Share

Aku hamil?

Author: Liya Mardina
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Adira membelalak. Ia mempertegas pendegarannya. Otaknya bekerja keras untuk mencerna semua kata-kata yang keluar dari mulut suaminya.

"Kenapa diam saja? Katakan! Dengan siapa kamu tidur tadi malam?" lanjut Keenan dengan intonasi meninggi.

Deg ....

Jantung Adira serasa berhenti seketika, otaknya akhirnya berhasil menangkap maksud ucapan dari suaminya.

Bibirnya terasa membeku. Bahkan tak ada sedikit pun tenaga untuk sekedar mengeluarkan suara. Pria yang dicintainya dengan sepenuh hati, nyatanya mampu melakukan hal sekeji ini. Padahal dari awal ia mencoba untuk berpikir positif, dengan membuang jauh-jauh prasangka buruknya terhadap sang suami. Namun pada kenyataannya, Keenan telah mengakui jika ia telah mengirimkan sang istri ke ranjang pria lain malam tadi, yang tidak lain dan tidak bukan adalah seorang pria tua berhidung belang yang memiliki banyak istri.

"Kenapa?" Suara lirih akhirnya terdengar dari mulut wanita cantik yang kini mencoba menahan tangisannya. Hatinya terasa hancur berkeping-keping, mengingat selama satu tahun membina rumah tangga, ia selalu menjadi istri yang penurut. Hal itu ia lakukan bukan tanpa sebab, ia ingin suatu saat Keenan memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Menjadikan pernikahan yang tidak diawali dengan cinta, namun hanya maut yang bisa memisahkan mereka.

Seringai kecil muncul dari wajah sang suami. Sorot mata itu menatap lurus pada sang istri dengan tatapan memuakkan.

"Kamu pikir kenapa aku mau menerima perjodohan ini? Sedangkan aku tidak mendapatkan kembali uangku yang telah dihabiskan oleh kedua orang tuamu?" ucapnya lirih, mendekatkan wajahnya pada Adira yang seketika melangkah mundur untuk beberapa langkah.

Adira menghapus kasar air mata yang mengucur deras membasahi pipi dengan lengan kemejanya. Pengakuan itu seketika membuat hati kecilnya tergerak. Mungkin alasan itu ada benarnya. Orang tuanya tidak bisa membayar hutang, dan menyerahkan dirinya sebagai jaminan. Sementara dirinya tidak bekerja dan tidak menghasilkan uang, jadi mungkin wajar jika sang suami melakukan hal ini terhadapnya.

"Berapa banyak jumlah hutang orang tuaku?" tanya Adira dengan suara serak. Tangannya yang bergetar hebat mencoba menghilangkan ketakutan dengan memilin ujung kemeja.

"Lima puluh juta," jawab Keenan singkat. Sorot matanya menatap sinis pada beberapa bercak merah yang terpampang jelas pada leher istrinya.

Adira membelalak. Jujur saja, ia tidak tahu menahu tentang jumlah uang yang dipinjam orang tuanya pada keluarga Keenan. Tanda tanya besar seketika terlintas dalam otaknya, untuk apa orang tuanya meminjam uang sebanyak itu?

"Aku akan berusaha melunasi hutang itu secepatnya." Tekadnya membulat seketika. Ia ingin segera melunasi hutang itu dengan berbagai cara, agar dirinya bisa segera angkat kaki dari rumah yang lebih pantas disebut dengan neraka. Setahun lebih membina rumah tangga, ia merasa diperlakukan tidak manusiawi oleh suami dan ibu mertuanya.

"Cih! Mau bayar dengan apa? Daun?" Hinaan itu kembali keluar dari mulut suaminya.

"Cepat masak dan lakukan pekerjaan rumah! Aku sudah muak hanya dengan melihat wajahmu saja!" Keenan menarik dan menghempaskan kuat tubuh sang istri dengan kasar hingga terjatuh di lantai keramik rumahnya.

Adira meringis kesakitan untuk beberapa saat, namun tatapan memuakkan itu tak kunjung merasa iba, hanya meliriknya sekilas lalu melangkah pergi ke luar dari rumah.

Adira menatap nanar punggung sang suami yang semakin hilang dari pandangan matanya. Namun ia kembali mengumpulkan ketegaran dalam hati. Meyakinkan dirinya sendiri jika suatu saat nanti ia bisa membalaskan rasa sakit hatinya pada keluarga suaminya.

"Adira!" Suara teriakan seorang wanita begitu menusuk telinga. Menggema di seluruh penjuru ruangan. Membuat Adira seketika kalang kabut untuk segera menghampiri.

"I-iya, Bu." Adira berdiri di depan seorang wanita paruh baya yang tengah duduk dengan angkuh di sebuah sofa panjang berwarna merah. Tanpa alasan yang jelas, tubuhnya mendadak bergetar begitu hebat.

Sosok wanita itu mampu membuat Adira ketakutan hanya dengan mendengar suaranya saja. Adira berusaha menyembunyikan rasa takut itu dengan memilin ujung kemejanya.

"Pergi masak! Aku lapar," ucap ibu mertua tanpa sedikit pun melirik sang menantu yang masih berdiri membeku di hadapannya.

"Ba-baik." Tak ingin memperpanjang masalah, Adira melangkah cepat menuju dapur tanpa sempat mengganti baju.

Ia memasak bahan makanan apa pun yang bisa ia temukan di dalam lemari pendingin.

Hingga satu jam berlalu. Adira menyajikan makanan yang baru ia buat pada sang ibu mertua yang masih terdiam di tempat semula.

Prang!

Sebuah piring yang baru ia letakkan di atas meja seketika ditampik oleh ibu mertua dengan kakinya. Hingga sepiring tempe goreng berceceran di atas lantai.

"Makanan apa ini?!" murkanya.

"Ma-maaf, Bu. Tapi hari ini Mas Keenan tidak memberiku uang untuk belanja." Adira tertunduk, menyembunyikan ketakutan yang terpampang jelas di wajah cantiknya.

Betari, sang ibu mertua seketika bangkit. Mendekati Adira dengan langkah kasar.

Plak!

Satu tamparan mendarat sempurna di wajah cantik yang masih tertunduk itu.

"Dasar tidak tahu diri! Sudah menumpang tinggal di sini masih mengharapkan uang belanja," ketusnya dengan tatapan sinis.

Adira masih terdiam, tak ada niatan sedikit pun untuk menjawab.

"Bukankah semalam kamu menjual diri? Seharusnya dapat uang banyak kan?" bisik Betari dengan nada mengejek.

Adira membelalak. Hinaan itu seketika menusuk relung hatinya yang paling dalam. Dirinya berusaha melupakan kejadian malam itu, namun berkali-kali ingatan itu kembali oleh ucapan sang suami dan ibu mertuanya.

Mereka tidak pernah tahu, sehancur apa dirinya saat ini. Adira berlari kencang, meninggalkan air mata yang jatuh bercucuran membasahi lantai. Memasuki kamar mandi dan mengurung diri di dalam sana untuk waktu yang cukup lama.

Tubuh rapuh itu duduk di bawah shower. Menyalakan keran air dingin, hingga buliran air berjatuhan membasahi tubuhnya, luruh bersamaan dengan air mata yang kian membasahi pipi.

"Heh! Adira. Keluar! Bersihkan ini dulu!"

Gedoran pintu dan teriakkan sang mertua tidak menggentarkan hatinya sedikit pun. Ia begitu menikmati guyuran air dari shower yang menutupi suara tangisnya yang semakin menjadi-jadi.

Meski berkali-kali ia mencoba menggosok tubuhnya, perasaan kotor itu tidak akan pernah hilang dari sana.

Tangis itu tidak ia tujukan pada siapapun, melainkan pada nasibnya sendiri yang semakin hari semakin memburuk.

***

Satu bulan berlalu begitu cepat. Karena gagal menjual malam pertama Adira pada seorang Bos besar, Adira diperlakukan lebih tidak manusiawi dibandingkan sebelumnya.

"Huwek!" Adira berlari menuju wastafel yang berada di dalam kamar mandi. Perutnya terasa begitu bergejolak akhir-akhir ini. Suhu tubuhnya meningkat, namun tak ada keberanian untuk memberi tahu sang suami dan ibu mertua tentang kondisinya saat ini. Meski kerap kali mendapatkan omelan dan berbagai umpatan kasar dari penghuni rumah yang merasa pekerjaan rumah tangga yang tak terselesaikan dengan baik, Adira tetap berusaha beraktivitas seperti biasa. Melawan segala rasa sakit yang menjalar ke sekujur tubuhnya.

"Kepalaku pusing sekali," gumamnya lirih. Setelah mengeluarkan semua isi perutnya yang terasa diaduk-aduk, kedua tangannya bertumpuan pada wastafel berwarna putih. Matanya lurus menatap pantulan wajahnya dari cermin persegi panjang yang tergantung di atas wastafel.

"Mungkinkah ... tidak! Itu tidak mungkin, aku hanya melakukan itu sekali, bagaimana mungkin aku langsung hamil?" Adira menggeleng cepat, mencoba menghilangkan prasangka buruk yang seketika terlintas dalam pikirannya. Tangannya menyalahkan keran air untuk membasuh wajahnya yang terlihat pucat pasih.

Karena pikiran yang terasa semakin kacau, Adira memutuskan untuk pergi ke apotek terdekat untuk membeli sebuah alat tes kehamilan. Ia memberanikan diri untuk memastikan suatu hal yang tidak ia inginkan terjadi sama sekali dalam hidupnya.

Setelah membeli sebuah alat tes yang ia butuhkan, Adira berlari menuju kamar mandi. Menyembunyikan sebuah testpack dari balik saku daster lusuhnya yang warnanya terlihat begitu pudar akibat terlalu sering dicuci.

'Jangan muncul garis dua, jangan muncul garis dua.' Begitu harapnya dalam hati.

Hatinya mendadak gusar. Lantunan doa berkali-kali ia panjatkan dari dalam hati. Perasaan harap-harap cemas ia rasakan ketika menunggu hasil dari sebuah benda yang baru ia gunakan.

Adira membelalak, ketika melihat alat tes kehamilan itu menunjukkan dua garis merah terjejer dengan begitu jelas. Ia seketika terduduk lemas. Kakinya bergetar hebat hingga lututnya tak mampu menopang tubuhnya yang terasa rapuh saat ini. Satu tangganya membekap mulut. Tanpa sadar, bulir bening kini mulai berjatuhan membasahi lantai kamar mandi.

"A-aku, hamil?"

Related chapters

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Penjemputan yang mendadak

    Tatapan nanar itu tak berpaling sedetik pun dari benda kecil yang berada di genggaman tangannya. Ia mengguncang kuat benda itu berkali-kali, berharap satu garis merah itu cepat menghilang. Namun semua usaha yang ia lakukan berakhir sia-sia. Testpack itu masih menunjukkan hasil semula.'Aku harus bagaimana?' Tangisnya dalam hati. Tangannya membekap erat mulutnya agar tidak mengeluarkan suara. Bagaimana pun, sang suami dan ibu mertuanya tidak akan menerima kehadiran nyawa baru dalam perutnya."Aku bahkan tidak tahu Ayah dari Anak yang ku kandung ini," gumamnya lirih. Rasa takut dan kebingungan bercampur aduk menjadi satu. Kini rasa nyeri seketika menjalar ke seluruh tubuh. Perasaan hancur kini memenuhi dada, hingga membuatnya sesak dan kesulitan untuk bernafas.Namun secara tidak sadar, sebuah tangan kekar merebut paksa testpack dari tangan Adira, hingga membuat matanya membelalak.Karena bersusah payah menahan tangis, membuatnya tidak menyadari jika sang suami telah memasuki kamar mand

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Menikah denganku!

    "Pu-pulang?" Satu kata itu seketika membuat dadanya terasa sesak. Ia tak memiliki tempat bersingah untuk melepas penat, di mana lagi dirinya harus pulang selain rumah ini?Jika pria ini adalah seorang asisten pribadi dari pria yang pernah menghabiskan malam dengannya, kemungkinan identitas pria itu bukanlah orang biasa.Semua orang nampak terbelalak. Wajah terkejut mereka tak bisa tertutupi sedikit pun. Tanpa sadar, ucapan itu membuat Adira dicap sebagai wanita murahan yang dengan mudahnya tidur dengan siapa saja."Cih! Pulang? Dia ini Istriku, ada hak apa kamu ingin membawanya pergi?" ketus Keenan yang sudah terlanjur tersulut emosi.Kedua tatapan tajam itu kembali saling mengimbangi. Membuat situasi mencekam terasa begitu menusuk."Bukankah baru saja kamu ingin mengusirnya?"Keenan nampak terdiam untuk waktu yang cukup lama. Tak ada niatan sedikit pun untuk menjawab pertanyaan yang diajukan padanya. Pandangan matanya mengedar, mencari sebuah alasan yang sedikit menguntungkan untukny

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Talak

    Aksa terdiam untuk sejenak. Ia tak pernah menyangka, amarah itu akan membuat Adira menjadi wanita yang penuh dendam.Namun di balik semua itu, Aksa merasa bersyukur, karena dendam yang begitu membara dalam hati, seketika mengantarkan Adira dengan mudah ke dalam pelukannya."Baiklah, aku akan membuat mereka membayar semua penderitaan yang kamu alami," pungkasnya. Seketika itu, bibirnya menyunggingkan senyuman manis yang berhasil menghipnotis Adira untuk waktu yang cukup lama.Hingga beberapa detik berlalu, Adira baru menyadari keheranannya, "Tu-tunggu, mereka? Kamu tahu siapa Keenan yang aku maksud?"Pria tampan itu tersenyum tipis dengan mengedarkan pandangan matanya. Sebelum kembali menatap lekat manik hitam pekat yang hampir membuatnya gila. "Tidakkah kamu lebih penasaran bagaimana caraku untuk menemukanmu?"Sebelah alis tebal itu diangkat sekilas dengan menelengkan kepala.Adira hanya melengos, ketika pria bermata tajam itu tak berhenti menatapnya lekat.Entah kenapa, ada perasaan

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Kesepakatan?

    Keenan seketika mendongak, matanya membelalak sempurna. Hatinya begitu bergejolak hingga membuatnya tak bisa mengeluarkan kata-kata."Sudahlah, Keenan ... lagi pula dari dulu kamu menolak perjodohan itu kan? Apa salahnya jika hari ini kita menukar kalimat talak itu dengan uang," timpal Betari yang secara tiba-tiba muncul dari balik pintu rumah. Matanya begitu berbinar melihat kembali gepokan uang merah dalam tas koper. Hingga membuatnya tak mampu menahan diri untuk segera merebut tas hitam itu dari tangan Gavin.Keenan tertunduk dengan tatapan nanar. Kalimat talak itu memang telah lama ia siapkan untuk Adira. Namun entah kenapa, ketika hari ini benar-benar tiba, justru nuraninya menolak untuk mengucapkan kalimat itu secara lantang."Cepat ucapkan! Ibumu telah menerima uangnya." Gavin mendekatkan layar ponsel di depan wajah Keenan yang seketika berlinang air mata. Entah kenapa, bayangan wajah Adira seketika membuat hatinya terasa perih, seperti tertusuk ribuan busur panah.Keenan mengh

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Saingan Cinta

    Mata Adira seketika membulat sempurna. Pantas saja, aroma dari bantal ini begitu tidak asing dalam penciumannya. Ternyata itu adalah aroma yang pernah ia cium satu bulan yang lalu di sebuah kamar hotel.Namun, entah kenapa, aroma itu tak membuatnya trauma akan ingatannya yang seketika berputar kembali, tapi malah membuatnya merasa tenang dan nyaman. Sebenarnya apa yang salah dari penciumannya ini? Ataukah semua itu terjadi karena janin yang ada dalam kandungannya?"Pffttt!" Sadar akan terkejutnya Adira, membuat Aksa seketika menahan tawa.Adira segera memutar kepala menghadap Aksa yang tengah terduduk di tepian ranjang, dan memohon sedikit belas kasih, "Tuan, bisakah saya tidur di kamar lain saja? Kamar Pelayan pun tak masalah."Adira memang sering merendahkan diri. Tidak menjadi masalah jika dirinya melakukan hal yang sama guna menyelamatkan dirinya dari terkaman singa jantan itu.Aksa yang telah terdiam kembali tertawa geli. "Sudahlah, makan saja dulu makananmu! Kita bahas itu nanti

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Hari Pernikahan

    Adira membelalak. Satu kata yang terselip dalam kalimat itu seketika membuat jantungnya terasa berhenti berdetak."Calon Nyonya?" Adira mengulangi kalimat yang begitu mengejutkan dirinya dengan lirih.Aksa terlihat salah tingkah setelah menyadari kalimat ambigu yang terucap dari mulut wanita cantik bernama Helen itu. "Tu-tunggu, kamu jangan salah paham dulu, di ...."Helen dengan cepat menyela penjelasan yang hendak keluar dari mulut Aksa, "Saya adalah Tunangan dari Aksa Adhitama, dan sebentar lagi kami akan segera menikah."Tubuh Adira seketika terasa terguncang. Ada rasa sakit yang mulai menjalar dari dalam hati. Perasaan menusuk kini mulai ia rasakan. Ternyata benar dugaannya sebelumnya. Sebenarnya dirinya hanyalah salah satu dari banyaknya wanita koleksi yang dimiliki pria itu."Helen!" Aksa memekik keras. Ia melayangkan tatapan nyalang dan penyesalan secara bergantian dengan Helen dan Adira yang tengah berada dihadapannya."Ada apa? Bukankah apa yang aku katakan memang benar adan

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Undangan Pernikahan

    Aksa terperangah. Matanya membelalak sempurna, seolah tidak percaya dengan pemandangan indah di depan mata.Sementara Adira masih tertunduk. Ia berusaha mati-matian untuk menyembunyikan wajahnya yang dipenuhi dengan riasan makeup.Momen canggung itu terjadi hingga beberapa menit. Sampai di mana Aksa baru menyadari jika Gavin masih mematung di tempat dengan sorot mata kagum yang ia layangkan pada calon istri Aksa."Ekhm!" Aksa dengan sengaja berdehem keras untuk segera menyadarkan asistennya dari lamunan.Hal itu sontak membuat Gavin kalang kabut, dan langsung berlari cepat melakukan tugas yang telah diberikan sang atasan padanya."Ma-maafkan saya, Tuan." Satu kalimat itu terdengar sebelum Gavin mulai melangkah cepat meninggalkan tempat semula.Bagaimana tidak. Penampakan Adira kini bagaikan seorang Dewi yang baru turun dari kahyangan. Dengan ciri khas sanggul ala adat Jawa dengan bunga melati yang masih menguncup, menjuntai indah menghiasi kepala.Aksa yang hampir tidak mengenali calo

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Malam Pengantin

    Tubuh kurus dengan balutan kebaya pengantin itu terlihat begitu terguncang. Secercah amarah kembali terasa meluap-luap dalam hati.Sementara itu, Aksa menyeringai kecil. Perasaan puas kian memenuhi hati, meredamkan amarah yang baru saja terasa begitu menggebu. "Sekarang kamu bisa melihatnya sendiri kan?"Kalimat itu seolah memutar kembali ingatannya, di mana saat Aksa mengatakan jika Keenan memiliki wanita lain di belakang Adira.Dan benar saja, itu benar-benar terjadi. Dan hal ini begitu membuat amarahnya kian memuncak. Dendam dalam hati kini terasa mulai membara. Tak ada lagi kesempatan yang akan ia berikan pada mantan suaminya untuk memperbaiki diri."Jadi masih mau membatalkan pernikahan kita?" tanya Aksa memastikan dengan senyum mengejek dari bibirnya.Adira berusaha mengumpulkan ketegaran dalam hati. Kini semua keputusan berada dalam genggamannya. Jika ia membatalkan pernikahan ini hanya karena seorang wanita yang mengaku sebagai calon Nyonya di kediaman ini, maka sampai maut me

Latest chapter

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Kelahiran anak kedua

    ***Sembilan bulan kemudian. Tepat di saat hari perkiraan lahir sang anak yang masih berada dalam kandungan. Namun hingga hari itu terlewati tak ada tanda-tanda kelahiran akan tiba.Kediaman Aksa Adhitama. Pukul sembilan pagi."Sayang? Kenapa tidak berangkat bekerja hari ini? Bukankah Gavin baru saja memberi tahumu jika akan ada Klien yang akan membuat janji temu di perusahaan?" tanya Adira yang tak sengaja mendapati sang suami masih berada di ruangan kerja, saat hendak membersihkan ruangan itu.Namun alih-alih langsung menjawab, Aksa terlihat masih sibuk dengan layar pada laptopnya.Adira yang tak kunjung mendapatkan respon seketika merasa dongkol. Melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah tertekuk."Kamu mau apa? Berhentilah bersih-bersih! Cepat pergi istirahat!" tegas Aksa dengan nada lembut. Namun pandangan matanya tak berpaling sedikit pun dari layar laptopnya."Aku harus bergerak aktif, agar persalinan nanti bisa berjalan normal. Orang yang tidak pernah berolahraga sepe

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Tebakan bapak tua

    "Kita bisa pulang sekarang?" tanya Aksa meminta persetujuan dari sang istri untuk segera meninggalkan makam.Sontak Adira yang tengah sibuk mengeringkan sebagian bajunya yang terkena tetesan air hujan segera mengangguk pasti.Tangan Adira spontan meraih rambut sang suami untuk segera dikeringkan dengan handuk di tangannya. Ia tak ingin Aksa jatuh sakit setelah melewati beberapa peristiwa berdarah akhir-akhir ini, yang sangat menguras energi."Sayang, bolehkah setelah ini kita mampir membeli sate ayam? Aku lapar," ucap Adira seraya menyengir. Nampaknya tak ada sedikit pun raut kesedihan yang kembali muncul setelah prosesi pemakaman tersebut. Sontak hal itu membuat Aksa tersenyum bahagia, kini tak ada lagi yang ia khawatirkan tentang kondisi sang istri yang akan merasa bersalah seperti sebelumnya."Baik, Nyonya Adhitama," jawab Aksa dengan sedikit bergurau. Ia tak ingin membuat sang istri kembali berekspresi tegang hingga membuat seulas senyum tak mampu sedikit pun menghiasi bibirnya.S

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Pemakaman Betari

    Setelah selesai bersiap-siap, kini ketiganya mulai berkumpul di halaman dekat garasi mobil.Terlihat Gavin berjalan enggan ke arah sang atasan. Ketakutan itu masih terlihat jelas dari sorot matanya."Gavin? Apakah hari ini kamu kurang sehat? Kenapa wajahmu pucat sekali?"Rentetan pertanyaan yang sang atasan ajukan hanya mampu membuat pemuda berusia dua puluhan tahun itu tersenyum getir.Tak mendapati respon yang diinginkan, Aksa pun mulai berpikir keras. Mungkinkah Gavin tak ingin pergi dengannya hari ini?"Gavin, tetaplah di rumah! Urus keperluan sekolah Naura setelah dia bangun nanti," ucap Aksa pada akhirnya mengetes asumsinya sendiri. Dan benar saja, Gavin yang sebelumnya tertunduk lesu kini mendongak pasti dengan wajah berbinar cerah. "Baik, Tuan," ucapnya lantang dengan seulas senyum yang tertahan. Membungkukkan sedikit tubuhnya memberi hormat."Baiklah, aki akan pergi sekarang. Jika ada hal darurat, segera telepon!" ucap Aksa mengingatkan sebelum beranjak memasuki mobil yang te

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Kabar duka dari rumah sakit jiwa

    "Astaga ...!" Dokter itu pun sontak mengusap kasar wajahnya frustasi. Di saat-saat genting semacam ini pun malah tak ada yang langsung bertindak.Hingga pada akhirnya. Dengan berat hati dokter itu segera mengambil sebuah benda pipih di saku jasnya. Menggulir layar ponselnya beberapa kali hingga menghubungkannya dengan sambungan telepon."Halo, Polisi, cepat datang! Ada pasien rumah sakit jiwa yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri ...." Dokter itu berbicara panjang lebar dari sambungan telepon. Menjelaskan secara rinci kejadian yang ia lihat dan lokasi yang harus dituju oleh polisi tersebut. Hingga pada akhirnya sambungan telepon terputus."Cari data keluarga Pasien! Kita harus segera menghubungi keluarganya!" ucap dokter itu panik pada salah satu rekannya setelah selesai meletakkan kembali ponselnya di saku jas putih."Ba-baik." Meski dengan sedikit ketakutan yang masih terasa, namun salah satu perawat segera beranjak melakukan perintah yang ditujukan padanya. Jika dirinya tida

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Betari mengakhiri hidupnya

    ***Rumah sakit jiwa. Pukul satu dini hari.Di jam-jam istirahat kali ini sedikit berbeda. Suasana sunyi seketika terasa mencekam setelah salah satu ruangan dalam rumah sakit itu digunakan salah seorang pasien untuk mengakhiri hidupnya.Betari yang kini telah sedikit kembali mendapatkan kewarasannya sontak celingukan ke kanan dan ke kiri saat mendapati bunyi hentakan kaki di dalam ruangannya."Keenan? Apakah itu kamu?" ucap Betari yang masih menganggap sang putra masih hidup, dan berkhayal seolah sang putra tengah menemaninya setiap hari."Bu ...."Betari segera memutar kepala menghadap belakang, saat samar-samar telinganya menangkap suara Keenan yang tengah memanggilnya."Keenan? Kamu di mana? Jangan main-main dengan Ibu! Cepat keluar!" ucap Betari dengan wajah setengah panik. Pandangan matanya mengedar ke seluruh sudut ruangan, namun tak kunjung ditemukan siapa pun di dalam sana selain dirinya sendiri."Bu, aku di sini."Lagi, suara itu terdengar kembali dan semakin jelas. Betari so

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Penderitaan Mayang

    "Tutup mulut kalian ...!" teriak Mayang lantang dengan tatapan nyalang yang ia layangkan pada lima tahanan wanita yang satu sel dengannya.Sontak seluruh tahanan wanita menatap heran ke arahnya. Merasa bingung, dari mana asal keberanian yang Mayang milik untuk menantang mereka semua.Deru nafas memburu terdengar jelas saat Mayang membulatkan matanya dengan tatapan tajam mengintimidasi. Berdiri tegak dengan satu betisnya yang dililit oleh perban dengan darah yang masih merembes keluar."Cih! Kaki pincang saja masih berani meninggikan suara. Apakah ingin segera dihabis oleh kita?" cibir salah satu tahanan wanita yang memiliki tato di lengannya. Berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat rapi di depan dada dengan gestur angkuh.Sontak kalimat itu membuat Mayang bergidik ngeri. Dirinya melupakan kondisi kakinya saat ini. Meski begitu, dirinya juga tak memiliki pengalaman bela diri sekali pun untuk melawan. Lantas, apa yang harus Mayang lakukan saat ini? Bodoh sekali dirinya sampai meningg

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Hinaan para tahanan

    "Terima kasih, Tuan," ucap para pengawal serempak.Tak berselang lama, sebuah mobil mewah berwarna silver terlihat mulai memasuki halaman, membuat pagar rumah terbuka secara otomatis tanpa disentuh."Kebetulan sekali, Gavin kamu antar saya pergi ke kantor Polisi," ucap Aksa setengah berteriak saat pemuda dengan kacamata bening itu baru menjejakkan kakinya di atas lantai saat turun dari dalam mobil.Sontak Gavin hanya menatap sang majikan dengan beberapa pengawal yang tengah sibuk mengerjakan sesuatu. 'Apa yang terjadi?'Kini Gavin mulai beranjak turun dan menghampiri sang atasan yang masih berdiam diri di tempat semula."Tuan, apa yang telah terjadi? Untuk apa Anda pergi ke kantor Polisi? Apakah ada situasi darurat?"Rentetan pertanyaan itu membuat Aksa terdiam dengan perasaan kesal yang mulai menyertai.Jujur saja, kekhawatiran hebat seketika terbesit di dalam pikiran Gavin saat sang atasan menyebutkan kantor polisi.Melihat sang atasan yang tidak kunjung merespon apa pun, membuat pe

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Mayang di penjara

    Adira segera membuka kotak obat yang baru ia ambil. Mengeluarkan kapas, obat merah dan perban dari dalam sana.Setelah membersihkan luka Aksa dari sisa darah yang telah berhenti mengalir, Adira segera mengoleskan obat merah dan membalut lukanya dengan perban yang ia lilitkan di telapak tangan sang suami."Apakah sakit? Aku akan melonggarkannya jika itu terasa sakit untukmu," ucap Adira saat melihat wajah sang suami masih terpejam dengan suara pekikan yang tertahan."Tidak. Asalkan darahnya sudah tidak terlihat, tidak masalah untukku," jawab Aksa masih terdiam mematung.Hingga dua tangan terasa melingkar di pinggangnya. Sontak membuat Aksa segera membuka mata sebab terkejut."Terima kasih telah melindungiku dari tusukan pisau itu," ucap Adira seraya memeluk erat pinggang sang suami.Sementara Aksa yang merasa pundaknya basah sontak segera melepaskan pelukan Adira di pinggangnya.Terlihat mata Adira yang mulai sembab dan berair. Suara isak tangis terlihat berusaha mati-matian Adira reda

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Suami siaga

    Alih-alih langsung menyerang Adira dengan tangannya sendiri, Mayang justru mendekati Aksa yang tengah memicingkan mata menatapnya dari arah meja makan tanpa sedikit pun beranjak dari sana."Tuan Aksa ... lihatlah apa yang diperbuat Adira padaku!" ucap Mayang seraya merengek. Berharap Aksa akan bersimpati padanya.Namun alih-alih merasa iba, Aksa dengan cepat menutup hidungnya, dengan satu tangan lain menodongkan pisau buah yang ia raih sembarangan dari atas meja makan. "Mundur! Jangan mendekatiku! Baumu busuk sekali."Sontak kalimat itu membuat Mayang menghentikan langkah kakinya. Seraya menciumi tubuhnya sendiri.Aroma tak sedap yang datang dari bubur yang telah basi di pakaiannya teras begitu menusuk hidung. Pantas saja Aksa memintanya untuk segera pergi menjauh."Adira ...!" geram Mayang dengan nada meningkat. Melayangkan tatapan nyalang pada wanita yang tengah berdiri menghadapnya."Maafkan aku Mayang. Aku ketiduran tadi malam, jadi tidak sempat untuk mengambilkanmu baju ganti," u

DMCA.com Protection Status