Tok! Tok!"Papa! Apa kamu di dalam?" suara cadel diiringi beberapa kali ketukan pintu membuat Sean dan Aksa saling menarik diri. Mengusap kasar bulir bening yang membasahi wajah mereka.Sontak Sean dengan cepat membuka pintu. "Naura, ada apa mencari Papa?" tanyanya dengan tersenyum kecil. Kini pria itu mensejajarkan diri dengan sang putri."Sean." Panggilan Aksa seketika membuat pria tampan dalam balutan kaos hitam itu menoleh."Kamu belum menjelaskan alasan Naura memanggilmu Papa," imbuhnya dengan tatapan tajam.Sean seketika tertegun. Apa yang ia takutkan akhirnya terjadi. Ia benar-benar bingung untuk saat ini. Haruskah dirinya menjelaskan situasi yang sebenarnya terjadi?"Apa maksudmu, Om jahat? Dia memang Papaku!" ketus Naura dengan pipi menggembung. Matanya membulat menatap sang ayah kandung."Naura, tidak boleh sembarangan memanggil orang. Siapa yang mengajarkanmu bersikap tidak sopan begitu?" ucap Sean dengan lembut.Aksa kembali terperangah. Ia tak pernah tahu akan sisi lembut
'Apakah suatu saat Naura akan menerimaku jika aku bersikap lembut seperti itu?' Batin Aksa bertanya-tanya."Om jahat, beri Naura waktu untuk berpikir dulu. Naura tidak ingin memanggilmu Ayah sebelum Naura selesai memikirkannya," ucapnya datar dengan suara cadel. Manik beningnya menatap lurus ke arah wajah pria dewasa yang tengah tersenyum tipis.Dari mana anak sekecil itu belajar bahasa dewasa yang sulit dimengerti?"Om, cobalah untuk bersikap lembut. Mungkin dengan begitu, Naura bisa secepatnya menerima kenyataan, bahwa Om Aksa adalah Ayah kandungnya," timpal Sean yang tiba-tiba bangkit. Dengan tangan yang menggendong Naura di pelukannya."Iya, aku akan mencoba," jawab Aksa singkat dengan wajah tertunduk.Sean lantas beranjak pergi. Meninggalkan Aksa tanpa menimpali ucapannya.Kini pria tampan yang terlihat semakin kurus itu menatap nanar pada seorang gadis kecil yang masih menatapnya sinis. Namun di luar dugaan. Naura justru menjulurkan lidahnya dengan wajah mengejek.Sontak hal itu
"Bu, aku pulang sebentar karena harus mengurusi Papa yang sedang sakit stroke. Seluruh pekerja dipulangkan, jadi tidak ada yang mengurus Papa selain aku," jelas Mayang lirih dengan sedikit keraguan pada hati.Kini wanita itu merasakan ketakutan yang sama seperti Adira sebelumnya. Wajah cantik wanita itu seketika tertunduk. Kedua tangannya memainkan ujung jari untuk meredam rasa takutnya."Lalu? Aku harus peduli dengan Papamu itu?!" ketus Betari dengan tatapan sinis.Tak berselang lama. Sesosok pria tampan yang baru datang dari arah luar mengejutkan keduanya. "Ada apa? Kenapa kalian berkumpul di sini?" tanya Keenan dengan tatapan penuh kebingungan.Dengan kekesalan dan rasa takut yang bercampur aduk menjadi satu, Mayang dengan penuh percaya diri mengadukan perbuatan mertuanya pada sang suami, yang baru pulang setelah mencari pekerjaan di luar rumah.Wajah wanita itu dipaksa memelas. Berlari menghampiri Keenan dan memeluk lengannya. "Mas, lihat Ibumu! Aku baru pulang dari rumah untuk me
"A-aku ... anak durhaka?" lirih Mayang dengan bulir bening yang kembali berjatuhan.Suara isak tangis mati-matian ia tahan agar tidak keluar dari bibirnya yang tengah mengatup rapat.Kini wanita paruh baya yang merupakan kakak angkat, yang dipungut keluarga Bagaskara saat belum memiliki keturunan, begitu terpukul atas kepergian adik semata wayangnya.Wanita itu mengguncang kuat tubuh Mayang yang seketika membeku di tempatnya semula. "Pernikahanmu adalah pembawa petaka, Mayang! Pembawa petaka!" teriaknya lantang dengan memukuli tubuh Mayang.Selang beberapa detik kemudian, beberapa tetangga nampak berhamburan keluar dari dalam rumah duka, ketika mendengar keributan yang terjadi di luar rumah.Mereka pun sontak menarik paksa tubuh bibi Mayang yang masih berusaha menyerang.Sementara Mayang masih terpaku dengan tatapan kosong. Namun air mata itu tak berhenti mengalir deras. Mengalir melalui pelupuk matanya yang semakin membengkak.'Maaf, Pa. Maaf!' Permintaan maaf yang terlambat, tak hen
"Sean, pernah melamarmu?" tanya Aksa memastikan dengan intonasi penuh penekanan.Adira seketika terperanjat. 'Apakah Sean tidak pernah mengatakannya pada Aksa? Apa aku baru saja mengatakan hal yang salah?'Kini wajah cantik wanita itu seketika tertunduk penuh penyesalan. Ada perasaan takut yang seketika menyelimuti hati.Namun Aksa mencoba meredam amarahnya dengan menarik paksa tubuh Adira dan mulai merengkuhnya. Ia tak ingin kembali kehilangan kendali dan berakibat pada hubungannya dengan Adira."Aksa, lepaskan! Apa maumu?!" Adira berontak sekuat tenaga. Namun tak kunjung mendapatkan hasil, sebab tenaganya tak cukup kuat dibanding pria dewasa yang tengah mendekapnya erat."Kita tidak akan bercerai! Lupakan kontrak itu!" tegasnya dengan lantang.Hal itu seketika membuat tubuh Adira terasa lemas. Apa maksud dari kalimat yang terdengar begitu ambigu itu?"Apa itu artinya aku akan menjadi wanita nomor dua setelah Helen?" tanya Adira memastikan dengan seringai sinis. Ia tak tahu mengapa.
"Aku tidak mau tidur dengan Mama! Ayah, ayo pergi!" ujar Naura dengan tangis yang mulai pecah.Hal itu membuat Aksa seketika merasa bingung. Ia hanya mampu terdiam. Matanya sesekali melirik Adira yang tengah memijat pelipisnya.Karena tangisan keras Naura yang tak kunjung terhenti. Membuat Aksa harus membuat keputusan secepatnya. Jujur saja, tangisan gadis kecilnya mampu membuat kepala Aksa nyeri, seolah ingin meledak."Baiklah. Tapi hentikan tangisanmu dulu. Jika Naura masih menangis, Ayah tidak akan mau bercerita," ucapnya lirih dengan sedikit ancaman.Gadis kecil itu pun sontak terdiam dalam sekejap. Wajahnya terlihat memerah dengan bulir bening yang tak henti berjatuhan dari pelupuk matanya, sebab mati-matian menahan tangis."Nah, begini kan cantik. Mau tidur di kamar Ayah?" tanya Aksa menawari.Sontak, Naura pun mengangguk pasti. "Tapi Mama tidak boleh ikut!" tegasnya dengan hidung kembang kempis sebab tangis yang masih tertahan.Tangan kekar itu perlahan mengusap lembut puncak k
Aksa seketika tersentak dengan wajah menegang. Bagaimana bisa putri kecilnya bicara seperti itu?Kini tubuh pria itu seketika bangkit dan berlari ke arah cermin rias yang biasa Adira gunakan dulu. Matanya mengedar, menyusuri setiap inci dari wajahnya yang tak lebih baik dari sang keponakan angkat."Apakah aku terlihat seburuk itu?" gumamnya dengan kecemasan berlebih.Sementara Naura hanya terlihat mengulum senyum, sesaat setelah menggoda sang ayah dari kejauhan.***Keesokan harinya. Kediaman Aksa. Pukul enam lewat lima belas pagi."Naura masih mengantuk, jangan bergerak!" teriakkan lantang dari gadis kecil yang masih terpejam itu seketika mengejutkan Aksa.Pria itu berulang kali mencoba bangkit dari tempat tidur, namun Naura tak henti bergelayut manja di lengan kanannya.Hingga satu teriakkan keras seketika membuat tubuhnya menegang. Kini pria itu hanya mampu menghela nafas panjang dengan tubuh yang masih terlentang dan tak berani berkutik sedikit pun.Sampai beberapa puluh menit ber
"Mama, naiklah di punggung Ayah! Itu menyenangkan," ucap Naura dengan tertawa ria. Kaki kecilnya beranjak menghampiri dengan menarik kecil ujung piyama yang tengah dikenakan Adira."Eh?" Adira pun sontak salah tingkah. Ia sesekali melirik ke arah Aksa yang tengah tersenyum kecil dengan pandangan mata ke arah lantai."Naura, Mamamu itu berat. Siapa yang kuat membawa dia di punggungnya?" ejek Aksa dengan tersenyum geli.Terlihat mata Adira yang seketika memicing dengan wajah sinis, "Apa, maksudmu?""Tidak ada, hanya berbicara fakta saja," jawab Aksa santai dengan memalingkan wajah.Kini ibu muda berusia dua puluhan tahun itu seketika beranjak. Duduk di atas kaki Aksa yang tengah berselonjor dengan berkacak pinggang. "Apakah ini berat menurutmu, Tuan?" geramnya lirih.Namun Aksa hanya mampu mengulum senyum saat melihat tingkah kekanak-kanakan dari sang istri.Sementara Naura nampak begitu antusias dengan menepuk tangannya beberapa kali, "Yey! Naura juga mau ikut!"Gadis kecil itu dengan
***Sembilan bulan kemudian. Tepat di saat hari perkiraan lahir sang anak yang masih berada dalam kandungan. Namun hingga hari itu terlewati tak ada tanda-tanda kelahiran akan tiba.Kediaman Aksa Adhitama. Pukul sembilan pagi."Sayang? Kenapa tidak berangkat bekerja hari ini? Bukankah Gavin baru saja memberi tahumu jika akan ada Klien yang akan membuat janji temu di perusahaan?" tanya Adira yang tak sengaja mendapati sang suami masih berada di ruangan kerja, saat hendak membersihkan ruangan itu.Namun alih-alih langsung menjawab, Aksa terlihat masih sibuk dengan layar pada laptopnya.Adira yang tak kunjung mendapatkan respon seketika merasa dongkol. Melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah tertekuk."Kamu mau apa? Berhentilah bersih-bersih! Cepat pergi istirahat!" tegas Aksa dengan nada lembut. Namun pandangan matanya tak berpaling sedikit pun dari layar laptopnya."Aku harus bergerak aktif, agar persalinan nanti bisa berjalan normal. Orang yang tidak pernah berolahraga sepe
"Kita bisa pulang sekarang?" tanya Aksa meminta persetujuan dari sang istri untuk segera meninggalkan makam.Sontak Adira yang tengah sibuk mengeringkan sebagian bajunya yang terkena tetesan air hujan segera mengangguk pasti.Tangan Adira spontan meraih rambut sang suami untuk segera dikeringkan dengan handuk di tangannya. Ia tak ingin Aksa jatuh sakit setelah melewati beberapa peristiwa berdarah akhir-akhir ini, yang sangat menguras energi."Sayang, bolehkah setelah ini kita mampir membeli sate ayam? Aku lapar," ucap Adira seraya menyengir. Nampaknya tak ada sedikit pun raut kesedihan yang kembali muncul setelah prosesi pemakaman tersebut. Sontak hal itu membuat Aksa tersenyum bahagia, kini tak ada lagi yang ia khawatirkan tentang kondisi sang istri yang akan merasa bersalah seperti sebelumnya."Baik, Nyonya Adhitama," jawab Aksa dengan sedikit bergurau. Ia tak ingin membuat sang istri kembali berekspresi tegang hingga membuat seulas senyum tak mampu sedikit pun menghiasi bibirnya.S
Setelah selesai bersiap-siap, kini ketiganya mulai berkumpul di halaman dekat garasi mobil.Terlihat Gavin berjalan enggan ke arah sang atasan. Ketakutan itu masih terlihat jelas dari sorot matanya."Gavin? Apakah hari ini kamu kurang sehat? Kenapa wajahmu pucat sekali?"Rentetan pertanyaan yang sang atasan ajukan hanya mampu membuat pemuda berusia dua puluhan tahun itu tersenyum getir.Tak mendapati respon yang diinginkan, Aksa pun mulai berpikir keras. Mungkinkah Gavin tak ingin pergi dengannya hari ini?"Gavin, tetaplah di rumah! Urus keperluan sekolah Naura setelah dia bangun nanti," ucap Aksa pada akhirnya mengetes asumsinya sendiri. Dan benar saja, Gavin yang sebelumnya tertunduk lesu kini mendongak pasti dengan wajah berbinar cerah. "Baik, Tuan," ucapnya lantang dengan seulas senyum yang tertahan. Membungkukkan sedikit tubuhnya memberi hormat."Baiklah, aki akan pergi sekarang. Jika ada hal darurat, segera telepon!" ucap Aksa mengingatkan sebelum beranjak memasuki mobil yang te
"Astaga ...!" Dokter itu pun sontak mengusap kasar wajahnya frustasi. Di saat-saat genting semacam ini pun malah tak ada yang langsung bertindak.Hingga pada akhirnya. Dengan berat hati dokter itu segera mengambil sebuah benda pipih di saku jasnya. Menggulir layar ponselnya beberapa kali hingga menghubungkannya dengan sambungan telepon."Halo, Polisi, cepat datang! Ada pasien rumah sakit jiwa yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri ...." Dokter itu berbicara panjang lebar dari sambungan telepon. Menjelaskan secara rinci kejadian yang ia lihat dan lokasi yang harus dituju oleh polisi tersebut. Hingga pada akhirnya sambungan telepon terputus."Cari data keluarga Pasien! Kita harus segera menghubungi keluarganya!" ucap dokter itu panik pada salah satu rekannya setelah selesai meletakkan kembali ponselnya di saku jas putih."Ba-baik." Meski dengan sedikit ketakutan yang masih terasa, namun salah satu perawat segera beranjak melakukan perintah yang ditujukan padanya. Jika dirinya tida
***Rumah sakit jiwa. Pukul satu dini hari.Di jam-jam istirahat kali ini sedikit berbeda. Suasana sunyi seketika terasa mencekam setelah salah satu ruangan dalam rumah sakit itu digunakan salah seorang pasien untuk mengakhiri hidupnya.Betari yang kini telah sedikit kembali mendapatkan kewarasannya sontak celingukan ke kanan dan ke kiri saat mendapati bunyi hentakan kaki di dalam ruangannya."Keenan? Apakah itu kamu?" ucap Betari yang masih menganggap sang putra masih hidup, dan berkhayal seolah sang putra tengah menemaninya setiap hari."Bu ...."Betari segera memutar kepala menghadap belakang, saat samar-samar telinganya menangkap suara Keenan yang tengah memanggilnya."Keenan? Kamu di mana? Jangan main-main dengan Ibu! Cepat keluar!" ucap Betari dengan wajah setengah panik. Pandangan matanya mengedar ke seluruh sudut ruangan, namun tak kunjung ditemukan siapa pun di dalam sana selain dirinya sendiri."Bu, aku di sini."Lagi, suara itu terdengar kembali dan semakin jelas. Betari so
"Tutup mulut kalian ...!" teriak Mayang lantang dengan tatapan nyalang yang ia layangkan pada lima tahanan wanita yang satu sel dengannya.Sontak seluruh tahanan wanita menatap heran ke arahnya. Merasa bingung, dari mana asal keberanian yang Mayang milik untuk menantang mereka semua.Deru nafas memburu terdengar jelas saat Mayang membulatkan matanya dengan tatapan tajam mengintimidasi. Berdiri tegak dengan satu betisnya yang dililit oleh perban dengan darah yang masih merembes keluar."Cih! Kaki pincang saja masih berani meninggikan suara. Apakah ingin segera dihabis oleh kita?" cibir salah satu tahanan wanita yang memiliki tato di lengannya. Berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat rapi di depan dada dengan gestur angkuh.Sontak kalimat itu membuat Mayang bergidik ngeri. Dirinya melupakan kondisi kakinya saat ini. Meski begitu, dirinya juga tak memiliki pengalaman bela diri sekali pun untuk melawan. Lantas, apa yang harus Mayang lakukan saat ini? Bodoh sekali dirinya sampai meningg
"Terima kasih, Tuan," ucap para pengawal serempak.Tak berselang lama, sebuah mobil mewah berwarna silver terlihat mulai memasuki halaman, membuat pagar rumah terbuka secara otomatis tanpa disentuh."Kebetulan sekali, Gavin kamu antar saya pergi ke kantor Polisi," ucap Aksa setengah berteriak saat pemuda dengan kacamata bening itu baru menjejakkan kakinya di atas lantai saat turun dari dalam mobil.Sontak Gavin hanya menatap sang majikan dengan beberapa pengawal yang tengah sibuk mengerjakan sesuatu. 'Apa yang terjadi?'Kini Gavin mulai beranjak turun dan menghampiri sang atasan yang masih berdiam diri di tempat semula."Tuan, apa yang telah terjadi? Untuk apa Anda pergi ke kantor Polisi? Apakah ada situasi darurat?"Rentetan pertanyaan itu membuat Aksa terdiam dengan perasaan kesal yang mulai menyertai.Jujur saja, kekhawatiran hebat seketika terbesit di dalam pikiran Gavin saat sang atasan menyebutkan kantor polisi.Melihat sang atasan yang tidak kunjung merespon apa pun, membuat pe
Adira segera membuka kotak obat yang baru ia ambil. Mengeluarkan kapas, obat merah dan perban dari dalam sana.Setelah membersihkan luka Aksa dari sisa darah yang telah berhenti mengalir, Adira segera mengoleskan obat merah dan membalut lukanya dengan perban yang ia lilitkan di telapak tangan sang suami."Apakah sakit? Aku akan melonggarkannya jika itu terasa sakit untukmu," ucap Adira saat melihat wajah sang suami masih terpejam dengan suara pekikan yang tertahan."Tidak. Asalkan darahnya sudah tidak terlihat, tidak masalah untukku," jawab Aksa masih terdiam mematung.Hingga dua tangan terasa melingkar di pinggangnya. Sontak membuat Aksa segera membuka mata sebab terkejut."Terima kasih telah melindungiku dari tusukan pisau itu," ucap Adira seraya memeluk erat pinggang sang suami.Sementara Aksa yang merasa pundaknya basah sontak segera melepaskan pelukan Adira di pinggangnya.Terlihat mata Adira yang mulai sembab dan berair. Suara isak tangis terlihat berusaha mati-matian Adira reda
Alih-alih langsung menyerang Adira dengan tangannya sendiri, Mayang justru mendekati Aksa yang tengah memicingkan mata menatapnya dari arah meja makan tanpa sedikit pun beranjak dari sana."Tuan Aksa ... lihatlah apa yang diperbuat Adira padaku!" ucap Mayang seraya merengek. Berharap Aksa akan bersimpati padanya.Namun alih-alih merasa iba, Aksa dengan cepat menutup hidungnya, dengan satu tangan lain menodongkan pisau buah yang ia raih sembarangan dari atas meja makan. "Mundur! Jangan mendekatiku! Baumu busuk sekali."Sontak kalimat itu membuat Mayang menghentikan langkah kakinya. Seraya menciumi tubuhnya sendiri.Aroma tak sedap yang datang dari bubur yang telah basi di pakaiannya teras begitu menusuk hidung. Pantas saja Aksa memintanya untuk segera pergi menjauh."Adira ...!" geram Mayang dengan nada meningkat. Melayangkan tatapan nyalang pada wanita yang tengah berdiri menghadapnya."Maafkan aku Mayang. Aku ketiduran tadi malam, jadi tidak sempat untuk mengambilkanmu baju ganti," u