"Hay, namamu Naura ya?"Naura yang baru keluar dari dalam kamar kecil pun sontak terkejut, saat seorang pria tampan yang terlihat seumuran dengan sang ibu datang menghampirinya.Pria itu nampak tersenyum dalam balutan seragam kaos berwarna biru gelap dan celemek yang menggantung di lehernya. Berjongkok untuk mensejajarkan diri dengan Naura yang jauh lebih pendek darinya."Om, siapa?" tanya Naura polos dengan beberapa kali mengedipkan mata."Panggil Om Keenan. Om adalah teman Mama Naura. Jadi, jangan takut," jelasnya dengan tersenyum tipis."Naura kenapa di sini sendiri? Keluyuran di tempat ramai itu berbahaya loh. Mama Naura di mana?" imbuh Keenan dengan tatapan khawatir. Tak ada sedikit pun ia menaruh dendam, pada gadis kecil yang menyebabkannya berpisah dengan Adira saat kehamilan itu terjadi."Itu! Mama dan Ayah sedang makan es krim di sana," ujar Naura seraya menunjuk ke arah meja yang tak jauh dari tempatnya berdiri.Sementara Keenan pun menatap ke mana jari telunjuk Naura mengar
"Sayang, sudahlah, jangan membuat masalah. Ayo kita pergi," ucap Adira setengah berbisik saat sadar beberapa pengunjung tengah memperhatikan mereka dari kejauhan."Baik, sesuai permintaan Istriku. Kita pergi sekarang," ucapnya lembut seraya menatap teduh ke arah Adira, sebelum wajahnya mendekat dan mengecup puncak kepala milik sang istri.Hal itu sontak membuat hati Keenan semakin memanas. Hingga dadanya terasa sesak dan sedikit kesulitan untuk bernafas."Om baik, Naura pergi dulu, ya," pamit Naura dengan suara cadel khas balita. Membuat sesaknya dada Keenan terasa sedikit melonggar.Kini ketiganya mulai beranjak pergi. Mata Adira sesekali melirik ke arah pria yang pernah ia harapkan membahagiakan hidupnya dulu. Namun sekarang harapan itu telah pupus. Bahkan kenangan pahit yang pernah ditangkap memori otaknya berusaha ia hilangkan untuk saat ini.Mungkin, harapan Keenan untuk memupuk kembali hubungan mereka tidak akan pernah terlaksana.Kini tatapan nanar Keenan layangkan, mengiringi
"Em ... Adira." Panggilan lirih itu membuat kepala Adira berputar menghadap sumber suara.Pemuda tampan dengan balutan kaos hitam itu tengah menatapnya penuh arti."Apakah kamu bersedia untuk kembali bersamaku ke rumah kita?" imbuhnya dengan sedikit keraguan dalam hati. Matanya yang berembun menatap teduh ke arah wanita cantik yang tak akan bisa ia gapai sampai kapan pun.Helaan nafas panjang terdengar cukup jelas, sebelum Adira mulai bersuara. "Sepertinya itu tidak mungkin terjadi, Sean," jawabnya dengan raut kekhawatiran."Huh! Seperti dugaanku," timpal Sean dengan tersenyum getir. Manik coklatnya menatap lurus ke arah rumput yang tengah ia pijak."Maafkan aku, Sean," ucap Adira parau dengan tangis yang bersusah payah ia tahan. Mengingat pengorbanan Sean yang tidak mudah untuk menghidupi dirinya dan Naura sejak dalam kandungan."Tidak perlu mengucapkan kata maaf. Kamu tidak melakukan kesalahan apa pun. Disini, hanya aku yang terlalu banyak berharap," ucapnya dengan tersenyum getir.
Tok! Tok! Tok!Buku-buku jari kecil itu beberapa kali terlihat mengetuk pintu sebuah ruangan. Hingga beberapa saat kemudian, pintu yang sebelumnya tertutup, perlahan terbuka lebar."Naura? Ada apa? Ini sudah malam sekali. Sudah melewati jam tidurmu. Kenapa kamu belum tidur?" tanya Sean yang kebingungan melihat gadis kecilnya berdiri di depan pintu kamar."Papa, Naura datang untuk meminta maaf atas sikap Naura tadi siang," ucap Naura dengan tertunduk lesu. Wajahnya tak berani mendongak, menatap Sean yang tengah berdiri di ambang pintu.Pemuda itu seketika menghela nafas panjang, sebelum berjongkok untuk mensejajarkan diri dengan Naura yang tengah memeluk boneka kesayangannya."Tidak apa-apa, Papa tidak marah, kok," lirihnya seraya mengusap lembut puncak kepala sang putri."Papa Sean akan pergi besok kan?"Pemuda itu lantas mengangguk pasti tanpa keraguan."Bolehkah Naura tidur dengan Papa Sean malam ini?" Tanyanya dengan ragu, seraya mengayun-ayunkan kedua tangannya untuk beberapa kali
Keesokan harinya."Naura, ayo bangun, Sayang."Suara berat itu menjadi sambutan hangat bagi Naura setiap pagi. Dengan kecupan ringan yang mendarat di dahi kecilnya untuk beberapa kali. Nampaknya Naura akan merindukan sambutan itu setelah hari ini berganti.Nampak gadis kecil itu mengerjap sesaat, sebelum melihat dengan jelas wajah malaikat yang menjadi penyemangat hidupnya. "Papa, apa ini sudah pagi?" tanya gadis itu dengan suara serak, seraya beberapa kali mengusap kedua matanya."Iya, ayo cepat bangun!" ucap pemuda itu lembut. Setelahnya membantu sang putri untuk terduduk di atas tempat tidur.Melihat Sean yang telah berpakaian rapi, dengan balutan jaket jeans yang menandakan ia akan pergi, membuat Naura dengan cepat memeluk tubuh kekar itu."Naura, ada apa? Ayo cepat mandi!" pinta Sean dengan memegangi tangan Naura yang merasa enggan untuk melepaskan pelukan dari tubuhnya.Gadis kecil itu pun sontak menggeleng cepat.Sean tertegun untuk sesaat, setelah merasakan rembesan air mata y
Sampai pada akhirnya, waktu yang tak ditunggu-tunggu itu tiba.Dengan berat hati, keluarga kecil itu mengantarkan Sean ke bandara untuk segera terbang mewujudkan mimpinya.Terlihat raut penuh kekecewaan dari gadis kecil yang tengah duduk di pangkuannya."Naura, kenapa cemberut begitu? Ayo senyum," ucap Sean yang menyadari hal itu.Namun Naura sama sekali tidak menggubris ucapannya. Gadis kecil itu menatap ke arah luar jendela mobil dengan harap-harap cemas. Ia tak ingin segera sampai di tempat tujuan.Namun harapan itu mustahil akan terjadi. Kini mobil mewah berwarna putih yang mereka tumpangi akhirnya berhenti di depan bandara.Keempatnya mulai terlihat beranjak turun dengan berat hati. Tak ada kebahagiaan sedikit pun mengiringi kepergian itu."Sean, kami akan mengantarmu sampai kamu memasuki pesawat, setelah itu kami akan pulang," ucap Aksa dengan tatapan sendu."Tidak usah, Om. Sebaiknya kalian segera pulang. Jika kalian tetap di sini, aku takut akan berubah pikiran," jawab Sean de
"Sayang, jangan bicara sembarangan!" bisik Adira seraya mencubit pelan lengan sang suami yang tengah tertawa ria.Aksa nampak memutar kepala menghadap ke arah sang istri dengan tersenyum kecil, sebelum kembali mengedarkan pandangan matanya ke segala penjuru ruangan."Bu Idah, sebenarnya kedatangan saya hari ini untuk bertemu dengan Ibu Jasmine. Tapi kenapa sejak tadi saya tidak melihatnya? Ke mana dia?" tanya Aksa dengan wajah berbinar.Namun, raut kebahagiaan yang terpancar dari wajah keriput wanita itu seketika sirna. Kala mendengar kembali nama almarhumah sahabatnya yang merupakan kepala panti kembali di sebut."Bu Idah, ada apa?" tanya Aksa kala menyadari kesedihan yang seketika menghiasi wajah keriput itu.Penggalan demi penggalan ingatan masa lalu kembali terlintas di kepala Aksa. Bahkan kalimat terakhir yang ibu kepala panti ucapkan sebelum dirinya pergi masih terngiang-ngiang dalam kepalanya."Le, jadilah orang sukses setelah keluar dari tempat ini. Jika kehidupan di luar sana
"Benar apa kata Istrimu, Aksa. Tidak baik terlalu bersedih dengan kepergian seseorang yang telah berbahagia di surga. Dia tidak akan bisa tenang jika melihatmu seperti ini," timpal ibu Idah yang mencoba ikut menenangkan pria itu.Belum sempat air mata itu kering karena kepergian Sean untuk hari ini, ia kembali dibuat terkejut dengan kepergian sang ibu panti yang begitu berpengaruh besar terhadap hidupnya.Selama berada dalam panti, Aksa tak sekali pun pernah melihat ibu Jasmine sakit. Yang ia lihat adalah wanita paruh baya yang sehat dan murah senyum. Bahkan tak jarang Aksa mendapatkan kasih sayang dari wanita yang telah ia anggap sebagai ibu kandungnya sendiri, sebab wanita itu tak memiliki anak dari pernikahannya.Kini pria tampan dengan mata sembab itu terlihat mulai mengatur nafas. Dengan air mata yang mulai berhenti mengalir. Sekuat tenaga ia berusaha tegar menghadapi kenyataan yang begitu pahit. Tak ada alasan baginya untuk tetap larut dalam kesedihan yang mendalam, sementara ke
***Sembilan bulan kemudian. Tepat di saat hari perkiraan lahir sang anak yang masih berada dalam kandungan. Namun hingga hari itu terlewati tak ada tanda-tanda kelahiran akan tiba.Kediaman Aksa Adhitama. Pukul sembilan pagi."Sayang? Kenapa tidak berangkat bekerja hari ini? Bukankah Gavin baru saja memberi tahumu jika akan ada Klien yang akan membuat janji temu di perusahaan?" tanya Adira yang tak sengaja mendapati sang suami masih berada di ruangan kerja, saat hendak membersihkan ruangan itu.Namun alih-alih langsung menjawab, Aksa terlihat masih sibuk dengan layar pada laptopnya.Adira yang tak kunjung mendapatkan respon seketika merasa dongkol. Melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah tertekuk."Kamu mau apa? Berhentilah bersih-bersih! Cepat pergi istirahat!" tegas Aksa dengan nada lembut. Namun pandangan matanya tak berpaling sedikit pun dari layar laptopnya."Aku harus bergerak aktif, agar persalinan nanti bisa berjalan normal. Orang yang tidak pernah berolahraga sepe
"Kita bisa pulang sekarang?" tanya Aksa meminta persetujuan dari sang istri untuk segera meninggalkan makam.Sontak Adira yang tengah sibuk mengeringkan sebagian bajunya yang terkena tetesan air hujan segera mengangguk pasti.Tangan Adira spontan meraih rambut sang suami untuk segera dikeringkan dengan handuk di tangannya. Ia tak ingin Aksa jatuh sakit setelah melewati beberapa peristiwa berdarah akhir-akhir ini, yang sangat menguras energi."Sayang, bolehkah setelah ini kita mampir membeli sate ayam? Aku lapar," ucap Adira seraya menyengir. Nampaknya tak ada sedikit pun raut kesedihan yang kembali muncul setelah prosesi pemakaman tersebut. Sontak hal itu membuat Aksa tersenyum bahagia, kini tak ada lagi yang ia khawatirkan tentang kondisi sang istri yang akan merasa bersalah seperti sebelumnya."Baik, Nyonya Adhitama," jawab Aksa dengan sedikit bergurau. Ia tak ingin membuat sang istri kembali berekspresi tegang hingga membuat seulas senyum tak mampu sedikit pun menghiasi bibirnya.S
Setelah selesai bersiap-siap, kini ketiganya mulai berkumpul di halaman dekat garasi mobil.Terlihat Gavin berjalan enggan ke arah sang atasan. Ketakutan itu masih terlihat jelas dari sorot matanya."Gavin? Apakah hari ini kamu kurang sehat? Kenapa wajahmu pucat sekali?"Rentetan pertanyaan yang sang atasan ajukan hanya mampu membuat pemuda berusia dua puluhan tahun itu tersenyum getir.Tak mendapati respon yang diinginkan, Aksa pun mulai berpikir keras. Mungkinkah Gavin tak ingin pergi dengannya hari ini?"Gavin, tetaplah di rumah! Urus keperluan sekolah Naura setelah dia bangun nanti," ucap Aksa pada akhirnya mengetes asumsinya sendiri. Dan benar saja, Gavin yang sebelumnya tertunduk lesu kini mendongak pasti dengan wajah berbinar cerah. "Baik, Tuan," ucapnya lantang dengan seulas senyum yang tertahan. Membungkukkan sedikit tubuhnya memberi hormat."Baiklah, aki akan pergi sekarang. Jika ada hal darurat, segera telepon!" ucap Aksa mengingatkan sebelum beranjak memasuki mobil yang te
"Astaga ...!" Dokter itu pun sontak mengusap kasar wajahnya frustasi. Di saat-saat genting semacam ini pun malah tak ada yang langsung bertindak.Hingga pada akhirnya. Dengan berat hati dokter itu segera mengambil sebuah benda pipih di saku jasnya. Menggulir layar ponselnya beberapa kali hingga menghubungkannya dengan sambungan telepon."Halo, Polisi, cepat datang! Ada pasien rumah sakit jiwa yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri ...." Dokter itu berbicara panjang lebar dari sambungan telepon. Menjelaskan secara rinci kejadian yang ia lihat dan lokasi yang harus dituju oleh polisi tersebut. Hingga pada akhirnya sambungan telepon terputus."Cari data keluarga Pasien! Kita harus segera menghubungi keluarganya!" ucap dokter itu panik pada salah satu rekannya setelah selesai meletakkan kembali ponselnya di saku jas putih."Ba-baik." Meski dengan sedikit ketakutan yang masih terasa, namun salah satu perawat segera beranjak melakukan perintah yang ditujukan padanya. Jika dirinya tida
***Rumah sakit jiwa. Pukul satu dini hari.Di jam-jam istirahat kali ini sedikit berbeda. Suasana sunyi seketika terasa mencekam setelah salah satu ruangan dalam rumah sakit itu digunakan salah seorang pasien untuk mengakhiri hidupnya.Betari yang kini telah sedikit kembali mendapatkan kewarasannya sontak celingukan ke kanan dan ke kiri saat mendapati bunyi hentakan kaki di dalam ruangannya."Keenan? Apakah itu kamu?" ucap Betari yang masih menganggap sang putra masih hidup, dan berkhayal seolah sang putra tengah menemaninya setiap hari."Bu ...."Betari segera memutar kepala menghadap belakang, saat samar-samar telinganya menangkap suara Keenan yang tengah memanggilnya."Keenan? Kamu di mana? Jangan main-main dengan Ibu! Cepat keluar!" ucap Betari dengan wajah setengah panik. Pandangan matanya mengedar ke seluruh sudut ruangan, namun tak kunjung ditemukan siapa pun di dalam sana selain dirinya sendiri."Bu, aku di sini."Lagi, suara itu terdengar kembali dan semakin jelas. Betari so
"Tutup mulut kalian ...!" teriak Mayang lantang dengan tatapan nyalang yang ia layangkan pada lima tahanan wanita yang satu sel dengannya.Sontak seluruh tahanan wanita menatap heran ke arahnya. Merasa bingung, dari mana asal keberanian yang Mayang milik untuk menantang mereka semua.Deru nafas memburu terdengar jelas saat Mayang membulatkan matanya dengan tatapan tajam mengintimidasi. Berdiri tegak dengan satu betisnya yang dililit oleh perban dengan darah yang masih merembes keluar."Cih! Kaki pincang saja masih berani meninggikan suara. Apakah ingin segera dihabis oleh kita?" cibir salah satu tahanan wanita yang memiliki tato di lengannya. Berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat rapi di depan dada dengan gestur angkuh.Sontak kalimat itu membuat Mayang bergidik ngeri. Dirinya melupakan kondisi kakinya saat ini. Meski begitu, dirinya juga tak memiliki pengalaman bela diri sekali pun untuk melawan. Lantas, apa yang harus Mayang lakukan saat ini? Bodoh sekali dirinya sampai meningg
"Terima kasih, Tuan," ucap para pengawal serempak.Tak berselang lama, sebuah mobil mewah berwarna silver terlihat mulai memasuki halaman, membuat pagar rumah terbuka secara otomatis tanpa disentuh."Kebetulan sekali, Gavin kamu antar saya pergi ke kantor Polisi," ucap Aksa setengah berteriak saat pemuda dengan kacamata bening itu baru menjejakkan kakinya di atas lantai saat turun dari dalam mobil.Sontak Gavin hanya menatap sang majikan dengan beberapa pengawal yang tengah sibuk mengerjakan sesuatu. 'Apa yang terjadi?'Kini Gavin mulai beranjak turun dan menghampiri sang atasan yang masih berdiam diri di tempat semula."Tuan, apa yang telah terjadi? Untuk apa Anda pergi ke kantor Polisi? Apakah ada situasi darurat?"Rentetan pertanyaan itu membuat Aksa terdiam dengan perasaan kesal yang mulai menyertai.Jujur saja, kekhawatiran hebat seketika terbesit di dalam pikiran Gavin saat sang atasan menyebutkan kantor polisi.Melihat sang atasan yang tidak kunjung merespon apa pun, membuat pe
Adira segera membuka kotak obat yang baru ia ambil. Mengeluarkan kapas, obat merah dan perban dari dalam sana.Setelah membersihkan luka Aksa dari sisa darah yang telah berhenti mengalir, Adira segera mengoleskan obat merah dan membalut lukanya dengan perban yang ia lilitkan di telapak tangan sang suami."Apakah sakit? Aku akan melonggarkannya jika itu terasa sakit untukmu," ucap Adira saat melihat wajah sang suami masih terpejam dengan suara pekikan yang tertahan."Tidak. Asalkan darahnya sudah tidak terlihat, tidak masalah untukku," jawab Aksa masih terdiam mematung.Hingga dua tangan terasa melingkar di pinggangnya. Sontak membuat Aksa segera membuka mata sebab terkejut."Terima kasih telah melindungiku dari tusukan pisau itu," ucap Adira seraya memeluk erat pinggang sang suami.Sementara Aksa yang merasa pundaknya basah sontak segera melepaskan pelukan Adira di pinggangnya.Terlihat mata Adira yang mulai sembab dan berair. Suara isak tangis terlihat berusaha mati-matian Adira reda
Alih-alih langsung menyerang Adira dengan tangannya sendiri, Mayang justru mendekati Aksa yang tengah memicingkan mata menatapnya dari arah meja makan tanpa sedikit pun beranjak dari sana."Tuan Aksa ... lihatlah apa yang diperbuat Adira padaku!" ucap Mayang seraya merengek. Berharap Aksa akan bersimpati padanya.Namun alih-alih merasa iba, Aksa dengan cepat menutup hidungnya, dengan satu tangan lain menodongkan pisau buah yang ia raih sembarangan dari atas meja makan. "Mundur! Jangan mendekatiku! Baumu busuk sekali."Sontak kalimat itu membuat Mayang menghentikan langkah kakinya. Seraya menciumi tubuhnya sendiri.Aroma tak sedap yang datang dari bubur yang telah basi di pakaiannya teras begitu menusuk hidung. Pantas saja Aksa memintanya untuk segera pergi menjauh."Adira ...!" geram Mayang dengan nada meningkat. Melayangkan tatapan nyalang pada wanita yang tengah berdiri menghadapnya."Maafkan aku Mayang. Aku ketiduran tadi malam, jadi tidak sempat untuk mengambilkanmu baju ganti," u