"Dek!" Mas Yunus terperanjat ketika melihatku.
Kemudian dia mendekati, memegang tanganku, yang seketika terasa kaku.
"Dek, darahnya naik. Ayo, kamu masuk!" Mas Yunus memaksaku masuk dengan mengambil alih botol infus yang kugenggam.
Mengajakku kembali ke ranjangku, lalu membenarkan posisi botol infus. Dengan tergesa-gesa, dia keluar dan memanggil suster.
Ketika, Mas Yunus pergi, wanita itu masuk tanpa permisi. Kemudian, duduk di depanku dengan menyunggingkan senyum yang manis.
"Bagaimana keadaan Mbak Gita?" tanyanya dengan lembut.
"Untuk apa kamu ke sini?" tanyaku dengan nada tidak suka.
Mas Yunus masuk dengan membawa seorang suster, kemudian suster tersebut langsung memeriksa keadaanku. Setelah selesai memeriksa dan memarahiku, suster itu pun pergi. Mas Yunus duduk di sampingku, menggengam erat tanganku.
"Dek, mas enggak mau kamu kenapa-kenapa!" ujarnya lirih.
Aku melihat kesungguhan di mata dan suara Mas Yunus namun, tidak juga mmbuatku terpana.
"Maka ijinkan saya untuk masuk kekeluarga kalian, saya akan menjadi pelengkap bagi kalian!" sela wanita yang kehadirannya tidak kuharapkan.
Aku melepas gengaman tangan suamiku, duduk menghadap ke wanita yang benar-benar sudah kelewatan dalam mengusik kehidupan rumah tangga kami.
"Kamu lihat, Mas! Dia sangat gigih ingin menikah denganmu! Dia tidak akan seperti ini jika kamu tidak memberikan hatimu!" cecarku dengan suara tinggi.
Mas Yunus memegang bahuku dengan erat, dan meyakinkan diriku jika aku dan anak-anak adalah prioritasnya saat ini, besok dan sampai kapanpun.
"Mbak, saya tahu, Pak Yunus menyembunyikan perasaannya untuk saya. Dia hanya tidak ingin mbak sakit hati, tapi saya ingin mbak tahu. Agar kelak tidak ada rasa cemburu yang berlebihan," terang wanita itu santai.
Mulutku menganga dan mataku melotot sempurna, tidak percaya dengan apa yang sudah kudengar.
"Eh, Bu! Apakah tidak ada lelaki lain, sehingga kamu memaksa menikah dengan suamiku?" tanyaku dengan emosi.
"Di dunia ini banyak sekali laki-laki, dari yang miskin sampai yang tajir. Tapi, tidak ada yang seperti Pak Yunus. Dia satu-satunya lelaki yang mampu mencuri hatiku, lembut perkataannya, lembut perlakuannya, dan lembut dalam menghargaiku! Hal itu, cukup membuatku ingin jadi istrinya. Mbak Gita juga tahu, tentang agama. Tidak ada salahnya seorang suami menikah lagi dan semua itu tidak butuh persetujuan dari istri pertama. Saya punya itikad baik dengan meminta ijin pada Mbak Gita!" ujarnya santai.
Tidak habis pikir dengan otak yang ada di kepalanya, bagaimana bisa dia menyimpulkan demikian.
"Apa yang sudah diberikan Mas Yunus sampai-sampai kamu tidak punya otak!" makiku.
Wanita itu menyapu bibirnya membuatku terpana, tidak ingin mempercayai apa yang ada dipikiranku.
"Apa!" bentakku.
"Sentuhan bibirnya masih terasa manis!" ucapnya santai.
"Brengsek kamu, Mas! pergi ... pergi!" Aku mengusir mereka berdua.
Mas Yunus tetap di sisiku, memelukku dan mencoba menenangkanku.
"Bu, pergilah! Semua yang terjadi hanya kesalahan yang tidak disengaja! Aku hanya ingin keluargaku baik-baiknya saja, tolong, Bu!" pinta, Mas Yunus dengan sangat.
"Pak, saya tulus ingin menikah dengan Pak Yunus dan kemarin-kemarin itu bukan kesalahan. Tidak ada lelaki yang mampu membuka hati saya setelah kematian suami, kecuali Pak Yunus. Saya mohon terima lamaran saya, ya, Pak." Wanita itu memohon dengan merendahkan suaranya.
Kemudian dia menggamit tangan Mas Yunus, di depanku tanpa ada rasa canggung atau pun malu. Diajaknya berbicara di depan kamar dan Mas Yunus pun mengikutinya. Kulepas infus yang baru di pasang ulang oleh suster, lalu melempar ke arah mereka berdua.
"Brengsek kamu, Mas! Brengsek!" makiku dan aku merasa tidak puas.
Lalu, aku mendekati mereka berdua, kutatap mata Mas Yunus yang mulai sayu. Ada rasa luka ketika mengingat ucapan wanita ini yang mengatakan bibir Mas Yunus terasa manis.
"Bibirmu memang manis, Mas!" sindirku.
Plak!
Satu tamparan kudaratkan di pipi suamiku, rasanya aku ingin lari sekuat tenaga. Hatiku hancur, tidak pernah terbayangkan jika Mas Yunus akan menghianati kami. Lima tahun bukan waktu yang sesaat untuk kami bersama dalam suka duka, tapi dihancurkan hanya sekejap mata saja.
"Dan kamu! Wanita perusak rumah tangga orang, pelakor! Aku enggak akan membiarkan kalian hidup dengan tenang!
"Mbak jangan marah seperti ini, pikirkan dengan kepala dingin. Saya bisa memberikan apapun kebutuhan kalian, dan saya hanya meminta Pak Yunus menikahi saya!
"Dasar, wanita gila dan tidak punya otak!" Kudaratkan satu tamparan juga ke aranya, dan terlihat dia sangat terkejut dengan perbuatanku.
Namun, Mas Yunus terlihat membelanya, "Dek, jangan seperti ini!"
"Kamu sakit, Mas? Sakit!" tanyaku ulang, "Rasanya lebih dari itu, Mas!" pekikku, dengan menunjuk ke arah dadaku.
Tubuhku didorong oleh wanita itu dengan sangat kuat, hingga aku jatuh tersungkur dan Mas Yunus mencoba menolongku namun, aku menepis tangannya.
"Maaf, Mbak! Tahan emosimu, saya melamar Pak Yunus dengan baik-baik dan dia pun sebenarnya mencintai saya, hanya butuh restu dari mbak saja. Tidak ada salahnya kita menjadi satu keluarga!" ujarnya pongah.
"Bu, saya tidak pernah menjanjikan pernikahan! Jangan seperti ini! Meskipun saya mencintai ibu, saya tidak akan memilih ibu," Mas yunus akhirnya mengakui perasaannya.
"Kita cerai, Mas!" teriakku di depan wajah Mas Yunus, lalu aku berlari darinya, karena orang yang menonton semakin banyak dan beberapa satpam mulai mendekat.
"Dek, tunggu! Dek," panggil Mas Yunus.
Suaranya terhenti, ketika seorang satpam menahannya, aku tahu akan hal itu karena biaya rumah sakit ini belum dibayar olehnya.
Aku bingung harus ke mana, karena aku juga tidak memegang uang. Tidak peduli dengan keadaan kakiku, aku terus berlari dan berlari, meninggalkan area rumah sakit dengan cepat meski terseok-seok menahan nyeri akibat terjatuh beberapa kali.
Gelapnya malam, membuatku leluasa untuk menjauh dari Mas Yunus. Rasa haus kini menyerang tenggorokanku, membuatku berlari ke arah seberang jalan tanpa melihat ke kiri dan ke kanan.
Brak!
Tubuhku seperti melayang, lagi-lagi semua terasa dingin dan gelap. Terdengar orang riuh saling bersahutan, dan aku tidak dapat mendengar mereka lagi. Hening dan gelap gulita.
'Kali ini, aku pasti mati!' batinku.
Mataku terbuka dan terlihat cahaya terang di ujung sana, tempat yang begitu damai dan tenang. Pohon rindang dan suara hewan kecil saling bersautan. Sungguh tempat yang sangat diimpikan oleh siapa saja.
"Mbak ... Mbak!" Suara seseorang menggema di telingaku. Suaranya lembut dan ada aroma mint, yang keluar bebarengan dengan suara panggilan itu.
'Di surga pasti ada pelayannya, mungkin itu suara pelayannya!' ujarku dalam hati.
Sejenak semua kembali gelap gulita dan berganti suasana di dalam ruangan yang sangat megah.
"Ya Tuhan, jangan biarkan surga ini hilang! Biarkan aku tinggal di surgamu!" ucapku dengan menengadahkan tangan.
"Aaakh!"
Aku terpekik, ketika melihat ada lelaki tampan di hadapanku. Menatapku dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. "Apakah ini surga?" tanyaku dengan menelusuri setiap inci wajah leleki di depanku. Lelaki itu menggelengkan kepalanya, lalu tersenyum manis sekali. "Jika ini bukan surga, lalu apa? Begitu sempurnanya ciptamu, ya Allah!" ujarku memuji. Lelaki itu terpana sejenak atas apa yang aku ucapkan, mungkin dia berpikir jika aku sudah gila. Mau bagaimana lagi, tampannya itu loh, MasyaaAllah. "Maaf, Tuan." Suara seorang wanita yang terdengar serak di telingaku, lalu dai mendekat dan berbisik. Kemudian, dia menjauh sejenak dan berdiri mematung. Aku hanya diam memperhatikan mereka dan mataku terus mengagumi desain ruangan ini. Aku sadar, jika ini bukanlah negeri impianku. Akan tetapi, dunia yang belum pernah aku temui selama hidupku. "Ma--maaf!" ujarku lirih, ketika lelaki itu fokus menatapku. Aku berusaha
"Wooow!" kata pertama yang kuucapkan, ketika melihat ruangan yang tidak pernah kubayangkan, "sepertinya, mereka bukan manusia!" imbuh ku, bergumam. Berkali-kali, mata kukedip-kedipkan. Lalu, menggelengkan kepala. Masih tidak yakin dengan diri ini. Kuturuni anak tangga, dengan tangan bertumpu pada dinding bercat metalik. Berhenti sejenak, memandang lukisan berukuran besar yang menempel cantik di dinding yang agak rendah. "Non, kenapa keluar kamar?" tanya seseorang yang membuatku terkejut, "oya, perkenalkan, saya Siti Lestari. Kepala asisten di rumah ini. "Iya, Bu, " jawabku asal. "Panggil saja, Siti!" ujarnya merendah. Aku mendekati wanita paruh baya itu, yang rambutnya tertata rapih dan mengambil tangannya yang dia tumpuk di depan pinggang. "Ibu lebih tua dari saya, masa harus saya panggil nama!" ujarku lirih. Kulihat matanya berbinar namun, dia mencoba menepisnnya dengan
Lelaki berpakaian dokter itu pergi meninggalkan kamar ini, dan membiarkanku untuk istirahat. Katanya, aku hanya perlu istirahat beberapa hari saja. Nantinya, dia akan mengirimkan suster untuk menjagaku. Meski di tolak, lelaki itu tidak peduli."Di istana ini, apa semua orangnya aneh?" ocehku, tanpa ingin di jawab oleh siapapun."Non, ini rumah Tuan Renald. Dia pengusaha sukses termuda di Asia dan juga orang terkaya kedua untuk orang seusianya," terang wanita tua di sampingku. Padahal, aku tidak berharap mengetahui hal yang tidak perlu aku ketahui."Bu, aku hanya ingin pulang, itu saja!" keluhku, "katanya enggak miskin, tapi untuk apa dia menahanku?" lanjutku.Wanita itu ijin keluar sebentar dan memperingatiku, untuk tidak mencoba kabur karena semua akan sia-sia.Mengusir kebosanan, aku berdiri di depan jendela berukuran besar dan daun jendelanya sudah terbuka. Melihat ke bawah, ada Teman-teman yang tertata sangat canti
"Tuan!" Wanita tua itu memanggil Renald yang membelakangiku, dan dia bergegas membantuku untuk duduk.Renald masih tidak berbalik, dia malah menyilangkan tangannya di belakang pinggangnya dan berjalan menuju pintu dengan langkah gontai. Aku hanya bisa meringis, kenapa bisa di perlakuan seperti ini. Kami tidak saling kenal."Tuan, Nona Gita!" ujar Bu Siti.Lelaki itu masih diam, dan mencoba membuang napas kasar. Aku masih dapat mendengarnya. Aku tidak tahu, dia kesal denganku karena apa.Bu Siti menyeka darahku dengan sapu tangan miliknya dan berjalan menuju Renald yang akan keluar, terlihat Renald tidak peduli dan sudah hampir sampai diambang pintu.Lelaki itu langsung berlari ke arahku dan terlihat panik ketika melihat sapu tangan milik Bu Siti. Dia ingin menyentuhku namun, diurungkan."Panggil, Bik Sumi!" perintah Renald.Bu Siti kembali mendekat dan mencoba menahan lukaku. Sedangkan Renald
Cukup lama aku tertidur namun, rasa sakit ini teramat sangat mengganggu. Ketika, mencoba menggeliat. tubuhku terasa sakit. Terutama daerah pundak, rasanya sungguh luar biasa."Non, sudah bangun?" Suara Bu Siti, tertangkap oleh pendengaranku.Aku mencoba membuka mata yang masih terasa berat untuk terbuka. Dengan sedikit memaksa, akhirnya aku bisa melihat Bu Siti. Terpancar kekhawatiran dari wajahnya yang telah menua, ada rasa bahagia karena dia begitu mengkhawatirkanku. Tapi, aku cukup kesal mengingat perlakuan lelaki aneh seperti Renald."Bu, saya mau pulang!" pintaku.Bu Siti memelukku tiba-tiba, dan tanpa kusadari air mata ini menetes. Betapa hangat pelukan seorang ibu yang sudah tidak pernah aku rasakan sejak menginjak masa remaja.."Bu, anak saya pastii merindukan pelukan seperti ini!" bisikku. "Saya tidak ingin Emil merindu terlalu lama dan saya takut dia akan melupakan saya seperti suami!" sambungku.Bu Siti merenggangkan pelukannya, d
Suara tawa terdengar dari arah belakang, tentu mengalihkan perhatianku. "Eh, Tuan sombong!" makiku, tanpa melihat siapa yang datang. Mataku melotot sempurna ketika melihat lelaki yang baru saja masuk, dan menertawaiku. Dia berjalan dan mendekati, tanpa ragu mengambil gunting yang ada di tanganku. "Kamu!" sapaku. "Kenapa?" tanyanya. "Apa kamu mengharapkan Renald yang datang?" tambahnya membuatku kesal. "Maaf, ya tuan, atau siapalah! Saya itu mau pergi dari sini dan pulang ke rumah!" ujarku pongah. "Kalau mau pergi, ya pergi aja! Kenapa harus nodong orang!" balasnya. Rasa kesal tentu saja terpancar di wajahku, bukan hanya karena rasa sakit ini, tapi karena keangkuhan penghuni rumah yang baru kukenal. Dengan menggerutu, aku menghentakkan kaki dan berlalu pergi. Meski tidak tahu jalan, aku yakin akan menemukan jalan keluarnya. 'Dasar orang-orang aneh! Harusnya, kan kalau sudah menolong orang dan diobati, dipersilahk
"Apa maksudmu mencegah Emil, menemuiku?" tanyaku penuh emosi.Wanita itu menukir senyum smirk di wajahnya, membuat emosiku memuncak."Dia anakku! Bukan anakmu!" tegasnya.Bibirku gemetar, ketika dia mengatakan hal itu. Apakah karena dia menikahi Mas Yunus, maka dia berhak atas semuanya termasuk Emil."Kamu pikir, aku melamar Mas Yunus hanya sekedar nafsu saja! Lebih dari itu!" tambahnya membuat mataku membelalak.Apalagi maksud wanita ular ini. Apa yang tidak kuketahui, sehingga dia berani mengatakan hal itu."Sekali pelakor, tetap pelakor! Akan menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Ambil, Mas Yunus yang tidak bisa menepati janjinya, tapi ...!" ucapku terhenti."Aku bukan pelakor!" pekiknya.Santi, melepaskan pegangan tangannya pada Emil. Membuatku leluasa menggapainya, tentu saja Santi mengamuk dan ingin mengambil alih Emil dariku."Jangan berani-beraninya mengambil anakku! Dan jangan pernah m
"Wanita murahan!" maki Santi.Wanita di depanku seperti seseorang yang tertindas olehku, padahal dialah yang menindas dan mengambil kebahagianku. Bahkan, baru beberapa hari, Mas Yunus bersamanya sudah sangat berubah. Aku sudah tidak mengenalinya lagi, meskipun sedang berhadapan dengannya,"Aku tidak ingin berdebat!" ujarku. "Sepertinya, kamu tidak butuh istri murahan sepertiku. Ada baiknya kamu ceraikan aku, Mas! Tapi jangan berani-beraninya mengambil anakku!""Dia akan menceraikanmu! Wanita tidak berguna dan murahan!" hina Santi."Aku akan sujud syukur! Aku tunggu surat cerainya!' tantangku."Tidak ... Tidak akan ada perceraian antara kita! Dek, tolong kembali ke rumah!" pinta Mas Yunus.Entah mengapa dia melunak seperti itu, mungkin merasa iba denganku. Atau ingin menyiksaku dengan cara berpoligami."Terimakasih, Mas! Tapi, apa kamu mau meninggalkan wanita itu?" tanyaku mengejek.Mas Yunus menhela napas berat dan menata
"Kamu mau ke mana?" tanyanya, suaranya melunak. "Apakah kamu kekurangan di sini?" sambkiungnya Sungguh aneh lelaki di depanku ini. Wajah tampan, kaya raya dan memiliki segalanya, Mengapa menahanku untuk tetap tinggal. "Di sini bagaikan surga dunia yang tidak pernah kubayangkan, tapi di sini tidak ada satupun yang memiliki hubungan denganku. Maka aku tidak pantas di sini, lagi pula, aku hanya makan, tidur dan ibadah saja! Aku pun memiliki suami yang harus aku urus!" ucapku miris. Renald berdiri dan menatapku pedih, "Suami? Suami yang tidak membelamu?" tanyanyaa. "Bagaimanapun, aku tetap istri sahnya. Dia belum menjatuhkan talaknya untukku!" sanggahku. Renald mengambil ponsel yang ada di saku celananya dan menghubungi seseorang. [Ke sini, bawa berkas dari lelaki brengsek itu!] Hanya kalimat itu yang dia lontarkan, lalu mengakhiri panggilan telepon. Dia duduk di sampingku. "Maaf atas perlakuanku tadi, sehingga membuatmu me
Aku berhasil mendorong tubuh Renald menjauh dariku berkat suara wanita yang baru saja datang. Wanita itu mendekat dan melayangkan satu tamparan di pipiku. Terasa panas dan membekas, aku tahu ini pantas untukku meskipun aku tidak tahu siapa wanita cantik berpakaian kurang bahan ini."Berani-beraninya kamu, mencium tunanganku jalang!" ucapnya, membuatku terpana.Aku seperti dejavu, mengingat perlakuanku pada Santi. Akan tetapi, dia memang jalang yang merebut suamiku. Tapi, aku? Apakah aku juga jalang?Ingin rasanya tenggelam dalam dunia yang fana ini, tapi itu tidak mungkin. Maka aku menyingkir dari sepasang kekasih ini, berharap tidak akan menjadi masalah besar. Sayang, hati dan kakiku tidak bisa singkron. Aku tidak bergeming sedikitpun dari tempatku. Terlihat rona merah padam di wajah wanita bermata coklat itu.Tangan wanita itu terangkat lagi, dan mengarah ke wajahku. Tapi, Renald menahannya dan menepisnya dengan kasar."Aku sudah membatalkan pert
Bu Siti berdehem, dia seperti telah melakukan kesalahan. Kemudian berlalu dari hadapanku. Matanya tidak menatapku ketika akan pergi, tapi fokus ke arah belakangku. Aku menebak, jika lelaki itu ada di belakangku."Ada apa?" tanyaku seteleh memutar tubuh ke belakang."Mau ke mana?" tanyanya lirih."Ya, pergilah! Biar hidupku tidak kamu atur!" tukasku.Renald melotot kepadaku, tapi tidak kupedulikan.. Melangkah pergi menjauh darinya dan dari kehidupannya yang membosankan, menurutku."Berhenti!" bentaknya.Dadaku seperti diremas, ketika dia mengeluarkan suara yang begitu keras. Kemudian, suaranya menggelegar memanggil Bu Siti. Wanita paruh baya itu bergegas mendekat dan menunduk, benar-benar membuatku muak."Bawa Emil ke taman, tutup semua pintu dan jangan biarkan orang lain masuk!" perintahnya dengan suara tinggi.Bu Siti membawa Emil dengan hati-hati dan meminta pelayan lain untuk menutup semua pintu dan pastinya mereka keluar da
Seminggu berlalu, aku kini berada di rumah megah yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Menunggu Emil membaik. Aku hanya bisa termenung setiap harinya, memikirkan cara bagaimana setelah ini. "Saya sudah membantu kamu mendaftarkan perceraian kalian!" Suara itu mengejutkanku. "Maksudnya?" tanyaku bingung. Pikiranku, mulai tidak fokus. sehingga tidak langsung menangkap apa yang di maksud oleh lelaki itu. "Kamu ingin bercerai, kan?" tanya datar. "i-iya!" jawabku. "Team pengacara sedang mengurusnya!" Orang yang paling di segani di rumah ini duduk di sofa yang memang ada di kamar ini. Aku mengerutkan dahi dan menatapnya tajam, kesal dengan setiap keputusannya yang dia ambil secara sepihak tanpa bertanya padaku. "Hei, Tuan! Ini hidupku, kamu tidak bisa seenaknya!" Rasa kesal kutumpahkan begitu saja. Renald memandangku sekilas, lalu kembali ke buku yang dia baca sejak tadi. Terlihat cool dan keren sih, tapi membuat
"Wanita murahan!" maki Santi.Wanita di depanku seperti seseorang yang tertindas olehku, padahal dialah yang menindas dan mengambil kebahagianku. Bahkan, baru beberapa hari, Mas Yunus bersamanya sudah sangat berubah. Aku sudah tidak mengenalinya lagi, meskipun sedang berhadapan dengannya,"Aku tidak ingin berdebat!" ujarku. "Sepertinya, kamu tidak butuh istri murahan sepertiku. Ada baiknya kamu ceraikan aku, Mas! Tapi jangan berani-beraninya mengambil anakku!""Dia akan menceraikanmu! Wanita tidak berguna dan murahan!" hina Santi."Aku akan sujud syukur! Aku tunggu surat cerainya!' tantangku."Tidak ... Tidak akan ada perceraian antara kita! Dek, tolong kembali ke rumah!" pinta Mas Yunus.Entah mengapa dia melunak seperti itu, mungkin merasa iba denganku. Atau ingin menyiksaku dengan cara berpoligami."Terimakasih, Mas! Tapi, apa kamu mau meninggalkan wanita itu?" tanyaku mengejek.Mas Yunus menhela napas berat dan menata
"Apa maksudmu mencegah Emil, menemuiku?" tanyaku penuh emosi.Wanita itu menukir senyum smirk di wajahnya, membuat emosiku memuncak."Dia anakku! Bukan anakmu!" tegasnya.Bibirku gemetar, ketika dia mengatakan hal itu. Apakah karena dia menikahi Mas Yunus, maka dia berhak atas semuanya termasuk Emil."Kamu pikir, aku melamar Mas Yunus hanya sekedar nafsu saja! Lebih dari itu!" tambahnya membuat mataku membelalak.Apalagi maksud wanita ular ini. Apa yang tidak kuketahui, sehingga dia berani mengatakan hal itu."Sekali pelakor, tetap pelakor! Akan menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Ambil, Mas Yunus yang tidak bisa menepati janjinya, tapi ...!" ucapku terhenti."Aku bukan pelakor!" pekiknya.Santi, melepaskan pegangan tangannya pada Emil. Membuatku leluasa menggapainya, tentu saja Santi mengamuk dan ingin mengambil alih Emil dariku."Jangan berani-beraninya mengambil anakku! Dan jangan pernah m
Suara tawa terdengar dari arah belakang, tentu mengalihkan perhatianku. "Eh, Tuan sombong!" makiku, tanpa melihat siapa yang datang. Mataku melotot sempurna ketika melihat lelaki yang baru saja masuk, dan menertawaiku. Dia berjalan dan mendekati, tanpa ragu mengambil gunting yang ada di tanganku. "Kamu!" sapaku. "Kenapa?" tanyanya. "Apa kamu mengharapkan Renald yang datang?" tambahnya membuatku kesal. "Maaf, ya tuan, atau siapalah! Saya itu mau pergi dari sini dan pulang ke rumah!" ujarku pongah. "Kalau mau pergi, ya pergi aja! Kenapa harus nodong orang!" balasnya. Rasa kesal tentu saja terpancar di wajahku, bukan hanya karena rasa sakit ini, tapi karena keangkuhan penghuni rumah yang baru kukenal. Dengan menggerutu, aku menghentakkan kaki dan berlalu pergi. Meski tidak tahu jalan, aku yakin akan menemukan jalan keluarnya. 'Dasar orang-orang aneh! Harusnya, kan kalau sudah menolong orang dan diobati, dipersilahk
Cukup lama aku tertidur namun, rasa sakit ini teramat sangat mengganggu. Ketika, mencoba menggeliat. tubuhku terasa sakit. Terutama daerah pundak, rasanya sungguh luar biasa."Non, sudah bangun?" Suara Bu Siti, tertangkap oleh pendengaranku.Aku mencoba membuka mata yang masih terasa berat untuk terbuka. Dengan sedikit memaksa, akhirnya aku bisa melihat Bu Siti. Terpancar kekhawatiran dari wajahnya yang telah menua, ada rasa bahagia karena dia begitu mengkhawatirkanku. Tapi, aku cukup kesal mengingat perlakuan lelaki aneh seperti Renald."Bu, saya mau pulang!" pintaku.Bu Siti memelukku tiba-tiba, dan tanpa kusadari air mata ini menetes. Betapa hangat pelukan seorang ibu yang sudah tidak pernah aku rasakan sejak menginjak masa remaja.."Bu, anak saya pastii merindukan pelukan seperti ini!" bisikku. "Saya tidak ingin Emil merindu terlalu lama dan saya takut dia akan melupakan saya seperti suami!" sambungku.Bu Siti merenggangkan pelukannya, d
"Tuan!" Wanita tua itu memanggil Renald yang membelakangiku, dan dia bergegas membantuku untuk duduk.Renald masih tidak berbalik, dia malah menyilangkan tangannya di belakang pinggangnya dan berjalan menuju pintu dengan langkah gontai. Aku hanya bisa meringis, kenapa bisa di perlakuan seperti ini. Kami tidak saling kenal."Tuan, Nona Gita!" ujar Bu Siti.Lelaki itu masih diam, dan mencoba membuang napas kasar. Aku masih dapat mendengarnya. Aku tidak tahu, dia kesal denganku karena apa.Bu Siti menyeka darahku dengan sapu tangan miliknya dan berjalan menuju Renald yang akan keluar, terlihat Renald tidak peduli dan sudah hampir sampai diambang pintu.Lelaki itu langsung berlari ke arahku dan terlihat panik ketika melihat sapu tangan milik Bu Siti. Dia ingin menyentuhku namun, diurungkan."Panggil, Bik Sumi!" perintah Renald.Bu Siti kembali mendekat dan mencoba menahan lukaku. Sedangkan Renald