Pukul 12.30, Marigold mendorong pintu kaca laboratorium medis. Alisnya mencuat ke atas, melihat antrian yang cukup banyak. Dengan linglung karena mengamati para gadis cantik yang duduk berjejer disana, Marigold mendatangi meja registrasi.
"Apa mereka semua punya tujuan yang sama denganku?" gumam Marigold sambil menggaruk pelipisnya.
"Selamat datang. Silakan duduk."
"Permisi mbak," sapa Marigold sambil menarik kursi di meja registrasi. "Aku mau.."
"Mau tes keperawanan?"
"Loh kok tahu?" seru Marigold keras, lalu langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya. "Mbak nya kok bisa tahu?" ulangnya dengan suara berbisik.
"Coba lihat ke belakang," tunjuk petugas registrasi ke belakang punggung Marigold.
"Apa?" Marigold bergeser di kursinya dan menoleh ke belakang, ke arah yang ditunjukkan si resepsionis.
"Mereka semua sedang mengantri melakukan tes keperawanan seperti anda. Sejak pagi tadi, banyak gadis yang mengantri di laboratorium ini. Acara pemilihan gadis milyader itu benar-benar terkenal."
Marigold berdecak tidak suka, menyadari di depan mata tentang semua lawannya. Benar dugaannya. Kemudian Marigold berbalik dan menghadap si mbak register yang tersenyum menyebalkan.
"Mbak tidak ikut tes sekalian?" sindir Marigold dengan wajah cemberut.
"Ikut dong," sahut petugas registrasi itu yang malu-malu menyelipkan sehelai rambutnya ke belakang telinga. Lalu jarinya menunjuk ke arah tanda pengenal nama yang disematkan di seragam kerjanya. "Lihat namaku juga memiliki identitas bunga kan?"
Marigold memicingkan mata untuk membaca tanda pengenal. "Bunga Lestari. Identitas nama bunga," kata Marigold ketus sambil mengangguk. Bahkan petugas laboratorium pun menjadi rivalnya. Hebat.
"Baiklah, silakan isi formulir ini berdasarkan kartu tanda pengenal," kata petugas bernama Bunga itu sambil menyodorkan selembar kertas penuh pertanyaan.
Dua menit kemudian, Marigold menyerahkan formulir itu dan menantikan dirinya akan masuk dalam nomer antrian yang entah ke berapa. Sambil menunggu, Marigold memainkan pulpen yang tadi dipakainya menulis.
"Totalnya sekian, mbak," kata petugas itu sambil menyodorkan selembar kwitansi.
Marigold terkesiap melihat jumlah nominal yang tertera di kwitansi itu. "Tidak salah ini?! Kenapa mahal sekali?!"
"Memang segitu harganya."
"Benarkah?" seru Marigold syok sambil menatap nanar pada angka yang tertera di kwitansi itu. "Laboratorium ini tidak melakukan up harga kan? Tidak mengambil keuntungan lebih, hanya karena ada acara ini?"
Petugas registrasi tersenyum dan menjawab dengan diplomatis. "Kualitas kami sebanding dengan harga."
"Ck, apa maksudnya itu? Sama sekali tidak menjawab pertanyaan," gerutu Marigold sambil mengeluarkan dompetnya.
"Saya terima uang nya dan ini kwintansinya. Silakan nomer antrian anda. Silakan duduk disana untuk menunggu panggilan," kata petugas registrasi dengan nada datar sambil memberikan selembar kartu nomer antrian.
Marigold kembali mengeluh. Yang benar saja, dirinya mendapatkan nomer antrian 200. "Mbak, sekarang antrian nomer berapa?"
"Itu, lihat sendiri di layar kaca."
Marigold mendongakkan kepala dan menatap horor. "Ya amplopku.. baru nomer 104? Kapan selesainya ini?"
"Anda adalah pasien terakhir yang kami terima hari ini. Oya, satu lagi. Ngomong-ngomong, nama anda yang adalah Marigold, apakah mempunyai arti nama bunga? Kok saya tidak pernah mendengar sebelumnya ya?"
"Tanya saja sama mbah gogle. Disana lengkap penjelasannya," jawab Marigold ketus sambil berdiri dan pergi dari meja tempat registrasi.
Marigold yang sudah sebal karena antrian yang banyak, serta harus membayar uang tes keperawanan yang cukup mahal, kini ditambah lagi dengan si mbak mengomentari namanya. Well, nama Marigold adalah pemberian orang tuanya yang ahli botani. Nama Marigold memang sedikit unik dan spesial. Belum lagi, Nina, sepupunya yang tidak mau menemaninya ke laboratorium, dengan alasan capek. Terpaksa, Marigold mengantarkannya kembali dojo dengan sepeda motornya.
Marigold berjalan menyusuri lorong ruang tunggu untuk mencari kursi yang kosong. Yes, ada satu di ujung sana. Dipercepatnya langkahnya agar kursi itu tidak ambil orang lain. Akan tetapi, langkahnya terhenti di depan seseorang yang duduk tepat di sebelah kursi yang kosong.
"Alana?" ucap Marigold terperanjat mendapati seseorang yang dikenalnya, duduk antri di kursi tunggu. "Sedang apa kamu disini?"
"Marigold?" ucap gadis yang dipanggil Marigold dengan nama Alana. Alana adalah temannya yang berasal dari kota yang sama dengan Marigold. Selain itu, Alana juga merupakan satu teman sekolah.
Marigold duduk di kursi yang kosong, tepat di sebelah Alana. "Apa.. kamu juga ikut tes keperawanan untuk acara pemilihan gadis milyader?"
Alana mengibaskan rambut panjangnya ke belakang bahunya. "Tentu saja. Gadis secantik aku, Alana Jasmine, tentu saja harus berpasangan dengan seorang Maximilian Alexander, milyader yang terkenal tampan," ujarnya sombong. Lalu memandang Marigold dari atas ke bawah dan mencibirnya. "Dan kamu?! Jangan katakan padaku, bahwa kamu juga ingin mengikuti tes dan pemilihan itu."
Marigold mengangkat bahu. Ejekan Alana membuat Marigold menjadi defensif. "Tidak ada salahnya untuk mencoba. Siapa tahu seorang Marigold Flora yang sederhana ini bisa mengalahkan dirimu yang... well.. entahlah, aku tidak bisa mendeskripsikannya."
"Kurang ajar!" geram Alana yang marah karena Marigold menghinanya. "Kita sudah lama tidak bertemu, tapi mulutmu masih saja setajam silet."
"Asal kamu tahu, mulutku ini selalu diasah tiap pagi dan sore, untuk menangkis semua serangan dari orang-orangan sawah yang bodoh."
"Sialan kamu, Marigold!" desis Alana marah dengan tangan terkepal ke arah Marigold. "Aku ingin sekali menampar mulutmu yang lancang itu!"
"Hei Alana, itu nomermu sudah dipanggil," sela seorang gadis yang duduk di sebelah Alana yang sedang mengamuk.
"Bye-bye.. pergilah dengan tenang," ucap Marigold sambil tersenyum. "Aku akan berdoa sungguh-sungguh, supaya dokter yang memeriksamu, memiliki mata yang rabun, sehingga tidak bisa melihat apakah kamu masih perawan atau tidak."
"Dasar gadis kurang ajar!" jerit Alana yang sudah akan meledak kepalanya karena emosi tingkat tinggi.
"Sudah, Alana. Jangan dihiraukan lagi. Jika kamu tidak segera masuk, nanti nomer mu akan diloncati orang lain."
"Awas kamu, Marigold. Jangan sampai aku bertemu lagi denganmu. Aku akan melumatmu sampai habis," ancam marah Alana yang menudingkan jarinya pada Marigold sambil berdiri.
"Jangan suka marah-marah, Alana. Nanti cepat tua," balas Marigold datar. Alana yang diejek olehnya, ingin mendatanginya lagi dengan murka. Untung saja, temannya menariknya pergi, sehingga tidak terjadi perkelahian.
Sepeninggal Alana yang masuk untuk menjalani pemeriksaan, mata Marigold tertuju pada layar televisi besar yang tertempel di dinding. Disana, ada berita siaran langsung wawancara dengan milyader, Maximilian Alexander. Marigold langsung menajamkan pandangannya untuk memperhatikan wajah dan postur tubuh yang sempurna dari idolanya.
"Oh, gantengnya," bisik Marigold yang terpesona dengan gaya dingin seorang milyarder. Dingin, tanpa senyum di wajahnya serta bermata datar yang menyeramkan. Seorang Maximilian yang dingin sanggup membuat ayam jantan mengkerut ketakutan dan bertelur.
"Bagaimana perasaan anda, mengetahui bahwa acara yang akan anda selenggarakan, sungguh telah mengguncang dunia?" tanya reporter cantik sambil menyodorkan alat perekam. "Anda tahu, para gadis cantik telah berbondong-bondong untuk melakukan tes keperawanan sebagai syarat mengikuti acara pemilihan gadis bagi milyader."
"Aku senang acara ini mendapat sambutan yang meriah. Lakukan yang terbaik, girls. Kita akan segera bertemu," jawab sang milyader singkat lalu segera masuk ke dalam mobil yang sudah menunggunya.
Marigold tersenyum membayangkan dirinya bersanding dengan sang milyader. Itu sungguh mimpi yang menjadi kenyataan. Marigold menarik nafas panjang, lalu memejamkan mata. Tanpa sadar, dirinya yang lelah, tertidur lelap. Kemudian..
"Mbak.. mbak.. bangun. Sekarang giliran anda," panggil seseorang berjubah dokter sambil menggoncang pelan lengan Marigold.
"Hah?! Giliranku? Giliran apa?" tanya Marigold bingung karena terbangun dengan tiba-tiba.
"Tes keperawanan. Ayo cepat, mbak. Anda yang terakhir."
"Oh ya-ya.. Maaf, aku ketiduran ya," jawab Marigold yang buru-buru berdiri dan merapikan rambutnya.
"Silakan ikuti saya."
"Baiklah. Ayo, segera periksa aku, supaya aku bisa mendatangi pangeran impianku."
Bersambung...
Gerimis.Marigold keluar dari laboratorium, lalu menuju ke lapangan parkir. Dibukanya jok sepeda motor dan mengeluarkan jas hujan dari motornya, lalu berdecak sebal. Dibentangkannya jas hujan miliknya dan mengintip di lubang sebesar kepalan tangannya."Akkhhhh," jerit Marigold kesal. "Aku lupa lagi beli jas hujan. Menyebalkan!"Marigold melipat jas hujan berlubang itu dengan asal-asalan, lalu menjejalkannya kembali ke jok sepeda motor. Percuma berat-berat memakai jas hujan, jika ujung-ujungnya basah juga. Lebih tidak pakai sekalian. Kemudian Marigold mengenakan jaket dan mengunci helm yang sudah terpasang di kepalanya, lalu menghidupkan mesin motor bekas miliknya. Udara dingin segera menerpa wajahnya, setelah motornya meninggalkan lapangan parkir motor yang sudah sepi itu.Motor Marigold melaju dengan kecepatan sedang. Setiap kali mengendarai motor seorang diri, pikirannya selalu melamun dan melantur. Tanpa disadarinya, Marigold mengarahkan motornya ke ar
Sementara itu, di tempat lain. Meeting berikutnya di restoran Perancis yang terletak tidak jauh dari sebuah mall dan kafe-kafe yang menjamur bak musim hujan. Maximilian memandang kelap-kelip lampu kafe. Beberapa pasang kekasih keluar dan masuk ke beberapa kafe. "Hmm, aku belum pernah mendatangi kafe biasa seperti ini. Seperti apa ya rasanya? Apakah sama dengan kafe eksklusif yang sering kudatangi, dengan suasananya yang dingin dan membosankan?" gumam Max yang tertarik pada sepasang kekasih yang saling berangkulan dan tertawa lepas. Kentara sekali mereka saling menyayangi dan mencintai. Ckriitt.. "Ada apa?" tanya Max yang heran karena Pak Umar, sopir pribadinya yang tiba-tiba menghentikan mobil di tempat seperti ini. Tempat meeting berikutnya masih dua puluh menit perjalanan dari sini. "Anu.. Tuan Max, sepertinya ada penjambretan dan perkelahian di depan sana," jawab Pak Umar sambil menudingkan jarinya ke arah jalan yang tersembunyi. Ma
Nina baru saja menyelesaikan acara mandinya, ketika ponsel yang diletakkan di rak kaca wastafel, berbunyi. Nina segera membebat tubuhnya dengan handuk putih yang lebar dan besar. Diraihnya ponsel itu lalu menekan tombol hijau."Halo? Ada apa Marigold?" sapanya sambil membuka pintu kamar mandi lalu melangkah keluar."Saya Pak Umar. Bisa bicara dengan Nona Nina?""Pak Umar?" ulang Nina yang menurunkan ponselnya untuk mengecek nomer kontak sekali lagi. Benar, ini nomer ponsel Marigold, sepupunya. "Anda siapa? Kenapa ponsel sepupuku ada ditangan anda? Apa yang terjadi padanya?""Nina, ada apa dengan Marigold?" seru panik papa Nina yang tiba-tiba mendekati putrinya."Sebentar papa. Nina masih bicara nih, jangan menyela dong," omel sebal Nina sambil mendorong tubuh papanya yang mendekatkan kuping di ponsel yang diletakkan di telinga putrinya."Tapi papa harus tahu apa yang terjadi dengan keponakan tercinta papa," protes papa Nina yang dengan keras
Suara bising di sekitarnya terdengar mengganggu pendengaran Marigold yang sedang tertidur pulas. Perlahan, dibukanya kedua matanya dan langsung bertatapan dengan sebuket bunga mawar kuning yang diletakkan di meja, dekat dirinya berbaring."Bunga? Kenapa ada bunga di kamarku?" gumam Marigold yang disorientasi karena bangun tidur. Belum lagi ditambah rasa sakit di kepala, perih iya, pusing juga iya. "Aku ada dimana ya?""Marigold, kamu sudah bangun?"Kepala Marigold berputar ke arah sebaliknya dari dirinya berbaring, untuk melihat siapa yang berbicara padanya. Dan lagi-lagi dirinya melihat sebuket bunga yang.. berbicara? Marigold mengerutkan kening dan memiringkan kepalanya di bantal sambil berpikir keras. Well, apakah dirinya sedang berhalusinasi, melihat buket bunga yang bisa berbicara?"Siapa kamu? Kenapa bunga matahari bisa berbicara?" tanyanya linglung."Ck, apaan sih? Omonganmu semakin bertambah ngawur saja, Marigold. Kupikir kepalamu masih per
Ting-tong.Marigold membuka pintu apartemennya, namun langsung membantingnya kembali. Dan sayangnya, usahanya gagal. Pintu itu ditahan oleh tamu Marigold, yang kini memaksa masuk ke dalam apartemen.Marigold bersedekap dan bersandar di tembok, dekat pintu apartemen yang masih dibiarkannya terbuka. Marigold sama sekali tidak menyukai kehadiran si tamu yang kini sedang berjalan-jalan tanpa permisi, masuk ke area pribadinya serta memindai setiap sudut miliknya dengan raut tidak terbaca. Menyebalkan."Menurutmu, apa yang sedang kamu lakukan disini, Adam? Kamu bukan temanku. Dan sekarang kamu memaksa masuk ke dalam apartemenku. Itu adalah suatu kejahatan. Sekarang, mungkin aku harus menelpon pihak sekuriti untuk membawamu keluar dari apartemenku. Dan setelah itu, aku akan memanggil tim penyemprot hama, agar apartemenku terbebas dari virus.""Ck-ck.. Sudah lama tidak bertemu, masih saja bermulut tajam.""Untuk menghadapi orang asing dengan maksud tidak j
Pukul 19.00. Restoran Perancis.Maximilian bersama Martin masuk ke sebuah restoran Perancis, untuk makan malam bisnis bersama salah satu kolega bisnis, yaitu seorang ahli pembibitan parfum dari Perancis. Jalanan macet karena adanya penutupan beberapa ruas jalan utama menjelang akhir tahun, akibatnya Max terpaksa datang terlambat. Dan sebelumnya Martin, asisten pribadinya sudah mengabarkan keterlambatannya pada koleganya ini, sehingga laki-laki yang berkumis lebat ini bisa memahami alasan keterlambatan Max."Dia? Sedang apa dia disini?" gumam Max lirih ketika sudut matanya menemukan sosok yang familiar. Ck, apanya yang familiar. Dirinya baru bertemu satu kali, yaitu saat menyelamatkannya dari penjambret, beberapa hari yang lalu. Tanpa sadar, kaki Max berhenti melangkah. "Sungguh pertanyaan bodoh. Di restoran, tentu saja sedang makan malam," monolognya, merutuki dirinya sendiri."Siapa?" tanya Martin bingung. Asisten pribadi Max yang berjalan di sisinya, yang juga
"Sudah sampai, non," kata pak sopir sambil menoleh ke arah jok belakang mobil MPV hitam miliknya. "Ini uangnya, pak. Ambil saja kembaliannya," kata Marigold sambil memberikan sejumlah uang pada pak sopir online. Lalu membuka pintu mobil dan menggeser tubuhnya untuk keluar dari mobil. Si bapak segera menghitung uang, lalu mendongak dan menatap penumpangnya. "Tapi ini uangnya kurang, non." "Benarkah, pak? Masa sih kurang? Aku sudah menghitung uangnya dengan benar lo," bantah Marigold sambil mengerutkan kening, mengingat-ingat antara total tagihan dan jumlah uang yang dibayar. "Benar non. Bapak ini kerja cari duit dengan jujur. Untuk apa makan uang haram?" protes pak sopir dengan wajah memelas sambil menunjukkan uang yang telah dibayarkan oleh Marigold. "Dasar," gerutu Nina, sepupu Marigold kesal. "Kurangnya berapa, pak?" "Enam ribu, non." Nina berdecak semakin keras dan melotot tajam pada Marigold yang sedang berpikir keras, enta
The Alexander's Hotel. Marigold turun dari taksi, lalu memasuki lobi hotel 'The Alexander's Hotel', tempat diadakannya acara pemilihan gadis untuk sang milyader, dengan percaya diri. Nafasnya tercekat melihat kemewahan yang ditawarkan oleh hotel ini. Bukan hanya dirinya saja yang manik matanya membelak takjub serta mengeluarkan seruan 'wow' ketika memindai setiap sudut lobi hotel ini, namun hampir sebagian besar para tamu yang datang merasa silau dengan kemewahan. Baru kali ini, Marigold menginjakkan kaki di tempat seglamor ini. "Wow, mimpi apa aku semalam, sehingga aku bisa menginjakkan kaki disini, tanpa harus takut diusir sekuriti," bisik Marigold yang berulang kali menyesap air liurnya karena sangat terpukau dengan bangunan istimewa ini. Hotel nan megah ini dikelilingi oleh pasir putih, yang katanya diterbangkan langsung dari luar negeri. Pantai buatan itu membuat hotel super mewah ini seakan berada di pulau pribadi. Saat memasuki lobi hotel, para tamu ak
Seorang dokter sedang mengenakan jubah medis lengkap, tidak ketinggalan masker, menutupi hampir sebagian besar wajahnya. Melangkah masuk ke ruang ICU, pemandangan menyedihkan langsung terpampang di depan mata. Seorang pasien laki-laki terbaring lemah, dikelilingi beberapa alat yang tersambung pada tubuh ringkihnya. Dengung tanpa nada dari alat bantu penunjang kehidupan dari pasien itu terdengar menyesakkan jiwa.Pria dengan jubah putih khas dokter itu mendekati ranjang pesakitan, lalu mengambil papan laporan dan memperhatikan alat detak jantung yang bergerak lamban. Pasien itu koma, setelah mengalami kecelakaan tunggal menghantam pagar beton pembatas parkiran mall.Perlahan, ditariknya masker yang menutupi wajahnya, lalu.."Halo Gerry, aku datang menjengukmu," sapa dokter yang ternyata adalah Tuan Archie, atasan dari Gerry, si pasien ICU. "Kamu.. terlihat mengenaskan."Archie tersenyum tipis, melihat kedutan lemah pada kedua kelopak mata Gerry, seolah merespon kedatangannya. Archie se
RS. Sehat Selalu.Martin menemui istrinya yang sedang tertidur pulas. Perawat bilang, Nina baru saja diberi obat penenang karena tubuhnya yang syok akibat kehilangan banyak darah. Jadi istrinya membutuhkan banyak istirahat."Sayang.." Martin mencium kening Nina, lalu duduk di samping ranjang. Hatinya hancur melihat Nina yang begitu lemah. Martin segera menyadari, ternyata seperti ini perasaan Max yang terpuruk, setiap kali melihat Marigold, istrinya terbaring tak berdaya di ranjang pesakitan.Tak lama kemudian, seorang perawat datang mendekat untuk mengecek kondisi vital Nina."Bagaimana keadaannya?" Martin bertanya setelah perawat itu menyelesaikan tugasnya."Istri anda akan berangsur pulih. Kehilangan bayi bisa membuat perasaan ibu terluka dan depresi. Anda hanya perlu memanjakannya," ucap perawat itu sembari tersenyum menenangkan."Terima kasih." Martin menghembuskan napas lega. "Akan kuikuti saran anda. Memanjakan Nina adalah tujuan hidupku.""Mar-martin.."Mendengar suara lirih
Sementara Martin menjadi pahlawan menyelamatkan Marigold, Nina duduk gelisah di samping Oskar yang sedang menyetir sembari bersiul riang."Aku senang bertemu denganmu, Nina." Oskar menyeringai senang, tanpa mempedulikan ekspresi Nina yang menahan rasa sakit akibat darah yang merembes keluar, membasahi gaunnya.Nina membuang pandangannya, sama sekali tidak menjawab. Nina memandang ke arah jendela kaca mobil yang melaju kencang, terlihat dari pohon-pohon yang terlewati dengan cepat."Kamu terlihat semakin cantik, membuatku gemas dan ingin memelukmu," puji Oskar menyentuh pundak Nina dan mengelusnya."Jangan pegang-pegang, Oskar!" Nina menyembur jengkel. "Kita hanya mantan, tidak ada hubungan lagi, terlebih aku adalah wanita bersuami.""Aku sama sekali tidak keberatan dengan statusmu." Oskar menoleh, tersenyum lebar. "Walau sebenarnya sangat disayangkan karena aku tidak mendapatkan darah perawanmu, tapi tidak apalah. Saat ini, kamu pasti sudah berpengalaman untuk memuaskan aku."Nina men
Tidak jauh dari keduanya berdiri, sebuah mobil mendekat dengan kekuatan sedang, terus melaju semakin cepat dan.."AWAS!"BRAK.CKRIITT..Gerak refleks Marigold yang cepat, membuatnya bisa melompat ke samping sebelum mobil itu menyerempet. Namun, Nina tidak berhasil menghindar. Nina tertabrak dan terjatuh keras di pelataran. Darah mulai merembes, mengalir diantara kedua kakinya."Ma-marigold, da-darah.. bayiku..""Astaga Nina.." Marigold panik melihat Nina berlumuran darah. CKRIITT..Marigold membatalkan niatnya untuk membungkuk, mengecek kondisi Nina, ketika mendengar mobil gila yang menyerempetnya tadi, berputar sangat cepat hingga menimbulkan decitan kasar. Mata Marigold membelalak panik saat melihat mobil itu kembali, meluncur cepat ke arahnya.BRAK."Hosh-hosh-hosh.." Marigold berusaha secepat mungkin bersembunyi di belakang mobil yang terparkir di sebelahnya. "Aduh perutku..," rintihnya memegang perutnya yang mengencang, akibat tiba-tiba bergerak cepat dan terburu-buru.Keringat
Hari-hari yang dilewati Marigold sangat menyenangkan sekaligus menjemukan. Kondisi yang hamil besar di trimester ketiga, membuatnya kesulitan untuk bergerak bebas. Dirinya juga tidak diperbolehkan melakukan ini dan itu. Semuanya serba dilayani bagaikan ratu. Terlebih dirinya dikawal ketat oleh mama tercinta dan mama mertua. Keduanya selalu standby di dekat Marigold, takut terjadi sesuatu yang buruk pada calon cucu pertama mereka.Hal itu membuat Marigold sering cemberut dan bete."Kamu ini! Kenapa mukamu ditekuk jelek kayak unta?!" omel mama Marigold yang sedang menyuapkan sepotong buah melon untuk putrinya. "Asal kamu tahu, semua wanita menginginkan posisimu saat ini. Kamu sedang mengandung pewaris kerajaan bisnis, dicintai suami yang tampan dan kaya raya, dimanja habis-habisan, bahkan mertuamu terlalu ekstra perhatian sampai membuat mama muak.""Tapi aku ini bosan, ma. BOSAAAN," rengek Marigold mengacak-acak rambutnya, jengkel. "Tiap hari kerjaanku hanya makan minum tidur, makan min
"Aku ingin kamu menceraikan semua istrimu. Aku ingin menjadi satu-satunya istrimu," kata Orchid lantang.Max memandang nanar pada Orchid, istri pertamanya yang selalu terlihat cantik dan menawan. Permintaan Orchid mustahil untuk dilakukan. "Tidak. Jika aku harus menceraikan semua istriku, wanita yang akan mendampingiku adalah Marigold, bukan kamu."Mendengar jawaban suaminya, Orchid tergelas sinis. "Huh! Jangan bercanda, Max," sentaknya geram. Dengan menunjuk ke arah kamar utama, Orchid kembali meraung marah, "Wanita udik seperti dia, tidak akan pernah bisa menandingi pesonaku, kharismaku, bahkan aura glamorku untuk menjadi pendampingmu, seorang milyader kelas dunia. Wanita udik itu pantasnya berada di gua. Kamu dengar itu, GUA! "Kamu mau kemana?" Max menarik lengan Orchid yang menghentakkan kakinya, hendak menerobos masuk ke kamar tidur utama. "Lepas!" Orchid mengibaskan lengannya. "Jangan halangi aku. Aku akan mengusir wanita udik itu! JALANG KECIL ITU TIDAK PANTAS DISINI!" teriak
Marigold membuka matanya. Langit-langit yang dilihat Marigold bukanlah plafon putih kamar VIP yang beberapa hari ini menjadi tempatnya bernaung. Warna biru serta awan putih yang tergambar di langit-langit, perlahan membuat Marigold memahami kalau saat ini dirinya sedang berada di kamar apartemen Max, suaminya.Marigold menoleh ke samping, mendapati seseorang sedang berbaring di sebelahnya, memeluknya dengan posesif."Max..""Hmmm, sudah bangun?" Suara Max terdengar serak, khas orang baru bangun tidur. "Jam berapa sekarang? Setengah delapan," ucapnya sembari melihat jam digital di nakas samping ranjang."Max, aku haus.""Aku akan mengambilkan air," jawab Max sambil mengecup dahi Marigold, lalu mendekap tubuh mungil istrinya. "Tapi sebelumnya, aku ingin memelukmu sekali lagi. Aku harus menyakinkan diriku, bahwa dirimu aman dalam dekapanku. Akhir-akhir ini, kamu terlalu sering terluka. Jadi jika tidak melihatmu sedetik saja, aku takut akan kehilanganmu. Hmm, aku sudah menemukan posisi t
Gerry membuka pintu apartemen, terseok-seok masuk sembari memegangi dadanya yang berdenyut nyeri.Brak. Pintu apartemen terbanting tertutup dengan dorongan kakinya. Gerry juga membanting kunci, dompet, serta ponsel ke atas meja dekat pintu masuk."Akh, dasar wanita sialan!" rutuk Gerry kesal. "Uhuk-uhuk.. Aduh, dadaku sakit."Gerry melepas kaos hitamnya dan melemparkannya sembarangan. Diperiksanya dada bidang miliknya yang nyeri karena lebam, pada cermin besar. Gerry meraba memar-memar yang mulai membiru."Brengsek!" umpat Gerry mengusap hidungnya yang nyeri dan terus mengeluarkan darah. Siku wanita itu menghantam telak pada tulang hidungnya yang pernah patah saat remaja dulu.Gerry mengambil kotak obat di dapur, juga es batu di kulkas, lalu membanting pantatnya di sofa depan televisi layar datar miliknya."Sial! Dia merusak penampilanku. Auch, sakit."Ketika Gerry sedang mengobati lukanya, tiba-tiba pintu apartemen terbanting terbuka. Seseorang menerobos masuk dengan penuh amarah."
Tiba-tiba.. Seseorang muncul di pintu kamar. Gerakannya yang cepat, menyambar tangan Nina yang sedang dicengkram Gerry.Bugh-bugh-bugh..Gerry yang terkejut dengan serangan itu, tidak bisa berkutik, hanya bisa pasrah menerima dua bogem mentah yang mendarat keras di wajahnya."Jangan sentuh istriku," gertak Martin yang memberikan tinjunya sekali lagi hingga Gerry terhuyung-huyung ke belakang dan menabrak sofa."Martin." Nina langsung memeluk suaminya dengan erat, sekaligus mencegah Martin ditangkap gegara memukuli orang. "Untung kamu segera datang. Aku takut."Martin memeluk Nina erat, dengan mata memicing tajam membalas tatapan Gerry yang marah akibat pukulannya. Dan permusuhan pun terbit hanya dalam hitungan detik.Sedangkan Max menerobos masuk dan langsung menerjang Archie. Dicengkramnya kaos berkerah sepupunya, lalu mendesaknya ke dinding. "Dasar brengsek! Sudah berapa kali kuperingatkan, jauhkan tanganmu dari Marigold! Dan satu lagi, jangan umbar mulut berbisamu di telinga istri