Langkah lebar Aksa seketika terhenti di depan pintu kamar, tatkala mendapati barang-barang Adira dilempar kasar dari arah dalam ruangan."Apa-apaan ini?!" geram Aksa seraya kembali beranjak.Terlihat seorang wanita cantik dengan balutan kemeja merah jambu dan celana jeans ketat itu, tak henti melantunkan umpatan kasar dari dalam mulutnya. Sementara kedua tangannya tengah mengobrak-abrik isi lemari untuk mencari barang-barang Adira yang tersisa di dalam sana."Helena! Apa yang sedang kamu lakukan di sini?!" Bentakan Aksa nyatanya tak mampu mempengaruhi niat wanita itu.Wanita bernama lengkap Helena Ducan itu hanya terdiam sejenak tanpa menoleh sedikit pun, sebelum kembali melanjutkan aktivitasnya yang semakin membuat Aksa kesal.Pria bertubuh atletis dengan kapas dan plaster yang menempel di ujung alisnya itu beranjak menghampiri. Meraih kasar tangan Helen yang masih sibuk mengeluarkan barang-barang Adira.Wajah wanita cantik itu nampak tertegun sesaat. Memperhatikan sebuah plaster yan
"Jangan sombong dulu. Kamu tahu? Aku adalah wanita yang akan merebut Aksa darimu," bisik Helen dengan penuh penekanan.Namun alih-alih tertekan dengan ancaman itu. Adira malah tersenyum lebar tanpa sedikit pun terpengaruh ucapannya. "Apa menurutmu hal itu begitu mudah seperti merebut permen dari seorang anak kecil?" cibirnya.Helen yang mulai merasa dongkol pun akhirnya terdiam dengan tatapan tajam.Sementara itu. Gavin yang sebelumnya telah diberi tugas untuk mengirim beberapa pengawal ke dalam kediaman saat ini nampaknya masih bernegosiasi."Tuan Gavin, saya benar-benar tidak berbohong. Nona Helen sebelumnya membawa sebuah senjata sejenis pistol yang ia todongkan di kepalanya sendiri," jelas salah satu penjaga yang menyaksikan sendiri bagaimana cara Helen masuk begitu mudah ke kediaman ini."Jadi kamu takut dengan ancaman itu?" tanya Gavin memastikan dengan tatapan tajam, seolah tengah menginterogasi seorang penjahat yang tidak mau mengakui kesalahannya."Saya takut terkena masalah
Ditengah gerimis yang melanda di kota itu. Terlihat seorang wanita cantik yang masih mengenakan pakaian rumah sakit berwarna coklat muda. Duduk berjongkok di atas trotoar jalan yang terlihat sepi tanpa satu orang pun berlalu lalang."Uangku sudah habis. Lalu sekarang aku harus pergi ke mana? Tidak mungkin aku kembali mengemis ke kontrakan kecil milik Mas Keenan itu," ucap Mayang lirih, seolah tengah berbicara pada dirinya sendiri.Setelah menjual satu-satunya kalung berlian peninggalan sang ayah yang tak ikut raib terjarah oleh penagih hutang, niat awal Mayang sebenarnya adalah untuk pergi dari rumah kontrakan Keenan dan hidup mandiri. Tapi pada kenyataannya, kecemburuan dan tekad yang ditekankan almarhum sang ayah membuatnya menaruh dendam pada Adira yang bisa dengan mudah hidup bahagia hanya dengan mengandalkan keberuntungan saja.Namun nasi sudah menjadi bubur. Tak ada alasan baginya untuk menyesali semua yang telah terjadi.Ditengah-tengah kebingungan yang melanda. Hawa dingin yan
"Apa maksudmu, Keenan? Kenapa Mayang tidak harus berjalan?" tanya Betari yang tidak mengetahui kecelakaan itu sebelumnya.Namun Keenan seolah tak mendengar pertanyaan itu. Dengan wajah lelahnya yang mulai memanas, Keenan berjalan mendekati Mayang dengan langkah kasar. Mencengkeram kuat kedua pundaknya dan mengguncangnya beberapa kali."Katakan! Apakah kamu sedang membohongiku?!" Keenan yang tidak pernah meninggikan suaranya di depan Mayang, kali ini telah habis kesabaran.Namun bentakan keras itu hanya mampu membuat Mayang tertunduk. Menyembunyikan ketakutan hebat dan kebingungan yang mulai menyelimuti sanubarinya. Apa yang harus ia jelaskan pada Keenan saat ini? Haruskah dia mengakui jika dirinya hanya berputar-putar cacat?Tak kunjung mendapatkan jawaban, membuat pria tampan dengan rambut sedikit gondrong itu kembali menegaskan ucapannya, "Jawab, Mayang!"Tak ada pilihan lain selain harus mengakui kebohongannya. Kini wanita dengan rambut berantakan itu mulai mengambil nafas panjang,
Sementara itu, Adira terlihat termenung di atas ranjang setelah menidurkan sang putri.Ingatan akan kehadiran Helen di rumah ini membuatnya meragukan kembali niat baik sang suami yang ingin mempertahankan rumah tangga mereka."Adira." Panggilan dari Aksa yang telah berdiri di sampingnya membuat tubuh wanita cantik itu terkesiap. Terlalu larut dalam lamunan membuatnya tak menyadari kehadiran pria tampan yang tengah bertelanjang dada itu."Apakah aku masih harus menjelaskan tentang masalah hari ini padamu?" tanya Aksa memastikan saat mendapati sang istri justru memalingkan wajah melihat kehadirannya.Hening, tak ada satu kata pun keluar dari mulut Adira. Seolah merasa enggan untuk membahas kembali kejadian yang membuatnya dongkol hari ini."Aku minta maaf, ini terjadi di luar kendaliku," imbuhnya seraya berjalan mendekat. Duduk di tepian ranjang, di samping sang istri yang masih enggan menatapnya."Sayang, bicaralah! Aku tidak nyaman kalau kamu terus mendiamkan ku begini," gerutu Aksa y
Kini pria tampan dengan balutan kemeja hitam yang tak dikancing itu mulai melangkah kembali memasuki kamar tidurnya.Rasa ragu mulai menyertai langkahnya yang semakin mendekati sang istri yang terlihat telah terlelap.Tanpa sedikit pun suara yang keluar dari dalam mulutnya. Pria itu kini mulai menyingkap selimut yang menutupi sebagian ranjang dan mulai merebahkan diri.Tangannya mengulur, merengkuh pinggang ramping sang istri yang tengah tertidur membelakanginya.Namun Aksa terkejut bukan kepalang, saat Adira yang belum sepenuhnya tertidur mulai menampik lengan kekar yang melingkar di pinggangnya. "Lepas!" geram Adira tanpa menoleh sedikit pun ke arah suaminya.Namun alih-alih terpengaruh akan tekanan yang diberikan oleh Adira. Aksa justru semakin mengeratkan pelukannya. Dengan tersenyum penuh arti. Membenamkan wajahnya di antara tengkuk sang istri yang seketika mengeliat tak tentu arah."Aksa, apa yang sedang kamu lakukan?!" bisik Adira penuh penekanan. Saat merasakan sensasi menggel
"Sekarang Nona Muda pergi sarapan dulu, setelah pulang dari mendaftar sekolah, Om Gavin akan membelikan Anda es krim," ucap Gavin pada Naura yang seketika tersenyum lebar.Gadis kecil itu pun lantas mengangguk sebelum berlari kembali menuju meja makan.Setelahnya mereka berangkat bersama untuk pergi ke perusahaan dan mendaftar sekolah di salah satu taman bermain anak, yang dikhususkan untuk balita dengan usia tiga tahun ke atas."Bu, tolong tunggu sebentar di sini. Saya akan mengambilkan berkas-berkas yang perlu ditanda tangani," ucap kepala lembaga yang menaungi tempat itu. Pergi meninggalkan Adira dan Naura yang masih duduk di sebuah kursi lipat di dekat meja yang biasa digunakan untuk menerima tamu.Sedang Gavin masih dengan sabar menunggu sang atasan selesai melakukan urusannya. Berdiri tegak di belakang Adira. Tanpa sepatah kata pun muncul dari dalam mulutnya."Ma ... Kenapa lama sekali? Naura ingin segera membeli es krim ...." rengek Naura seraya mengguncang paha sang ibu. Nampak
Lama terdiam membuat Keenan perlahan kehilangan akal. Namun niatan buruk yang melintasi pikirannya sejenak, berusaha ia tepis.Diliriknya tubuh wanita yang terlihat begitu berisi dari sebelumnya. Balutan dress berwarna ungu tua membuatnya semakin mempesona. Riasan tips membuat wajahnya terlihat segar. Tak pucat pasih seperti dahulu saat masih menjadi istrinya. Nampaknya Aksa berhasil membuat wanita itu merasa bahagia menjalani kehidupannya saat ini."Kamu kedinginan?" tanya Keenan memastikan saat melihat tubuh Adira yang masih meringkuk terlihat bergetar halus."Tidak masalah, sebentar lagi akan hilang dengan sendirinya," jawab Adira seraya tersenyum tipis. Untuk meyakinkan lawan bicaranya, jika dirinya saat ini sedang baik-baik saja.Namun alih-alih mengerti. Keenan justru tertegun melihat garis lengkung yang menghiasi bibir ranum mantan istrinya itu. Manis sekali.Hingga lantas membuatnya berinisiatif untuk segera memakaikan jaketnya yang setengah basah ke tubuh Adira.Adira yang te
***Sembilan bulan kemudian. Tepat di saat hari perkiraan lahir sang anak yang masih berada dalam kandungan. Namun hingga hari itu terlewati tak ada tanda-tanda kelahiran akan tiba.Kediaman Aksa Adhitama. Pukul sembilan pagi."Sayang? Kenapa tidak berangkat bekerja hari ini? Bukankah Gavin baru saja memberi tahumu jika akan ada Klien yang akan membuat janji temu di perusahaan?" tanya Adira yang tak sengaja mendapati sang suami masih berada di ruangan kerja, saat hendak membersihkan ruangan itu.Namun alih-alih langsung menjawab, Aksa terlihat masih sibuk dengan layar pada laptopnya.Adira yang tak kunjung mendapatkan respon seketika merasa dongkol. Melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah tertekuk."Kamu mau apa? Berhentilah bersih-bersih! Cepat pergi istirahat!" tegas Aksa dengan nada lembut. Namun pandangan matanya tak berpaling sedikit pun dari layar laptopnya."Aku harus bergerak aktif, agar persalinan nanti bisa berjalan normal. Orang yang tidak pernah berolahraga sepe
"Kita bisa pulang sekarang?" tanya Aksa meminta persetujuan dari sang istri untuk segera meninggalkan makam.Sontak Adira yang tengah sibuk mengeringkan sebagian bajunya yang terkena tetesan air hujan segera mengangguk pasti.Tangan Adira spontan meraih rambut sang suami untuk segera dikeringkan dengan handuk di tangannya. Ia tak ingin Aksa jatuh sakit setelah melewati beberapa peristiwa berdarah akhir-akhir ini, yang sangat menguras energi."Sayang, bolehkah setelah ini kita mampir membeli sate ayam? Aku lapar," ucap Adira seraya menyengir. Nampaknya tak ada sedikit pun raut kesedihan yang kembali muncul setelah prosesi pemakaman tersebut. Sontak hal itu membuat Aksa tersenyum bahagia, kini tak ada lagi yang ia khawatirkan tentang kondisi sang istri yang akan merasa bersalah seperti sebelumnya."Baik, Nyonya Adhitama," jawab Aksa dengan sedikit bergurau. Ia tak ingin membuat sang istri kembali berekspresi tegang hingga membuat seulas senyum tak mampu sedikit pun menghiasi bibirnya.S
Setelah selesai bersiap-siap, kini ketiganya mulai berkumpul di halaman dekat garasi mobil.Terlihat Gavin berjalan enggan ke arah sang atasan. Ketakutan itu masih terlihat jelas dari sorot matanya."Gavin? Apakah hari ini kamu kurang sehat? Kenapa wajahmu pucat sekali?"Rentetan pertanyaan yang sang atasan ajukan hanya mampu membuat pemuda berusia dua puluhan tahun itu tersenyum getir.Tak mendapati respon yang diinginkan, Aksa pun mulai berpikir keras. Mungkinkah Gavin tak ingin pergi dengannya hari ini?"Gavin, tetaplah di rumah! Urus keperluan sekolah Naura setelah dia bangun nanti," ucap Aksa pada akhirnya mengetes asumsinya sendiri. Dan benar saja, Gavin yang sebelumnya tertunduk lesu kini mendongak pasti dengan wajah berbinar cerah. "Baik, Tuan," ucapnya lantang dengan seulas senyum yang tertahan. Membungkukkan sedikit tubuhnya memberi hormat."Baiklah, aki akan pergi sekarang. Jika ada hal darurat, segera telepon!" ucap Aksa mengingatkan sebelum beranjak memasuki mobil yang te
"Astaga ...!" Dokter itu pun sontak mengusap kasar wajahnya frustasi. Di saat-saat genting semacam ini pun malah tak ada yang langsung bertindak.Hingga pada akhirnya. Dengan berat hati dokter itu segera mengambil sebuah benda pipih di saku jasnya. Menggulir layar ponselnya beberapa kali hingga menghubungkannya dengan sambungan telepon."Halo, Polisi, cepat datang! Ada pasien rumah sakit jiwa yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri ...." Dokter itu berbicara panjang lebar dari sambungan telepon. Menjelaskan secara rinci kejadian yang ia lihat dan lokasi yang harus dituju oleh polisi tersebut. Hingga pada akhirnya sambungan telepon terputus."Cari data keluarga Pasien! Kita harus segera menghubungi keluarganya!" ucap dokter itu panik pada salah satu rekannya setelah selesai meletakkan kembali ponselnya di saku jas putih."Ba-baik." Meski dengan sedikit ketakutan yang masih terasa, namun salah satu perawat segera beranjak melakukan perintah yang ditujukan padanya. Jika dirinya tida
***Rumah sakit jiwa. Pukul satu dini hari.Di jam-jam istirahat kali ini sedikit berbeda. Suasana sunyi seketika terasa mencekam setelah salah satu ruangan dalam rumah sakit itu digunakan salah seorang pasien untuk mengakhiri hidupnya.Betari yang kini telah sedikit kembali mendapatkan kewarasannya sontak celingukan ke kanan dan ke kiri saat mendapati bunyi hentakan kaki di dalam ruangannya."Keenan? Apakah itu kamu?" ucap Betari yang masih menganggap sang putra masih hidup, dan berkhayal seolah sang putra tengah menemaninya setiap hari."Bu ...."Betari segera memutar kepala menghadap belakang, saat samar-samar telinganya menangkap suara Keenan yang tengah memanggilnya."Keenan? Kamu di mana? Jangan main-main dengan Ibu! Cepat keluar!" ucap Betari dengan wajah setengah panik. Pandangan matanya mengedar ke seluruh sudut ruangan, namun tak kunjung ditemukan siapa pun di dalam sana selain dirinya sendiri."Bu, aku di sini."Lagi, suara itu terdengar kembali dan semakin jelas. Betari so
"Tutup mulut kalian ...!" teriak Mayang lantang dengan tatapan nyalang yang ia layangkan pada lima tahanan wanita yang satu sel dengannya.Sontak seluruh tahanan wanita menatap heran ke arahnya. Merasa bingung, dari mana asal keberanian yang Mayang milik untuk menantang mereka semua.Deru nafas memburu terdengar jelas saat Mayang membulatkan matanya dengan tatapan tajam mengintimidasi. Berdiri tegak dengan satu betisnya yang dililit oleh perban dengan darah yang masih merembes keluar."Cih! Kaki pincang saja masih berani meninggikan suara. Apakah ingin segera dihabis oleh kita?" cibir salah satu tahanan wanita yang memiliki tato di lengannya. Berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat rapi di depan dada dengan gestur angkuh.Sontak kalimat itu membuat Mayang bergidik ngeri. Dirinya melupakan kondisi kakinya saat ini. Meski begitu, dirinya juga tak memiliki pengalaman bela diri sekali pun untuk melawan. Lantas, apa yang harus Mayang lakukan saat ini? Bodoh sekali dirinya sampai meningg
"Terima kasih, Tuan," ucap para pengawal serempak.Tak berselang lama, sebuah mobil mewah berwarna silver terlihat mulai memasuki halaman, membuat pagar rumah terbuka secara otomatis tanpa disentuh."Kebetulan sekali, Gavin kamu antar saya pergi ke kantor Polisi," ucap Aksa setengah berteriak saat pemuda dengan kacamata bening itu baru menjejakkan kakinya di atas lantai saat turun dari dalam mobil.Sontak Gavin hanya menatap sang majikan dengan beberapa pengawal yang tengah sibuk mengerjakan sesuatu. 'Apa yang terjadi?'Kini Gavin mulai beranjak turun dan menghampiri sang atasan yang masih berdiam diri di tempat semula."Tuan, apa yang telah terjadi? Untuk apa Anda pergi ke kantor Polisi? Apakah ada situasi darurat?"Rentetan pertanyaan itu membuat Aksa terdiam dengan perasaan kesal yang mulai menyertai.Jujur saja, kekhawatiran hebat seketika terbesit di dalam pikiran Gavin saat sang atasan menyebutkan kantor polisi.Melihat sang atasan yang tidak kunjung merespon apa pun, membuat pe
Adira segera membuka kotak obat yang baru ia ambil. Mengeluarkan kapas, obat merah dan perban dari dalam sana.Setelah membersihkan luka Aksa dari sisa darah yang telah berhenti mengalir, Adira segera mengoleskan obat merah dan membalut lukanya dengan perban yang ia lilitkan di telapak tangan sang suami."Apakah sakit? Aku akan melonggarkannya jika itu terasa sakit untukmu," ucap Adira saat melihat wajah sang suami masih terpejam dengan suara pekikan yang tertahan."Tidak. Asalkan darahnya sudah tidak terlihat, tidak masalah untukku," jawab Aksa masih terdiam mematung.Hingga dua tangan terasa melingkar di pinggangnya. Sontak membuat Aksa segera membuka mata sebab terkejut."Terima kasih telah melindungiku dari tusukan pisau itu," ucap Adira seraya memeluk erat pinggang sang suami.Sementara Aksa yang merasa pundaknya basah sontak segera melepaskan pelukan Adira di pinggangnya.Terlihat mata Adira yang mulai sembab dan berair. Suara isak tangis terlihat berusaha mati-matian Adira reda
Alih-alih langsung menyerang Adira dengan tangannya sendiri, Mayang justru mendekati Aksa yang tengah memicingkan mata menatapnya dari arah meja makan tanpa sedikit pun beranjak dari sana."Tuan Aksa ... lihatlah apa yang diperbuat Adira padaku!" ucap Mayang seraya merengek. Berharap Aksa akan bersimpati padanya.Namun alih-alih merasa iba, Aksa dengan cepat menutup hidungnya, dengan satu tangan lain menodongkan pisau buah yang ia raih sembarangan dari atas meja makan. "Mundur! Jangan mendekatiku! Baumu busuk sekali."Sontak kalimat itu membuat Mayang menghentikan langkah kakinya. Seraya menciumi tubuhnya sendiri.Aroma tak sedap yang datang dari bubur yang telah basi di pakaiannya teras begitu menusuk hidung. Pantas saja Aksa memintanya untuk segera pergi menjauh."Adira ...!" geram Mayang dengan nada meningkat. Melayangkan tatapan nyalang pada wanita yang tengah berdiri menghadapnya."Maafkan aku Mayang. Aku ketiduran tadi malam, jadi tidak sempat untuk mengambilkanmu baju ganti," u