Di sebuah dojo..
"Hiiyaaaa.."
"Hait.. hait..."
Plok-plok-plok.
"Oke. Untuk latihan hari ini, sudah selesai ya. Kalian semua hebat."
"Terima kasih, sensei," ucap serempak para murid kelas karate Marigold.
"Terima kasih kembali."
Marigold mengambil handuk putih yang tergeletak di kursi tunggu di tepi matras. Disekanya keringat yang mengucur deras di leher dan dahinya. Udara siang ini terasa gerah dan pengap. Sejak pagi tadi, mendung gelap terlihat menggantung tebal di langit, tetapi hujan belum juga turun.
"Marigold," panggil seseorang yang masuk ke ruang berlatih, kemudian duduk di kursi dan mengipasi dirinya dengan selembar pamflet. Dia adalah Nina. Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu adalah sepupu Marigold, putri pamannya. "Makan siang yuk. Aku lapar."
"Tunggu lima belas menit. Aku ingin mandi dulu. Gerah sekali. Seluruh tubuhku lengket," keluh Marigold sambil berlalu ke kamar mandi di belakang Dojo.
*****
Di restoran cepat saji.
"Apa kamu bertengkar lagi dengan bibi?" tanya Nina sambil menggigit kentang goreng yang sudah diberi sambal. Bibi yang dipanggil Nina adalah mama Marigold. "Tadi pagi papa cerita ke aku."
Marigold mengangkat bahu, acuh. "Kalau seminggu saja, mama belum merecoki diriku perihal menantu, suami, dan cucu, rasanya kurang komplit hidup mamaku tercinta itu."
"Masih belum ada kabar dari Nolan?"
Gerakan Marigold yang hendak menyuapkan sesendok nasi, terhenti di udara, di depan mulutnya yang terbuka. Nina melipat bibirnya ke dalam mulutnya, ketika melihat kesedihan serta kegalauan berkelebat di mata sepupunya itu.
"Aku tidak tahu harus mencari kemana lagi, Nina. Dua minggu ini, aku terus menerus mengukur jalanan kota untuk menemukannya, namun sama sekali tidak terlihat sosoknya. Nolan hilang bak ditelan bumi," jawab Marigold muram, lalu melanjutkan makannya. "Aku lelah, Nina. Aku sudah menyerah mencarinya."
"Apa karena itu, kamu berniat mengikuti acara pemilihan ini?" cecar Nina yang menyodorkan kertas pamflet yang sudah sedikit kusut karena sempat dipakainya untuk mengipasi wajahnya yang gerah.
"Darimana kamu dapat pamflet itu?" sembur Marigold yang terkejut sambil merebut pamflet itu dari tangan Nina.
"Aku menemukannya terjatuh di depan meja resepsionis," jawab sepupunya sambil menyeruput soft drink miliknya yang berwarna merah menyala. Kemudian Nina mengedikkan dagunya ke arah pamflet itu. "Apa kamu serius ingin mengikuti acara pemilihan gadis untuk milyader itu?"
"Terpaksa," sahut Marigold lesu. "Mama sudah mendesakku hingga ke tembok, dan aku sama sekali tidak bisa berkutik. Jika sampai akhir tahun ini, aku tidak membawakan seorang menantu untuk mama tercinta, aku akan dinikahkan dengan Adam, anaknya Tante Sari."
Mata Nina membelak lebar. "Adam?! Adam yang playboy itu? Teman sekelas kita yang amit-amit itu?!" pekik Nina syok. Marigold dan Nina seumuran dan selalu satu kelas di setiap jenjang pendidikan, sepanjang umur mereka.
"Hm-hm," ucap Marigold sambil mengangguk mantap. "Aku tidak mungkin menikah dengan Adam, Nina. Kamu tahu sendiri, bahwa Adam itu musuh bebuyutanku sejak masih di sekolah dasar. Aku dan dia saling membenci. Lagipula yang paling menyebalkan adalah kelakuan Adam yang tidak jauh beda dengan playboy kelas kakap yang kerap gonta ganti pacar. Ck, padahal tampangnya hanya pas-pasan dan standar begitu, tapi lagaknya seolah dia pesohor dunia yang digilai para wanita," lanjut Marigold berapi-api.
"Ck, malang betul nasibmu, sepupuku."
Marigold menggeleng kuat-kuat. "Tidak. Aku akan benar-benar bernasib malang bin apes, jika aku menikah dengan si kakap itu," tukasnya sambil menggebrak meja. "Lebih baik aku menikah dengan milyader yang sudah pasti adalah pesohor dunia yang asli. Ditambah lagi, Maximilian Alexander adalah idolaku selama ini. Jadi kurasa.. itu adalah sebuah rencana yang sempurna."
"Tapi Marigold," protes Nina. "Si milyader itu juga pasti bukan laki-laki yang setia. Aku dengar dia sudah memiliki istri."
"Aku tahu itu. Tapi tidak masalah bagiku, jika dia sudah memiliki istri. Maximilian Alexander adalah idolaku. Berada di dekat laki-laki tampan dan seksi itu saja sudah menjadi membuatku bahagia."
"Tapi..," ucap Nina yang mencemaskan Marigold.
Marigold mengibaskan tangannya. "Jangan khawatirkan aku. Aku pasti bisa menang dan mendapatkan idolaku itu. Maximilian Alexander, milyader idolaku. Dan yang paling penting, aku akan membuatnya jatuh cinta padaku."
Mendengar sesumbar Marigold, Nina bersedekap dan memandangi sepupunya dari atas hingga ke pinggang. Marigold adalah seorang gadis yang tomboi dan ceroboh, bukan seorang gadis cantik yang lembut dan anggun. Nina menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak.
"Apa?!" desak Marigold defensif.
"Aku tidak yakin, kamu akan mendapatkannya, Marigold. Dia seorang milyader, sayangku. Sudah pasti di sekelilingnya banyak wanita super cantik dan anggun. Kamu.. yakin bisa menandingi mereka semua?" tanya Nina dengan nada menyindir. "Seorang Nolan saja tidak bisa kamu pertahankan, apalagi si milyader itu."
Nolan adalah kekasih Marigold yang tidak diketahui keberadaannya, semenjak dua minggu yang lalu. Nolan adalah laki-laki pertama yang mempunya hubungan percintaan dengan Marigold hingga satu tahun lamanya. Namun.. tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba Nolan menghilang tanpa kabar.
Marigold menyipitkan matanya, memandang sebal ke arah Nina yang meremehkannya. "Sialan kamu, Nina!"
"Aku hanya mengungkapkan fakta yang kejam, sepupuku sayang," papar Nina tegas. "Seorang Maximilian Alexander itu milyader tingkat dunia. Kekayaan melimpah tujuh turunan, perusahaannya ada dimana-mana, dan tentu saja wanita cantik selalu ada di dekatnya. Dia berpergian menggunakan helikopter pribadi, jet pribadi, yacht pribadi, mobil sport pribadi. Dia tidur di hotel pribadi, berlibur di pulau pribadi. Lalu kamu?!"
"Kenapa dengan A-KU?! Apa yang salah dengan A-KU?! Kenapa kamu jadi menyebalkan, Nina?" sembur Marigold jengkel.
"Kamu hanyalah gadis sederhana, Marigold. Tidak punya keahlian hebat selain karate. Hanya berpendidikan ala kadarnya. Harta pribadi hanya sepeda motor bekas. Lalu ditambah lagi, semuanya pada dirimu serba rata-rata."
"Rata-rata?" ulang Marigold emosi. "Bagian mana dari seorang Marigold yang RATA-RATA?!" desaknya penuh penekanan sambil menunjukan kepalan tangannya ke arah Nina yang meringis.
"Wajah rata-rata, ukuran dada dan pantat rata-rata, lekukan body pun juga rata-rata."
"Sialan kamu, Nina! Bicaramu semakin lama semakin tidak enak didengar," sungut Marigold seraya melemparkan tisu yang diremas ke arah sepupunya.
"Perbandingan kalian terlalu ekstrim, bagaikan bumi dan langit. Terlalu mustahil, Marigold."
"Heh, Cinderella dan sang pangeran pun juga bagaikan bumi dan langit. Tapi buktinya... mereka hidup bahagia selamanya."
"Tolong ya sepupuku yang keras kepala. Tolong dipisahkan antara dongeng dan kenyataan."
Marigold menudingkan jari telunjuknya ke arah Nina. "Nina, jika kamu mengkritikku habis-habisan seperti ini, apa kamu punya solusi brilian untuk memecahkan masalahku, hah?"
Terdiam. Nina terdiam, kehilangan kata-kata.
"Eng, sewa pacar.. mungkin?"
"Ide bagus," sahut Marigold sinis. "Apa kamu sudah lupa kejadian waktu kita lulus SMU?"
Nina hanya meringis mengingat kejadian memalukan itu. Mama Marigold selalu mendesak tanpa ampun pada putrinya agar selalu memiliki pacar, seperti kebanyakan gadis di sekolah mereka. Hei, Marigold bukannya gadis yang tidak laku. Tetapi, hubungan percintaan Marigold selalu tidak berhasil. Paling lama.. hanya bertahan tiga bulan, Marigold berstatus kekasih seseorang.
Dan karena sudah tidak ada lagi laki-laki seumuran dengan Marigold yang mau berkencan dengannya, maka Marigold menyewa pacar untuk mengelabuhi mamanya. Namun sialnya, itu pun juga gagal.
Ternyata, pria yang menjadi pacar sewaan Marigold, tidak lain tidak bukan adalah kakak laki-laki dari teman sekelas mereka, Alana. Dan semuanya terbongkar saat kelulusan sekolah menengah atas. Brengsek! Marigold menjadi bulan-bulanan sepanjang waktu, oleh teman-temannya.
"Kalau kamu lupa, aku akan mengingatkanmu. Menyewa pacar sewaktu kita SMU juga adalah ide brilian darimu kan?"
"Maaf."
"Sudah, lupakan. Yang penting saat ini, aku akan tetap pada pendirianku. Mengikuti pemilihan para gadis untuk Maximilian."
Nina menghela nafas panjang. "Baiklah. Aku akan mendukungmu."
"Bagus," sahut Marigold bersemangat. "Sekarang waktunya kita pergi untuk melakukan langkah pertama."
"Kemana?"
"Ke laboratorium. Aku membutuhkan surat keterangan yang menyatakan bahwa aku masih perawan."
Bersambung...
Pukul 12.30, Marigold mendorong pintu kaca laboratorium medis. Alisnya mencuat ke atas, melihat antrian yang cukup banyak. Dengan linglung karena mengamati para gadis cantik yang duduk berjejer disana, Marigold mendatangi meja registrasi."Apa mereka semua punya tujuan yang sama denganku?" gumam Marigold sambil menggaruk pelipisnya."Selamat datang. Silakan duduk.""Permisi mbak," sapa Marigold sambil menarik kursi di meja registrasi. "Aku mau..""Mau tes keperawanan?""Loh kok tahu?" seru Marigold keras, lalu langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya. "Mbak nya kok bisa tahu?" ulangnya dengan suara berbisik."Coba lihat ke belakang," tunjuk petugas registrasi ke belakang punggung Marigold."Apa?" Marigold bergeser di kursinya dan menoleh ke belakang, ke arah yang ditunjukkan si resepsionis."Mereka semua sedang mengantri melakukan tes keperawanan seperti anda. Sejak pagi tadi, banyak gadis yang mengantri di laboratorium
Gerimis.Marigold keluar dari laboratorium, lalu menuju ke lapangan parkir. Dibukanya jok sepeda motor dan mengeluarkan jas hujan dari motornya, lalu berdecak sebal. Dibentangkannya jas hujan miliknya dan mengintip di lubang sebesar kepalan tangannya."Akkhhhh," jerit Marigold kesal. "Aku lupa lagi beli jas hujan. Menyebalkan!"Marigold melipat jas hujan berlubang itu dengan asal-asalan, lalu menjejalkannya kembali ke jok sepeda motor. Percuma berat-berat memakai jas hujan, jika ujung-ujungnya basah juga. Lebih tidak pakai sekalian. Kemudian Marigold mengenakan jaket dan mengunci helm yang sudah terpasang di kepalanya, lalu menghidupkan mesin motor bekas miliknya. Udara dingin segera menerpa wajahnya, setelah motornya meninggalkan lapangan parkir motor yang sudah sepi itu.Motor Marigold melaju dengan kecepatan sedang. Setiap kali mengendarai motor seorang diri, pikirannya selalu melamun dan melantur. Tanpa disadarinya, Marigold mengarahkan motornya ke ar
Sementara itu, di tempat lain. Meeting berikutnya di restoran Perancis yang terletak tidak jauh dari sebuah mall dan kafe-kafe yang menjamur bak musim hujan. Maximilian memandang kelap-kelip lampu kafe. Beberapa pasang kekasih keluar dan masuk ke beberapa kafe. "Hmm, aku belum pernah mendatangi kafe biasa seperti ini. Seperti apa ya rasanya? Apakah sama dengan kafe eksklusif yang sering kudatangi, dengan suasananya yang dingin dan membosankan?" gumam Max yang tertarik pada sepasang kekasih yang saling berangkulan dan tertawa lepas. Kentara sekali mereka saling menyayangi dan mencintai. Ckriitt.. "Ada apa?" tanya Max yang heran karena Pak Umar, sopir pribadinya yang tiba-tiba menghentikan mobil di tempat seperti ini. Tempat meeting berikutnya masih dua puluh menit perjalanan dari sini. "Anu.. Tuan Max, sepertinya ada penjambretan dan perkelahian di depan sana," jawab Pak Umar sambil menudingkan jarinya ke arah jalan yang tersembunyi. Ma
Nina baru saja menyelesaikan acara mandinya, ketika ponsel yang diletakkan di rak kaca wastafel, berbunyi. Nina segera membebat tubuhnya dengan handuk putih yang lebar dan besar. Diraihnya ponsel itu lalu menekan tombol hijau."Halo? Ada apa Marigold?" sapanya sambil membuka pintu kamar mandi lalu melangkah keluar."Saya Pak Umar. Bisa bicara dengan Nona Nina?""Pak Umar?" ulang Nina yang menurunkan ponselnya untuk mengecek nomer kontak sekali lagi. Benar, ini nomer ponsel Marigold, sepupunya. "Anda siapa? Kenapa ponsel sepupuku ada ditangan anda? Apa yang terjadi padanya?""Nina, ada apa dengan Marigold?" seru panik papa Nina yang tiba-tiba mendekati putrinya."Sebentar papa. Nina masih bicara nih, jangan menyela dong," omel sebal Nina sambil mendorong tubuh papanya yang mendekatkan kuping di ponsel yang diletakkan di telinga putrinya."Tapi papa harus tahu apa yang terjadi dengan keponakan tercinta papa," protes papa Nina yang dengan keras
Suara bising di sekitarnya terdengar mengganggu pendengaran Marigold yang sedang tertidur pulas. Perlahan, dibukanya kedua matanya dan langsung bertatapan dengan sebuket bunga mawar kuning yang diletakkan di meja, dekat dirinya berbaring."Bunga? Kenapa ada bunga di kamarku?" gumam Marigold yang disorientasi karena bangun tidur. Belum lagi ditambah rasa sakit di kepala, perih iya, pusing juga iya. "Aku ada dimana ya?""Marigold, kamu sudah bangun?"Kepala Marigold berputar ke arah sebaliknya dari dirinya berbaring, untuk melihat siapa yang berbicara padanya. Dan lagi-lagi dirinya melihat sebuket bunga yang.. berbicara? Marigold mengerutkan kening dan memiringkan kepalanya di bantal sambil berpikir keras. Well, apakah dirinya sedang berhalusinasi, melihat buket bunga yang bisa berbicara?"Siapa kamu? Kenapa bunga matahari bisa berbicara?" tanyanya linglung."Ck, apaan sih? Omonganmu semakin bertambah ngawur saja, Marigold. Kupikir kepalamu masih per
Ting-tong.Marigold membuka pintu apartemennya, namun langsung membantingnya kembali. Dan sayangnya, usahanya gagal. Pintu itu ditahan oleh tamu Marigold, yang kini memaksa masuk ke dalam apartemen.Marigold bersedekap dan bersandar di tembok, dekat pintu apartemen yang masih dibiarkannya terbuka. Marigold sama sekali tidak menyukai kehadiran si tamu yang kini sedang berjalan-jalan tanpa permisi, masuk ke area pribadinya serta memindai setiap sudut miliknya dengan raut tidak terbaca. Menyebalkan."Menurutmu, apa yang sedang kamu lakukan disini, Adam? Kamu bukan temanku. Dan sekarang kamu memaksa masuk ke dalam apartemenku. Itu adalah suatu kejahatan. Sekarang, mungkin aku harus menelpon pihak sekuriti untuk membawamu keluar dari apartemenku. Dan setelah itu, aku akan memanggil tim penyemprot hama, agar apartemenku terbebas dari virus.""Ck-ck.. Sudah lama tidak bertemu, masih saja bermulut tajam.""Untuk menghadapi orang asing dengan maksud tidak j
Pukul 19.00. Restoran Perancis.Maximilian bersama Martin masuk ke sebuah restoran Perancis, untuk makan malam bisnis bersama salah satu kolega bisnis, yaitu seorang ahli pembibitan parfum dari Perancis. Jalanan macet karena adanya penutupan beberapa ruas jalan utama menjelang akhir tahun, akibatnya Max terpaksa datang terlambat. Dan sebelumnya Martin, asisten pribadinya sudah mengabarkan keterlambatannya pada koleganya ini, sehingga laki-laki yang berkumis lebat ini bisa memahami alasan keterlambatan Max."Dia? Sedang apa dia disini?" gumam Max lirih ketika sudut matanya menemukan sosok yang familiar. Ck, apanya yang familiar. Dirinya baru bertemu satu kali, yaitu saat menyelamatkannya dari penjambret, beberapa hari yang lalu. Tanpa sadar, kaki Max berhenti melangkah. "Sungguh pertanyaan bodoh. Di restoran, tentu saja sedang makan malam," monolognya, merutuki dirinya sendiri."Siapa?" tanya Martin bingung. Asisten pribadi Max yang berjalan di sisinya, yang juga
"Sudah sampai, non," kata pak sopir sambil menoleh ke arah jok belakang mobil MPV hitam miliknya. "Ini uangnya, pak. Ambil saja kembaliannya," kata Marigold sambil memberikan sejumlah uang pada pak sopir online. Lalu membuka pintu mobil dan menggeser tubuhnya untuk keluar dari mobil. Si bapak segera menghitung uang, lalu mendongak dan menatap penumpangnya. "Tapi ini uangnya kurang, non." "Benarkah, pak? Masa sih kurang? Aku sudah menghitung uangnya dengan benar lo," bantah Marigold sambil mengerutkan kening, mengingat-ingat antara total tagihan dan jumlah uang yang dibayar. "Benar non. Bapak ini kerja cari duit dengan jujur. Untuk apa makan uang haram?" protes pak sopir dengan wajah memelas sambil menunjukkan uang yang telah dibayarkan oleh Marigold. "Dasar," gerutu Nina, sepupu Marigold kesal. "Kurangnya berapa, pak?" "Enam ribu, non." Nina berdecak semakin keras dan melotot tajam pada Marigold yang sedang berpikir keras, enta
Seorang dokter sedang mengenakan jubah medis lengkap, tidak ketinggalan masker, menutupi hampir sebagian besar wajahnya. Melangkah masuk ke ruang ICU, pemandangan menyedihkan langsung terpampang di depan mata. Seorang pasien laki-laki terbaring lemah, dikelilingi beberapa alat yang tersambung pada tubuh ringkihnya. Dengung tanpa nada dari alat bantu penunjang kehidupan dari pasien itu terdengar menyesakkan jiwa.Pria dengan jubah putih khas dokter itu mendekati ranjang pesakitan, lalu mengambil papan laporan dan memperhatikan alat detak jantung yang bergerak lamban. Pasien itu koma, setelah mengalami kecelakaan tunggal menghantam pagar beton pembatas parkiran mall.Perlahan, ditariknya masker yang menutupi wajahnya, lalu.."Halo Gerry, aku datang menjengukmu," sapa dokter yang ternyata adalah Tuan Archie, atasan dari Gerry, si pasien ICU. "Kamu.. terlihat mengenaskan."Archie tersenyum tipis, melihat kedutan lemah pada kedua kelopak mata Gerry, seolah merespon kedatangannya. Archie se
RS. Sehat Selalu.Martin menemui istrinya yang sedang tertidur pulas. Perawat bilang, Nina baru saja diberi obat penenang karena tubuhnya yang syok akibat kehilangan banyak darah. Jadi istrinya membutuhkan banyak istirahat."Sayang.." Martin mencium kening Nina, lalu duduk di samping ranjang. Hatinya hancur melihat Nina yang begitu lemah. Martin segera menyadari, ternyata seperti ini perasaan Max yang terpuruk, setiap kali melihat Marigold, istrinya terbaring tak berdaya di ranjang pesakitan.Tak lama kemudian, seorang perawat datang mendekat untuk mengecek kondisi vital Nina."Bagaimana keadaannya?" Martin bertanya setelah perawat itu menyelesaikan tugasnya."Istri anda akan berangsur pulih. Kehilangan bayi bisa membuat perasaan ibu terluka dan depresi. Anda hanya perlu memanjakannya," ucap perawat itu sembari tersenyum menenangkan."Terima kasih." Martin menghembuskan napas lega. "Akan kuikuti saran anda. Memanjakan Nina adalah tujuan hidupku.""Mar-martin.."Mendengar suara lirih
Sementara Martin menjadi pahlawan menyelamatkan Marigold, Nina duduk gelisah di samping Oskar yang sedang menyetir sembari bersiul riang."Aku senang bertemu denganmu, Nina." Oskar menyeringai senang, tanpa mempedulikan ekspresi Nina yang menahan rasa sakit akibat darah yang merembes keluar, membasahi gaunnya.Nina membuang pandangannya, sama sekali tidak menjawab. Nina memandang ke arah jendela kaca mobil yang melaju kencang, terlihat dari pohon-pohon yang terlewati dengan cepat."Kamu terlihat semakin cantik, membuatku gemas dan ingin memelukmu," puji Oskar menyentuh pundak Nina dan mengelusnya."Jangan pegang-pegang, Oskar!" Nina menyembur jengkel. "Kita hanya mantan, tidak ada hubungan lagi, terlebih aku adalah wanita bersuami.""Aku sama sekali tidak keberatan dengan statusmu." Oskar menoleh, tersenyum lebar. "Walau sebenarnya sangat disayangkan karena aku tidak mendapatkan darah perawanmu, tapi tidak apalah. Saat ini, kamu pasti sudah berpengalaman untuk memuaskan aku."Nina men
Tidak jauh dari keduanya berdiri, sebuah mobil mendekat dengan kekuatan sedang, terus melaju semakin cepat dan.."AWAS!"BRAK.CKRIITT..Gerak refleks Marigold yang cepat, membuatnya bisa melompat ke samping sebelum mobil itu menyerempet. Namun, Nina tidak berhasil menghindar. Nina tertabrak dan terjatuh keras di pelataran. Darah mulai merembes, mengalir diantara kedua kakinya."Ma-marigold, da-darah.. bayiku..""Astaga Nina.." Marigold panik melihat Nina berlumuran darah. CKRIITT..Marigold membatalkan niatnya untuk membungkuk, mengecek kondisi Nina, ketika mendengar mobil gila yang menyerempetnya tadi, berputar sangat cepat hingga menimbulkan decitan kasar. Mata Marigold membelalak panik saat melihat mobil itu kembali, meluncur cepat ke arahnya.BRAK."Hosh-hosh-hosh.." Marigold berusaha secepat mungkin bersembunyi di belakang mobil yang terparkir di sebelahnya. "Aduh perutku..," rintihnya memegang perutnya yang mengencang, akibat tiba-tiba bergerak cepat dan terburu-buru.Keringat
Hari-hari yang dilewati Marigold sangat menyenangkan sekaligus menjemukan. Kondisi yang hamil besar di trimester ketiga, membuatnya kesulitan untuk bergerak bebas. Dirinya juga tidak diperbolehkan melakukan ini dan itu. Semuanya serba dilayani bagaikan ratu. Terlebih dirinya dikawal ketat oleh mama tercinta dan mama mertua. Keduanya selalu standby di dekat Marigold, takut terjadi sesuatu yang buruk pada calon cucu pertama mereka.Hal itu membuat Marigold sering cemberut dan bete."Kamu ini! Kenapa mukamu ditekuk jelek kayak unta?!" omel mama Marigold yang sedang menyuapkan sepotong buah melon untuk putrinya. "Asal kamu tahu, semua wanita menginginkan posisimu saat ini. Kamu sedang mengandung pewaris kerajaan bisnis, dicintai suami yang tampan dan kaya raya, dimanja habis-habisan, bahkan mertuamu terlalu ekstra perhatian sampai membuat mama muak.""Tapi aku ini bosan, ma. BOSAAAN," rengek Marigold mengacak-acak rambutnya, jengkel. "Tiap hari kerjaanku hanya makan minum tidur, makan min
"Aku ingin kamu menceraikan semua istrimu. Aku ingin menjadi satu-satunya istrimu," kata Orchid lantang.Max memandang nanar pada Orchid, istri pertamanya yang selalu terlihat cantik dan menawan. Permintaan Orchid mustahil untuk dilakukan. "Tidak. Jika aku harus menceraikan semua istriku, wanita yang akan mendampingiku adalah Marigold, bukan kamu."Mendengar jawaban suaminya, Orchid tergelas sinis. "Huh! Jangan bercanda, Max," sentaknya geram. Dengan menunjuk ke arah kamar utama, Orchid kembali meraung marah, "Wanita udik seperti dia, tidak akan pernah bisa menandingi pesonaku, kharismaku, bahkan aura glamorku untuk menjadi pendampingmu, seorang milyader kelas dunia. Wanita udik itu pantasnya berada di gua. Kamu dengar itu, GUA! "Kamu mau kemana?" Max menarik lengan Orchid yang menghentakkan kakinya, hendak menerobos masuk ke kamar tidur utama. "Lepas!" Orchid mengibaskan lengannya. "Jangan halangi aku. Aku akan mengusir wanita udik itu! JALANG KECIL ITU TIDAK PANTAS DISINI!" teriak
Marigold membuka matanya. Langit-langit yang dilihat Marigold bukanlah plafon putih kamar VIP yang beberapa hari ini menjadi tempatnya bernaung. Warna biru serta awan putih yang tergambar di langit-langit, perlahan membuat Marigold memahami kalau saat ini dirinya sedang berada di kamar apartemen Max, suaminya.Marigold menoleh ke samping, mendapati seseorang sedang berbaring di sebelahnya, memeluknya dengan posesif."Max..""Hmmm, sudah bangun?" Suara Max terdengar serak, khas orang baru bangun tidur. "Jam berapa sekarang? Setengah delapan," ucapnya sembari melihat jam digital di nakas samping ranjang."Max, aku haus.""Aku akan mengambilkan air," jawab Max sambil mengecup dahi Marigold, lalu mendekap tubuh mungil istrinya. "Tapi sebelumnya, aku ingin memelukmu sekali lagi. Aku harus menyakinkan diriku, bahwa dirimu aman dalam dekapanku. Akhir-akhir ini, kamu terlalu sering terluka. Jadi jika tidak melihatmu sedetik saja, aku takut akan kehilanganmu. Hmm, aku sudah menemukan posisi t
Gerry membuka pintu apartemen, terseok-seok masuk sembari memegangi dadanya yang berdenyut nyeri.Brak. Pintu apartemen terbanting tertutup dengan dorongan kakinya. Gerry juga membanting kunci, dompet, serta ponsel ke atas meja dekat pintu masuk."Akh, dasar wanita sialan!" rutuk Gerry kesal. "Uhuk-uhuk.. Aduh, dadaku sakit."Gerry melepas kaos hitamnya dan melemparkannya sembarangan. Diperiksanya dada bidang miliknya yang nyeri karena lebam, pada cermin besar. Gerry meraba memar-memar yang mulai membiru."Brengsek!" umpat Gerry mengusap hidungnya yang nyeri dan terus mengeluarkan darah. Siku wanita itu menghantam telak pada tulang hidungnya yang pernah patah saat remaja dulu.Gerry mengambil kotak obat di dapur, juga es batu di kulkas, lalu membanting pantatnya di sofa depan televisi layar datar miliknya."Sial! Dia merusak penampilanku. Auch, sakit."Ketika Gerry sedang mengobati lukanya, tiba-tiba pintu apartemen terbanting terbuka. Seseorang menerobos masuk dengan penuh amarah."
Tiba-tiba.. Seseorang muncul di pintu kamar. Gerakannya yang cepat, menyambar tangan Nina yang sedang dicengkram Gerry.Bugh-bugh-bugh..Gerry yang terkejut dengan serangan itu, tidak bisa berkutik, hanya bisa pasrah menerima dua bogem mentah yang mendarat keras di wajahnya."Jangan sentuh istriku," gertak Martin yang memberikan tinjunya sekali lagi hingga Gerry terhuyung-huyung ke belakang dan menabrak sofa."Martin." Nina langsung memeluk suaminya dengan erat, sekaligus mencegah Martin ditangkap gegara memukuli orang. "Untung kamu segera datang. Aku takut."Martin memeluk Nina erat, dengan mata memicing tajam membalas tatapan Gerry yang marah akibat pukulannya. Dan permusuhan pun terbit hanya dalam hitungan detik.Sedangkan Max menerobos masuk dan langsung menerjang Archie. Dicengkramnya kaos berkerah sepupunya, lalu mendesaknya ke dinding. "Dasar brengsek! Sudah berapa kali kuperingatkan, jauhkan tanganmu dari Marigold! Dan satu lagi, jangan umbar mulut berbisamu di telinga istri