Kamu ingin bercerai, kan?" tanya datar. "i-iya!" jawabku. "Team pengacara sedang mengurusnya!" Orang yang paling di segani di rumah ini duduk di sofa yang memang ada di kamar ini. Aku mengerutkan dahi dan menatapnya tajam, kesal dengan setiap keputusannya yang dia ambil secara sepihak tanpa bertanya padaku. "Hei, Tuan! Ini hidupku, kamu tidak bisa seenaknya!" Rasa kesal kutumpahkan begitu saja. Renald memandangku sekilas, lalu kembali ke buku yang dia baca sejak tadi. Terlihat cool dan keren sih, tapi membuat
"Kamu mau ke mana?" tanyanya, suaranya melunak. "Apakah kamu kekurangan di sini?" sambkiungnya Sungguh aneh lelaki di depanku ini. Wajah tampan, kaya raya dan memiliki segalanya, Mengapa menahanku untuk tetap tinggal. "Di sini bagaikan surga dunia yang tidak pernah kubayangkan, tapi di sini tidak ada satupun yang memiliki hubungan denganku. Maka aku tidak pantas di sini, lagi pula, aku hanya makan, tidur dan ibadah saja! Aku pun memiliki suami yang harus aku urus!" ucapku miris. Renald berdiri dan menatapku pedih, "Suami? Suami yang tidak membelamu?" tanyanyaa. "Bagaimanapun, aku tetap istri sahnya. Dia belum menjatuhkan talaknya untukku!" sanggahku. Renald mengambil ponsel yang ada di saku celananya dan menghubungi seseorang. [Ke sini, bawa berkas dari lelaki brengsek itu!] Hanya kalimat itu yang dia lontarkan, lalu mengakhiri panggilan telepon. Dia duduk di sampingku. "Maaf atas perlakuanku tadi, sehingga membuatmu me
Aku berhasil mendorong tubuh Renald menjauh dariku berkat suara wanita yang baru saja datang. Wanita itu mendekat dan melayangkan satu tamparan di pipiku. Terasa panas dan membekas, aku tahu ini pantas untukku meskipun aku tidak tahu siapa wanita cantik berpakaian kurang bahan ini."Berani-beraninya kamu, mencium tunanganku jalang!" ucapnya, membuatku terpana.Aku seperti dejavu, mengingat perlakuanku pada Santi. Akan tetapi, dia memang jalang yang merebut suamiku. Tapi, aku? Apakah aku juga jalang?Ingin rasanya tenggelam dalam dunia yang fana ini, tapi itu tidak mungkin. Maka aku menyingkir dari sepasang kekasih ini, berharap tidak akan menjadi masalah besar. Sayang, hati dan kakiku tidak bisa singkron. Aku tidak bergeming sedikitpun dari tempatku. Terlihat rona merah padam di wajah wanita bermata coklat itu.Tangan wanita itu terangkat lagi, dan mengarah ke wajahku. Tapi, Renald menahannya dan menepisnya dengan kasar."Aku sudah membatalkan pert
Bu Siti berdehem, dia seperti telah melakukan kesalahan. Kemudian berlalu dari hadapanku. Matanya tidak menatapku ketika akan pergi, tapi fokus ke arah belakangku. Aku menebak, jika lelaki itu ada di belakangku."Ada apa?" tanyaku seteleh memutar tubuh ke belakang."Mau ke mana?" tanyanya lirih."Ya, pergilah! Biar hidupku tidak kamu atur!" tukasku.Renald melotot kepadaku, tapi tidak kupedulikan.. Melangkah pergi menjauh darinya dan dari kehidupannya yang membosankan, menurutku."Berhenti!" bentaknya.Dadaku seperti diremas, ketika dia mengeluarkan suara yang begitu keras. Kemudian, suaranya menggelegar memanggil Bu Siti. Wanita paruh baya itu bergegas mendekat dan menunduk, benar-benar membuatku muak."Bawa Emil ke taman, tutup semua pintu dan jangan biarkan orang lain masuk!" perintahnya dengan suara tinggi.Bu Siti membawa Emil dengan hati-hati dan meminta pelayan lain untuk menutup semua pintu dan pastinya mereka keluar da
Seminggu berlalu, aku kini berada di rumah megah yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Menunggu Emil membaik. Aku hanya bisa termenung setiap harinya, memikirkan cara bagaimana setelah ini. "Saya sudah membantu kamu mendaftarkan perceraian kalian!" Suara itu mengejutkanku. "Maksudnya?" tanyaku bingung. Pikiranku, mulai tidak fokus. sehingga tidak langsung menangkap apa yang di maksud oleh lelaki itu. "Kamu ingin bercerai, kan?" tanya datar. "i-iya!" jawabku. "Team pengacara sedang mengurusnya!" Orang yang paling di segani di rumah ini duduk di sofa yang memang ada di kamar ini. Aku mengerutkan dahi dan menatapnya tajam, kesal dengan setiap keputusannya yang dia ambil secara sepihak tanpa bertanya padaku. "Hei, Tuan! Ini hidupku, kamu tidak bisa seenaknya!" Rasa kesal kutumpahkan begitu saja. Renald memandangku sekilas, lalu kembali ke buku yang dia baca sejak tadi. Terlihat cool dan keren sih, tapi membuat
"Wanita murahan!" maki Santi.Wanita di depanku seperti seseorang yang tertindas olehku, padahal dialah yang menindas dan mengambil kebahagianku. Bahkan, baru beberapa hari, Mas Yunus bersamanya sudah sangat berubah. Aku sudah tidak mengenalinya lagi, meskipun sedang berhadapan dengannya,"Aku tidak ingin berdebat!" ujarku. "Sepertinya, kamu tidak butuh istri murahan sepertiku. Ada baiknya kamu ceraikan aku, Mas! Tapi jangan berani-beraninya mengambil anakku!""Dia akan menceraikanmu! Wanita tidak berguna dan murahan!" hina Santi."Aku akan sujud syukur! Aku tunggu surat cerainya!' tantangku."Tidak ... Tidak akan ada perceraian antara kita! Dek, tolong kembali ke rumah!" pinta Mas Yunus.Entah mengapa dia melunak seperti itu, mungkin merasa iba denganku. Atau ingin menyiksaku dengan cara berpoligami."Terimakasih, Mas! Tapi, apa kamu mau meninggalkan wanita itu?" tanyaku mengejek.Mas Yunus menhela napas berat dan menata
"Apa maksudmu mencegah Emil, menemuiku?" tanyaku penuh emosi.Wanita itu menukir senyum smirk di wajahnya, membuat emosiku memuncak."Dia anakku! Bukan anakmu!" tegasnya.Bibirku gemetar, ketika dia mengatakan hal itu. Apakah karena dia menikahi Mas Yunus, maka dia berhak atas semuanya termasuk Emil."Kamu pikir, aku melamar Mas Yunus hanya sekedar nafsu saja! Lebih dari itu!" tambahnya membuat mataku membelalak.Apalagi maksud wanita ular ini. Apa yang tidak kuketahui, sehingga dia berani mengatakan hal itu."Sekali pelakor, tetap pelakor! Akan menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Ambil, Mas Yunus yang tidak bisa menepati janjinya, tapi ...!" ucapku terhenti."Aku bukan pelakor!" pekiknya.Santi, melepaskan pegangan tangannya pada Emil. Membuatku leluasa menggapainya, tentu saja Santi mengamuk dan ingin mengambil alih Emil dariku."Jangan berani-beraninya mengambil anakku! Dan jangan pernah m
Suara tawa terdengar dari arah belakang, tentu mengalihkan perhatianku. "Eh, Tuan sombong!" makiku, tanpa melihat siapa yang datang. Mataku melotot sempurna ketika melihat lelaki yang baru saja masuk, dan menertawaiku. Dia berjalan dan mendekati, tanpa ragu mengambil gunting yang ada di tanganku. "Kamu!" sapaku. "Kenapa?" tanyanya. "Apa kamu mengharapkan Renald yang datang?" tambahnya membuatku kesal. "Maaf, ya tuan, atau siapalah! Saya itu mau pergi dari sini dan pulang ke rumah!" ujarku pongah. "Kalau mau pergi, ya pergi aja! Kenapa harus nodong orang!" balasnya. Rasa kesal tentu saja terpancar di wajahku, bukan hanya karena rasa sakit ini, tapi karena keangkuhan penghuni rumah yang baru kukenal. Dengan menggerutu, aku menghentakkan kaki dan berlalu pergi. Meski tidak tahu jalan, aku yakin akan menemukan jalan keluarnya. 'Dasar orang-orang aneh! Harusnya, kan kalau sudah menolong orang dan diobati, dipersilahk
Cukup lama aku tertidur namun, rasa sakit ini teramat sangat mengganggu. Ketika, mencoba menggeliat. tubuhku terasa sakit. Terutama daerah pundak, rasanya sungguh luar biasa."Non, sudah bangun?" Suara Bu Siti, tertangkap oleh pendengaranku.Aku mencoba membuka mata yang masih terasa berat untuk terbuka. Dengan sedikit memaksa, akhirnya aku bisa melihat Bu Siti. Terpancar kekhawatiran dari wajahnya yang telah menua, ada rasa bahagia karena dia begitu mengkhawatirkanku. Tapi, aku cukup kesal mengingat perlakuan lelaki aneh seperti Renald."Bu, saya mau pulang!" pintaku.Bu Siti memelukku tiba-tiba, dan tanpa kusadari air mata ini menetes. Betapa hangat pelukan seorang ibu yang sudah tidak pernah aku rasakan sejak menginjak masa remaja.."Bu, anak saya pastii merindukan pelukan seperti ini!" bisikku. "Saya tidak ingin Emil merindu terlalu lama dan saya takut dia akan melupakan saya seperti suami!" sambungku.Bu Siti merenggangkan pelukannya, d
"Tuan!" Wanita tua itu memanggil Renald yang membelakangiku, dan dia bergegas membantuku untuk duduk.Renald masih tidak berbalik, dia malah menyilangkan tangannya di belakang pinggangnya dan berjalan menuju pintu dengan langkah gontai. Aku hanya bisa meringis, kenapa bisa di perlakuan seperti ini. Kami tidak saling kenal."Tuan, Nona Gita!" ujar Bu Siti.Lelaki itu masih diam, dan mencoba membuang napas kasar. Aku masih dapat mendengarnya. Aku tidak tahu, dia kesal denganku karena apa.Bu Siti menyeka darahku dengan sapu tangan miliknya dan berjalan menuju Renald yang akan keluar, terlihat Renald tidak peduli dan sudah hampir sampai diambang pintu.Lelaki itu langsung berlari ke arahku dan terlihat panik ketika melihat sapu tangan milik Bu Siti. Dia ingin menyentuhku namun, diurungkan."Panggil, Bik Sumi!" perintah Renald.Bu Siti kembali mendekat dan mencoba menahan lukaku. Sedangkan Renald