Adira menatap nanar punggung pria yang semakin menjauh dari tempatnya semula. Ia lantas beranjak. Membuka paper bag besar yang sebelumnya Sean letakkan di samping helm.Satu kotak salad buah dan makanan berat tertata rapi di dalamnya. Mungkinkah ini alasan Sean melarangnya memasak sebelum berangkat bekerja pagi tadi?Tanpa alasan yang jelas. Bibir Adira kini mengukir seulas senyum tipis. 'Meski terkesan tengil, tapi dia adalah sosok pria yang begitu bertanggung jawab'Setelah selesai membersihkan diri di dalam kamar mandi. Pria tampan yang tengah sibuk mengusapi rambutnya yang basah dengan handuk kering, seketika tertegun. Kala mendapati dua cangkir teh hangat dan sepiring kue coklat yang tersaji di atas meja makan."Bukankah aku melarangmu untuk memasak hari ini? Belakangan ini kondisi tubuhmu memburuk karena hawa dingin," ucap Sean dengan menatap lekat manik hitam milik Adira yang tengah duduk di depannya."Hanya membuat teh dan kue saja, itu bukan aktivitas yang terlalu berat," jel
Setelah berhasil mengganti nama pada seluruh aset milik Carlos Ducan secara diam-diam, Aksa mulai mengatur rencana.Dari sebuah kamera kecil yang ia pasang pada sepatu milik salah satu pengawal pribadi Carlos, ia akhirnya mengetahui jadwal terbang yang akan Carlos Ducan dan para keluarga besar lakukan hari itu.Keberadaan Adira dan Sean yang tak kunjung menemukan titik terang, membuat Aksa menyimpulkan jika Carlos Ducan telah membunuh keduanya. Dan untuk membalaskan kematian mereka, Aksa harus memusnahkan keluarga Ducan dengan tangannya sendiri."Apakah seluruh keluarga besar Ducan ada dalam pesawat itu?" tanya Aksa memastikan. Pandangan matanya tak berpaling sedikit pun dari benda pipih yang menunjukkan radar pesawat di tangannya."Semuanya, kecuali Helena Ducan, Tuan. Belakangan ini dia menghilang seperti ditelan bumi," jawab Gavin menjelaskan secara rinci.Pria tampan dengan sorot mata tajam itu dengan cepat mengatupkan kedua telapak tangannya di depan bibir, seolah tengah berpikir
Keesokan harinya.Sean yang tengah mengemasi barang-barangnya mendadak teringat akan sesuatu.Bagaimana jika Adira bertemu dengan Aksa ketika mereka mengunjungi makam orang tuanya? Apakah itu alasan Adira menolak ikut dengan mereka kemarin? Hati Sean dipenuhi tanda tanya."Papa! Ayo!" Suara teriakan dari Naura yang tiba-tiba muncul dari balik pintu, berhasil membuyarkan lamunannya.Gadis kecil itu tengah tertawa ria dengan senandung lagu yang berulang ia nyanyikan, "Naik pesawat, naik pesawat ...." Tubuh kecilnya yang tengah menenteng tas ransel kecil pada pundaknya berlarian memutari tubuh Sean yang masih membeku di samping koper."Sean? Kenapa belum siap? Katanya mau berangkat jam sepuluh? Ini sudah hampir jam sepuluh, loh," timpal Adira yang tiba-tiba muncul dan beranjak memasuki kamar."Mama!" Gadis kecil itu seketika berlari ke pelukan sang ibu, dan Adira pun segera menggendongnya."Iya, ini sedang siap-siap kok," jawab Sean sedikit ragu. Bibirnya ia paksa menunjukkan garis lengk
Setelah melalui lima jam perjalanan di udara. Akhirnya mereka telah sampai di negara tujuan saat langit mulai menunjukkan semburat jingga."Papa, gendong," rengek Naura sesaat setelah berjalan sebentar di area bandara. Kedua tangannya merentang ke arah Sean yang menatapnya dengan tersenyum kecil."Naura, jangan seperti itu. Papa juga capek. Sini! Biar Mama saja yang gendong." Uluran tangan Adira seketika ditepis oleh gadis kecil yang telah berada dalam gendongan Sean."Nggak mau! Naura maunya sama Papa!" rengeknya dengan wajah cemberut."Sudah, biarkan saja. Ayo pergi, nanti keburu malam," ucap Sean memisahkan argumen kecil yang terjadi pada ibu dan anaknya.Wanita itu terdiam sejenak. Menatap kesusahan yang tengah dialami oleh Sean. Tangan kanannya ia gunakan untuk menggendong Naura, sementara tangan kirinya harus menarik dua koper besar sekaligus."Biarkan aku saja yang membawa barang-barang itu!" Kalimat itu seketika menghentikan langkah Sean yang hendak beranjak."Tidak perlu, ini
Deg ....Jantung Sean seolah seketika berhenti berdetak, kala mengenali suara berat yang berasal dari belakang tubuhnya. 'Om ... Aksa?'Adira yang tercekat seketika membuat tubuhnya membeku di tempat. Tak ada keberanian sedikit pun untuk menoleh atau pun bersuara."Akhirnya kamu datang, Adira. Aku telah lama menunggumu," imbuhnya dengan suara parau. Namun Adira masih diam tak bergeming. Hatinya mendadak merasa takut tanpa alasan yang jelas.Tiga tahun berlalu. Aksa tak henti menunggu. Meski dalam pikirannya Adira dan Sean dipastikan telah tiada, namun nuraninya membantah. Setiap malam ia selalu dihantui oleh suara gadis kecil yang memanggilnya 'Ayah' tanpa tahu siapa, dan di mana suara itu berasal.Setelah menyelidiki keberadaan keluarga Adira yang tersisa, hanya makam ini yang ia dapatkan. Aksa pun setiap hari datang. Menunggu Adira tanpa kejelasan. Hingga akhirnya hari ini pun datang.Kini tatapan nanar ia layangkan pada gadis kecil yang sangat mirip dengannya. Duduk di gendongan Se
"Kamu merokok?" tanya Adira memulai obrolan di antara mereka.Wanita cantik itu nampak menatap suaminya dengan seksama. Memperhatikan perubahan besar yang terlihat sangat jelas.Selain tubuhnya yang semakin kurus. Aksa berubah menjadi sosok pria yang temperamen dan tidak merawat diri.Pria tampan yang tengah berdiri itu nampak hanya terdiam dengan wajah tertunduk. Sesekali bibirnya menyeringai sinis. "Huh! Kamu tidak pernah tahu betapa tersiksanya aku tanpamu. Dan aku harus menghilangkan rasa sakit itu dengan merokok dan mabuk," ucapnya datar.Adira terdiam untuk sejenak. Kekuatan yang tersisa dari dalam hatinya berusaha ia kumpulkan. "Apa alasanmu untuk tersiksa? Bukankah aku hanyalah salah satu dari mainanmu saja?"Wanita cantik itu kini duduk meringkuk. Kepalanya tertunduk. Menyembunyikan ketakutan yang tidak berdasar.Aksa tertegun untuk sesaat. Dari mana Adira mengetahui hal itu? "Apakah kamu mendengar ucapanku di telepon?" tanya Aksa memastikan. Namun hanya dibalas anggukan kepa
Tok! Tok!"Papa! Apa kamu di dalam?" suara cadel diiringi beberapa kali ketukan pintu membuat Sean dan Aksa saling menarik diri. Mengusap kasar bulir bening yang membasahi wajah mereka.Sontak Sean dengan cepat membuka pintu. "Naura, ada apa mencari Papa?" tanyanya dengan tersenyum kecil. Kini pria itu mensejajarkan diri dengan sang putri."Sean." Panggilan Aksa seketika membuat pria tampan dalam balutan kaos hitam itu menoleh."Kamu belum menjelaskan alasan Naura memanggilmu Papa," imbuhnya dengan tatapan tajam.Sean seketika tertegun. Apa yang ia takutkan akhirnya terjadi. Ia benar-benar bingung untuk saat ini. Haruskah dirinya menjelaskan situasi yang sebenarnya terjadi?"Apa maksudmu, Om jahat? Dia memang Papaku!" ketus Naura dengan pipi menggembung. Matanya membulat menatap sang ayah kandung."Naura, tidak boleh sembarangan memanggil orang. Siapa yang mengajarkanmu bersikap tidak sopan begitu?" ucap Sean dengan lembut.Aksa kembali terperangah. Ia tak pernah tahu akan sisi lembut
'Apakah suatu saat Naura akan menerimaku jika aku bersikap lembut seperti itu?' Batin Aksa bertanya-tanya."Om jahat, beri Naura waktu untuk berpikir dulu. Naura tidak ingin memanggilmu Ayah sebelum Naura selesai memikirkannya," ucapnya datar dengan suara cadel. Manik beningnya menatap lurus ke arah wajah pria dewasa yang tengah tersenyum tipis.Dari mana anak sekecil itu belajar bahasa dewasa yang sulit dimengerti?"Om, cobalah untuk bersikap lembut. Mungkin dengan begitu, Naura bisa secepatnya menerima kenyataan, bahwa Om Aksa adalah Ayah kandungnya," timpal Sean yang tiba-tiba bangkit. Dengan tangan yang menggendong Naura di pelukannya."Iya, aku akan mencoba," jawab Aksa singkat dengan wajah tertunduk.Sean lantas beranjak pergi. Meninggalkan Aksa tanpa menimpali ucapannya.Kini pria tampan yang terlihat semakin kurus itu menatap nanar pada seorang gadis kecil yang masih menatapnya sinis. Namun di luar dugaan. Naura justru menjulurkan lidahnya dengan wajah mengejek.Sontak hal itu
***Sembilan bulan kemudian. Tepat di saat hari perkiraan lahir sang anak yang masih berada dalam kandungan. Namun hingga hari itu terlewati tak ada tanda-tanda kelahiran akan tiba.Kediaman Aksa Adhitama. Pukul sembilan pagi."Sayang? Kenapa tidak berangkat bekerja hari ini? Bukankah Gavin baru saja memberi tahumu jika akan ada Klien yang akan membuat janji temu di perusahaan?" tanya Adira yang tak sengaja mendapati sang suami masih berada di ruangan kerja, saat hendak membersihkan ruangan itu.Namun alih-alih langsung menjawab, Aksa terlihat masih sibuk dengan layar pada laptopnya.Adira yang tak kunjung mendapatkan respon seketika merasa dongkol. Melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah tertekuk."Kamu mau apa? Berhentilah bersih-bersih! Cepat pergi istirahat!" tegas Aksa dengan nada lembut. Namun pandangan matanya tak berpaling sedikit pun dari layar laptopnya."Aku harus bergerak aktif, agar persalinan nanti bisa berjalan normal. Orang yang tidak pernah berolahraga sepe
"Kita bisa pulang sekarang?" tanya Aksa meminta persetujuan dari sang istri untuk segera meninggalkan makam.Sontak Adira yang tengah sibuk mengeringkan sebagian bajunya yang terkena tetesan air hujan segera mengangguk pasti.Tangan Adira spontan meraih rambut sang suami untuk segera dikeringkan dengan handuk di tangannya. Ia tak ingin Aksa jatuh sakit setelah melewati beberapa peristiwa berdarah akhir-akhir ini, yang sangat menguras energi."Sayang, bolehkah setelah ini kita mampir membeli sate ayam? Aku lapar," ucap Adira seraya menyengir. Nampaknya tak ada sedikit pun raut kesedihan yang kembali muncul setelah prosesi pemakaman tersebut. Sontak hal itu membuat Aksa tersenyum bahagia, kini tak ada lagi yang ia khawatirkan tentang kondisi sang istri yang akan merasa bersalah seperti sebelumnya."Baik, Nyonya Adhitama," jawab Aksa dengan sedikit bergurau. Ia tak ingin membuat sang istri kembali berekspresi tegang hingga membuat seulas senyum tak mampu sedikit pun menghiasi bibirnya.S
Setelah selesai bersiap-siap, kini ketiganya mulai berkumpul di halaman dekat garasi mobil.Terlihat Gavin berjalan enggan ke arah sang atasan. Ketakutan itu masih terlihat jelas dari sorot matanya."Gavin? Apakah hari ini kamu kurang sehat? Kenapa wajahmu pucat sekali?"Rentetan pertanyaan yang sang atasan ajukan hanya mampu membuat pemuda berusia dua puluhan tahun itu tersenyum getir.Tak mendapati respon yang diinginkan, Aksa pun mulai berpikir keras. Mungkinkah Gavin tak ingin pergi dengannya hari ini?"Gavin, tetaplah di rumah! Urus keperluan sekolah Naura setelah dia bangun nanti," ucap Aksa pada akhirnya mengetes asumsinya sendiri. Dan benar saja, Gavin yang sebelumnya tertunduk lesu kini mendongak pasti dengan wajah berbinar cerah. "Baik, Tuan," ucapnya lantang dengan seulas senyum yang tertahan. Membungkukkan sedikit tubuhnya memberi hormat."Baiklah, aki akan pergi sekarang. Jika ada hal darurat, segera telepon!" ucap Aksa mengingatkan sebelum beranjak memasuki mobil yang te
"Astaga ...!" Dokter itu pun sontak mengusap kasar wajahnya frustasi. Di saat-saat genting semacam ini pun malah tak ada yang langsung bertindak.Hingga pada akhirnya. Dengan berat hati dokter itu segera mengambil sebuah benda pipih di saku jasnya. Menggulir layar ponselnya beberapa kali hingga menghubungkannya dengan sambungan telepon."Halo, Polisi, cepat datang! Ada pasien rumah sakit jiwa yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri ...." Dokter itu berbicara panjang lebar dari sambungan telepon. Menjelaskan secara rinci kejadian yang ia lihat dan lokasi yang harus dituju oleh polisi tersebut. Hingga pada akhirnya sambungan telepon terputus."Cari data keluarga Pasien! Kita harus segera menghubungi keluarganya!" ucap dokter itu panik pada salah satu rekannya setelah selesai meletakkan kembali ponselnya di saku jas putih."Ba-baik." Meski dengan sedikit ketakutan yang masih terasa, namun salah satu perawat segera beranjak melakukan perintah yang ditujukan padanya. Jika dirinya tida
***Rumah sakit jiwa. Pukul satu dini hari.Di jam-jam istirahat kali ini sedikit berbeda. Suasana sunyi seketika terasa mencekam setelah salah satu ruangan dalam rumah sakit itu digunakan salah seorang pasien untuk mengakhiri hidupnya.Betari yang kini telah sedikit kembali mendapatkan kewarasannya sontak celingukan ke kanan dan ke kiri saat mendapati bunyi hentakan kaki di dalam ruangannya."Keenan? Apakah itu kamu?" ucap Betari yang masih menganggap sang putra masih hidup, dan berkhayal seolah sang putra tengah menemaninya setiap hari."Bu ...."Betari segera memutar kepala menghadap belakang, saat samar-samar telinganya menangkap suara Keenan yang tengah memanggilnya."Keenan? Kamu di mana? Jangan main-main dengan Ibu! Cepat keluar!" ucap Betari dengan wajah setengah panik. Pandangan matanya mengedar ke seluruh sudut ruangan, namun tak kunjung ditemukan siapa pun di dalam sana selain dirinya sendiri."Bu, aku di sini."Lagi, suara itu terdengar kembali dan semakin jelas. Betari so
"Tutup mulut kalian ...!" teriak Mayang lantang dengan tatapan nyalang yang ia layangkan pada lima tahanan wanita yang satu sel dengannya.Sontak seluruh tahanan wanita menatap heran ke arahnya. Merasa bingung, dari mana asal keberanian yang Mayang milik untuk menantang mereka semua.Deru nafas memburu terdengar jelas saat Mayang membulatkan matanya dengan tatapan tajam mengintimidasi. Berdiri tegak dengan satu betisnya yang dililit oleh perban dengan darah yang masih merembes keluar."Cih! Kaki pincang saja masih berani meninggikan suara. Apakah ingin segera dihabis oleh kita?" cibir salah satu tahanan wanita yang memiliki tato di lengannya. Berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat rapi di depan dada dengan gestur angkuh.Sontak kalimat itu membuat Mayang bergidik ngeri. Dirinya melupakan kondisi kakinya saat ini. Meski begitu, dirinya juga tak memiliki pengalaman bela diri sekali pun untuk melawan. Lantas, apa yang harus Mayang lakukan saat ini? Bodoh sekali dirinya sampai meningg
"Terima kasih, Tuan," ucap para pengawal serempak.Tak berselang lama, sebuah mobil mewah berwarna silver terlihat mulai memasuki halaman, membuat pagar rumah terbuka secara otomatis tanpa disentuh."Kebetulan sekali, Gavin kamu antar saya pergi ke kantor Polisi," ucap Aksa setengah berteriak saat pemuda dengan kacamata bening itu baru menjejakkan kakinya di atas lantai saat turun dari dalam mobil.Sontak Gavin hanya menatap sang majikan dengan beberapa pengawal yang tengah sibuk mengerjakan sesuatu. 'Apa yang terjadi?'Kini Gavin mulai beranjak turun dan menghampiri sang atasan yang masih berdiam diri di tempat semula."Tuan, apa yang telah terjadi? Untuk apa Anda pergi ke kantor Polisi? Apakah ada situasi darurat?"Rentetan pertanyaan itu membuat Aksa terdiam dengan perasaan kesal yang mulai menyertai.Jujur saja, kekhawatiran hebat seketika terbesit di dalam pikiran Gavin saat sang atasan menyebutkan kantor polisi.Melihat sang atasan yang tidak kunjung merespon apa pun, membuat pe
Adira segera membuka kotak obat yang baru ia ambil. Mengeluarkan kapas, obat merah dan perban dari dalam sana.Setelah membersihkan luka Aksa dari sisa darah yang telah berhenti mengalir, Adira segera mengoleskan obat merah dan membalut lukanya dengan perban yang ia lilitkan di telapak tangan sang suami."Apakah sakit? Aku akan melonggarkannya jika itu terasa sakit untukmu," ucap Adira saat melihat wajah sang suami masih terpejam dengan suara pekikan yang tertahan."Tidak. Asalkan darahnya sudah tidak terlihat, tidak masalah untukku," jawab Aksa masih terdiam mematung.Hingga dua tangan terasa melingkar di pinggangnya. Sontak membuat Aksa segera membuka mata sebab terkejut."Terima kasih telah melindungiku dari tusukan pisau itu," ucap Adira seraya memeluk erat pinggang sang suami.Sementara Aksa yang merasa pundaknya basah sontak segera melepaskan pelukan Adira di pinggangnya.Terlihat mata Adira yang mulai sembab dan berair. Suara isak tangis terlihat berusaha mati-matian Adira reda
Alih-alih langsung menyerang Adira dengan tangannya sendiri, Mayang justru mendekati Aksa yang tengah memicingkan mata menatapnya dari arah meja makan tanpa sedikit pun beranjak dari sana."Tuan Aksa ... lihatlah apa yang diperbuat Adira padaku!" ucap Mayang seraya merengek. Berharap Aksa akan bersimpati padanya.Namun alih-alih merasa iba, Aksa dengan cepat menutup hidungnya, dengan satu tangan lain menodongkan pisau buah yang ia raih sembarangan dari atas meja makan. "Mundur! Jangan mendekatiku! Baumu busuk sekali."Sontak kalimat itu membuat Mayang menghentikan langkah kakinya. Seraya menciumi tubuhnya sendiri.Aroma tak sedap yang datang dari bubur yang telah basi di pakaiannya teras begitu menusuk hidung. Pantas saja Aksa memintanya untuk segera pergi menjauh."Adira ...!" geram Mayang dengan nada meningkat. Melayangkan tatapan nyalang pada wanita yang tengah berdiri menghadapnya."Maafkan aku Mayang. Aku ketiduran tadi malam, jadi tidak sempat untuk mengambilkanmu baju ganti," u